Nyawa
Yang Terhutang
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
1
SUARA
BERADUNYA PEDANG terdengar berkepanjangan di lereng bukit Cemoro Sewu padahal
hari masih gelap dan udara mencucuk dingin. Binatang hutanpun menyingkir
ketakutan. Karena yang terdengar bukan hanya suara beradunya senjata tajam itu
namun juga ada bentakan - bentakan serta hentakan-hentakan kaki yang
menggetarkan tanah.
Siapa
yang pagi-pagi buta telah saling baku hantam seolah-olah tidak ada waktu
menyelesaikan urusan di siang hari?
Di antara
kerasnya suara pedang beradu tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh. Lalu ada
orang yang bicara dalam kegelapan.
“Bagus!
Bagus Wilani! Sepuluh jurus kau bisa bertahan, sepuluh jurus kau balas,
mendesak!
Bagus!
Ilmu pedangmu sudah cukup matang! Yang penting kini adalah berlatih terus!”
“Terima
kasih untuk pujian itu kakek guru! Semua itu berkat gemblengan yang kakek guru
berikan!”
Ternyata
di lereng bukit Cemoro Sewu itu bukan terjadi perkelahian, melainkan seorang
murid dan guru tengah berlatih ilmu pedang di gelap buta menjelang dini hari!
Sang guru
adalah seorang kakek berambut putih panjang. Dia mengenakan pakaian berbentuk
selempang seperti pakaian seorang resi dan berwarna hitam. Gerakan tangannya
memutar pedang sebat sekali. Gerakan kakinya kukuh dan ringan. Sesekali pakaian
hitamnya di bagian kaki nampak tersingkap. Astaga! Ternyata kakek yang memiliki
ilmu meringankan tubuh tinggi ini hanya mempunyai satu kaki kanan. Kaki kirinya
buntung sebatas lutut.
Tapi tak
kalah hebatnya sang murid yaitu seorang dara berpakaian serba biru, berambut
hitam dikuncir. Meski seluruh pakaiannya basah kuyup tanda dia telah
mengerahkan seluruh tenaga, gerakannya berkelebat gesit sekali. Putaran
pedangnya mengeluarkan angin menderu-deru, gerakan kedua kakinya tak terduga
sehingga setiap bacokan atau tusukan senjatanya sulit diduga.
“Bagus!
Bagus! Sekarang aku ingin melihat kau menutup serangan terakhirmu dengan jurus
Rembulan Mencukur Bintang. Lakukan!”
Mendengar
ucapan sang guru, gadis baju biru bernama Wilani membentak keras. Lalu tubuhnya
melesat ke udara setinggi dua tombak. Ujung pedang di tangan kanan menderu ke
arah sebuah cabang pohon berdaun lebat. Terdengar suara merambas beberapa
kejapan mata. Ketika si gadis melompat turun kembali kelihatanlah dalam gelap
bagaimana seluruh daun di cabang itu telah gundul laksana dipangkas sedang
ranting-ranting besarnya sedikitpun tak ada yang rusak.
Kakek
kaki buntung tertawa gembira.
“Hebat!
Luar biasa Wilani!”
“Terima
kasih kakek guru!” sang dara menyahuti sambil bungkukkan tubuh.
“Sekarang
aku ingin menguji kehebatan senjata rahasiamu! Siapkan kantong jarummu!”
“Saya
sudah siap kakek…,” kata Wilani pula sesaat kemudian.
“Lihat ke
arahku!” kata si kakek sambil mengangkat tangan kanannya dekat-dekat ke
kepalanya sampai setinggi daun telinga. Telapak tangan dan lima jari
dikembangkan. Di antara jarijari tangan yang lima itu terselip empat buah daun
kecil.
“Serang
empat daun yang kujepit di antara jari-jari tangan!”
“Siap
guru!”
“Tunggu
dulu. Ada syaratnya!” kata si kakek pula.
“Empat
helai daun itu harus tembus tetapi tidak selembarpun boleh lepas dari jepitan
jariku.
Bagaimana?
Sanggup?!”
“Akan
saya coba kek!”
“Nah
hantamlah! Tapi awas! Jangan mata atau hidung atau tanganku yang kau hantam!
Hik…hik…hik!”
Wilani
menggerakkan tangan kanannya ke dalam kantong. Sesaat kemudian tangan itu
keluar bersama empat buah jarum halus berwarna putih. Lalu tangan itu
menghantam ke depan.
Terdengar
suara berdesing dalam kegelapan malam. Empat jarum halus melesat tidak kelihatan.
Si kakek menunggu lalu berseru.
“Hai!
Hai! Sudahkah kau melemparkan senjata rahasiamu, Wilani?!”
“Sudah
kek! Harap periksa keempat daun itu!”
Kakek
kaki satu turunkan tangannya dan meneliti. Keempat daun kecil yang dijepitnya
di antara jari-jari tangan kanannya ternyata sudah berlubang kecil di bagian
tengahnya. Melihat hal ini kembali orang tua itu tertawa mengekeh.
“Hebat!
Luar biasa! Kau memang muridku yang andal!”
“Terima
kasih guru. Jangan keliwat memuji!” jawab sang murid tersipu. Waktu tersipu ini
ada lesung pipit muncul di kedua pipinya.
“Sekarang
ujian terakhir. Aku akan menggabung ilmu meringankan tubuhmu dengan kekuatan
tenaga dalam serta kepekaan perasaanmu. Kau siap?!”
“Mohon
petunjukmu dulu kek. Apa yang harus aku lakukan?”
“Hemm…,”
si kakek melompat-lompat ke arah sebuah batu belas langkah di sebelah kanan.
Lalu dia
menunjuk ke cabang sebuah pohon setinggi tiga tombak di samping muridnya. “Kau
melompatlah ke ujung cabang itu dengan punggung menghadap ke batu.
Putar
tubuhmu tanpa membuat cabang bergoyang dan hantam batu ini sampai hancur!”
“Wah!
Susah amat kek!”
“Kalau
itu saja susah, berhenti jadi muridku!” jawab si orang tua itu sambil mencibir.
Sang dara
garuk-garuk kepalanya, memandang pada si kakek dan bertanya. “Sekarang kek?”
“Ya sekarang
tentu! Apa menunggu sampai malam Jum’at depan!”
Belum
habis si kakek berucap, tubuh Wilani kelihatan melesat ke udara. Setengah jalan
sebelum mencapai cabang pohon tubuh itu berputar sehingga kini punggungnya
menghadap ke arah batu yang akan menjadi sasaran. Kaki kanan menyentuh ujung
cabang pohon. Kejapan itu pula Wilani putar tubuhnya seraya hantamkan tangan
kanan.
Wuutt!
Terdengar
deru angina laksana membelah dinginnya malam. Lalu.
Byaar!
Batu
hitam di bawah sana hancur berkeping-keping.
Meledak tawa
si kakek buntung. Begitu muridnya melayang turun langsung dipeluknya.
“Kau
benar-benar hebat Wilani. Aku tidak akan merasa khawatir melepasmu pergi….”
“Kek, kau
tahu aku sebenarnya tak ingin pergi. Tak mau berpisah denganmu sampai kapanpun.
Namun….. Jalan nasibku membuat semua jadi begini….”
Si kakek
lepaskan pelukannya, dia membimbing muridnya duduk di sebatang tumbangan pohon
sementara di sebelah timur langit perlahan-lahan tampak mulai terang.
“Jalan
nasib manusia Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan. Kita manusia hanya bisa
berusaha bagaimana agar bisa melaluinya pada jalan yang lurus dan benar.
Pelajaran agama yang kuberikan padamu harus menjadi pegangan hidupmu sampai
mati. Lakukan apa yang diperintah Gusti Allah, jauhkan apa yang dilarang-Nya. Tetapi
ada satu hal muridku. Selama kedua kaki kita masih menginjak bumi selama itu
pula pertanda bahwa kita ini masih hidup di dunia. Hidup di dunia dipengaruhi
oleh dua hal. Yaitu kebaikan dan kejahatan. Dunia penuh dengan hasut dan
fitnah. Penuh dengan setan-setan yang gentayangan. Setan-setan yang tidak
kelihatan, yang berupa mahluk-mahluk halus, tidak perlu kau khawatirkan. Yang
harus kau perhatikan justru setan-setan kasar berwujud manusia. Manusia mahluk
paling terpuji. Tapi karena banyak akal maka manusia juga bisa menjadi mahluk
keji. Contohnya itu manusia-manusia yang telah membunuh ayahmu secara keji.
Mereka lebih jahat dari iblis! Lebih busuk dari Setan!”
“Orang-orang
itulah yang akan aku cari kek!” terdengar suara Wilani agak tersendat.
Si kakek tarik
nafas panjang. “Dendam adalah urusan dunia yang tidak pernah habis. Itu
tandanya kita hidup di dunia. Membela keluarga, apalagi membela kehormatan dan
ayah sendiri sama saja dengan melakukan perang sabil. Namun muridku….
Ketahuilah, di belakang setiap dendam dapat mengendalikannya. Karena itu
Wilani, jika kau membalaskan sakit hati dendam kesumat pembunuhan atas diri
ayahmu, lakukanlah dengan penuh perhitungan serta keadilan.
Usahakan
agar kau jangan sampai membunuh orang-orang itu, kecuali jika tak ada jalan
lain atau dalam keadaan sangat terpaksa. Kau dengar kata-kataku ini, Wilani?”
“Aku
dengar kek dan akan kujadikan pegangan,” jawab Wilani.
“Bagus!
Setelah selesai sembahyang subuh kau boleh meninggalkan Cemoro Sewu ini…”
Wilani
memeluk gurunya lalu berkata. “Kek, selama dua belas tahun aku tinggal
bersamamu di bukit ini, banyak hal telah kupelajari darimu. Banyak hal telah
kuketahui. Namun ada satu hal yang masih gelap bagiku.”
“Ah…..
Hal apakah ituuridku?” tanya si kakek sambil tersenyum-senyum karena diam-diam
dia sudah dapat menduga apa yang bakal ditanyakan muridnya.
“Sampai
saat ini aku tidak tahu siapa nama kakek….”
Orang tua
berkaki buntung itu tertawa mengekeh.
“Nama….!
Itu juga salah satu urusan manusia di dunia yang fana ini! Siapa namaku apakah
ada artinya bagimu?”
“Tentu
saja kek! Setiap manusia pasti punya nama,” jawab Wilani.
“Tapi aku
tidak,” ujar si kakek pula. “Kau boleh memberi nama siapa atau apa saja. Itu tidak
akan merubah diriku. Seorang tua bangka reot berkaki buntung dan akan tetap
seperti itu! Hik… hik…hik!”
Wilani
terdiam sesaat.
“Baiklah
kalau kakek tidak mau memberi tahu nama….”
“Bukan
tidak mau, karena memang dari kecil bahkan dari orok tidak ada yang memberi
nama padaku! Kedua orang tuaku mati tenggelam ketika terjadi banjir bandang
puluhan tahun lalu. Aku dihanyutkan banjir ke dalam sebuah rimba belantara.
Hidup dan dibesarkan alam seorang diri.
Hanya
berteman beberapa ekor monyet dan beberapa ekor biatang buas. Untung kemudian
ada seorang pencari kayu yang menemukanku dan memungutku jadi anak. Ketika usia
delapan tahun aku diserahkan pada seorang pandai. Tapi orang tua angkatku itu
juga alpa. Mereka tidak memberi nama apapun padaku! Hik… hik…. hik!”
“Kalau
begitu boleh aku mencarikan nama untuk kakek?”
“Pasti
cocok kalau kau yang mencarikannya!” jawab orang tua itu.
“Aku…
Hemm… Biar kau kuberi nama Datuk Buntung Cemoro Sewu! Bagaimana?”
“Nama
hebat! Aku mengucapkan terima kasih padamu Wilani. Paling tidak, kalau nanti
aku mati, akan ada orang menuliskan nama itu di papan nisanku! Hik… hik… hik!”
Si kakek tepuktepuk bahu muridnya.
“Kek,
sebelum aku pergi, aku ingin mengulang nama-nama orang yang harus kucari itu
agar tidak kesalahan tangan….”
“Bagus! Itu
memang bagus! Cobalah kau menyebutkan keempatnya, lima dengan ibu tirimu itu….”
“Pertama
Randulawang. Jabatan Ketua Perserikatan Silat Bintang Biru. Usia saat ini
sekitar tiga puluh delapan tahun. Kedua Rea Pamungkas, jabatan Ketua
Perkumpulan Silat Gading Putih merangkap anggota pengurus Perserikatan Silat
Bintang Biru. Usia saat ini sekitar enam puluh tahun. Orang ketiga bernama
Wirasaba, jabatan sama dengan Rea Pamungkas merangkap Ketua Perkumpulan Silat
Mustika Ratu, berumur sekitar enam puluh lima tahun. Orang ke empat dikenal
dengan nama Kajenar, Ketua perkumpulan Silat Elang Laut. Juga menjabat sebagai
pengurus perserikatan. Umurnya paling lanjut, saat ini sekitar tujuh puluh
tahun. Yang terakhir ibu tiriku sendiri bernama Juminten, usia tiga puluh
tahun, sekarang adalah istri dari Randulawang.”
Ternyata
kau masih ingat kelima nama itu. Apa kau masih ingat wajah-wajah mereka
Wilani?”
“Samar-samar,
kek. Tapi jika aku bertemu dengan mereka kembali, pasti aku akan dapat
mengenali….”
Si kakek
mengangguk. “Ingat baik-baik muridku. Kelima manusia itu sama jahat dan
liciknya. Tapi bukan berarti di luar mereka di dunia ini semua orang adalah
baik. Karenanya selalu berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatunya. Jangan
lekas percaya pada seseorang yang kelihatannya begitu baik dan selalu hendak
menolong. Karena di balik kebaikan dan pertolongan itu mungkin tersembunyi niat
jahat dan hendak menggolong.
Sebaliknya
juga jangan lekas curiga pada seorang berwajah buruk dan bersikap aneh. Karena
di balik wajah dan sikap itu mungkin ada sifat baik yang tadinya sulit
diterka…”
“Terima
kasih atas semua nasihatmu, kek. Ijinkan aku mengambil air sembahyang untuk
solat Subuh….”
Si kakek
mengangguk. Sekali lagi dia memeluk murid tunggalnya itu. Ketika Wilani
berlalu, orang tua yang kini mendapat nama Datuk Buntung Cemoro Sewu itu
menarik nafas lega.
“Lega
rasanya dada ini sekarang. Kalaupun aku mati hari ini, kepandaianku sudah ada
yang mewarisi!”
*****************
2
MASA DUA
BELAS TAHUN SEBELUM WILANI DILEPAS OLEH DATUK
BUNTUNG
CEMORO SEWU………………..
Perserikatan
Silat Bintang Biru sedang naik daun. Namanya menjulang mengatasi belasan
perguruan silat yang berdiri jauh sebelumnya. Anak murid perserikatan berjumlah
ribuan orang, tersebar di delapan penjuru tanah Jawa. Semua ini berkat
kepemimpinan Adi Juwono yang dijuluki Raja Tombak Delapan Penjuru Angin. Gelar
ini disandangnya tidak percuma karena dia memiliki sebuah senjata pusaka yakni
sebuah tombak besi berlapis emas. Dalam keadaan biasa tombak ini panjangnya
hanya sekitar tiga jengkal. Tapi jika bagian-bagiannya ditarik, senjata ini
bisa berubah menjadi sepuluh jengkal.
Pada
mulanya Perserikatan Silat Bintang Biru didirikan dan berasal dari empat buah
perguruan silat besar yaitu Perkumpulan Silat Bumi Leluhur pimpinan Randulawang,
Perkumpulan Silat Gading Putih pimpinan Rae Pamungkas, lalu Perkumpulan Silat
Mustika Ratu di bawah kepemimpinan Wirasaba dan yang ke empat Perkumpulan Silat
Elang Laut diketuai oleh Kajenar.
Adi
Juwono satu-satunya tokoh persilatan yang tidak memiliki perguruan atau
perkumpulan secara resmi walaupun muridnya bertebaran dimana-mana. Dia menjadi
tokoh silat tunggal yang dihormati dan disegani kawan maupun lawan.
Dibandingkan dengan ilmu kepandaian para ketua empat perkumpulan silat lainnya,
Adi Juwono dua tingkat lebih tinggi dari mereka. Karena itulah ketika kelimanya
bergabung di bawah bendera Perserikatan Silat Bintang Biru semua pimpinan
perkumpulan silat sama menyetujui untuk mengangkat Adi Juwono sebagai Ketua
mereka. Empat lainnya memang jabatan sebagai Wakil Ketua dan jabatan
masing-masing sebagai Ketua pada perkumpulan silat mereka tetap tidak berubah.
Kemajuan
yang dicapai oleh Perserikatan tentu saja mengangkat nama dan derajat sang
ketua yaitu Adi Juwono. Meskipun nama dan derajat empat wakil ketua ikut
terangkat namun ada di antara mereka yang merasa iri. Apalagi ketika ada yang
mengkobar-kobarkan bahwa Adi Juwono sebenarnya tidak pantas menjadi ketua
karena tidak memiliki perkumpulan silat. Lalu ada yang memfitnah bahwa sang
ketua sebenarnya tidak melakukan apa-apa, yang bekerja keras untuk perserikatan
adalah empat wakil ketua.
Lama
kelamaan, suasana ini menjadi seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa
meledak. Malangnya Adi Juwono sama sekali tidak arif akan apa yang terjadi
secara diam-diam di belakangnya. Hal ini karena semua orang dilihatnya bermanis
muka dan berbaik turun sapa dihadapannya. Bahkan Adi Juwono sama sekali tidak
mengetahui bahwa Juminten, isteri mudanya yang berusia 18 tahun yang
dinikahinya setahun setelah isteri tuanya meninggal, ikut terlibat dalam
komplotan keji yang kelak menimbulkan bencana bagi diri dan anak-anaknya.
*****************
MALAM ITU
HUJAN turun rintik-rintik. Sesosok tubuh tampak bergerak membungkukbungkuk di
belakang bangunan besar lalu menyelinap mendekati kandang kuda. Di sini sosok
tersebut diam sejenak, memandang berkeliling meneliti keadaan. Ketika
dirasakannya aman maka cepat didorongnya pintu tempat penyimpanan jerami kering
lalu menyelinap ke dalam. Orang ini duduk tak bergerak di sudut ruangan, di atas
setumpuk jerami. Dia memasang kedua telinga, mendengarkan setiap bunyi yang ada
di luar. Kemudian lapat-lapat dia mendengar suara kaki melangkah mendekati
kandang kuda. Diam sesaat. Tak lama kemudian terdengar pintu ruangan jerami
berkereketan, lalu masuklah seorang berpakaian hitam tebal yang wajahnya
ditutup dengan sehelai sapu tangan besar.
“Di
sini….,” terdengar suara berbisik dari sudut ruangan jerami yang gelap.
Orang
yang barusan masuk melangkah ke jurusan datangnya suara itu lalu menjatuhkan
diri di hadapan orang yang mendekam di sudut. Nafasnya terdengar mengengah.
“Mas
Randu…. Terlalu berbahaya pertemuan ini. Kalau sampai ada yang melihat….” Orang
yang berusaha duduk berbisik. Ternyata suaranya adalah suara perempuan. Dan
ketika dia membuka sapu tangan yang menutupi wajahnya, dalam gelap kelihatan
sekilas wajahnya. Dia adalah Juminten. Isteri Ketua Perserikatan Silat Bintang
Biru. Dan lelaki yang duduk di hadapannya adalah Randulawang, Wakil Ketua
Perserikatan.
“Tak ada
yang perlu dikhawatirkan Juminten. Asal kita bicara berbisik-bisik. Semua orang
berada di bangsal utama tengah mendengarkan fatwa dari guru agama yang datang
dari Demak.
Suamimu
juga masih belum kembali bukan?”
“Betul.
