Misteri
Dewi Bunga Mayat
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
********************
SATU
DI DALAM
KEDAI yang tak seberapa besar itu hawa terasa hangat dan pengap padahal di luar
hujan rintik-rintik dan angin bertiup cukup keras. Pendekar 212 Wiro Sableng
seharusnya sudah sejak tadi meninggalkan kedai dengan perut kenyang. Namun
seorang dara berwajah manis yang setiap mata lelaki tak mau berkesip
memandangnya, membuat murid Sinto Gendeng itu tak beranjak dari bangku yang
didudukinya.
Si jelita
itu makan dengan tenang di sudut kedai. Kepalanya hampir selalu tertunduk.
Namun dari tempatnya duduk Wiro bisa melihat hampir keseluruhan wajah yang
cantik itu. Sang dara mengenakan pakaian putih sebentuk kebaya panjang dengan
kancing besar-besar yang tebuat dari kain putih. Dia tidak mengenakan kain
panjang sebagaimana biasanya orang memakai kebaya, tetapi mengenakan sehelai
celana panjang sebatas betis juga berwarna putih. Sebagian betisnya yang tersembul
tampak kukuh walaupun tidak menyembunyikan kemulusan dan kelembutan serta
keputihan sebagai betis seorang dara.
Di luar
kedai udara malam terasa dingin dan suasana tampak tenang sunyi. Namun jika
kita memalingkan kepala kea rah pohon besar di halaman sebelah kedai, tampaklah
empat orang lelaki muda mendekam dalam gelap bebayangan pohon, duduk tak
bergerak di atas kuda masing-masing. Seekor kuda putih tertambat tak jauh dari
sana. Lalu masih ada seekor kuda lagi di samping kedai yang tidak terikat dan
berjalan perlahan-lahan mencari rerumputan.
“Sudah
kukatakan sebaiknya kita masuk saja ke dalam kedai itu. Kita tak tahu sampai
berapa lama dia berada disana sementara kita kedinginan disini…” salah seorang
pemuda penunggang kuda membuka mulut.
“Gandring!
Jangan bicara tolol!” temannya membentak perlahan. “Aki Sukri pemilik kedai itu
kenal kita. Apa kau mau mencari penyakit kalau kemudian dia bertindak menjadi
saksi?!”
Gandring
yang dibentak diam saja. Seorang kawan yang lain berkata sambil menyeringai, “Kenapa
udara dingin jadi persoalan? Bukankah nanti kita semua bisa berhangat-hangat
dengan si jelita itu?!”
“Sebenarnya
siapakah calon korban kita kali ini?!“ bertanya lelaki ke empat yang duduk di
punggung kuda sambil menghisap sebatang rokok kawung.
“Soal
siapa dia atau siapa namanya kurasa tidak perlu. Yang penting, sore tadi kita
sudah melihat bagaimana wajahnya secantik bidadari. Kulitnya kuning mulus
seperti kulit puteri kerajaan. Lalu pinggangnya yang ramping sedang dada serta
pinggulnya yang begitu besar…!” Pemuda yang bicara ini membasahi bibirnya
dengan ujung lidah sementara tenggorokan tiga kawannya tampak bergerak-gerak
tanda mereka sama menelan air liur. “Seperti biasa, aku pemimpin diantara kita
berempat. Jadi pantas kalau nanti aku yang lebih dulu menikmatinya. Ha…ha…ha…!”
Pemuda itu tertawa perlahan sementar tiga kawannya tampak merengut.
“Jumpadi…
Kau selalu mementingkan diri sendiri. Dalam segala hal selalu ingin duluan,
dalam pembagian selalu ingin lebih besar. Sekali-sekali kami anak buahmu pantas
juga mendapat perolehan lebih besar dan tidak cuma mendapatkan bekasmu!”
Pemuda
bernama Jumpadi berpaling. “Bladu…! Kau rupanya punya niat hendak mengambil
kedudukan pimpinan dari tanganku?!” bertanya Jumpadi dengan mata melotot. Yang
ditanya diam saja. Jumpadi meneruskan, “Aku sudah berapa kali mengatakan. Jika
ada di antara kalian ingin jadi pimpinan rombongan kita silakan saja. Tapi
harus melewati mayatku lebih dulu. Jika ada yang tidak suka dan ingin
mengundurkan diri, juga aku persilakan. Satu pergi ada sepuluh orang yang ingin
bergabung denganku!”