Para wakil ketua sudah kuhubungi. Mereka sama menyetujui walau aku masih kurang
yakin dengan si Kajenar itu. Kita hanya tinggal menyusun rencana serta hari
pelaksanaannya saja…. Dan semua itu kuncinya berada di tanganmu dik Juminten.”
“Di
tangan saya…?” tanya perempuan berusia delapan belas tahun itu keheranan.
“Benar,”
sahut Randulawang seraya mendekap pipi Juminten dengan kedua telapak tangannya
lalu merangkul isteri Ketua Perserikatan itu kedadanya. “Apa yang akan kau
lakukan sederhana dan mudah sekali. Namun sangat menentukan….. Setelah itu
kamisemua yang akan mengatur.”
“Apa yang
harus saya lakukan mas Randu…?”
Randulawang
yang berusia dua puluh enam tahun itu tidak segera menjawab melainkan memeluk
dan menciumi Juminten terlebih dulu penuh nafsu hingga perempuan itu kelagapan.
Setelah
Juminten ikut terpengaruh nafsunya barulah dia membisikkan rencananya.
Juminten
terkejut ketika mendengar ucapan Randulawang itu.
“Tak
mungkin saya melakukan hal itu, mas Randu. Sama saja dengan mengkhianatinya.
Lagi pula
saya tidak tega. Mas Adi Juwono punya anak yang masih kecil-kecil. Wilani enam
tahun dan Ario Seno sepuluh tahun…. Kasihan mereka.”
Randulawang
tertawa perlahan. Sambil terus membakar gairah Juminten dengan rabaanrabaan
tangannya dia berkata. “Mengapa musti memperdulikan kedua anak itu. Dia bukan
darah dagingmu dik Juminten. Lagi pula kebahagiaan hidup apa yang kau bakal
dapat dari suami yang selalu sakit-sakitan itu. Dalam usianya yang hampir enam
puluh tahun dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dukun untuk berobat
dari pada berada di dekatmu. Kau masih muda, perlu hiburan dan suamimu tidak
mampu memberikan kebahagiaan padamu. Apa kau hendak bertahan sampai kau sendiri
nati jadi nenek reot? Mas Adi bukan pasanganmu. Dia terlalu tua. Usia kalian
terpaut hampir empat puluh tahun. Apa tidak gila itu namanya?!”
Juminten
terdiam dan kembali luluh ketika dipeluk oleh Randulawang dan menggelinjang
sewaktu hidung lelaki ini menggeser di belakang telinganya.
“Kau
lebih cocok menjadi isteriku Juminten. Aku bersumpah akan mengambilmu jadi
isteriku kalau rencana kita selesai. Kau akan bahagia sebagai isteri Ketua
Perserikatan yang baru.
Aku bawa
kau kemana aku berkunjung. Tidak seperti sekarang kau selalu ditinggal-tinggal
oleh mas Adi Juwono.”
“Mas
Randu. Beri aku waktu untuk berpikir…,” berbisik Juminten seraya tangan kanannya
mengusapi dada Randulawang yang penuh ditumbuhi bulu.
“Tak ada
waktu lagi Juminten. Semua harus dilakukan dengan cepat. Rencana untuk
mengundangnya sudah disiapkan dua hari setelah dia kembali dari berobat.
Setelah itu segala kebahagiaan akan menjadi milikmu sayangku….”
Juminten
hanya bisa diam, tak mampu keluarkan ucapan untuk menjawab.
“Aku
tahu…,” bisik Randulawang kembali. “Walau kau tidak mengeluarkan sepatah
katapun sebagai ucapan tapi aku tahu hatimu menyetujui rencana ini. Hatimu
lebih dekat padaku daripada ke suamimu…..”
Hidung
Randulawang menyusup ke celah dada perempuan itu. Juminten menggeliat dan
merangkulkan kedua tangannya ke punggung lelaki itu ketika Randulawang
merebahkan tubuhnya di atas tumpukan jerami kering.
*****************
3
SUATU
MALAM YANG SEJUK sebuah kereta tampak meluncur menuju Plered. Yang menjadi sais
adalah Adi Juwono sendiri, Ketua Perserikatan Silat Bintang Biru. Di sampingnya
duduk Juminten. Di sebelah belakang sambil tertawa-tawa duduk Wilani dan Ario
Seno, kakak beradik putera-puteri Adi Juwono dari mandiang istri pertamanya.
“Sahabat-sahabatku
itu ada-ada saja,” terdengar Adi Juwono berucap. “Mengundang makan malam di
Plered. Katanya ada hiburan serombongan pemain gamelan dari Pajang segala….”
“Saya
dengar salah seorang dari mereka berulang tahun hari ini,” menyahuti Juminten.
“Siapa?”
tanya suaminya.
“Mungkin
mas Wirasaba.”
Kereta
itu meluncur terus tapi sebentar-sebentar kuda coklat yang menarik kereta
nampak seperti liar dan meringkik berulang kali.
“Kuda ini
tidak seperti biasanya. Meringkik terus sejak tadi…,” kata Adi Juwono. Sang
istri diam saja.
Di sebuah
pendakian, kereta berhenti di depan sebuah bangunan kayu yang terletak di dekat
sungai kecil. Siang hari pemandangan di sekitar tempat ini indah sekali.
Beberapa lampu minyak besar tampak menyala menerangi bangunan itu.
Ketika Adi
Juwono menolong istri dan anaknya turun dari kereta, tiga orang keluar dari
bangunan. Mereka adalah Randulawang, Wirasaba dan Rae Pamungkas.
“Ada
undangan istimewa malam ini rupanya!” kata Adi Juwono. “Siapa yang berulang
tahun?”
“Saya
mas…,”jawab Wirasaba.
“Selamat
kalau begitu.” Lalu Adi Juwono memeluk sahabatnya itu. Kemudian mereka
beriringan menuju rumah di tepi sungai.
Di
sebelah belakang Rae Pamungkas berbisik pada Randalawang. “Ketua ternyata
membawa serta kedua anaknya. Ini diluar dugaan, diluar rencana. Bagaimana
ini…?”
“Tak usah
khawatir. Serahkan padaku…,” jawab Randulawang.
“Aku tak
melihat saudara tua kita mas Kajenar,” kata Adi Juwono.
“Dia jadi
pelayan di dalam. Sibuk menyiapkan hidangan….” Jawab Randulawang.
“Eh,
kalau tak salah kalian bilang ada hiburan gamelan dari Pajang. Mana…? Mengapa
sepisepi saja?”
“Itu yang
mengesalkan saya mas Adi,” jawab Randulawang. “Sampai saat ini mereka masih
belum muncul. Kabarnya hujan lebat turun di hulu. Mungkin mereka sulit
menyeberang sungai.”
“Pesta ulang
tahun hanya kita saja. Tidak mengundang orang-orang atau para sahabat lainnya?”
tanya Adi Juwono lagi.
“Biayanya
terbatas mas Adi. Jadi biar kita-kita saja…,” sahut Wirasaba sambil mengulum
senyum.
Rombongan
itu sampai di dalam rumah dimana telah tersedia sebuah meja besar berisi
berbagai macam hidangan dan minuman yang lezat-lezat. Sang ketua duduk di
kepala meja sebelah kanan sedang Juminten di kepala meja di seberangnya.
Anak-anak Adi Juwono duduk mengapit sang ayah. Wirasaba di samping kanan ketua,
disebelah kiri Randulawang, lalu berturut-turut Rae Pamungkas dan Kajenar
saling berhadapan.
Setelah
mengobrol sambil sesekali tertawa bergelak yang kelihatannya begitu akrab maka
santap malampun dimulai. Selesai makan masih dihidangkan beberapa penganan dan
buah-buah cuci mulut. Sebelum pertemuan ditutup, Kajenar menghidangkan kopi
hangat sementara dua anak tampak mulai mengantuk.
Setelah
batuk-batuk beberapa kali Rae Pamungkas membuka mulut. Suaranya mula-mula agak
bergetar. Namun kemudian ucapnya lancar juga.
“Mas Adi
Juwono. Sambil menunggu turunnya panas kopi, mengutarakan sesuatu. Kalau ketua
tidak berkeberatan….”
Adi
Juwono agak heran mendengar ucapan Rae Pamungkas itu. “Ah, tentu saja. Silakan
mengutarakan apa saja. Di sini mungkin kita lebih leluasa, tidak diganggu oleh
kesibukan seperti di perkumpulan….”
Rae
Pamungkas memandang pada ke tiga wakil ketua. Dua orang nampak duduk dengan
sikap gagah, hanya Kajenar yang menundukkan kepala.
“Baik mas
Adi. Saya langsung saja pada pokok masalahnya. Sejak beberapa waktu lalu kami
mendapat kabar disertai bukti-bukti bahwa mas Adi ingin menyingkirkan kami dari
kedudukan wakil ketua Perserikatan….”
“Astaga!
Pembicaraan apa ini dimas Rae?!” tanya Adi Juwono dengan suara keras dan
sepasang mata membesar. Wajahnya jelas berubah. Sang Ketua memandang
berkeliling.
Randulawang
dan Wirasaba menatap tak berkesip ke arahnya. Kajenar masih saja menundukkan
kepala.
“Tenang
mas Adi. Pembicaraan saya belum selesai,” ujar Rae Pemungkas pula. “Maksud
untuk menyingkirkan kami berempat bukan hanya menyangkut kedudukan kami sebagai
wakil ketua, tetapi bahkan lebih jahat dari itu. Mas Adi hendak menghabisi kami
semua!”
“Ini
gila!” teriak Adi Juwono seraya menggebrak meja dan bangkit dari kursinya.
Papan meja hancur berantakan. Makanan dan minuman tumpah berpelantingan.
“Ini
tidak gila!” teriak Randulawang sambil memukul meja pula dengan tangan kanannya.
Untuk
kedua kalinya meja itu jadi porak poranda. “Ini tidak gila….”
“Kalau
tidak gila maka ini adalah fitnah!” teriak Adi Yuwono. “Tidak gila dan juga
bukan fitnah!” sahut Randulawang seraya berdiri dari kursinya. “Rencana keji
hendak membunuh kami itu secara tidak sengaja telah mas Adi ceritakan pada
Juminten. Istri mas Adi sendiri!” Adi Juwono kini benar-benar membelalak.
“Aku,
menceritakan maksud jahat hendak membunuh kalian pada istriku? Edan!” Kedua
tangan ketua perserikatan itu tampak terkepal dan dadanya turun naik tanda ada
yang menggelegak di dalam tubuhnya.
Randulawang
berpaling pada Juminten lalu berkata:
“Dik
Juminten, coba katakan dengan jelas rencana apa yang dikatakan mas Adi terhadap
kami dan kapan dia mengatakan hal itu pada dik Juminten!”
Paras
Juminten yang cantik sesaat tampak kemerahan. Tubuhnya seperti menggigil.
“Tak usah
takut dik Juminten. Katakan saja apa yang dik Juminten ketahui,” berkata
Wirasaba.
“Waktu
itu…waktu itu hari pertama bulan haji sekitar dua minggu lalu. Mas Adi entah
mengapa menceritakan pada saya bahwa dia hendak menghabisi riwayat empat wakil
ketua perserikatan. Katanya… selama ini mereka selalu merongrong, memfitnah dan
menghabiskan harta dan uang perserikatan untuk kepentingan pribadi. Lalu….”
“Kurang
ajar! Kalian semua pasti telah berkomplot mengarang cerita busuk! Busuk!!!”
Teriak
Adi Juwono. Dalam marahnya ketua perserikatan itu membalikkan meja besar.
Juminten menjerit. Dua anak Wilani dan Ario Seno ikut memekik lalu menangis.
“Kau yang
busuk Adi Juwono!” membentak Randulawang. Dari bawah meja dikeluarkannya sebuah
penggada batu. Dengan benda ini dihantamnya kepala ketua perserikatan dari
belakang. Adi Juwono yang masih sempat melihat cepat merunduk sambil
mengirimkan tumitnya ke perut Randulawang;
Terdengar
dua kali suara bergedebuk. Yang pertama suara penggada yang meleset dari kepala
dan kini menghantam punggung Adi Juwono. Yang kedua suara tumit sang ketua yang
sempat melabrak perut Randulawang hingga orang ini terpental dan gadanya lepas
dari tangan.
Juminten
menjerit, lalu tersandar ke dinding sebelum melosoh ke lantai. Wilani dan Ario
Seno sama memekik ketakutan.
Hantaman
pada punggungnya yang keras bukan saja membuat tulang punggungnya remuk tapi
mengakibatkan ketua perserikatan itu terbanting ke lantai. Sebelum dia sempat
berdiri Wirasaba sudah mendorong kepalanya. Kembali ketua perserikatan itu
terbanting ke lantai. Lalu tampak Wirasaba dan Rae Pamungkas sama-sama mencabut
sembilah keris. Sedang Randulawang memungut penggada yang terjatuh dilantai. Dua
keris dan satu penggada kemudian bertubi-tubi menghantam tubuh Adi Juwono.
Darah membasahi lantai!
Sambil
terus menjerit-jerit Wilani dan Ario Seno lari ke sudut ruangan, coba
bersembunyi di balik sebuah lemari pajangan.
Rae
Pamungkas cepat memberi isyarat pada Randulawang.
“Tak ada
jalan lain dimas Randu. Kedua anak itu harus dihabisi. Kalau tidak bisa jadi
masalah dikemudian hari!”
“Dua
kurcaci itu biar aku yang membereskan! Kalian teruskan menggebuk ketua keparat
itu. Pastikan betul bahwa dia benar-benar mampus baru berhenti membantai!”
Habis berkata begitu Randulawang buang penggadanya lalu cabut sebilah pisau.
Dia melangkah mendekati Ario Seno. Anak usia sepuluh tahun ini semakin keras
jeritannya karena ketakutan. Mulutnya terbuka lebar. Saat itulah seperti telah
dirasuk setan, Randulawang tusukkan pisaunya kemulut Ario Seno. Pisau menembus
lidah dan tenggorokan anak ini, membabat putus sebagian dari anak lidahnya.
Darah mengucur deras. Jeritan anak ini serta merta lenyap.
Belum
puas Randulawang angkat tubuh Ario Seno lalu lemparkan anak ini ke dalam sungai
yang mengalir di dekat bangunan.
“Beres
yang satu. Sekarang tinggal satu lagi!” kata Randulawang seraya melompat ke
hadapan si kecil Wilani. Anak perempuan enam tahun ini menjerit setengah mati.
Pisau di tangan Randulawang membabat ke arah leher.
Sesaat
lagi senjata tajam itu akan menggorok leher si kecil Wilani tiba-tiba ada angin
berkesiuran. Randulawang terpekik. Sesuatu menghantam keningnya hingga luka dan
mengucurkan darah. Bersamaan dengan itu pisau ditangan kanannya mental. Satu
tendangan mendarat di pergelangannya. Selanjutnya dia dapatkan dirinya seperti
dibanting ke dinding ruangan.
Pemandangannya
agak berkunang tapi dia masih sempat melihat sesosok bayangan hitam berkelebat
menyambar tubuh Wilani. Dia berteriak pada Rae Pamungkas dan Wirasaba. Dua
orang yang juga melihat bayangan sosok hitam itu coba mengejar. Namun orang itu
telah lenyap bersama Wilani dalam kempitannya.
Terhuyung-huyung
Randulawang melangkah ke tengah ruangan. Udara malam berbau amisnya darah ini.
Tiba-tiba Randulawang membalik ke arah Kajenar yang sejak tadi hanya berdiri
dekat pintu ruangan dengan muka pucat dan tubuh basah keringatan.
“Manusia
banci!” teriak Randulawang. “Sejak tadi kau hanya mematung di situ!”
“Jangan
harap kau bakal dapat bagian Kajenar!” Ikut berteriak Rae Pamungkas.
“Aku
memang tidak ingin bagian apa-apa!” jawab Kajenar yang saat itu berusia 58
tahun.
Paling
tua diantara mereka semua. “Aku memang ingin jabatan lebih tinggi dan harta
serta uang melimpah. Tapi bukan begini caranya! Dari dulu aku sudah tidak
setuju akan maksud keji kalian!
Dan
ternyata kalian melakukannya lebih biadab dari rencana gila itu!”
“Tutup
mulutmu!” teriak Randulawang seraya acungkan tangannya yang memegang pisau
berdarah.
“Pergi
dari sini sebelum kusobek mulutmu dengan keris ini, Kajenar!” Rae Pamungkas
ikut acungkan keris di tangan kanannya.
Kejenar
menyeringai kecut. “Aku memang akan pergi. Aku muak melihat kebiadaban kalian.
Kalian
bertiga dan juga perempuan jahanam ini boleh mendapatkan harta dan uang serta
kedudukan milik dimas Adi Juwono. Tapi jangan lupa semua harta, uang dan
kedudukan itu bergelimang darah!
Kelak
suatu ketika hukum karma akan menimpa kalian….”
“Bangsat!”
“Anjing!”
Dua buah
senjata tajam meleset ke arah Kejenar. Tapi orang itu telah menyelinap
meninggalkan tempat itu. Pisau yang dilemparkan Randulawang menancap di tiang
pintu sedang keris yang dilemparkan Rae Pamungkas menghunjam pada daun pintu.
*****************
4
PADA
ALIRAN SUNGAI MENJELANG muara itu banyak sekali ditemui kepiting besar yang
berenang dari laut menuju mulut sungai karena perputaran air di sini lebih
hangat dari sekelilingnya. Walaupun kepiting merupakan jenis ikan yang sangat
disukai orang dan laku dijual dengan harga tinggi, namun tidak ada para nelayan
yang berani datang mencari kepiting ke muara sungai itu. Hal ini disebabkan
semua nelayan dan penduduk sekitar muara mengetahui bahwa di tempat itu diam
sepasang suami istri kakek-nenek aneh.
Pagi itu
langit agak mendung. Ombak bergulung besar dan kepiting dari laut ratusan
banyaknya berlomba-lomba menuju muara sungai.
Di atas
dua potong papan kecil, di muara sungai tampak duduk seseorang kakek dan
seorang nenek sambil bernyanyi-nyanyi. Pada papan yang mereka duduki dan
mengambang di atas air, penuh dengan kepiting-kepiting besar. Malah binatang
yang sanggup mencabut daging tubuh itu menjalar sampai ke kaki, tubuh dan
kepala dua orang tua tersebut. Tapi anehnya keduanya tenangtenang saja. Malah
sambil menyanyi-nyanyi mereka mulai mengambil kepiting-kepiting itu satu demi
satu, mencopot kaki-kakinya, merobek kulit badannya yang atos, lalu mengorek
isi tubuhnya yang putih dan menenggaknya mentah-mentah!
“Sudah
berapa kau telan?!” Si nenek bertanya. “Baru empat puluh sembilan ekor!” jawab
si kakek.
“Si
lamban tolol! Aku sudah mau seratus!” berkata si nenek.
“Ah,
siapa sih yang tidak kenal kau bune! Nenek terakus di dunia! Hik… hik… hik!”
Di ejek
begitu si nenek anteng-anteng saja dan terus melahap kepiting-kepiting yang
berjalaran di sekujur kaki, badan dan kepalanya.
Seekor
kepiting nakal, entah bagaimana tahu-tahu menyelinap dibalik kain panjang si
nenek, terus merayap ke pangkal pahanya!
Si nenek
terlompat menjerit dan singsingkan kain panjangnya tinggi-tinggi. Begitu
dilihatnya kepiting satu itu segera saja dicantilnya hingga pecah berantakan.
Di sini jelas terjadi dua keanehan. Pertama ketika melompat, si nenek masih di
atas potongan papan yang mengambang.
Tapi
papan itu sama sekali tidak terbalik dan si nenek tidak sampai kecebur ke dalam
sungai.
Lalu
caranya menyentil kepiting besar tadi, orang biasa mustahil sanggup membuat
binatang berkulit keras itu hancur berantakan! Lalu mana ada manusia yang makan
kepiting seperti itu? Dan kepiting bisa menjapit putus jari-jari manusia,
binatang-binatang ini juga mengandung racun jahat yang bisa mematikan!
“Kepiting
sialan! Dikiranya aku ini apa!” mengomel si nenek.
“Mungkin
sejak kemarin kau kencing belum cebok bune!”
Kata si
kakek lalu dia kembali tertawa cekikikan.
Selagi
kedua orang tua ini asyik bersantap kepiting, tiba-tiba tardengar si kakek
berseru.
“Bune!
Lihat ada benda menggelundung ke arahmu!”
Si nenek
berpaling ke arah yang ditunjuk. Benar. Sebuah benda tampak digulirkan arus
sungai ke arahnya. Si nenek ulurkan kaki kirinya menahan benda itu. Ketika
matanya memperhatikan terkejutlah perempuan tua ini.
“Astaga!”
“Apa yang
astaga bune?!” bertanya si kakek.
Lalu
berusaha mendekati istrinya.
“Lihat
pakne! Benda ini bukan benda sembarangan! Tapi seorang anak manusia!”
Dengan
ujung-ujung jari kakinya si nenek menjepit lengan kanan si anak lalu menyentakkannya
ke atas. Sosok anak itu melayang ke udara, begitu jatuh segera di tangkapnya.
“Kau
betul! Seorang anak manusia! Anak lelaki! Ah, siapa yang tega membuang anak ke
dalam sungai?!”
“Mungkin
bukan dibuang, tapi celaka hanyut!” ujar si kakek. “Serahkan bocah itu biar
kuperiksa!”
Si nenek
lemparkan anak yang di dapatnya dari dalam air dan si kakek cepat menangkapnya.
Mula-mula
dipegangnya anak itu pada kedua kakinya lalu diangkat tinggi-tinggi hingga air
kelihatan mengucur keluar dari mulutnya.
“Eh, air
dalam perut anak ini bercampur darah!” seru si kakek. Lalu cepat si anak
dipangkunya. Mulut si anak yang terkancing dibukanya lebar-lebar. Si kakek
mengerenyit. “Ada bekas luka di lidahnya. Lidah ini hampir putus!
Tenggorokannya robek! Lukanya seperti mengandung racun! Tampaknya seperti
ditusuk dengan senjata tajam beracun….”
“Pakne!
Dari tadi kau memeriksa dan menceloteh! Apa sudah kau pastikan anak itu masih
hidup atau sudah jadi bangkai?!”
“Eh!” si
kakek terkejut. “Kau betul!” Lalu buru-buru dada si anak ditekapkannya ke
telinga kirinya. Kedua matanya membelalang.
“Dig-dug…
dig-dug… dig-dug! Bune! Bocah ini masih hidup!” seru si kakek kemudian.
“Kalau
begitu lekas bawa ke darat. Terus saja ke rumah kita! Tujuh puluh tahun kawin
tidak punya anak. Mungkin bocah itu rejeki kita dari Gusti Allah!”
“Tentu!
Tentu akan kubawa ke darat!” jawab si kakek. Lalu dari atas papan kecil itu si
kakek menggenjot tubuhnya. Kakek tua sambil mengepit anak itu tampak melesat ke
darat. Begitu mendarat di tepi sungai orang tua ini terus lari ke arah sebuah
gubuk di bawah sebatang pohon besar.
Tak lama
menunggu muncul istrinya. Tapi si nenek tidak datang sendirian. Dia tampak
menyeret sesosok tubuh yang sudah jadi mayat! Si kakek memperhatikan tubuh yang
diseret si nenek sesaat lalu berseru. “Yang sudah jadi bangkai itu tak perlu
diurus dulu! Bantu aku menyelamatkan anak ini! Dia terluka dibagian mulut dari
keracunan!”
Si nenek
lalu ikut memeriksa. Lalu dia menghela nafas panjang. “Sulit ditolong walaupun
dengan mempergunakan racun kepiting,” berkata si nenek. “Kalaupun dia bisa
hidup hanya ada satu dari dua pilihan. Anak ini akan gagu seumur hidup, atau
gila selama hayatnya!”
“Lalu
mana yang kau pilih?!” bertanya si kakek.
“Lebih
baik dia jadi orang gagu daripada jadi manusia gila!” Sahut si nenek. Lalu
perempuan tua ini lari kembali ke muara. Ketika kembali dia membawa lebih dari
selusin kepiting besar yang mengandung racun.
“Kau buka
mulutnya lebar-lebar! Aku akan kucurkan racun kepiting untuk membunuh racun
senjata yang ada dalam mulutnya!”
Si kakek
lalu buka mulut anak itu lebar-lebar. Istrinya cepat mengambil seekor kepiting.
Terdengar
suara berderak sewaktu kepiting besar itu diremasnya. Lalu tampak cairan putih
menetes dan langsung dimasukkan ke dalam mulut si anak. Begitu terus dilakukan
sampai semua kepiting yang dibawanya habis diperas.
“Nyalakan
api,” kata si nenek. “Anak ini harus dihangati terus menerus sampai dia
akhirnya siuman.
Menurut
perhitungan, melihat kulitnya yang tidak berdarah serta tebalnya lumut yang
melekat di badannya, paling tidak anak ini sudah satu hari satu malam
dihanyutkan air sungai.
Hanya
anak luar biasa yang sanggup bertahan hidup selama itu. Anak ini bukan anak
sembarangan!”
“Bagaimana
dengan mayat satu itu? Apa kau bisa mengenali siapa orangnya?” tanya si kakek.
Sang
istri menggeleng. “Mukanya rusak berat. Seperti dicacah dengan senjata tajam.
Sebagian tubuhnya remuk…”
“Menurutmu
apa ada hubungan antara bocah lelaki ini dengan orang itu?”
“Hemm…”
si nenek merenung. “Tidak mustahili” jawabnya kemudian.
“Kalau
begitu jenazahnya tidak boleh kita buang ke sungai atau ke laut. Nanti kita
kuburkan sama-sama!”
Si nenek
mengangguk tanda setuju akan apa yang dikatakan suaminya. Sepasang matanya
beralih kini memandangi anak yang masih pingsan itu. Tiba-tiba matanya membesar
dan makin besar.
“Eh,
kenapa kau bune? Seperti melihat setan sungai atau jin laut?!” menegur si
kakek.
“Kita
tolol dan buta! Coba kau perhatikan susunan tulang anak ini! Menurut taksiranku
usianya tak lebih sepuluh tahun. Tapi ruas tulangnya sekokoh pemuda tujuh belas
tahun. Dan coba kau perhatikan liku-liku susunan tulangnya! Ayo periksalah…!”
Si kakek
turuti apa yang dikatakan istrinya, lalu dia berpaling memandang pada si nenek.
Tiba-tiba
kedua orang ini sama-sama melompat dan saling berjingkrakan!
“Kita
menemukan calon murid! Akhirnya malah datang sendiri! Bersyukurlah!” ujar si
nenek.
Kedua
orang tua itu sama jatuhkan diri berlutut di tanah dan menampungkan kedua
tangan ke atas memanjatkan puji syukur pada Yang Maha Kuasa. Setelah itu
keduanya kembali melompat dan berjingrak-jingkrak kegirangan!
*****************
5
SESUAI
PETUNJUK GURUNYA, Wilani meninggalkan bukit Cemoro Sewu dengan menyamar sebagai
seorang pemuda. Setelah dua hari dua malam menempuh perjalanan akhirnya murid
Datuk Buntung ini sampai di pinggiran Kotaraja ketika terjadi suatu keributan.
Seekor kerbau besar bertanduk panjang runcing entah sebab apa tiba-tiba
mengamuk dan lari ke tengah pasar.
Karuan
saja seisi pasar jadi kacau balau. Para pedagang dan orang yang berbelanja lari
sambil berteriak ketakutan. Dua orang pedagang yang bukannya lari tapi berusaha
membenahi dagangannya mencelat ditanduk binatang yang seperti gila itu. Kedua
pedagang itu terguling tak berkutik lagi. Satu tewas dengan usus membusai,
satunya megap-megap merintih karena tulang pinggulnya sebelah kiri remuk.
Di antara
kekacauan itu seorang pemuda tampak duduk berjuntai di atas sebuah cabang pohon
sambil uncang-uncang kaki dan tertawa-tawa menyaksikan keributan itu. Walau
orang lain menderita sengsara bahkan ada yang mati akibat amukan kerbau, tetapi
pemuda ini justru tampak gembira menyaksikan kejadian itu.
“Kurang
hebat … ! Kurang seru! Ayo tanduk terus! Seruduk terus!” Pemuda di atas pohon
berteriak-teriak.
Saat itu
dibawah pohon kebetulan lewat Wilani dalam samaran sebagai seorang pemuda.
Dia
terheran-heran melihat kerbau mengamuk, dan lebih heran lagi melihat ada orang
yang gembira menyaksikan kejadian itu. Maka diapun mendongak hendak menegur.
Namun dia ingat pesan gurunya. Orang susah atau senang adalah urusan
pribadinya, tak perlu dicampuri. Dia berpaling ke arah kerbau yang mengamuk.
Karena dia satu-satunya orang yang masih tegak di dekat pasar itu, maka sosok
tubuhnya dengan sendirinya menjadi sasaran kerbau yang mengamuk. Setelah
melenguh panjang binatang ini lalu berlari ke arah Wilani. Kepalanya yang
bertanduk runcing menyeruduk lebih dahulu.
Pemuda di
atas pohon tampak gembira dan berseru : “Bagus! Tanduk pemuda yang sedang
pasang aksi itu! Patahkan pinggangnya!”
Melihat
kerbau datang memburu dan hendak menanduknya, Wilani cepat selamatkan diri
dengan melompat ke atas lalu bergayut pada cabang pohon dimana kebetulan pemuda
yang bersorak-sorak itu duduk berjuntai. Dan jahatnya, agar Wilani melepaskan
gayutnya pada cabang pohon, pemuda itu memukuli jari-jari tangan Wilani
sementara di bawah sana kerbau liar sudah menunggu dengan sepasang tanduk
runcingnya.
“Ah,
jahat sekali pemuda ini!” membatin Wilani. Lalu dara yang menyamar sebagai
seorang pemuda ini membuat dua kali putaran di cabang pohon, sesaat kemudian
tubuhnya melesat jauh ke tengah pasar.
Pemuda di
atas pohon menggerutu. Tetapi gerutunya berubah jadi pekikan kaget ketika
tibatiba satu siuran angin menderu dan kraak! Cabang pohon yang di duduki
pemuda itu patah. Tak ampun tubuhnya melayang jatuh dan sepasang tanduk runcing
dibawah sana bergerak berputar mengikuti arah jatuhnya!
“Tolong
.. .!” jerit si pemuda yang jatuh.
Sesaat
lagi tubuh si pemuda akan ditembus dua tanduk runcing, Wilani telah lebih
dahulu melompat dan masih dalam keadaan tubuh melayang di udara, gadis ini
hantamkan tangan kanannya. Inilah pukulan mengandung tenaga dalam tinggi yang
terakhir sekali dilatihnya bersama gurunya untuk menghancurkan batu hitam di
bukit Cemoro Sewu. Apa yang terjadi kemudian membuat semua orang yang ada di
tempat itu berdecak kagum, termasuk seorang pemuda berambut gondrong yang tadi
melepaskan pukulan jarak jauh dan mematahkan cabang pohon sehingga menjatuhkan
pemuda yang duduk di atasnya.
Kerbau
jalang itu melenguh tinggi lalu tubuhnya terhuyung-huyung beberapa kali.
Kepalanya
hancur. Salah satu tanduknya tanggal. Binatang ini kemudian terguling roboh.
Empat kakinya melejang-lejang beberapa kali lalu akhirnya binatang ini diam
kaku tanda nyawanya lepas sudah.
“Pemuda
jahat! Tega-teganya membunuh kerbau gila kemasukan setan!” teriak pemuda yang
jatuh dari atas pohon. Padahal dirinya baru saja diselamatkan Wilani dari
celaka besar yang bisa membawa kematian.
Wilani
sampai tercekat mendengar bentakan itu. “Pemuda aneh, ditolong malah
mendamprat!” kata sang dara dalam hati. Lalu tanpa mengacuhkan lagi dia
tinggalkan tempat itu.
“Hai
tunggu dulu! Jangan pergi seenaknya! Ganti dulu kerbauku yang kau bunuh ini!”
tibatiba terdengar teriakan pemuda itu.
Wilani
hentikan langkahnya. Dia menatap wajah pemuda itu sesaat lalu berkata: “Oh,
jadi kerbau itu milikmu? Mengapa kau tidak bisa mengurusnya baik-baik? Waktu
dia mengamuk tadi, kau malah bersorak-sorak gembira. Padahal sudah banyak yang
jadi korban akibat tanduknya.
Bahkan
ada yang mati!”
“Betul!
Bahkan ada yang mati!” satu suara menyambungi.
Wilani
dan pemuda yang mengaku pemilik kerbau sama berpaling ke kiri. Disitu tegak
seorang pemuda gondrong berpakaian putih, bicara cengar-cengir seenaknya.
“Hem,
bertambah pula satu pemuda konyol di tempat ini…,” kata Wilani dalam hati. Lalu
dilihatnya si gondrong tadi melangkah mendekati bangkai kerbau.
“Hai!
Siapa kau yang berani mencampuri urusan orang! Pergi! Jangan dekati kerbauku!”
teriak pemuda di hadapan Wilani.
Si
gondrong tak perduli. Dia terus saja melangkah.
“Binatang
ini bukan mengamuk! Apalagi kemasukan setan! Mana ada sih setan yang mau masuk
ke dalam sosok tubuh kerbau! Ha…ha…ha!” Pemuda gondrong tertawa bergelak.
Sementara orang sepasar yang tadi lari menyelamatkan diri kini satu demi satu
balik kembali dan berkerumun di tempat itu.
Si
gondrong menyambung ucapannya tadi : “Saksikan! Akan kuperlihatkan pada kalian
semua apa sebabnya kerbau ini tadi jadi tak karuan begitu rupa!” Dari salah
satu bagian tubuh kerbau yang sudah mati itu si gondrong mencabut sebuah benda
berbentuk paku kecil berwarna ungu. Benda itu kemudian diacungkannya
tinggi-tinggi. “Inilah penyebabnya. Paku kecil ini dicelup dengan sejenis racun
beludru yang sanggup membuat binatang atau manusia menjadi seperti gila dan
mengamuk lalu akhirnya bisa mati! Pemuda ini sebelumnya telah menancapkan paku
beracun ke tubuh kerbau lalu menggiringnya ke tengah pasar. Betul begitu?”
Pemuda
yang diajak bicara tampak terkesiap. Namun di lain kejap dia membentak marah
sekali.
“Gondrong!
Siapa kau! Kau bukan orang sini! Pandai sekali kau menyebar fitnah!”
Si
Gondrong tertawa lebar.
“Kalau
aku suruh orang sepasar ini menggeledah pakaianmu lalu menemukan beberapa buah
paku lagi dalam saku bajumu, bagaimana?!”
Pucatlah
paras pemuda itu. Sambil melangkah mundur dia berteriak keras pura-pura marah.
“Pemuda
gondrong! Ucapanmu berbisa. Penuh hasutan! Kau tunggu disini. Aku akan panggil
pasukan untuk menangkapmu!” Habis berkata begitu pemuda tadi segera putar
tubuhnya dan ambil langkah seribu.
Kini,
dikelilingi oleh kerumunan orang sepasar, si gondrong tegak berhadap-hadapan
dengan Wilani.
“Saudara,
kau hampir saja membuat pemuda itu mati ditembus kerbau, “Wilani berucap.
“Siapa
menggali tanduk lobang, dia sendiri terperosok ke dalamnya!” sahut si Gondrong
dengan kata berkias.
Wilani
yang baru saja meninggalkan bukit Cemoro Sewu dan tidak paham akan
pepatahpetitih ataupun kata berkias tentu saja heran mendengar kata-kata si
gondrong tadi. Dia memandang berkeliling. “Lobang katamu saudara? Siapa yang
menggali lobang! Aku sama sekali tidak melihat lobang di sekitar sini!”
Semula si
gondrong hendak tertawa mengakak. Tapi melihat wajah pemuda di depannya
benar-benar serius maka diapun mulai berpikir-pikir. Sepasang matanya memandang
tak berkesip ke wajah pemuda di hadapannya itu. Lalu ketika diperhatikannya
bentuk pakaian maka diapun tersenyum.
Dipandangi
seperti itu diam-diam Wilani menjadi jengah sampai mukanya merah. Lalu
cepat-cepat dia memutar tubuh meninggalkan tempat itu. Semua orang, termasuk si
gondrong jelasjelas melihat pemuda itu melangkah biasa saja. Tapi di lain kejap
tahu-tahu dia sudah berada di tempat jauh!
“Hem… Dia
bukan orang sembarangan…,” pikir si gondrong lalu cepat-cepat mengejar.
*****************
6
UNTUK
DAPAT MENGEJAR pemuda itu si gondrong harus mengerahkan ilmu lari “kaki angin”
yang dimilikinya. Itupun dia baru bisa mengejar setelah jauh di pinggir
Kotaraja sebelah timur. Menyadari kalau ada orang mengikutinya, si pemuda cepat
membalik dan menatap tajam.
“Ah, kau
pemuda di pasar itu rupanya! Orang berilmu yang pandai mencabut paku dari tubuh
kerbau!” kata Wilani yang menyamar sebagai seorang pemuda itu.
Disambut
dengan kata-kata seperti itu karuan saja si gondrong seperti kelagapan. Dia
menggaruk kepalanya beberapa kali.
“Aku…
anu….”
“Kenapa
anumu?!”
“Apa…?!
Ha… ha… ha…! Anuku tidak apa-apa!”
Jawab si
gondrong setelah lebih dahulu tertawa mendengar pertanyaan orang.
“Kalau
anumu tak apa-apa baiklah. Sekarang katakan mengapa kau mengikutiku!”
“Hemm…,”
si gondrong bergumam sambil garuk-garuk kepalanya.
“Kepalamu
banyak kutu rupanya! Dari tadi kulihat kau menggaruk terus!” sergah Wilani.
Saking
tak bisa menjawab dan juga saking jengkelnya, pemuda berambut gondrong itu
akhirnya hanya bisa tertawa bergelak sampai keluarkan air mata.
“Eh, kau
ini menangis apa ketawa? Ketawa atau menangis?!” pemuda di hadapan si gondrong
bertanya.
“Dengar
orang muda…,” si gondrong kuasai dirinya.
“Aku
tertawa karena melihat kau berpakaian tidak sesuai dengan kodrat sebagaimana
kau dilahirkan! Lalu aku menangis karena penyamaran yang kau lakukan dimataku
hanya satu kesiasiaan saja! Ha… ha… ha…!”
Kini
berobahlah paras Wilani.
“Apa
maksudmu dengan ucapan itu?!” tanyanya.
Si
gondrong melihat dulu berkeliling seolah-olah khawatir ada orang di sekitar
situ.
Kemudian
dengan suara perlahan dia berkata: “Aku tahu kau bukan pemuda betulan!
Juga
bukan Banci. Tapi kau seorang gadis! Betul kan…?!”
“Mulutmu
jahil dan kurang ajar sekali!” Wilani jadi marah. Tapi diam-diam dia kagum juga
dengan ketajaman mata pemuda berambut gondrong itu. Selama dua hari melakukan
perjalanan tak seorangpun mengetahui penyamarannya. Tapi pemuda konyol yang
mengikutinya ini bagaimana bisa mengetahui?
“Harap
maafmu kalau mulutku terlanjur jahil dan kurang ajar. Tapi betul kan?”
“Saudara
siapa kau ini? Guruku mengatakan di dunia ini ada dua macam setan. Pertama
setan yang tidak kelihatan, kedua setan kepala hitam sepertimu ini!”
“Terima
kasih untuk persetananmu itu. Tapi aku bukan setan seperti tuduhanmu! Lihat,
kedua kakiku masih menginjak tanah!” Lalu si gondrong ini gerak-gerakkan kedua
kakinya dan goyang-goyangkan pinggulnya.