“Sudahlah,
kenapa kalian jadi bertengkar. Lihat ke kedai. Ada orang melangkah keluar!”
berkata pemuda bernama Ambalit. Mendengar ucapannya itu tiga pemuda lainnya
serta merta palingkan kepala ke arah pintu kedai. Di ambang pintu yang masih
terkena cahaya lampu minyak dari dalam kedai kelihatan melangkah keluar seorang
berpakaian serba putih.
“Memang
dia yang kita tunggu-tunggu!” kata Jumpadi. Lalu pada ketiga temannya dia
berkata, “Kita tetap tenang saja. Jangan memperlihatkan sikap yang
mencurigakan. Tunggu sampai dia naik ke atas kudanya dan pergi. Jika aku
bergerak baru kalian ikut bergerak. Awas, jangan berani mendahuluiku!”
Empat
pasang mata memperhatikan dara berpakaian putih keluar dari dalam kedai,
melangkah ke arah kudanya yang tertambat di halaman depan. Dia melangkah
seperti tidak melihat ada empat penunggang kuda mendekam di bawah pohon besar
yang gelap. Dengan tenang dia melepaskan tambatan kudanya lalu naik ke atas
punggung binatang berwarna putih ini.
Sesaat
setelah sang dara berlalu baru Jumpadi menarik tali kekang kuda tunggangannya.
Tiga kawannya langsung membedal kuda masing-masing. Di pintu pondok Pendekar
212 Wiro Sableng sempat melihat gerakan empat penunggang kuda itu. Selain dia
sendiri memang ingin mengikuti gadis berkebaya putih tadi, empat orang lelaki
penuunggang kuda yang barusan berlalu membuat hatinya jadi curiga. Wiro
memandang berkeliling. Celakanya dia tidak memiliki kuda. Bagaimana harus
mengejar orang-orang itu? Ketika dia memandang berkeliling sekali lagi,
dilihatnya ada seekor kuda di halaman samping tengah asyik merumput di
kegelapan malam.
Tanpa
pikir panjang lagi Wiro langsung menghampiri binatang ini, mengusap tengkuknya
lalu melompat ke atas punggungnya. Di saat yang bersamaan dari pintu kedai
keluar Aki Sukri pemilik kedai yang sekaligus si empunya kuda. Melihat kudanya
dibedal orang diapun berteriak sambil mengejar. “Hai! Kudaku! Jangan kau
larikan! Maling….! Pencuri kuda!”
“Aku
tidak mencuri! Aku hanya meminjam kudamu!” teriak Wiro lalu menghambur lenyap
di kegelapan malam. Aki Sukri yang sudah tua tentu saja tak mungkin mengejar.
Marah dan penasaran dia mengambil batu dan melempar ke arah Wiro. Tapi yang
dilempar sudah menghilang di kejauhan.
Gadis
berpakaian putih itu meskipun tahu ada orang-orang mengejarnya tetap saja
menunggangi kuda dengan sikap tenang bahkan seperti santai. Dalam waktu cepat
empat pemuda itu berhasil mendekatinya. Saat itulah sang dara menyentakkan tali
kekang tunggangannya. Kuda putih itu laksana anak panah melesat dari busurnya,
melompat sebat meinggalkan para pengejar. Empat pemuda jadi penasaran. Mereka
memacu kuda, meneruskan pengejaran sekencang-kencangnya. Hampir keempatnya
mendekati si gadis dan mencapai kuda putih itu, tiba-tiba si gadis kembali
menggebrak tunggangannya meninggalkan empat pemuda jauh di belakang.
“Kurang
ajar!” maki Jumpadi. Pemuda ini kenal betul seluk beluk jalan yang ditempuhnya,
termasuk daerah sekitar situ. Maka diapun berteriak pada tiga kawannya, “Gadis
itu sengaja mempermainkan kita! Ambil jalan sebelah kanan. Kita pasti bisa
memotong jalannya sebelum dia mencapai jembatan bambu di Kali Wates!”