“Baiklah,
apakah kau setan atau bukan tidak perlu dibicarakan panjang lebar! Katakan
siapa kau adanya dan mengapa mengikutiku?!”
“Namaku
Wiro Sableng….”
“Siapa?!”
tanya Wilani.
“Wiro
Sableng!!!” jawab Wiro.
“Ahhhh!
Pemuda gila kau ini rupanya! Pantas!”
“Ternyata
mulutmupun jahil dan kurang ajar!” menukas Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Sudah!
Katakan saja mengapa kau mengikutiku!”
“Pertama
aku kagum melihat kehebatanmu menghancurkan kepala kerbau tadi,” jawab Wiro
polos.
“Kagum
tidak berarti harus mengintili orang!” ujar Wilani pula. “Lalu apa alasanmu
selanjutnya?!”
“Itu
tadi…. Penyamaranmu itu!”
“Apa
anehnya aku menyamar? Siapa saja bisa dan boleh menyamar. Kau mau menyamar jadi
perempuan atau jadi nenek-nenek tidak ada yang melarang! Kenapa kau usilan
ingin tahu urusan orang?!”
Wiro
menggaruk kepalanya. Terus terang dia jengkel oleh ucapan-ucapan yang
menyudutkannya itu. Namun diam-diam dia juga merasa senang dengan sifat dan
gaya bicara orang ini.
“Nah kau
betul kan banyak kutu? Buktinya kau menggaruk terus. Saudara, aku nasihatkan
padamu, pergi ke tempat yang banyak monyetnya dan suruh binatang-binatang itu
mencari kutumu!”
“Usulmu
itu akan aku pertimbangkan,” sahut murid Sinto Gendeng. “Tapi ada cara yang
lebih mudah. Bagaimana kalau kau saja yang mencari kutuku? Aku duduk di tanah
sini. Kau jongkok di belakangku?!”
Merahlah
paras Wilani sementara wiro tertawa gelak-gelak.
“Manusia
bermulut lancang! Biar aku beri pelajaran padamu!” Lalu sekali kedua kakinya
bergerak, Wilani sudah melompat ke hadapan Wiro dan plaak! Tangan kanannya
menampar pipi kiri si pemuda. Tamparan itu cukup keras dan sempat membuat sang
pendekar nanar beberapa ketika.
Menahan
sakit Wiro berkata: “Ada ujar-ujar mengatakan jika kau di tampar di pipi kiri,
berikan pipi kananmu! Nah silakan tampar pipi kananku!”
Habis
berkata begitu lalu Wiro ajukan pipi kanannya.
Merasa
ditantang Wilani angkat tangan kanannya, siap untuk menampar. Tapi setelah
berpikir sejenak akhirnya dia membatalkan tamparan itu, perlahan-lahan
tangannya diturunkan.
Dihadapannya
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Nah…nah…nah!
Kau tidak tega kan? Terbukti kau memang perempuan! Hanya kaum perempuan yang tidak
tegaan!”
“Manusia
kampret! Merontokkan gigimupun aku tega!” teriak Wilani. Kalau tadi memang ada
rasa kasihan setelah menampar pipi si pemuda, maka kini rasa kasihan itu
berubah jadi jengkel setengah mati. Dia membuat gerakan seperti hendak
melangkah pergi. Tapi tiba-tiba tubuhnya berputar dan tahu-tahu kaki kanannya
sudah menderu ke mulut Wiro!
Pendekar
212 belum pernah melihat gerakan menendang yang demikian cepatnya.
Terlambat
sedikit saja dia melangkah mundur, hancurlah mulutnya. Baru saja dia lolos dari
tendangan ganas itu tahu-tahu lawan sudah menyerbunya kembali. Kali ini dengan
pukulan tangan kosong dari jarak lima langkah.
Wuuuttt!
Angin
deras menghantam ke arah dada Pendekar 212.
Pukulan
yang dilepaskan Wilani adalah pukulan yang sanggup menghancurkan batu.
Murid
Sinto Gendeng yang sudah makan asam garam dunia persilatan segera maklum kalau
dirinya tengah diancam satu pukulan maut. Kuda-kudanya tidak memungkinkannya
untuk selamatkan diri dengan melompat. Maka tidak sungkan-sungkan lagi, Wiropun
menangkis dengan pukulan “dinding angin berhembus tindih menindih”.
Wilani
terkesiap ketika mendengar ada suara deru angin laksana puting beliung
menyambar.
Pakaiannya
berkibar-kibar dan tubuhnya laksana mengapung tak bisa maju sedangkan
pukulannya tadi seperti membentur tembok besi!
“Ah!
Pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian yang tidak rendah!” kata Wilani
dalam hati. Maka dia lipat gandakan tenaga dalamnya dan kembali menghantam.
Kini
Pendekar 212 yang terkejut. Dia melihat secara perlahan-lahan tetapi pasti
tubuh lawan bergerak maju menembus angin pukulan saktinya. Tubuhnya sendiri
terasa bergetar dan kedua kakinya seperti disapu dan dipaksa mundur. Wiro coba
bertahan tanpa menambah kekuatan tenaga dalamnya. Tetapi akibatnya keringat
dingin membasahi sekujur tubuhnya.
“Kalau
kulipat gandakan tenaga dalamku dan balas menghantam, salah satu-aku atau dia
pasti akan celaka!” pikir Wiro. Akhirnya didahului satu bentakan keras,
Pendekar 212 melompat ke atas. Dari atas dia menghantam pertengahan angin pukulan
lawan. Terdengar suara berdentum. Tanah bergetar. Lalu tampak pasir dan
batu-batu kecil beterbangan. Di tanah ini ada cegukan sedalam satu jengkal!
Di
bawahnya Wiro melihat Wilani hampir terjengkang. Dia sendiri merasakan
kesemutan pada sekujur tangan kanannya sampai ke pangkal bahu.
“Kau
hebat!” memuji Wiro.
“Pemuda
sableng itu masih bisa memuji! Tapi jangan-jangan dia justru mengejekku! Eh!
Dimana dia?!” Wilani memandang berkeliling ketika dapatkan Wiro tak ada lagi
dihadapannya. Suara pemuda itu tadi terdengar datang dari belakang. Cepat dia
membalik. Dan!
“Gila!
Betul-betul kurang ajar!” memaki Wilani habis-habisan. Kedua tangannya bergerak
ke arah kepalanya, memegang rambutnya yang kini tersingkap riap-riapan!
Di
hadapannya Pendekar 212 Wiro Sableng tegak silangkan kaki, berkipas-kipas
dengan sehelai sapu tangan lebar sambil cengar-cengir! Sapu tangan itu adalah
ikat kepala yang dikenakan oleh Wilani. Yang tanpa disadari sang dara yang
menyamar sebagai pemuda itu tahu-tahu sudah lepas dari kepalanya disambar Wiro
Sableng!
Jengkel
ada marah pun ada namun yang lebih dirasakan oleh Wilani saat itu ialah
kenyataan bahwa dua belas tahun digembleng oleh Datuk Buntung Cemoro Sewu
ternyata kepandaian yang dimilikinya tidak berdaya menghadapi seorang lawan
yang dianggapnya berotak miring! Padahal baru dua hari dia meninggalkan tempat
kediaman gurunya. Begini hebatkah dunia persilatan hingga dia seperti seekor
katak dibawah tempurung?!
Wilani
ingin menjerit! Tapi mulutnya terkancing. Hanya ada butiran air mata terbit di
kedua matanya itu Cepat-cepat dia memutar tubuh untuk tinggalkan tempat itu.
Namun belum sempat membalik tiba-tiba ada orang berseru.
“Kawan-kawan!
Ternyata pemuda yang kita kejar ini seorang dara berparas jelita! Tidak
disangka dan sungguh luar biasa! Niatku untuk menghajarnya biar kubatalkanl
Kita tangkap saja dia hidup-hidup dan bawa ke markas! Kita bisa
bersenang-senang bersamanya! Setuju?!”
“Setuju!!!”
terdengar suara orang banyak menyahuti. Wilani dan juga Wiro jadi terkejut.
Ketika
mereka memandang berkeliling ternyata di sekitar mereka kini terdapat lima
belas orang pemuda berseragam hitam dengan ikat pinggang dan ikat kepala kain
merah, enam belas dengan pemuda yang tadi berseru dan bukan lain adalah pemuda
yang membuat kegaduhan di tengah pasar dengan cara menusuk seekor kerbau hingga
mengamuk! Pada dada kiri baju hitam yang dikenakan ke lima belas pemuda itu
terdapat gambar dua potong gading putih bersilang.
“Anak
muda tak tahu diri!” Wiro mendamprat. “Kalau tadi dia tidak turun tangan
menolong, kerbau yang kau buat gila itu sudah membunuhmu! Sekarang malah datang
membawa rombongan untuk menangkap orang dan berani menyatakan niat kurang
ajar!”
“Tutup
mulutmu manusia gendeng! Jangan pasang aksi di depanku! Kau gantinya yang bakal
di hajar! Lihat sekelilingmu!” bentak pemuda yang datang membawa lima belas
temannya.
“Hemmm….
Jadi ini yang kau sebut pasukan itu, hah?! Kalian ini rombongan ketoprak dari
mana sebenarnya?!”
Mendengar
diri mereka diejek sebagai rombongan ketoprak, marahlah ke lima belas pemuda
berseragam hitam-hitam itu. Pemuda yang datang membawa mereka terdengar
berteriak.
“Sepuluh
orang lekas hajar pemuda gondrong itu! Yang lain ikuti aku berbincang-bincang
dengan gadis cantik yang menyamar sebagai lelaki itu!”
*****************
7
PEMUDA
YANG MEMBAWA rombongan kawannya lima belas orang ini melangkah ke hadapan
Wilani diikuti oleh lima kawannya sementara yang sepuluh orang lagi langsung
bergerak mengurung Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di
hadapan Wilani pemuda tadi tegak berkacak pinggang. Setelah senyum-senyum
sebentar sambil gosok-gosokkan kedua telapak tangannya satu sama lain dia
berkata.
“Kalau
sejak sebelumnya aku tahu kau ini seorang dara begini jelita, pasti tak akan
terjadi hura-hura di pasar itu….”
“Lalu
sekarang apa maksudmu?!” tanya Wilani penuh jengkel. “Hendak membuat keributan
lagi?!”
Si.
pemuda goyang-goyangkan tangannya. “Tidak…. Tentu saja tidak. Malah aku akan
mengajakmu ke markasku di kaki bukit. Kita bisa bersenang-senang disana. Banyak
makanan dan minuman. Pakaian bagus-baguspun ada untukmu. Kau tinggal pilih!”
“Markas…?
Markas apa itu?!” tanya Wilani pula. Di seberang sana dia melihat sepuluh orang
pemuda berpakaian serba hitam mulai menyerang Wiro Sableng.
“Ah, yang
kusebut markas itu adalah sebuah rumah bagus di kaki bukit di sebelah selatan
kotaraja. Kau pasti akan senang berada disitu….”
“Bagaimana
kalau aku merasa tidak senang?!” tukas Wilani.
“Tidak
mungkin! Tak ada gadis yang tidak senang berada di tempat itu.”
“Hemmm….rupanya
kau sudah biasa membawa gadis-gadis markasmu itu hah?!”
“Ah,
kawan-kawan, Gadis ini belum apa-apa sudah mulai cemburu,” kata si pemuda pula.
Lima
orang kawannya tertawa gelak-gelak.
“Cemburu
berarti cinta!” salah seorang dari mereka berkata lalu kembali mereka tertawa
bergelak.
“Kalian
semua gila! Tampang kalian tidak satupun yang lumayan! Kambing betina budukpun
tidak bakal naksir pada kalian! Apalagi padamu!” kata Wilani seraya mencibir ke
arah pemuda yang tegak di hadapannya. Yang dihina tidak marah malah tertawa
mengekeh.
Diam-diam
Wilani perhatikan lima pemuda berpakaian hitam di sekelilingnya. Matanya
mengawasi gambar dua gading putih bersilang di dada kiri baju orang-orang itu.
Dia rasa-rasa ingat sesuatu. Otaknya bekerja keras. Tapi dia tak mampu
mengingat.
“Saudari,
waktu kita tidak banyak. Mari ikut bersamaku…,” pemuda di hadapan Wilani
membuka mulut.
“Ikut
kamu ke mana?!”
“Ah,
jangan berpura-pura. Atau mungkin kau malu. Kalau begitu lima kawanku ini biar
tak usah berjalan bersama-sama kita jika kau memang malu….”
Lalu enak
saja pemuda ini ulurkan tangan hendak menarik lengan Wilani. Wilani ajukan
tangan kanannya seperti hendak menuruti ajakan si pemuda. Tapi tiba-tiba dengan
kecepatan yang luar biasa si gadis tarik lengan si pemuda dan dilain kejap
pemuda itu sudah terlempar ke udara.
Begitu
jatuh bergedebukan di tanah langsung tertelentang dan menggerung kesakitan.
“Kurang ajar!
Kau berani mencelakai putera pimpinan kami!” salah seorang pemuda berpakaian
hitam berteriak marah.
“Gadis
binal ini perlu diberi pelajaran!” kawannya yang lain berkata seraya maju
mendekat.
Pemuda
yang masih terhenyah di tanah cepat berteriak. “Awas! Jangan sakiti gadis itu!
Jangan
ciderai dia! Tolong dulu aku berdiri! Gadis itu biar nanti aku yang urus!”
Lima
pemuda nampak menggerutu. Tapi mereka patuh pada si pemuda yang tadi dibanting
Wilani ke tanah. Dua orang segera menolongnya berdiri.
“Jelitaku,
aku maafkan kelancanganmu tadi membantingku hingga tulang-tulang ini serasa
remuk. Tapi berjanjilah kau akan mengurut dan memijitku begitu kita sampai di
markas….”
Plaakkk!
Satu
tamparan mendarat di muka si pemuda. Tak ampun lagi untuk kedua kalinya pemuda
ini jatuh terbanting di tanah sambil teraduh-aduh kesakitan. Dari sela bibirnya
tampak darah mengucur.
Melihat
hal ini lima kawannya langsung saja menyerbu Wilani. Gerakan mereka
mengeluarkan suara angin deras tanda kelimanya memiliki tenaga luar yang besar
dan keras. Sesaat lagi wilani akan dihantam lima pukulan, tiba-tiba dari
samping kiri melesat satu bayangan putih disertai suara aaa… uu… aa… uuu. Lalu
terdengar pekik dua pengeroyok. Dua lainnya terpental sambil mengaduh
kesakitan. Hanya satu yang sempat melompat mundur selamatkan diri.
Dua
pemuda pertama terhuyung-huyung sambil pegangi bahu kiri. Ternyata
tulang-tulang bahu mereka telah remuk kena hantam sedang wajah masing-masing
tampak merah seperti orang mabok minuman keras!
“Aaa..
uuuu… Aaaaa… uuu….” Kembali terdengar suara aneh itu.
Dua
pemuda yang tadi terpental dan terguling di tanah berusaha bangkit sambil
pegangi perut. Anehnya muka keduanyapun tampak merah.
Satu-satunya
pemuda yang tidak cidera memandang dengan paras berubah ke arah kiri dimana
saat itu tampak berdiri seorang pemuda tidak dikenal. Pemuda ini berdiri dengan
empat anggota badan tak bisa diam. Kedua tangannya digerak-gerakkan terus ke
depan secara aneh yaitu seperti orang berenang. Kedua kakinyapun
dijingkat-jingkatkan. Lalu dari mulutnya tiada henti terdengar suara “Aaaa…
uuu… aaa… uuu!” dan wajahnya menunjukkan kemarahan. Wilani sendiri selain
terkejut juga merasa heran melihat kemunculan pemuda aneh berpakaian lusuh yang
jelasjelas telah menolongnya dari keroyokan lima pemuda tadi. Wajahnya masih
menunjukkan kemarahan. Tapi dibalik air muka marah itu Wilani melihat adanya
bayangan penderitaan.
“Bangsat
kurang ajar! Siapa kau berani menciderai kawan-kawanku?!” teriak pemuda yang
barusan kena gampar Wilani begitu berhasil berdiri.
Saat itu
tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda berpakaian bagus. Usianya jelas sudah
lanjut, mungkin sekitar 60 tahun tapi tampak masih gagah. Tanpa turun dari
kudanya orang ini berkata. “Wiseso! Pasti kau lagi yang punya ulah membuat
keributan. Sudah berapa kali aku memperingatkan agar jangan berlaku sembrono
seenakmu! Apalagi sampai membawa murid-murid perguruan! Tinggalkan tempat ini!
Bawa semua temanmu! Kalian bodoh semua! Tak habishabisnya membuat kegaduhan!”
Pemuda
yang ternyata bernama Wiseso itu tampak ketakutan. Begitu juga lima kawannya.
Tanpa banyak bicara dan tanpa menoleh lagi keenamnya segera tinggalkan tempat
itu. Diikuti oleh enam orang di bagian lain. Lalu kemana yang empat lagi?
Mereka semua bergeletakan di tanah dengan kepala atau muka benjut dihantam Wiro
waktu mengeroyok Pendekar 212 itu tadi!
Lelaki di
atas kuda memandang ke arah Wilani dan pemuda aneh yang saat itu masih saja
tegak sambil menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya. Orang ini lantas
berkata: “Harap kalian memaafkan kelakuan puteraku Wiseso dan kawan-kawannya
serta melupakan kejadian ini….”
Habis
berkata begitu orang ini membawa kudanya ke arah Wiro Sableng yang tegak masih
memegangi sapu tangan besar milik Wilani.
“Anak
muda, terima kasih atas pelajaran yang kau berikan pada murid-muridku. Harap
maafkan mereka dan lupakan kejadian ini….” Orang di atas kuda diam sejenak
seperti berpikir-pikir. Dia melirik pada Wilani dan pemuda aneh yang tadi
berhasil menghantam roboh empat orang lawannya dalam gebrakan-gebrakan pendek.
Lalu setelah merenung sejenak dia berkata pada Wiro. “Aku sempat menyaksikan
permainan silatmu tadi. Jurus-jurusmu begitu menawan. Dengan kerendahan hati
aku mengundangmu untuk datang ke perguruanku di selatan Kotaraja. Sekedar untuk
bertukar pengalaman….”
Wiro tak
hanya menyeringai tidak menyahut. Orang di atas kudapun tampaknya seperti tidak
perlu menunggu jawab. Maka diapun berlalu setelah lebih dulu membentak pada
empat pemuda yang masih bergeletak di tanah.
“Memalukan
sekali! Jika kalian tidak segera bangun dan minggat dari sini, biar kaki-kaki
kudaku memecahkan dada dan perut kalian!”
Lalu
orang itu sentakan tali kekang kudanya. Meskipun masih dalam keadaan sakit dan
nanar akibat hantaman Wiro, namun mendengar ancaman si penunggang kuda, keempat
pemuda yang bertebaran di tanah buru-buru berdiri lalu dengan melangkah huyung
mereka tinggalkan tempat itu.
Setelah
keempat orang itu melangkah, barulah si penunggang kuda menggebrak
tunggangannya meninggalkan tempat itu.
Untuk
beberapa lamanya Wilani memperhatikan si penunggang kuda tanpa berkesip sampai
akhirnya orang itu lenyap di kejauhan.
“Aku….
Aku rasa-rasa pernah melihat wajah orang itu. Dimana…?” Sepasang mata Wilani
mendadak membesar. “Eh, jangan-jangan memang dia…,” Wilani hendak bergerak
namun suara “Aaaa… uuu… aaa… uuu,” di sampingnya membuat dia hentikan gerakan
kaki dan berpaling.
Pemuda
yang tadi menolongnya kini tegak diam, memandang ke arahnya. Kedua tangannya
dan kedua kakinya tidak lagi bergerak. Mungkin gerakan-gerakan yang dibuatnya
tadi adalah sejenis gerakan silat aneh, pikir Wilani. Kini dalam keadaan tanpa
marah dan tegak berdiam diri seperti itu Wilani dapatkan kenyataan bahwa pemuda
ini memiliki wajah yang tampan.
“Aaaa…
uuu…aaa… uuuu….”
“Kasihan,
jangan-jangan pemuda ini tak bisa bicara. Gagu…,” kata Wilani dalam hati.
“Aaaa…
uuu… aa… uuu…..!”
Wiro
mendatangi dan menegur si gagu. “Ki sanak, gebrakan silatmu luar biasa sekali.
Aku tahu sedikit bahasa orang bisu. Maukah kau memberi tanda dengan gerakan
jari-jari tangan biar aku tahu apa yang hendak kau katakan …?”
“Aaaa…
uuu… aaa…. uuu!” si pemuda gagu menjawab gerakan dan tanda.
“Ahhh…!
Aku mengerti. Akan kusampaikan pada sahabatku ini…,” ujar Wiro ketika akhirnya
dia dapat membaca tanda-tanda jari yang dibuat pemuda gagu.
“Aaaa…
uuu… aaa… uuu…!” Pemuda gagu itu tiba-tiba palingkan tubuhnya dan tinggalkan
tempat itu!
“Hai…
Tunggu!” seru Wilani. Tapi si gagu sudah lenyap. “Aku hendak menanyakan sesuatu
padanya tapi mengapa dia pergi begitu saja…?”
“Tak usah
kecewa. Barusan dia telah meninggalkan pesan lewat bahasa jari…,” ujar Wiro.
“Lekas
katakan apa pesannya itu?l” tanya Wilani tak sabaran.
“Pertama,
kita berada di kawasan Kotaraja. Jangan bertindak sembrono. Kedua jangan ganggu
rombongan orang-orang tadi karena mereka ada di bawah pengawasannya….”
“Di bawah
pengawasannya? Berarti pemuda gagu itu adalah kawan dari orang-orang itu….
Tapi
mengapa tadi dia menghantam empat orang di antara mereka sampai ada yang hancur
lengannya?”
“Dengar
dulu, penjelasanku belum selesai…,” kata Wiro pula. “Katanya kalau urusannya
beres dia akan menemui kita kembali….”
“Hanya
itu saja pesannya?”
“Ada satu
lagi. Dia ingin tahu siapa namamu.”
Wilani
memandang tajam ke arah Wiro. LÃ lu menyeringai. “Ah…. Pesan itu bukan dari dia.
Tapi kau
yang mengarang!” Wiro tertawa gelak-gelak lalu garuk-garuk kepala.
“Kita
bertiga brsahabat. Mengapa tidak saling tahu nama?”
Wilani
tak menjawab. Dia tampak tengah berpikir-pikir.
“Eh, kau
seperti orang melamun. Atau ada yang sedang kau pikirkan…?” tanya Wiro. Lalu
Pendekar 212 melihat sepasang mata sang dara tiba-tiba membear. Wajahnya yang
cantik berubah ganas. Kedua tangannya dikepalkan.
“Pasti
dia…. Pasti dia….! Aku ingat sekarang! Tanda gading bersilang itu! Pasti!” Lalu
Wilani bereriak keras membuat Wiro terkejut. Tanpa perdulikan Wiro lagi Wilani
berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Hai
tunggu! Kau mau kemana…?!” Wiro memanggil.
Wilani
tidak tanggapi seruan orang. Terus saja lari kejurusan lenyapnya rombongan
lelaki berkuda bersama pemuda-pemuda berseragam hitam tadi.
*****************
8
SETELAH
MEMPERTIMBANGKAN apakah dia akan pergi ke arah lenyapnya pemuda gagu atau
mengejar ke arah lenyapnya gadis jelita itu, akhirnya Wiro memilih yang
terakhir.
Hari
mulai memasuki rembang petang ketika penguntitan yang dilakukan murid Eyang
Sinto Gendeng itu membawanya jauh ke pinggiran Kotaraja sebelah selatan. Di
depannya gadis yang diikuti tampak berdiri di hadapan pintu gerbang besar
sebuah perguruan silat bernama “Perkumpulan Silat Gading Putih”.
Di
sebelah dalam pintu gerbang terdapat halaman luas sekali yaitu tempat berlatih
para anak murid perguruan. Lalu ada tiga buah bangunan besar mengapit sebuah
rumah kayu bertingkat.
Dari
tempatnya berdiri Wilani dapat melihat belasan murid perguruan yang berseragam
pakaian hitam dengan tanda gading putih bersilang di dada kiri tengah berlatih
jurus-jurus dasar.
Rahang
Wilani menggembung. Kedua matanya membersitkan dendam kesumat. “Akhirnya
kutemui juga salah satu dari mereka! Orang tua penunggang kuda tadi pasti
pembunuh ayahku yang bernama Rae Pamungkas!” Sekujur tubuh sang dara bergetar.
Aliran darahnya terasa panas dan mengencang. Dadanya turun naik. Cepat gadis
ini menguasai dirinya lalu dengan langkah tegap dia memasuki pintu gerbang.
Ketika
Wilani mencapai ujung depan lapangan luas, beberapa orang pemuda melihat
kedatangannya. Salah satu di antara mereka segera lari ke arah rumah besar itu.
Salah satu masuk ke dalam lalu keluar lagi bersama Wiseso, pemuda yang sempat
dihajar habis-habisan oleh Wilani sebelumnya.
Sesaat
pemuda ini merasa heran melihat kemunculan si gadis di tempat itu. Kemudian dia
tertawa lebar dan cepat-cepat menuruni tangga rumah besar, lari ke arah Wilani.
Begitu sampai di hadapan sang dara sambil senyum-senyum Wiseso berkata.
“Gadis
cantik, sungguh besar hatiku ternyata kau mau juga datang ke markasku menemui
diriku….” Wiseso menjura dalam lalu lanjutnya : “Mari, silakan masuk. Makanan
dan minuman akan segera kusuruh hidangkan. Sementara kau boleh masuk ke karnar
pakaian. Pilih pakaian bagus yang kau inginkan. Aku akan menunggumu di ruangan
makan…. Kau tak usah khawatir. Tak ada satu seorang pun yang akan berada disana
kecuali aku. Hanya kita berdua….”
Wilani
sebal sekali melihat pemuda satu ini. Dia menjawab : “Kucing buduk! Aku mencari
manusia bernama Raae Pamungkas! Dia pasti lelaki berkuda yang kulihat
sebelumnya….”
Wiseso
terkejut. Dia berpaling pada dua anak murid perguruan di samping. “Jadi …. Jadi
kau kemari mencari ayahku? Bukan mencari aku?!”
“Hemmm,
jadi tua bangka itu adalah ayahmu! Cepat suruh dia keluar!
Kalau
tidak aku akan melabrak ke dalam sana!”
Wiseso
geleng-geleng kepala. “Bagaimana ini! Aku yang naksir, ayahku yang dicari!”
katanya.
“Ayahku saat ini tengah menemui seorang tamu penting dari Kotaraja. Dia tak
bisa diganggu!”
“Siapa
bilang tidak bisa diganggu! Panggil dia sekarang juga! Katakan aku murid Datuk
Buntung Cemoro Sewu datang mencarinya!”
“Datuk
Buntung Cemoro Sewu….? Enggg…. Tak pernah aku mendengar nama itu. Tapi gadisku
cantik. Jika maksud kedatanganmu kemari untuk mendaftar menjadi anak murid
perkumpulan silat kami, tak usah mencari ayahku segala. Kau tak perlu
mendaftar. Aku akan mengurus semuanya. Nanti kau akan diberi latihan khusus di
tanah lapang sana atau di atas ranjang bersamaku. Bukan begitu kawan-kawan…?”
Dua kawan
Wiseso mengiyakan. Lalu ketiga pemuda itu tertawa galak-galak.
Hilanglah
kesabaran Wilani. Dalam hati dia menggeram. “Pemuda ini tidak ada sangkut paut
dengan dosa ayahnya. Tapi kalau tidak kuhajar dia tidak akan kapok! Pasti sudah
banyak anak gadis orang yang dibawanya ke tempat ini secara paksa dan
dicemarinya. Habis membatin begitu Wilani berkelebat dan plaaak… plaaak…
plaaak. Tiga kali tangan kanannya bergerak. Tiga kali tamparan keras melayang.
Dua anak murid Perkumpulan Silat Gading Putih terbanting roboh dengan mulut
pecah dan melejang-lejang di kaki tangga sambil menggerang kesakitan. Wiseso
sendiri jatuh duduk di lantai serambi rumah besar. Pipi kirinya tampak bengkak
merah membiru.
Mata kirinya
lebam mengucurkan darah.
“Kau
masih tidak mau memanggil ayahmu?!” bentak Wilani.
“Kau . .
. kau. . .!” Tiba-tiba Wiseso keluarkan satu suitan keras. Serta merta dari
perbagai penjuru menghambur sosok-sosok berseragam hitam.
“Kurang
ajar!” maki Wilani. Dengan cepat dia menghitung. Jumlah anak murid perguruan
silat yang datang ke arahnya lebih dari dua puluh orang. Saking jengkelnya
gadis ini langsung saja tendangkan kaki kirinya ke arah dada Wiseso hingga
pemuda ini meraung kesakitan dan terkapar di dinding rumah besar. Mulutnya
muntahkan darah segar lalu kepalanya miring ke kiri, pingsan!
Lebih dua
puluh anak murid perguruan berteriak marah. Langsung mereka menyerbu ke arah
Wilani. Justru pada saat itu tiba-tiba terdengar ke gaduhan dari bagian atas
rumah kayu tingkat yaitu tempat kediaman pimpinan perkumpulan silat. Sesosok
tubuh tampak terlempar keluar lewat dinding bangunan yang hancur berantakan.
Di saat
yang sama, satu bayangan putih berkelebat di depan tangga rumah besar, langsung
berdiri di samping Wilani seraya membentak membahana tanda orang ini kerahkan
tenaga dalamnya waktu berteriak. Siapakah orang yang berteriak ini? Wilani
berpaling ke samping. Astaga!
Dia bukan
lain pemuda rambut gondrong yang mengaku bernama Wiro Sableng itu!
Merasa
orang memandang padanya. Wiro balas berpaling lalu tersenyum sambil kedipkan
mata.
“Kau! Kau
mengikutiku!” kertak Wilani hendak marah.
“Sudah!
Apapun yang jadi urusanmu selesaikan sana. Biar aku menahan monyet-monyet
berpakaian hitam itu!”
Sadar
kalau orang bermaksud baik dan hendak menolongnya Wilani anggukan kepala,
memutar tubuh dan berkelebat ke arah rumah panggung.
“Hajar
kedua pengacau itu!” Salah seorang murid perguruan berteriak.
“Yang
perempuan tangkap hidup-hidup! Yang gondrong dicincangpun tak jadi urusan!”
teriak yang lain.
Begitu
kedua puluh orang itu mendekat, murid Eyang Sinto Gendeng segera menghantam
dengan pukulan “Benteng topan melanda samudra”.
Semua
anak murid perguruan berseru kaget ketika mendengar ada suara menderu disertai
hembusan angin sangat deras. Masing-masing mereka merasakan laksana dihantam
angin puting beliung. Bagaimanapun mereka berusaha mempertahankan diri tapi
akhirnya mereka semua terseret jauh dan terguling-guling di lapangan. Ketika
sambaran angin reda dan mereka sanggup berdiri, di hadapan mereka terlihat
bagaimana tanah lapang didepan tangga bangunan besar telah ceguk sampai
setengah jengkal! Sadar kalau mereka berhadapan dengan seorang pendekar berkepandaian
tinggi, kini tak satupun berani bergerak. Namun pada waktu itu dari samping
kiri tampak berkelebat seseorang dan dilain kejap dia sudah berada di hadapan
Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Anak
muda! Kedatanganmu sudah tidak diundang berani pula mengacau! Kalau punya
kesaktian andal, mengapa mempergunakan terhadap anak murid perguruan yang baru
belajar ilmu silat dasar?!”
Wiro
memandang pada orang di hadapannya. Seorang lelaki separoh baya yang memiliki
tubuh penuh otot serta cambang bawuk meranggas menutupi wajahnya.
“Sampean
ini siapa?” tanya Pendekar 212.
Sambil
menjawab orang itu letakkan telapak tangannya di atas dada. “Aku Ronggo Dwikun!
Pelatih Kepala Perkumpulan Silat Gading Putih!”
“Ah, aku
berhadapan dengan seorang kepala pelatih rupanya! Kau tentu ahli dalam melatih
ilmu silat tapi tidak becus menanamkan sopan santun pada anak buahmu!”
“Apa
maksudmu?!” tanya Ronggo Dwikun dengan muka merah.
“Buktinya
kawanku tadi datang dan minta ketemu dengan pimpinanmu, malah diperlakukan
secara kurang ajar!”
“Tidak
sembarang orang bisa bertemu dengan ketua perkumpulan….”
“Kedengarannya
ketuamu lebih hebat dari Suiltan! Sultan saja selalu siap menerima kunjungan
seorang hamba rakyat yang punya kepentingan!”
“Katakan
apa maksud kedatanganmu!” Ronggo Dwikun mulai marah.
“Aku sih
cuma jalan-jalan sambil mengantar sahabatku gadis cantik tadi…,” jawab Wiro.
“Kurang
ajar! Setelah melukai putera Ketua kami dan beberapa murid perguruan kowe masih
bisa bilang kemari untuk jalan-jalan! Kalau kau benar seorang pendekar aku
menantangmu bertarung ilmu silat tangan kosong! Jangan hanya berani
mengandalkan pukulan sakti!”
“Kalau
itu mintamu aku tak keberatan melayani!” sahut Wiro. Lalu secepat kilat, hampir
tidak kelihatan oleh puluhan pasang mata murid-murid perguruan yang ada di
lapangan, murid Eyang Sinto Gendeng itu menotok urat besar di dada kiri Ronggo
Dwikun. Langsung kepala pelatih ini menjadi kaku dan gagu.
Wiro lalu
berpura pasang kuda-kuda. “Ayo pukullah! Cari sasaran yang empuk!” seru Wiro
keras-keras agar semua anak murid perguruan mendengar. Tapi tentu saja sang
kepala pelatih tidak bisa memukul. Bergerakpun bahkan bicara saja dia tidak
mampu! Kagetlah semua anak murid perguruan melihat kejadian itu dan semakin
leleh nyali mereka untuk berani melakukan sesuatu.
Wiro
tertawa gelak-gelak lalu duduk di tangga bangunan.
“Aku
dengar di dalam sana banyak makanan dan minuman. Lekas dua di antara kalian
segera mengambilnya! Yang berani membantah akan kugebug!”
Dua anak
murid perkumpulan silat segera bergerak melakukan perintah. “Eittt! Tunggu
dulu!” Wiro menjambak pakaian salah satu dari dua murid perkumpulan.
“Aku juga
dengar ada pakaian-pakaian bagus di dalam rumah. Pakaian putihku ini sudah
apek. Carikan sepasang pakaian yang bagus untukku!
Kau
dengar…?”
Dengan
gemetar anak murid yang dibentak hanya bisa anggukkan kepala. Wiro lepaskan
pegangannya. Tak lama kemudian berbagai hidangan lezat termasuk buah dan
minuman diantarkan di depan tangga, termasuk sepasang pakaian putih yang bagus.
Wiro menyambar sebutir buah kuini yang harum dan manis. Lalu dia buka baju
putihnya. Sambil tertawa-tawa di hadapan anak murid perkumpulan silat si
pendekar sableng ini ganti pakaian putihnya yang sudah lusuh dan kotor dengan
baju dan celana baru yang dibawakannya untuknya!
Selesai
berpakaian Wiro duduk di tangga bangunan, mulai menyantapi segala hidangan yang
diletakkan disana lalu meneguk minuman. Waktu makan Wiro sengaja mengeluarkan
suara berciplakan, ketika minum dia sengaja pula mengeluarkan suara
cegluk-cegluk sehingga anak murid perkumpulan silat yang melihat jadi jengkel
kesal, ada pula yang menelan air liur dengan geram.
Namun tak
seorangpun berani bergerak dari tempat masing-masing sementara si kepala
pelatih masih tegak kaku dan bisu di pinggiran tangga!
*****************
9
KETIKA
WILANI BERLARI ke arah bangunan bertingkat, di depan tangga dia menemukan
sesosok mayat yang tadi seperti dilemparkan dari bagian atas. Mayat ini adalah
mayat seorang lelaki tua berambut dan berjanggut putih. Dia mengenakan pakaian
robek dan penuh berlumuran darah. Wajahnya tidak dapat dikenali lagi. penuh
dengan luka-luka menggidikan seperti disobek senjata tajam dan tampak
menggembung bengkak kemerahan.
Sesaat
Wilani terkesiap namun ketika di atas bangunan sana didengarnya ada suara
bentakan-bentakan tanda tengah terjadi satu perkelahian maka gadis ini cepat
melompat menaiki tangga yang menuju ketingkat atas.
Ketika
sampai di bagian atas rumah itu dia menyaksikan perkelahian seru tengah terjadi
antara seorang pemuda dengan orang yang tengah dikejarnya, yaitu Rae Pamungkas,
salah seorang pembunuh ayahnya. Sedang si pemuda bukan lain adalah pemuda gagu
yang telah ditemunya sebelumnya.
Dari
jalannya perkelahian satu lawan satu itu jelas Rae Pamungkas berada dalam
keadaan terdesak hebat.
“Apapun
alasan pemuda gagu itu hendak membunuh Rae Pamungkas, aku lebih berhak
darinya!” kata Wilani dalam hati. Lalu diapun siap menyerbu. Tapi terlambat! Di
hadapannya pemuda gagu itu telah membuntal tubuh Rae Pamungkas, sepasang
kakinya laksana menjapit pinggang ketua perkumpulan silat gading putih
sementara kedua lengannya menyikap leher. Lalu terdengar suara berderak bunyi
patahnya tulang leher Rae Pamungkas!
“Aaaa…
uuuu…. aaaa…. uuuu!”
Ketika si
gagu lepaskan cekatannya, tubuh Rae Pamungkas langsung roboh ke lantai.
Sekujur
tubuh itu termasuk mukanya tampak cabik-cabik mengerikan serta gembung bengkak
kemerahan. Wilani melirik pada sepasang tangan pemuda gagu. Tangan yang berkuku
panjang itu tampak penuh lumuran darah.
“Ilmu
apakah yang dimiliki pemuda ini sampai kematian Rae Pamungkas begitu dahsyat
mengerikan …,” kata Wilani dalam hati. Tapi begitu dia ingat bahwa maksudnya
untuk membalaskan dendam kesumat terhadap Rae Pamungkas tidak kesampaian karena
kedahuluan si gagu maka gadis ini menjerit keras. Dia melompat ke arah mayat
Rae Pamungkas. Sekali menendang maka mentallah tubuh ketua perkumpulan silat
itu ke arah dinding ruangan. Dinding jebol, tubuh Rae Pamungkas melayang jatuh
ke halaman, tergeletak tak berapa jauh dari mayat orang tua berjanggut dan
berambut putih.
Sehabis
menendang kembali Wilani menjerit. Pemuda gagu mendatanginya, mengelus bahunya.
“Aaa… uu…
aaa… uuu…!” Lalu pemuda ini gerakkan jari-jari tangannya. Tetapi Wilani tidak
mengerti apa yang ingin diucapkan si pemuda lewat gerakan-gerakan jarinya itu.
Ketika Wilani merasakan tubuhnya limbung akibat kecewa besar karena dendamnya
tak kesampaian, si gagu cepat merangkulnya.
Apakah
yang terjadi sebelum Wilani naik ke tingkat atas bangunan itu?
Saat itu
Ketua Perkumpulan Silat Gading Putih yakni Rae Pamungkas, salah seorang
pembunuh Adi Juwono tengah menerima kunjungan seorang tamu dari Kotaraja. Tamu
ini adalah seorang kakek yang karena ketinggian ilmu silatnya telah diangkat
sebagai salah satu pimpinan barisan pengawal Sri Baginda, dikenal dengan
panggilan Ki Tempur Sakal.