Maka
empat kuda itu tampak membelok ke kanan, menyusuri kaki bukit kecil terus
menuju selatan. Dalam waktu singkat mereka berhasil mencapai jembatan bambu
yang dikatakan Jumpadi tadi. Di sini mereka berjejer dua di sisi kiri, dua di
sisi kanan. Sebentar lagi dara berbaju putih itu pasti akan muncul.
Di
kejauhan memang terdengar suara kaki kuda dipacu mendatangi. Sesaat kemudian
tampak penunggang berpakaian putih tapi kudanya berwarna coklat kehitaman.
“Bangsat!
Bukan dara itu!” kertak Jumpadi marah. Yang muncul ternyata adalah seorang
pemuda berpakaian putih, berambut gondrong dan bukan lain adalah murid Sinto
Gendeng! Ketika Jumpadi hendak memaki lagi, di belakang mereka terdengar suara
kuda meringkik. Heran tapi juga terkejut Jumpadi dan tiga kawannya palingkan
kepala. Astaga! Apa yang mereka lihat! Di jalan di seberang jembatan bambu
tampak seekor kuda putih dan penunggangnya tegak membelakangi.
“Itu
dia!” seru Ambalit.
“Aneh!
Bagaimana mungkin dia sampai di seberang sana lebih dulu dari kita?!” Jumpadi
berkata penuh heran.
“Jumpadi,
lihat! Gadis itu mengunggangi kudanya perlahanlahan. Seperti sengaja menunggu
kita!” berkata Bladu.
“Dia
bukan menunggu, tapi benar-benar mempermainkan kita!” ujar Gandring.
Rahang
Jumpadi menggembung. “Saat ini dia bisa mempermainkan kita. Tapi lihat nanti!
Nanti aku yang akan mempermainkannya sampai dia menjerit minta ampun!”
Habis
berkata begitu Jumpadi menggebrak kudanya. Tiga pemuda lainnya menyusul
mengejar. Dan di belakang mereka Pendekar 212 Wiro Sableng kembali mengikuti.
Celakanya kuda yang ditunggangi Wiro tidak mampu berlari cepat dan dalam
perjalanannya sudah beberapa kali membuang kotorannya.
“Binatang
sontoloyo!” maki Wiro. “Kotoranmu saja yang banyak. Larimu seperti siput!”
********************
DUA
KEJAR
MENGEJAR ANTARA dara berbaju dan berkuda putih dengan empat pemuda itu
berlansung terus hampir sepeminuman teh sementara dengan kuda bututnya Wiro
masih terus mengikuti walau tertinggal jauh di belakang.
“Jumpadi,
lihat!” Gandring tiba-tiba berseru. “Gadis yang kita kejar itu mengambil jalan
ke kanan, mengarah ke bukit!”
“Kalau
dia menuju ke sana memangnya mengapa?!” sentak Jumpadi yang saat itu tengah
jengkel karena masih belum berhasil mendekati apalagi menangkap dara yang
tengah mereka kejar.
“Itu
jalan menuju pekuburan Batuwungkur!” menyahuti Gandring.
“Ke
nerakapun aku akan tetap mengejarnya!” kata Jumpadi pula. “kalau kau dan yang
lainnya merasa takut, kembali saja! Biar aku sendiri meneruskan pengejaran!
Tapi awas! Jangan nanti kalian ribut-ribut karena tidak mendapat bagian!” Lalu
Jumpadi menggebrak kudanya agar lari lebih kencang.
Batuwungkur
memang sebuah daerah pekuburan yang terletak di sebuah bukit yang cukup tinggi.
Walaupun hari malam dan hujan turun rintik-rintik saat itu, namun karena
pekuburan merupakan kawasan yang terbuka, dengan jelas tampak dara berbaju
putih bersama kudanya berhenti di salah satu bagian pekuburan, menghadap ke
arah utara dari mana para pengejarnya akan segera muncul. Tak lama kemudian
empat pemuda itu sudah kelihatan di arah masuk pekuburan. Sang dara mengelus
kepala kuda putihnya beberapa kali lalu berbisik, “Kuda, kau pergilah. Aku kedatangan
tamu yang harus kulayani sebaik-baiknya…”
Kuda
putih itu seolah mengerti, geserkan pipinya ke tangan sang dara lalu tinggalkan
tempat itu. Saat itu udara di bukit dingin sekali. Di beberapa bagian tampak
kabut menutupi pemandangan. Tak lama kemudian empat pemuda pengejar sampai di
pekuburan Batuwungkur. Sesaat mereka berhenti di arah jalan masuk dan memandang
ke depan.