Melihat
ada seorang pemuda tak dikenal bisa masuk ke tempat itu tanpa diketahui
seorangpun, Ki Tempur Sakal yang tengah bicara hentikan ucapannya dan berpaling
pada tuan rumah.
“Dimas
Rae Pamungkas,” bisiknya. “Jika ada orang bisa masuk ke tempat ini tanpa setahu
penjaga, itu pertanda sangat lemahnya pengawasan di tempatmu ini!”
Paras Rae
Pamungkas tampak merah. Dia berdiri dari kursinya seraya membentak.
“Anak
muda! Siapa kau?!”
“Aaa…
uuu…. aaa…. uuu….!”
“Hemmm….
Dia ternyata gagu, dimas Rae…!”
“Bangsat!
Bagaimana kau bisa masuk kemari!” kembali Rae Pamungkas membentak.
“Aaa…
uuu…. aaa…. uuu….!” Pemuda gagu itu tiba-tiba gerakkan kedua tangan kakinya.
Suara
berkesiuran memenuhi ruangan disertai terasanya sambaran-sambaran angin dingin
menggidikkan.
Melihat
gerakan-gerakan yang dibuat kedua tangan dan kedua kaki si pemuda gagu,
terkejutlah Ki Tempur Sakal.
Tokoh
silat istana ini melompat dari kursinya seraya berseru: “Ilmu silat kepiting
gila!”
Orang tua
ini maju beberapa langkah lalu berhenti, tak berani lebih mendekat.
“Anak
muda! Apa sangkut pautmu dengan Raja dan Ratu Kepiting Sakti di muara sungai
wilayah selatan?!”
“Aaa…
uuu…. aaa…. uuu….!”
Yang
ditanya menjawab aaa… uuu… aaa… uuu sambil menggerak-gerakkan jari tangannya.
Ki Tempur
Sakal yang kebetulan tahu sedikit arti tanda-tanda yang dibuat oleh jari-jari
tangannya itu menjadi terkesiap. Dia berpaling pada Rae Pamungkas.
“Apa yang
dikatakan pemuda gagu itu kang mas? Lekas beritahu padaku!” kata Rae Pamungkas.
“Katanya….
katanya dia datang tidak untuk membuat keonaran. Dia tidak ada urusan denganku.
Tapi punya urusan besar dengan dirimu! Katanya kau telah membunuh ayahnya dua
belas tahun silam….”
Kagetlah
Rae Pamungkas mendengar penjelasan Ki Tempur Sakal itu.
“Siapa
nama ayahmu?!” Tanya Rae Pamungkas menghardik.
Pemuda
gagu angkat kedua tangannya. Jarinya bergerak-gerak cepat.
“Kangmas
apa yang dikatakannya?!” tanya Rae Pamungkas.
“Katanya
kau tak perlu bertanya karena kau tahu jelas siapa yang dimaksudkannya. Dia
bertanya apakah kau sudah siap untuk menerima kematian ….?!”
“Jahanam!
Enak saja dia berbicara!” Rae pamungkas coba mengingat dengan cepat apa yang
terjadi dua belas tahun silam. Peristiwa di sebuah Rumah dekat plered. Dia dan
Randu Lawang.
Lalu
disitu ada Wirasaba, Kajenar dan Juminten!
“Kalau
begitu…,” kata Rae Pamungkas dengan paras memucat sesaat. “Pemuda gagu ini adalah
Ario Seno, putera Adi Juwono…! Tapi bagaimana mungkin? Anak itu bukankah sudah
mati dilempar ke dalam sungai?!”
Di depan
sana kembali si gagu gerak-gerakan jari-jari tangannya.
Ki Tempur
Sakal membaca dan membacakannya pada Rae Pamungkas.
“Dimas,
pemuda ini segera hendak membunuhmu!”
“Akan
kulihat sampai dimana kehebatannya! Kepalanya akan kupecahkan sebelum dia
sempat menyentuh tubuhku!”
“Biar aku
yang mewakilimu dimas Rae. Ilmu silat kepiting gila yang dimilikinya bukan ilmu
sembarangan. Selain luar biasa juga mengandung racun kepiting yang bisa membuat
orang mati dengan tubuh gembung merah!”
“Terima
kasih kangmas. Wakili aku! Pecahkan kepalanya!” kata Rae Pamungkas. Dia sama
sekali tidak merasa takut. Tapi mengetahui bahwa pemuda gagu itu adalah putera
Adi Juwono mau tak mau hatinya jadi terpengaruh juga.
Sebagai
orang istana tentu saja tingkat kepandaian Ki Tempur Sakal tidak rendah. Tetapi
menghadapi pemuda gagu yang punya tekad untuk membalaskan dendam kesumat
kematian orang tuanya, tokoh istana ini hanya mampu mendesak dua gebrakan saja.
Jurus-jurus berikutnya dirinya menjadi bulan-bulanan tangan kaki si gagu,
Pakaian, kulit dan daging tubuhnya sampai ke muka robek disambar jari-jari
tangan lawan. Darah mengucur dan racun kepiting mulai bekerja hingga sekujur
tubuh orang tua ini tampak merah membengkak. Pada puncak pertarungan, pemuda
gagu kirimkan satu tendangan ke dada lawannya yang sudah hampir sekarat karena
kehabisan darah itu.
Ki Tempur
Sakal mencelat ke dinding ruangan, terus amblas keluar bangunan dan jatuh di
halaman bawah dekat kaki tangga….
Wilani
sadar kalau untuk beberapa lamanya dia telah saling berangkulan dengan pemuda
gagu itu. Dengan wajah bersemu merah dia lepaskah pelukannya. Pada saat itulah
Pendekar 212 Wiro Sableng yang sudah kekenyangan karena barusan habis makan
minum sampai gembul memasuki ruangan.
“Darah
dimana-mana…,” kata Wiro sambil menggaruk kepala. Dia memandang pada Wilani dan
pemuda gagu. “Eh, ki sanak, ternyata kaupun ada di sini….”
“Aaaa…
uuu… aaa…. uuu….” Si gagu menyahuti seraya gerakkan jari-jari tangannya.
Wiro
gelengkan kepalanya.
Lalu
tanpa terduga pemuda gagu berkelebat tinggalkan tempat itu.
“Ki sanak
tunggu dulu…,” seru Wiro. Wilani ikut mengejar ke arah tangga. Tapi pemuda itu
sudah lenyap.
“Manusia
aneh …. Dia mendahului aku ….”
“Mendahului
apa maksudmu?” tanya Wiro.
“Lupakan
saja hal itu,” sahut Wilani pula.
“Kita ini
sudah bersahabat. Mengapa kau masih merahasiakan sesuatu padaku…?”
“Aku
belum menganggapmu sahabat!” jawab Wilani.
“Kenapa
begitu?!” tanya Wiro.
“Sesuai
dengan petunjuk guru, jangan-jangan kau ini tak lebih dari setan kepala hitam
….”
Sesaat
murid Sinto Gendeng dari gunung Gede itu jadi melongo. Lalu sambil tersenyum
dan rangkapkan kedua tangan di depan dada dia berkata : “Gurumu itu tentu hebat
sekali. Apakah kau yakin dia benar-benar pernah melihat setan kepala hitam?
Apakah setan itu memang kepalanya hitam, tidak merah atau hijau? Ha…ha…ha….”
Wiro
hentikan tawanya. Lalu sambil menarik nafas dalam dia berkata : “Baiklah kalau
kau memang tidak ingin bersahabat denganku. Aku tetap saja gembira, karena
dapat mengenalmu. Aku pergi sekarang. Hati-hati menjaga diri. Ingat pesan si
gagu sebelumnya. Ini Kotaraja. Jangan berlaku sembrono….” Habis berkata begitu
Wiro melangkah ke arah tangga yang menuju ke tingkat bawah.
“Wiro…!
Tunggu dulu!” tiba-tiba terdengar suara si gadis memanggilnya.
Wiro berhenti
melangkah dan berpaling.
“Kau kini
bersedia menjadi sahabatku….?” tanya Wiro.
“Tidak.
Belum ….,” jawab Wilani.
“Kalau
begitu ya sudah ….” Wiro kembali menuruni tangga. Tapi si gadis mengejar dan
mendahuluinya lalu berbalik.
“Tadi,
sebelum pergi pemuda gagu itu kulihat menggerak-gerakkan jari-jari tangannya
seperti menanyakan sesuatu padamu. Lalu kulihat kau menjawab dengan gelengan
kepala. Apa yang ditanyakannya?!”
Wiro
tersenyum lebar. “Aku akan mengatakannya padamu. Kecuali kau bersedia jadi sahabatku
dan menceritakan urusan gila apa yang tengah kau hadapi saat ini. Kelihatannya
ini bukan urusan main-main. Nyawamu sangat terancam. Kau tahu di bawah sana
puluhan bahkan ratusan anak murid persilatan tengah marah besar melihat
kematian ketua mereka!”
Jari-jari
tangan Wilani tampak terkepal. “Baik, aku bersedia jadi sahabatmu. Soal apa
urusan yang tengah kuhadapi bisa kujelaskan kemudian. Sekarang jelaskan dulu
apa yang dikatakan pemuda gagu itu tadi!”
“Dia
menanyakan siapa namamu, lalu aku menjawab dengan gelengan kepala ….”
“Kenapa
kau menggeleng?!”
“Karena
aku memang tidak tahu siapa namamu! Kau tak pernah mau mengatakannya!”
sahut
Wiro. Lalu seperti tak acuh Pendekar 212 membalikkan tubuh dan menuruni tangga
kembali.
Wilani
memegang lengannya. Dipegang seperti karuan saja hati sang pendekar jadi
berbunga-bunga.
“Kita
sekarang bersahabat. Betul?” ujar Wilani.
“Betul!”jawab
Wiro.
“Jika kau
memang sahabatku tentu kau mau menolong!”
“Tergantung
pertolongan apa yang mau kau minta!”
“Aku akan
menunggu di reruntuhan candi di sebelah timur. Tapi kau tak boleh datang
sendirian….”
“Maksudmu?”
“Kau
harus membawa serta Wiseso, putera ketua persilatan. Dia terkapar pingsan di
serambi bangunan besar….”
Selesai
berkata begitu Wilani langsung melompati deretan anak tangga dan lenyap. Wiro
hanya bisa garuk-garuk kepala. Ketika dia turun ke bawah didapatinya puluhan
anak murid perguruan mendatanginya dengan marah.
“Aku tak
ada urusan lagi dengan kalian! Jika kalian mencari penyakit majulah!” kata Wiro
mengancam sambil siapkan pukulan sakti di tangan kanannya.
Selagi
orang banyak tampak meragu, Pendekar 212 segera melompat ke serambi bangunan
besar dimana tersandar tubuh Wiseso dalam keadaan pingsan. Pemuda ini segera
disambarnya, dipanggul di atas bahu.
“Si
gondrong itu menculik putera ketua kita! Kejar!” seseorang berteriak.
Tapi tak
ada yang berani bergerak, apalagi mengejar. Wiro sendiri melarikan Wiseso ke
arah timur sambil mengomel.
“Apa
maunya gadis itu menyuruhku membawa pemuda ini! Aku juga goblok! Mengapa
mau-maunya melakukan apa yang dimintanya!”
*****************
10
WILANI
TIDAK MENUNGGU LAMA. Wiro muncul memanggul sosok Wiseso beberapa saat setelah
dia sampai di reruntuhan candi. Pemuda yang masih dalam keadaan pingsan itu
disandarkannya ke tembok candi. Lalu dia berpaling pada Wilani.
“Apa yang
kau minta aku kerjakan. Apa yang hendak kau lakukan terhadap putera Rae
Pamungkas ini?”
Wilani
tak menjawab. Dia melangkah mendekati Wiseso lalu letakkan telapak tangannya di
atas kepala pemuda ini. Perlahan-lahan Wilani kerahkan tenaga dalamnya sambil
mengalirkan sejenis hawa sejuk ke dalam tubuh Wiseso. Tak selang berapa lama
terdengar suara pemuda itu mengeluh. Lalu tampak dia membuka kedua matanya.
Saat itu
matahari hampir tenggelam tetapi di tempat itu keadaan masih terang sehingga
Wiseso dapat melihat siapa yang berdiri di depannya. Rasa takut membuatnya
hendak melompat berdiri tapi karena lemah, tubuhnya jatuh tertunduk kembali.
Wilani
injak tulang kering kaki kiri Wiseso hingga pemuda ini menjerit kesakitan.
“Baru
kuinjak sudah menjerit. Apa mau kupatahkan tulang kakimu ini?!” sentak Wilani.
“Ampun!
Jangan ….!” teriak Wiseso.
“Bagus,
kalau kau tak mau kusakiti kau harus menjawab beberapa pertanyaanku….”
“Kau….
kau boleh bertanya apa saja asal jangan menyakitiku. Aku harap kau segera
membebaskan diriku! Dimana aku kau bawa saat ini?!”
“Aku
tidak ingin mendengar segala macam pertanyaan. Justru aku yang akan ajukan
pertanyaan. Kau mengerti?!” Lalu Wilani injak keras-keras tulang kering pemuda
itu hingga Wiseso menjerit kesakitan.
“Ayahmu
adalah salah seorang wakil ketua Perserikatan Silat Bintang Biru. Betul……?”
Wiseso mengangguk.
“Katakan
dimana aku bisa menemui ketua perserikatan yang bernama Randulawang….”
“Aku
sering mendengar nama itu tapi tidak tahu dimana dia berada….”
“Kau
berdusta!” hardik Wilani.
“Sumpah!
Aku tidak berdusta!”
“Perserikatan
Silat Bintang Biru punya nama besar. Masakan kau tidak tahu dimana ketuanya
berada!”
“Aku
benar-benar tidak dusta. Aku hanya tahu dan mengurusi Perkumpulan Silat Gading
Putih. Soal Perserikatan hanya ayahku yang tahu. Kalian bisa bertanya padanya
….”
“Ayahmu
tak bisa menjawab!” berkata Wiro. “Dia sudah mati!”
“Apa…?!”
teriak Wiseso. “Pasti kalian yang membunuhnya!”
“Aku
memang ingin sekali membunuhnya. Tapi ada orang lain yang mendahului….”
“Siapa?
Katakan padaku! Siapa…?!”
“Aku membawamu
kemari bukan menyangkut urusan kematian ayahmu! Tapi justru karena kematian
ayahku yang dibunuh oleh ayahmu dan kawan-kawannya!” kata Wilani lalu jambak
rambut Wiseso keras-keras hingga pemuda ini menggerung kesakitan.
Wiro
Sableng terkejut mendengar ucapan Wilani itu. Untuk beberapa lamanya dia hanya
bisa berdiam diri.
“Kalau
kau tidak tahu dimana ketua perserikatan itu berada, kau pasti tahu dimana
adanya tiga wakil ketua perserikatan….”
“Setahuku
cuma ada dua wakil ketua perserikatan,” kata Wiseso pula.
“Coba kau
sebutkan siapa-siapa mereka!”
“Yang
pertama ayahku, lalu Wirasaba….”
“Ada satu
orang lagi. Namanya Kajenar!”
“Orang
tua itu tidak pernah jadi wakil ketua perserikatan. Sejak dulu aku kenal dia
sebagai pertapa….”
“Kau tahu
dimana Wirasaba berada?”
“Satu
tahun lalu dia masih membuka perguruan silat Mustika Ratu di kaki bukit Merak
Putih.
Lalu
pindah ke tempat lain tapi masih membuka perguruan silat itu dan tetap
bergabung dalam perserikatan…. Dimana dia berada sekarang dan memimpin
perguruannya aku tidak tahu.”
“Dimana
letak pertapaan Kajenar?” tanya Wilani selanjutnya.
“Lereng
timur bukit Rowogiri, tak jauh dari desa Kalasan,” menjelaskan Wiseso.
Wilani
berpaling pada Wiro. “Apakah semua keterangan orang yang satu ini menurutmu
bisa dipercaya?”
“Hemmm….
Coba kulihat dulu telapak tangan kanannya!” sahut Wiro. Lalu dia membentak.
“Perlihatkan
telapak tangan kananmu!”
Ketakutan
Wiseso ulurkan tangan kanannya. Telapak dikembangkan. Wiro mengurut pertengahan
telapak tangan itu dua kali. Selesai diurut telapak tangan itu tampak bergetar.
Wiseso merasa seperti kesemutan. Mula-mula perlahan saja. Tetapi begitu rasa
kesemutan itu makin keras maka menjeritlah dia saking tidak tahannya.
“Semua
keteranganmu dusta!” sentak Wiro.
Wilani
langsung saja hendak menjambak. Tapi Wiro mencegah.
Wiseso
menjerit terus. “Demi Tuhan! Aku bersumpah! Aku tidak berusta! Aku tidak
bohong!
Bebaskan
aku! Tolong…. Tolongggg…! Pemuda ini lalu pukul-pukulkan tangannya yang
kesemutan itu ke batu candi. Tapi rasa kesemutan itu malah semakin bertambah.
Akhirnya dia bergulingan di tanah sambil terus menjerit-jerit.
Wiro
berbisik pada Wilani. “Kunyuk itu tidak dusta! Mari tinggalkan tempat ini kalau
kau memang hendak mencari tempat kediaman Kajenar. Itu tempat yang terdekat
dari sini….”
“Bagaimana
dengan pemuda itu?” tanya wilani pula,
“Biarkan
saja. Nanti kesemutan yang dirasakannya akan hilang sendirinya… Mari!”
“Mari
kemana?!” tanya Wilani.
“Bukankah
kita sekarang hendak mencari tempat kediaman orang bernama Kajenar itu?”
“Itu
urusanku! Kau tidak perlu ikut-ikutan kesana!” Wiro tertawa. “Kau sudah
mengakui aku sebagai sahabat. Berarti urusanmu adalah urusanku juga!”
“Hemm….
bagus kalau begitu. Tapi apakah dibalik semua maksud baikmu ini tidak
tersembunyi maksud lain yang jahat?” tanya Wilani.
Murid
Sinto Gendeng diam-diam menggerendeng dalam hati. Dia menjawab : “Pelajaran
dari gurumu rupanya sangat mempengaruhi dirimu secara salah! Kau lebih percaya
pada setan benaran dari pada manusia benaran!”
Wilani
terdiam sesaat. Tiba-tiba gadis ini keluarkan seruan pendek dan menghantam ke
arah tembok di samping kiri reruntuhan candi.
Braaaakkk!
Tembok
itu hancur berantakan. Tapi orang yang dilihat Wilani tadi mengendap di balik
tembok itu telah lebih dahulu berkelebat dan melarikan diri, lenyap dalam
penghujung sore yang mulai menggelap itu.
Wiro
menyaksikan kejadian itu tanpa bergerak ataupun mengatakan apa-apa. Ketika
Wilani memandang ke arahnya murid Eyang Sinto Gendeng ini berkata : “Silahkan
pergi. Aku tak akan mengikutimu. Aku tidak akan mencampuri urusanmu!”
“Aku
tadi… aku tadi melihat ada seseorang menyelinap di balik tembok yang hancur
itu…,” menjelaskan Wilani.
“Mungkin
itu bukan orang. Mungkin itu setan yang dikatakan gurumu!” sahut Pendekar 212.
“Ah, dia
pasti tersinggung dengan ucapanku tadi…,” kata Wilani dalam hati. Dia berpikir
sejenak. Akhirnya perlahan-lahan membalikkan diri lalu melangkah meninggalkan
tempat itu.
Setiap
lima langkah gadis ini berpaling kebelakang, merigharap Wiro akan mengikutinya.
Tapi saat itu Wiro justru menggeliat lalu rebahkan tubuhnya di lantai candi
berbantalkan lengan kanannya.
Wilani
hentikan langkahnya. Akhirnya gadis ini berseru : “Wiro! Kau betulan tidak mau
ikut bersamaku?!”
Pendekar
212 diam saja.
“Wirol”
panggil Wilani kembali. “Aku menghitung sampai tiga! Kalau kau tidak menjawab
akan kutinggal. Benar-benar kutinggal! Satu….!”
“Dua…Tiga!”
terdengar sahutan Wiro dari arah candi. Lalu kelihatan sosok tubuh pendekar 212
melompat berkelebat sambil tertawa gelak-gelak.
*****************
11
MALAM
HARI BUKIT ROWOGIRI tampak angker. Tapi dua muda-mudi itu bergerak cepat di
kegelapan malam tanpa rasa takut sama sekali. Sesuai penjelasan Wiseso mereka
menuju ke lereng timur bukit yang tidak seberapa tinggi itu.
“Aku
melihat nyala pelita di sebelah sana,” Wilani berbisik..
“Aku
juga,” sahut Wiro. “Pasti itu tempatnya. Tapi kita harus berlaku hati-hati.
Kita melangkah terus menuju nyala pelita itu. Seratus langkah dari sana kita
bersibak. Kau ke kiri, aku ke kanan. Lalu kita sama-sama mendatangi dari
samping….”
“Aku
setuju,” kata Wilani pula.
Seratus
langkah dari nyala pelita yang terlihat di kejauhan, kedua orang itu berpisah.
Wiro kemudian mendatangi dari kanan sementara Wilani dari arah kiri. Tak berapa
lama kemudian keduanya sampai dalam waktu hampir bersamaan di samping nyala
pelita yang ternyata adalah sebuah obor kecil terbuat dari kayu hitam yang
ditancapkan di tanah.
Obor
kecil itu tertancap di tanah di dalam sebuah goa. Wiro dan Wilani ulurkan
kepala masing-masing, meneliti isi goa. Tidak tampak apa-apa atau siapapun
selain obor kayu itu. Ketika Wiro memberi isyarat bahwa dia akan masuk duluan,
tiba-tiba dari dalam goa bergema suara orang.
“Para
tetamu yang ada di luar masuklah. Tak usah ragu-ragu. Goa ini tidak dipasangi
peralatan rahasia yang bisa mencelakai kalian! Aku sudah sangat letih menunggu.
Dua belas tahun mendekam disini akhirnya kalian datang juga….! Masuklah!”
Wiro dan
Wilani sama-sama melengak. Pendekar 212 goyangkan kepalanya. Wilani hanya
mengangkat bahu sebagai jawaban. Akhirnya gadis ini dengan berani mendahului
melangkah masuk ke dalam goa dengan membungkuk-bungkuk agar kepalanya tidak
menyundul bagian atas goa. Ternyata semakin ke dalam goa itu semakin tinggi
hingga Wiro dan Wilani bisa berjalan seperti biasa.
Hanya
masuk sekitar tiga puluh langkah goa itu berakhir pada sebuah dinding batu
berwarna kelabu. Di depan dinding batu, di hadapan sebuah obor kecil duduk
bersila seorang kakek berpakaian serba putih. Tubuhnya halus kurus hanya
tinggal kulit pembalut tulang. Tapi wajahnya masih kelihatan segar. Pandangan
matanya tajam. Di pangkuannya terkembang sebuah kitab kecil bertuliskan
huruf-huruf Arab gundul. Begitu Wilani dan Wiro sampai di hadapannya orang tua
ini angkat kedua tangannya seraya berucap : “Terima kasih Tuhan, Kau telah
membimbing mereka ke tempat ini ….”
Lalu
orang tua itu memandang pada dua muda-mudi di hadapannya. Suaranya bergetar
ketika berkata pada Wilani : “Kau tentulah Wilani, putri dimas Adi Juwono.”
Lalu pada Wiro dia menyapa : “Dan kau tentu Ario Seno, putranya.”
Wiro
mendehem dan menyahuti. “Maaf orang tua. Aku bukan Ario Seno. Namaku Wiro
Sableng….”
Berubahlah
paras si orang tua. Dia menatap wajah Wilani sesaat lalu bertanya : “Dimana
kakakmu Ario Seno? Apakah ini berarti nyawanya tidak tertolong lagi sewaktu
dilemparkan Randulawang ke dalam sungai?”
“Saya
tidak tahu dimana dia berada atau apa yang terjadi atas dirinya. Entah masih
hidup entah memang sudah menemui ajal.” Sahut Wilani. “Sebaliknya saya ingin
tahu, apakah kau ini orang tua yang bernama Kajenar, bekas wakil ketua
Perserikatan Silat Bintang Biru merangkap ketua perguruan silat Elang laut….?”
Orang tua
yang duduk bersila tersenyum. “Kalian berdua duduklah,” katanya.
“Terima
kasih. Kami lebih suka berdiri,” yang menjawab Wiro.
“Terserah
kalau kalian lebih suka berdiri. Tak jadi apa….”
“Orang
tua, kau belum menjawab pertanyaanku!” mengingatkan Wilani.
Sepasang
mata si orang tua tampak berkaca-kaca, lalu terdengar suaranya agak bergetar.
“Aku
memang Kajenar. Dua belas tahun lalu aku mengasingkan diri di goa ini. Menunggu
dengan pasti bahwa suatu ketika salah seorang anak dimas Adi Juwono pasti akan
muncul kemari untuk membalas sakit hati dendam kesumat kematian ayahnya.
Ternyata kau yang datang. Bagiku itu sudah cukup. Wilani…. Kau menyaksikan
sendiri apa yang terjadi dua belas tahun lalu di sebuah bangunan dekat Plered.
Kau tentu ingat bahwa aku salah seorang dari mereka. Karena itulah saat ini aku
sudah siap menerima hukuman. Mati adalah bagianku. Lebih cepat kau melakukannya
lebih baik bagiku!”
Di
pelupuk mata Wilani terbayang peristiwa dua belas tahun lalu ketika ayahnya
dibunuh oleh Randulawang dan kawan-kawannya.
“Orang
tua, kau memang berada ditempat pembunuhan itu malam dua belas tahun yang lalu.
Tapi aku
ingat, kau bukan salah satu dari mereka. Aku ingat kau hanya duduk diam
ditempatmu, tidak melakukan apa-apa….”
“Tidak
melakukan apa-apa berarti sama saja dengan melakukan pembunuhan. Aku tidak bisa
mencegah kawan-kawanku yang berniat membunuh ayahmu…. Dosaku sama saja dengan
dosa mereka!” Air mata menggelinding di pipi keriput Kajenar.
“Orang
tua, dengar. Kami datang bukan untuk menghukum apalagi hendak membunuhmu.
Kami
hanya perlu keterangan dimana Randulawang dan Wirasaba saat ini berada.”
Mendengar
pertanyaan itu Kajenar berkata : “Kau hanya bertanyakan Randulawang dan
Wirasaba. Berarti kau sudah menemui Rae Pamungkas….”
“Seseorang
telah membunuhnya. Kami kedahuluan!” kata Wilani pula. “Saya menunggu
keteranganmu, orang tua!”
“Seharusnya
aku tidak boleh mengkhianati teman-teman, apapun dosa perbuatan mereka.
Tapi
kalau hal ini bisa mengurangi sedikit saja dari dosa-dosaku, aku akan memilih
pengampunan di atas penghianatan.”
Kajenar
menatap wajah Wilani beberapa lamanya lalu berkata : “Randulawang selain masih
memegang jabatan ketua perserikatan silat, dia telah diangkat menjadi Ngabehi.
Tempat kediamannya di pagar selatan kawasan keraton. Dia lebih sering berada
disitu daripada di perguruan silat Budi Luhur yang dipimpinnya ….”
“Lalu
dimana manusia bernama Wirasaba berada?” tanya Wilani.
“Kau
pergilah ke air terjun Ungaran. Wirasaba memindahkan perguruan silatnya ke
tempat itu sekitar dua tahun lalu….”
Wilani
berpaling pada Wiro. Ketika dilihatnya pemuda ini mengangguk maka si gadis
berkata pada Kajenar. “Keteranganmu sangat menolong. Saya dan sahabat saya
minta diri sekarang….”
“Minta
diri…?” Kajenar kaget dan berdiri dari duduknya. “Wilani, dosaku terlalu besar.
Aku ingin kau menjatuhkan hukuman mati atas diriku saat ini juga!”
Wilani
menggeleng. “Saya tahu apa yang terjadi dua belas tahun lalu. Kau mungkin salah
satu dari mereka. Tapi kau tidak turut campur dalam soal pembunuhan ayah….”
“Dosaku
besar sekali Wilani. Dimas Adi Juwono, bagaimana aku harus menebus dosa…!” kata
Kajenar berulang-ulang.
“Orang
tua, kalaupun kau merasa berdosa, maka dua belas tahun dalam penderitaan batin
sudah merupakan hukuman bagimu!” Habis berkata begitu Wilani memberi isyarat
pada Wiro lalu mendahului melangkah keluar goa.
Di dalam
goa Kajenar menangis sesenggukan. “Dosaku terlalu besar. Seharusnya aku
mencegah mereka saat itu! Gusti Allah aku orang sesat…aku tak layak hidup lebih
lama. Dua belas tahun sudah cukup lama aku tersiksa dalam tekanan batin. Aku
tak sanggup merasakannya lebih lama lagi….” Kajenar menggerung keras lalu
hantamkan kepalanya sendiri kedinding batu.
Hantaman
ini keras sekali dan pasti akan membuat kapalanya rengkah lalu menemui ajal.
Namun satu telapak tangan tiba-tiba melesat ke depan, menahan kepalanya hingga
tidak membentur tembok.
Tentu
saja orang tua itu terkejut bukan main. Dia melangkah mundur sambil pegangi
kening dan memandang melotot ke depan. Orang yang barusan mempergunakan telapak
tangannya untuk menahan kepalanya ternyata adalah seorang pemuda gagah berambut
gondrong.
Sesaat
Kajenar memandang tak berkesiap pada pemuda itu. Lalu perlahan-lahan terbayang
kembali peristiwa dua belas tahun silam. Adi Juwono datang bersama anak
perempuan dan anak lelakinya. Wajah anak lelaki kecil dulu itu jika dia memang
masih hidup pastilah sama dengan wajah pemuda yang tegak di hadapannya dan
telah menyelamatkannya dari kematian yang sangat aib. Sesat bunuh diri!
“Anak muda
…,” kata Kajenar dengan suara bergetar. “Gusti Allah …. Apakah kau Ario Seno,
putera mendiang dimas Adi Juwono …?”
“Aaaa
….uuu ….aaa…uuu…,” Pemuda yang ditanya menjawab.
“Kasihan,
kau tidak bisa bicara. Kau gagu! Aku yakin lidahmu cacat! Aku yakin itu akibat
tusukan pisau beracun Randulawang! Ya Tuhan! Kau pasti Ario Seno!”
Kajenar
ulurkan kedua tangannya hendak memeluk pemuda itu. Tapi dia hanya memeluk
angin. Orang yang hendak dipeluk sudah lenyap dari hadapannya!
Orang tua
itu memburu ke mulut goa. Hanya kegelapan dan kesunyian yang didapatinya.
Kajenar
merasakan tubuhnya lunglai dan jatuh terduduk di mulut goa. Hampir tanpa suara
orang tua ini mulai menangis sesenggukan.
Di luar
goa Wiro dan Wilani masih sempat mendengar suara Kajenar sayup-sayup sampai.
Namun
perhatian mereka tidak sepenuhnya tertuju kesitu. Hal ini karena di dalam gelap
Wilani tiba-tiba melihat satu sosok bayangan berkelebat. Tanpa banyak cerita
kedua muda-mudi ini langsung lepaskan pukulan sakti. Tapi bayangan itu ternyata
lebih cepat. Hantaman pukulan Wiro dan Wilani hanya sempat menumbangkan dua
buah pohon dan memporak-porandakan rerumpunan semak belukar.
“Aku
menaruh dugaan perjalanan kita sejak dari Kotaraja telah diikuti orang …,”
bisik Wilani.
Wiro
mengangguk membenarkan. “Kita tak usah khawatir. Si penguntit itu tak akan bisa
sembunyi terus-terusan.
Satu
waktu kita akan berhasil menggebuk dan menangkapnya hidup-hidup ….”
*****************
12
RUMAH
BESAR DI LUAR TEMBOK keraton di kawasan selatan itu bagian luarnya diterangi
oleh banyak lampu-lampu minyak berbentuk lampion. Sebaliknya di sebelah dalam
suasana kelihatan redup-redup saja, bahkan gelap pekat di beberapa bagian.
“Kalau
ini rumahnya, jangan-jangan orangnya sedang tidak ada…,” berbisik Wiro.
“Aku akan
menunggu sampai manusia biadab itu muncul. Tak dapat kumengerti bagaimana
seorang jahat seperti Randulawang yang tega membunuh anak kecil dan
mengkhianati atasannya sendiri kini bisa punya kedudukan sebagai ngabehi!”
Wiro
tertawa kecil. “Itu namanya dunia, Wilani. Eh…namamu betul Wilani bukan? Begitu
si kakek dalam goa memanggilmu!”
“Bukan
saatnya bergurau!” sahut Wilani.
“Jangan
ketus. Kalau aku kesalahan menyebut namamu nanti kau malah marah. Apa kau mau
namamu kusebut Kuini atau Patani…?”
“Kau
minta ditampar rupanya….”
“Sudah!
Diam. Ada orang datang…,” kata Wiro lalu menarik Wilani ke balik pohon beringin
dimana mereka berada.
Tak lama
kemudian lewat seorang nenek bungkuk. Walau tubuhnya bungkuk dan dia membawa
bakul sarat berisi sayuran namun nenek ini jalannya cepat sekali. Mulutnya tak
hentihentinya mengunyah susur. Di dekat pohon dia menyemburkan air susur.
Hampir mengenahi kaki Wiro. Murid Sinto Gendeng ini memaki dalam hati. Lalu disambarnya
tangan si nenek. Ditariknya kebalik pohon.
Mengira
setan yang menarik karuan saja si nenek lepaskan bakulnya lalu berteriak.
Susurnya
melompat entah kemana.
“Setan…tolong…!
Tol….”
Wiro
cepat tekap mulut perempuan tua ini.
“Nek,
berhenti berteriak! Atau kupencet leher ayammu! Aku bukan setan tahu!”
Sepasang
mata nenek berputar. “Hemmmm…. Hcmmmm.” Dia hanya bisa bergumam lalu
angguk-anggukan kepalanya. Perlahan-lahan Wiro lalu lepaskan tekapannya.
“Sebelum
kau kulepas pergi katakan dulu, apakah rumah yang banyak lampionnya itu adalah
rumah Ngahebi Randulawang…?”
“Ngahebi!”
tukas Si nenek. “Bukan Ngahebi! Tapi Ngabehi!”
“Betul,
kau betul! Dari dulu itu memang rumah Ngabehi Randulawang!” berkata si nenek.
“Bagus!
Kau boleh pergi!” kata Wiro pula lalu tepuk pantat si nenek.
“Pemuda
kurang ajar! Kau belum lahir aku sudah puluhan tahun hidup di dunia! Berani kau
memegang pantatku!”
Sambil
mengomel seperti itu si nenek ambil bakul sayurnya. Dia berusaha mencari
susurnya yang hilang tapi tak berhasil. Masih terus mengomel dia melangkah
pergi.
“Kalau
cuma mau tanya rumah orang, mengapa main betot seperti setan saja! Lalu
memegang pantatku lagi! Ih…!”
Setelah
si nenek lenyap di kejauhan Wilani berbisik :
“Aku akan
masuk ke dalam rumah itu! Aku khawatir kalau kedahuluan lagi!”
“Aku ikut
bersamamu. Tapi…! Lekas sembunyi. Ada suara kaki kuda mendatangi…,” kata Wiro.
Kedua
orang itu kembali mendekam di balik pohon beringin. Tiga orang penunggang kuda
lewat dengan cepat. Di sebelah depan seorang lelaki mengenakan destar merah
berbaju kuning. Dia mengenakan kalung dari akar bahar di lehernya. Di sebelah
depan kalung ini diganduli sebuah batu mustika yang tampak bercahaya walaupun
dalam gelap. Dua penunggang di belakangnya kelihatannya adalah para pengiring
atau pengawalnya.
Sekelebatan
dalam gelap Wilani melihat wajah orang berdestar merah. Tersiraplah darahnya.
Tubuhnya
bergetar. Tanpa sadar jari-jarinya menggenggam lengan Wiro.
“Ada
apa…?” bisik Pendekar 212.
“Orang
berdestar di sebelah depan itu. Aku merasa pasti dia adalah Wirasaba. Manusia
yang menikam ayahku dengan keris sampai mati! Padahal ayah saat itu sudah tidak
berdaya akibat hantaman penggada di tangan Randulawang!” Habis berkata itu
Wilani segera hendak melompat keluar dari balik pohon.
“Sabar
dulu!” bisik Wiro seraya pegang lengan gadis itu. “Jika benar orang itu
Wirasaba, berarti Randulawang sedang ada di rumah! Mereka orang-orang
berkepandaian tinggi! Kita jangan bertindak gegabah!”
“Aku rela
mati asalkan dapat membunuh kedua manusia biadab itu!”
“Kau rela
tapi aku tak rela melihat kau mati!” sahut Wiro sambil tersenyum.
“Gila!
Dalam keadaan seperti ini kau masih saja bisa bicara konyol!” kertak Wilani.
“Kita
tunggu saja dulu. Jangan main serbu sembarangan. Lihat suasana baru bergerak….”
Meskipun
jengkel tapi Wilani akhirnya mengikuti juga ucapan Pendekar 212.
Di
hadapan rumah besar tiga penunggang kuda melompat turun dari kudanya. Yang dua
tetap berdiri di halaman sedang yang berdestar merah tampak menaiki tangga.
Orang ini menggoyang-goyangkan sebuah lonceng yang tergantung di atas pintu
depan. Seseorang yang tidak kelihatan membukakan pintu. Sang tamu masuk. Tak
lama kemudian di bagian dalam rumah menyala sebuah lampu, tapi tak cukup terang
sehingga baik Wiro maupun Wilani tidak dapat melihat siapa yang tegak di
hadapan orang berdestar merah itu.
“Tunggu
apa lagi sekarang?” tanya Wilani sudah tidak sabaran.
Wiro
memandang berkeliling lalu anggukan kepala. “Kau masuk dari pintu depan, aku
melompat lewat jendela. Tapi sebelum masuk ke dalam rumah dua pengiring itu
harus kita suruh tidur dulu….”
Dengan
gerakan cepat dan lompatan tanpa suara, Pendekar 212 Wiro Sableng tahu-tahu
sudah berada di belakang dua pengiring yang asyik mengobrol sambil menikmati
rokok kawung.
Wiro
totok punggung kedua orang ini hingga keduanya tertegak kaku dan tak mampu
keluarkan suara.
Justru
pada saat itulah di dalam rumah terdengar suara bentakan-bentakan keras
diseling suara beradunya pukulan.
“Apa
kataku! Kita kedahuluan lagi!” kata Wilani lalu tanpa perdulikan Wiro gadis ini
menghambur ke depan pintu depan rumah besar. Dia tidak pergunakan tangan untuk
membuka melainkah mendobraknya dengan tendangan kaki kanan!
Begitu
pintu itu ambrol gadis ini melompat masuk. Wiro menyusul sesaat kemudian.
“Wiro!
Lihat! Dia…!” Wilani berseru seraya menunjuk pada sosok tubuh yang saat itu
tampak menggerak-gerakkan kedua tangan dan kakinya.
“Aaaaa…..uuuu….aaaa…uuu!”
Di
ruangan tamu rumah besar itu kelihatan tiga orang lelaki. Yang pertama adalah
tuan rumah yang bukan lain memang Randulawang, Ketua Perserikatan Silat Bintang
Biru. Orang kedua yakni sang tamu ternyata betul Wirasaba sedang orang ketiga
adalah pemuda gagu yang sudah dikenal oleh Wilani dan Wiro Sableng.