“Gadis
itu jelas menuju ke pekuburan ini!” desis Jumpadi.
“Tapi
aneh orang dan kudanya sama sekali tidak kelihatan…?! Tak mungkin dia bersembunyi.
Sama sekali tak ada tempat untuk berlindung…”
Jumpadi
memandang pada tiga temannya lalau berkata, “Ikuti aku…”
Dengan
perlahan-lahan ke empat orang itu memasuk daerah pekuburan. Jumpadi di sebelah
depan, tiga kawannya mengikuti dengan rasa was-was. Sampai di bagian tengah
pekuburan masih belum terlihat orang yang mereka cari.
Kabut di
sebelah timur bukit perlahan-lahan turun ke tanah. Saat itulah keempat pemuda
tadi sama melihat dara berbaju putih itu duduk di atas sebuah batu, di bawah
sebatang pohon kemboja kecil. Disampingnya ada sederetan makam. Makam yang
paling dekat sudah sangat rusak kayu nisannya sehingga tak bisa terbaca siapa
nama penghuninya.
“Jumpadi…
Gadis itu ada di sebelah sana. Duduk di bawah pohon kemboja…” bisik Bladu.
“Aku sudah
melihatnya!” jawab Jumpadi. Lalu tidak seperti kawan-kawannya yang merasa
was-was, dengan hati yang sudah terbakar nafsu dia membawa kudanya ke arah
gadis berbaju putih duduk di bawah pohon. Tiga pemuda lain sesaat saling
pandang. Akhirnya ketiganya bergerak juga mengikuti. Pada saat itulah terdengar
suara orang menyanyi. Nyanyian itu seperti datang dari kejauhan tetapi cukup
jelas masuk ke dalam telinga empat pemuda tadi.
Jika
hidup di dunia tidak berguna
Kematian
memang lebih pantas bagi manusia
Ada yang
mati karena nasib sengsara
Tapi
banyak yang mati karena sengaja mencari sengsara
Jumpadi
dan kawan-kawannya terhenti sesaat begitu mendengar suara nyanyian itu.
“Siapa
yang menyanyi…?” bisik Ambalit.
“Itu
suara perempuan. Mungkin gadis yang duduk dekat makam itu yang menyanyi…”
menyahuti Bladu. Suaranya bergetar tanda ada rasa takut dalam dirinya.
“Tak ada
setan di sini! Yang menyanyi jelas dara berbaju putih itu!” ujar Jumpadi lalu
kembali bergerak ke arah gadis yang duduk di atas batu, tidak menmperdulikan
ucapan Gandring yang mengatakan bahwa dia tidak melihat kuda putih milik gadis
itu.
“Tidak
disangka! Kau bukan saja cantik jelita tapi ternyata juga pandai menyanyi…”
Jumpadi berucap begitu sampai di hadapan sang dara yang duduk membelakanginya.
Punggung dan pinggulnya tampak lebar sementara pinggangnya begitu tamping.
Rambutnya yang panjang tergerai lepas di bahu.
Tanpa
berpaling terdengar si gadis bertanya, “Kau suka nyanyianku tadi rupanya…?”
“Tentu
saja! Siapa orangnya yang tidak suka mendengar suara semerdu buu perindu dari
seorang jelita secantik bidadari…!”
“Ah,
apakah kau pernah melihat bidadari…?” bertanya si gadis masih tidak memalingkan
kepala ataupun memutar duduknya.
“Belum.
Tapi jika memang ada aku yakin bidadari itu secantik dirimu. Namaku Jumpadi.
Siapakah namamu…?”
“Kau
sudah menganggap aku bidadari. Panggil saja aku dengan nama itu. Hai… tadi kau
bilang suka mendengar nyanyianku. Apa kau ingin mendengarkannya sekali lagi…?”
Jumpadi
memandang pada tiga kawannya yang saat itu sudah berjejer di sampingnya.