“Pemuda
gagu! Jadi dia rupanya!” ujar Wilani. “Dia selalu mendahuluiku! Sasarannya sama
dengan sasaranku! Tapi kali ini aku tak mau keda-huluan lagi! Dua manusia
durjana itu harus mati di tanganku!” Wilani menggertak. Lupa sudah dia pada
pesan gurunya yaitu agar berusaha untuk tidak membalaskan dendam dengan
melakukan pembunuhan.
“Ki
sanak! kau mundur! Dua manusia itu harus mati di tanganku!” teriak Wilani.
Sebaliknya
si gagu justru malah melompat ke hadapan Randulawang sambil berteriak aaa…uuu…
aaaa…uuu tiada hentinya.
.
“Bangsat! Tahan dulu! Kalian berani mencari mampus masuk ke rumah Ngabehi
Randulawang!” berteriak Wirasaba.
“Kalian
orang-orang gila kesasar dari mana?!”
“Wirasaba
manusia anjing!” balas berteriak Wilani.
“Apa kau
sudah lupa aku? Aku adalah Wilani anak perempuan Adi Juwono yang kalian bunuh
dua belas tahun lalu!”
Kagetlah
Wirasaba dan Randulawang mendengar ucapan itu. Sementara itu si gagu sambil
terus keluarkan suara aaa…uuu…aaa…uuu kini tampak dia menggerak-gerakkan
jari-jari tangannya.
Waktu
melihat gerakan jari-jari tangan itu karuan saja Pendekar 212 menjadi melengak
kaget! Dia hendak mengatakan sesuatu pada Wilani. Tapi sang dara sudah melompat
kearah Randu lawang seraya lepaskan satu pukulan sakti!
Randulawang
terkejut sekali lalu cepat menyingkir. Di sampingnya sebuah guci batu hancur
berantakan dihantam pukulan tangan kosong Wilani.
Kini
sadarlah sang Ngabehi kalau orang memang benar-benar inginkan nyawanya. Maka
tak ayal lagi diapun balas menghantam dengan satu pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam tinggi.
Wilani
yang sudah nekad ingin membunuh musuh besarnya itu dengan cara apapun lipat
gandakan aliran tenaga dalamnya di tangan kanan lalu kembali memukul.
Bangunan
besar itu berderak ketika dua pukulan mengandung hawa sakti saling bertabrakan.
Randulawang
terpental dan tersandar ke dinding. Mukanya pucat. Wilani tegak
tergontai-gontai.
dadanya
terasa sakit. Didahului oleh teriakan keras murid Datuk Buntung Cemoro Sewu ini
cabut pedangnya lalu menyerbu ke arah lawan.
Randulawang
terkesiap ketika melihat kilauan sinar pedang di tangan sang dara. Dia melompat
kekiri, menyambar sebilah tombak besi berlapis emas.
“Gadis
gila!” teriak Randulawang. “Kalau kau benar anaknya Adi Juwono, lihat
baik-baik!
Tombak
ini adalah milik ayahmu! Dengan senjata ini aku akan membunuhmu!”
Disebut
dirinya gadis gila, apalagi mendengar ucapan Randulawang bahwa tombak di
tangannya adalah milik ayahnya, Wilani menjerit keras. Lalu tubuhnya lenyap
terbungkus bayangbayang pedangnya sendiri! Sang dara langsung keluarkan
jurus-jurus ganas dari ilmu pedangnya.
Meskipun
memegang tombak mustika di tangan namun segera saja Randulawang terdesak hebat.
Ketua
Perserikatan Silat Bintang Biru ini menggembor marah. Masakan dia yang sudah
berpengalaman begitu lama dan menyandang nama besar sanggup didesak lawan yang
masih hijau.
Maka
diapun keluarkan jurus-jurus simpanannya. Dalam satu gebrakan hebat tombak di
tangan Randulawang yang tiba-tiba bisa berubah panjang berhasil memukul lepas
pedang di tangan Wilani.
Lalu secepat
kilat ujung tombak menusuk ke arah gadis ini!
“Manusia
durjana! Aku mengadu nyawa denganmu !” teriak Wilani.
PuteriAdi
Juwono itu melompat sebat ke kiri. Tusukan tombak lewat satu jengkal saja dari
dadanya.
Ketika
Randulawang berbalik dan memburu, gadis ini tampak mengeruk ke balik
pakaiannya. Di lain kejap ketika dia memukulkan tangan kanannya ke depan,
melesatlah belasan senjata rahasia berbentuk jarum halus berwarna putih!
“Awas
senjata rahasiai” teriak Wirasaba memperingatkan. Namun saat itu diapun mendapat
serangan dari samping.
“Aaaa….uuuu….aaaa…uuuu.”
Wirasaba
menyingkir selamatkan diri. Namun terlambat. Salah satu tangan pemuda gagu yang
bergerak aneh berhasil menggapai dadanya. Breet! Pakaian kuning wakil ketua
perserikatan ini robek besar bersimbah darah. Wirasaba menggereng keras antara
kesakitan dan marah. Tangan kanannya bergerak ke punggung. Ternyata dia
membekal sebentuk senjata berbentuk keris tetapi memiliki panjang hampir empat
jengkal. Senjata ini memancarkan sinar hitam redup tanda mengandung racun
jahat!
“Aaaa…uuuu….aaaa….uuuu…”
Pemuda gagu merangsak terus tanpa perdulikan senjata yang menderu-deru ke
arahnya. Sementara itu Wirasaba merasakan tubuhnya menjadi kepanasan sedang
mukanya tampak merah dan mulai menggembung. Inilah racun kepiting yang telah
mengendap di jalan darahnya yang berasal dari cakaran pemuda gagu.
“Aaaa…uuu…aaa…uuu….”
Si gagu sambut tusukan keris dengan tangan kanannya. Breeettt!
Lengan
pakaian pemuda itu robek. Dagingnya tampak melepuh dan darah yang mengucur
kelihatan hitam! Tapi sambil keluarkan suara aaa…uuu… aaa… uuu…pemuda ini
menyeringai. Dia usapkan tangan kanannya ke lengan kirinya yang luka besar.
Ajaib. Luka itu menutup dan sembuh tanpa bekas!
Melihat
hal ini Wirasaba jadi terbeliak kaget. Sesaat dia berlaku lengah. Dan ini sudah
cukup bagi si gagu untuk melompatinya lalu menggulungnya dengan dua tangan dan
dua kaki!
Yang
terdengar sesudah itu hanyalah jeritan wirasaba diseling suara daging tubuhnya
seperti dicacah. Tulang-tulangnya berderak remuk!
Ketika pemuda
gagu lepaskan tubuh Wirasaba, tubuh itu sudah tidak seperti tubuh lagi.
Hancur
bergelimang darah. Mukanya bengkak merah. Salah satu matanya membusai keluar!
itulah keganasan “ilmu kepiting gila” yang didapat pemuda tersebut yang didapat
dari sepasang kakek nenek sakti di muara pantai selatan!
Kembali
pada perkelahian antara Wilani dengan Randulawang. Dengan mempergunakan tombak
emas milik Adi Juwono lelaki itu mampu meruntuhkan delapan jarum emas yang
menggempurnya. Enam lainnya dapat dielakkannya. Tapi dua buah jarum berhasil
lolos. Satu menyusup di paha kirinya, satu lagi di bahu kanan.
“Setan
alas! Sudah saatnya kau menyusul bapakmu!” teriak Randulawang. Dia berusaha
mencabut jarum yang menancap di bahu kanannya tapi sia-sia. Jarum itu amblas
sampai ke ekornya!
Menggembor
marah Randulawang lemparkan tombak emas di tangan kanannya ke arah Wilani.
Senjata ini melesat laksana anak panah. Dua jengkal lagi ujung tombak akan
mencapai kepala sang dara, dari samping datang memapas sebilah pedang.
Traaaang!
Tombak
emas mental. Pendekar 212 tegak sambil silangkan pedang milik Wilani di depan
dadanya! Wilani hendak mengatakan sesuatu tetapi saat itu Randulawang telah
menerjang dengan sebilah senjata aneh di tangan kanannya.
Senjata
ini terbuat dari besi kuning, bergagang seperti tongkat sedang ujungnya berupa
lingkaran pipih yang luar dan dalamnya sangat tajam. Begitu senjata ini
diputar, terdengar suara menderu dahsyat disertai terpaan angin keras. Wilani
merasakan sekujur tubuhnya seperti berada di atas sampan yang digoyang ombak
besar.
Wuuuttt!
Senjata
di tangan Randulawang berkiblat. Wilani melompat mundur. Tapi luar biasanya
senjata di tangan lawan seperti hidup dan kini meluncur ke arah kepalanya.
Sekali bagian berlubang dari senjata ini sempat masuk ke kepala sang dara,
pasti putuslah lehernya begitu senjata disentakan.
Wuuutt!
Senjata
Randulawang kembali membabat, untuk kedua kalinya Wilani berhasil menghindar.
Tapi pada
kali ketiga gerakannya mengelak tertahan oleh dinding. Sebelum lawan mengejar
Wilani hantamkan kedua tangannya. Dua gelombang angin menerpa dahsyat.
Randulawang
ganti tertawa, sekali dia sapukan senjatanya, dua angin pukulan Wilani langsung
buyar dan si gadis sendiri terpekik karena tubuhnya kena dihantam oleh angin
serangannya yang berbalik. Saat itulah senjata Randulawang datang dari atas
lalu melesat kebawah mengincar kepalanya!
“Aaaa…uuu…aaa…uuu!”
Pemuda
gagu tampak melompat ke udara. Kaki kanannya menendang laksana petir menyambar.
Kraaaakk!
Terdengar
suara patahnya tulang lengan kanan Randulawang. Breeett!
Senjata
Randulawang yang tadinya bakal membelah kepala Wilani kini terbanting ke atas
lalu membabat ke bawah dan masih sempat merobek pakaian di bagian punggung
Wilani!
Jeritan
Randulawang seperti anjing melolong. Tapi hebatnya manusia ini, dalam keadaan
tangan cidera begitu rupa dia masih mampu memindahkan senjatanya ke tangan
kiri.
Begitu
gagang senjata tergenggam di tangan kirinya langsung dibacokan ke kepala
Wilani.
Sang dara
tidak menyangka kalau lawan mampu melakukan serangan begitu cepat.
Untuk
kedua kalinya nyawa gadis ini terancam. Namun untuk kedua kalinya pula dia
selamatkan. Kali ini oleh kapak sakti bermata dua milik Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Kapak
Maut Naga Geni 212 mencuat dalam ruangan itu, mengeluarkan suara seperti
ratusan tawon mengamuk disertai berkiblatnya sinar menyilaukan yang
menghamparkan hawa panas.
Traaang!
Mata
kapak menghantam senjata di tangan kiri Randulawang. Senjata berbentuk tongkat
dan gelang pipih itu mencelat mental dan terjadilah satu hal yang luar biasa
yang tidak diduga serta tidak dapat dicegah oleh siapapun!
*****************
13
DALAM
SEBUAH KAMAR di ujung ruangan, seoarang perempuan berwajah ayu, berusia sekitar
tiga puluhan tersentak bangun dari tidurnya oleh suara gaduh perkelahian yang
terjadi di ruangan depan. Sesaat dia masih berbaring di atas tempat tidur,
berpikir apakah dia tengah bermimpi atau bagaimana. Tapi suara bentakan serta
suara beradunya senjata jelas datang dari ruangan depan. Bahkan dia mengenali
suara seruan suaminya.
Perempuan
di atas ranjang yang bukan lain adalah Juminten, bekas istri ke dua mendiang
Adi Juwono turun dari pembaringan. Selama kawin dua belas tahun dengan
Randulawang perempuan ini tidak dikaruniai anak.
Dengan
penuh perasaan heran tetapi juga kaget serta kecut Juminten melangkah ke pintu
kamar. Pintu kamar dibukanya lebar-lebar lalu perempuan ini melangkah ke luar.
Malang
baginya, dia keluar dari dalam kamar tepat pada saat senjata tongkat berujung
lingkaran pipih tajam milik Randulawang yang terlepas dan mental akibat
hantaman Kapak Maut Naga Geni 212 mental tepat ke arahnya.
“Juminten
awas!” teriak Randulawang memberi ingat. Tetapi percuma. Bagian tajam senjata
itu menghantam pertengahan dada istrinya dengan telak.
Juminten
terbanting ke sanding pintu. Dari tenggorokannya keluar suara seperti orang
mengorok. Suara itu kemudian berganti dengan suara jeritan lalu tubuhnya
melosoh ke lantai.
Perempuan
keji yang pernah menghianati suami pertamanya itu mati dengan mata mendelik.
“Juminten!”
raung Randulawang lalu melompat hendak menubruk istrinya.
Ketika
Randulawang melompat saat itu pula pemuda melesat lalu memiting pinggangnya.
Randulawang
hantamkan lututnya. Lutut itu tepat menghantam dagu pemuda gagu. Namun seperti
sama sekali tidak merasakan, pemuda itu terus saja menelikung tubuh Randulawang
sampai akhirnya keduanya jatuh terguling di lantai ruangan.
Randulawang
berusaha melepaskan diri dari jepitan “ilmu silat kepiting gila” tapi tidak
mampu. Sebagian besar tubuhnya saat itu sudah luka berkelukuran dicabik
jari-jari tangan pemuda gagu yang berkuku panjang.
“Jangan
bunuh dia! dia berhutang nyawa ayahku!” teriak Wilani.
Entah
mengapa mendengar teriakan itu pemuda gagu lepaskan cengkeraman mautnya lalu
melompat berdiri. Merasa dirinya bebas, walaupun terluka parah sekujur badannya
dan kulit serta dagingnya mulai bengkak kemerahan Randulawang cepat berusaha
bangkit berdiri. Di hadapannya Wilani melangkah mendekati dengan pedang di
tangan.
Randulawang
angkat tangan untuk menghantam dengan pukulan sakti. Tapi tangan itu tak mampu
lagi digerakkan. Dia melangkah mundur, lalu berhenti karena kedua kakinyapun ku
tak bisa lagi dilangkahkan. Racun kepiting gila telah melumpuhkan dirinya
secara aneh yaitu tak mampu menggerakkan anggota badan tapi masih bisa berdiri
dan bicara.
“Jangan!
Ampun! Ampuni dosaku!” teriak Randulawang ketika dilihatnya Wilani mengangkat
tangannya yang memegang pedang.
Namun
senjata di tangan si gadis sudah menderu ke bawah. Luka panjang tampak
menyilang dari perut sampai ke pinggul. Randulawang menjerit setinggi langit.
Tubuhnya tergontaigontai.
Matanya
melotot. Seperti kemasukan setan Wilani bacokan lagi pedangnya. Lagi dan
lagi….!
Randulawang
menjerit dan meraung. Jerit manusia ini menggidikan bulu tengkuk. Lalu hek!
Suara
jeritan itu mendadak lenyap ketika pemuda gagu dengan tiba-tiba saja melompat
dan menusukkan tombak milik mendiang Adi Juwono ke mulut Randulawang!
Tombak
itu menembus lidah Randulawang terus menusuk sampai bagian belakang
tenggorokannya dan akhirnya tembus ke bagian belakang kepala! Ketika si gagu
terus mendorong dan menusukkan tombak itu ke dinding, tubuh Randulawang
terpentang mengerikan seperti disate!
“Aaaa…uuu…aaaa…uuu!”
Pemuda gagu jatuhkan diri dan duduk bersimpuh di lantai. Di sebelahnya agak ke
depan sedikit Wilani telah lebih dahulu berlutut sambil tekap wajahnya dengan
kedua tangan. Bahunya bergoyang-goyang tanda dia tengah menahan goncangan hati
yang sangat hebat.
Berada di
belakang Wilani pemuda gagu perhatikan tubuh gadis itu. Tiba-tiba matanya
terpentang memperhatikan punggung Wilani yang tersingkap akibat bajunya robek
oleh sambaran senjata Randulawang.
“Tanda
itu … Tanda itu!” kata si gagu dalam hati. “Hanya ada satu manusia yang
memiliki tanda seperti itu!” Pemuda ini melompat dan melangkah ke hadapan
Wilani. Kedua tangannya langsung memegang wajah si gadis. Merasa dipegang orang
Wilani turunkan kedua tangannya.
Pandangannya
beradu dengan sepasang mata pemuda gagu.
“Jangan
berani berlaku kurang ajar menyentuh diriku!” teriak Wilani hendak marah.
“Aaa …
uuu … aaa … uuu….”
Pendekar
212 Wiro Sableng melangkah di antara kedua orang itu lalu berpaling pada pemuda
gagu.
“Ki
sanak, ketika sahabatku ini tadi berteriak pada Randulawang, mengatakan bahwa
dia adalah anak Adi Juwono yang dibunuh dua belas tahun silam, aku melihat kau
meggerak-gerakkan jari tanganmu. Kau menyampaikan tanda mengatakan bahwa kau
adalah juga anak mendiang Adi Juwono …. Betul begitu?”
“Aaa …
uuu … aaa … uuu!” Pemuda gagu mengangguk berulang kali sedang kedua matanya
memandang ke arah Wilani yang saat itu tiba-tiba saja jadi terbelalak mendengar
ucapan Wiro dan melihat pemuda di hadapannya mengangguk berulang kali.
“Jadi
….Kau mengenali siapa adanya gadis ini?” tanya Wiro ingin kepastian.
Pemuda
gagu gerakkan jari-jari tangannya cepat sekali sementara air mata tampak
berjatuhan ke pipinya.
“Wilani,
dia mengatakan bahwa dia mengenali tanda biru yang tersingkap dipunggungmu.
Tanda
biru itu katanya serupa dengan tanda yang dimiliki adiknya. Dia yakin kau
adalah adiknya!”
Kedua
mata Wilani semakin membelalak.
“Jadi….
jadi….,” Wilani tidak meneruskan ucapannya. Jerit tangisnya, pecah lebih
dahulu.
Lalu dia
menghambur memeluk tubuh pemuda di hadapannya.
“Kakak
Ario…. Kakak Ario Seno! Betul kau ini kakakku Ario Seno….?” tangis Wilani.
“Aaa….uuu
…. aaa …. uuu….”
Wilani
merasakan pemuda yang memeluknya itu menganggukkan kepala.
“Kakak
Ario!” jerit Wilani. “Aku ini adikmu kak! Aku Wilani….!”
Keduanya
berangkulan kencang-kencang dan tenggelam dalam isak tangis. Pendekar 212 hanya
bisa tegak sambil garuk-garuk kepala. Lalu, ketika dia memandang ke arah pemuda
yang memeluk Wilani, dilihatnya walau menangis pemuda itu menyeruakkan senyum.
Dan diperhatikannya bagaimana Ario Seno menggerakkan jari-jari tangannya,
menyampaikan tanda yang berarti : “Jangan cemburu. Aku kakak kandungnya
sungguhan!”
Wiro
garuk-garuk kepala lalu balas menggerakkan jari-jari tangannya, mengatakan pada
Ario Seno : “Aku tidak cemburu. Cuma sedang mencari akal bagaimana caranya
pura-pura terharu lalu ikut-ikutan memeluk adikmu yang cantik itu!”
Ario Seno
tertawa lebar dan kedipkan mata kanannya. Wiro membalas dengan mengedipkan mata
kirinya. Tidak terduga sewaktu dia mengedip begitu sang dara palingkan
kepalanya dan melihat apa yang dilakukan Wiro.
“Ah,
celaka! Pasti dia salah sangka lagi. Pasti dia akan mendampratku lagi!”
Namun
sangkaan Pendekar 212 kali ini keliru. Wilani justru tersipu.
Lesung
pipit menyeruak di kedua pipinya. Lalu gadis ini kedipkan mata kanannya pada
Wiro! Saking senangnya murid Sinto Gendeng ini melompat dan bergelantungan pada
kayu atas pintu ruangan sambil mengoncang-ngoncangkan kedua kakinya!
TAMAT
No comments:
Post a Comment