“Tentu… tentu saja aku suka mendengar nyanyianmu tadi.”
“Hanya
kau sendiri? Bagaimana dengan tiga kawanmu lainnya?” Jumpadi menoleh pada tiga
kawannya dan menganggukkan kepala memberi isyarat. Maka Bladu, Ambalit, dan
Gandring langsung menjawab, “Kami bertiga juga ingin mendengar suara merdu
nyanyianmu tadi…”
“Bagus.
Jangan cuma mendengarkan saja tapi juga coba kalian resapi makna nyanyian itu…”
berkata gadis baju putih. Lalu kembali dia menyanyi seperti tadi.
Jika
hidup di dunia tidak berguna
Kematian
memang lebih pantas bagi manusia
Ada yang
mati karena nasib sengsara
Tapi
banyak yang mati karena sengaja mencari sengsara
Begitu
suara nyanyian sirap, tempat itu berada dalam kesunyian sebelum tiba-tiba
kembali terdengar suara sang dara berkata.
“Kalian
sudah mendengar nyanyianku. Sekarang katakan apa maksud kalian mengejarku dan
menemuiku di tempat ini…”
“Ah…hem…
Kami empat pemuda yang suka bersedekah, memberi derma pada sesama, terutama
pada gadis secantikmu ini…” jawab Jumpadi sambil menyeringai.
“Maksudmu..?”
“Maksudku
kami suka sekali memberi sedekah kenikmatan hidup. Itulah sebabnya kami
mengejarmu…”
“Hem…
begitu? Kenikmatan hidup macam apa yang kau maksudkan? Bicaralah yang jelas
agar aku mengerti…”
“Aku dan
kawan-kawan akan membawamu ke satu tempat yang indah…”
”Tempat
yang indah? Apakah tempat ini menurut kalian tidak indah? Cobalah kalian
memandang berkeliling!”
Jumpadi
dan kawan-kawannya jadi tercekat mendengar katakata si gadis itu. Bladu lalu
membuka mulut.
“Tempat
indah yang kamu maksudkan itu bukan di sini. Tapi satu tempat dimana kita bisa
bersenang-senang…” Saat itu Jumpadi sudah turun dari kudanya dan melangkah
mendekati.
Tiba-tiba
terdengar suara si gadis tertawa. Tawa yang membuat Jumpadi hentikan
langkahnya.
“Bersenang-senang…
Manusia selalu ingin bersenag-senang. Walau terkadang tidak sadar bahwa dibalik
kesenangan itu bersembunyi kesengsaraan…”
“Ah, kami
tidak akan menyengsarakan gadis secantikmu, bidadariku…” ujar Jumpadi pula.
Lalu
dengan satu gerakan kilat dan tiba-tiba pemuda ini tusukkan dua jari tangan
kanannya untuk menotok punggung sang dara. Namun mendadak Jumpadi keluarkan
seruan tertahan. Satu hawa yang mengandung kekuatan aneh seperti mendorong
tangan kanannya sehingga dia tidak mampu melakukan totokan. Pemuda ini tidak
mampu melakukan totokan. Pemuda ini lantas kerahkan tenaga. Akibatnya kii bukan
saja tangannya yang terpental tapi tubuhnya juga terdorong sampai dua langkah.
Sementara sang dara sendiri kembali perdengarkan suara tertawa. Lalu
perlahan-lahan dia berdiri dari batu yang didudukinya, muemutar tubuh
menghadapi Jumpadi dan tiga kawannya yang masih berada di atas punggung kuda
masing-masing.
Sikap
sang dara yang tegak dengan kaki terkembang dan tangan diletakkan di
pinggangnya, membuat empat pemuda itu tambah blingsatan. Ambalit dan dua
kawannya segera melompat turun dari kuda mereka.
“Betulkah
kalian hendak bersenang-senang bersamaku..?” tibatiba sang dara ajukan
pertanyaan blak-blakan yang membuat pemuda itu jadi terbeliak, dan lebih
terbeliak lagi ketika mereka melihat bagaimana jari-jari tangan kiri sang dara
membuka dua kancing teratas kebaya putihnya. Kelihatanlah dadanya yang putih
membusung. Jumpadi yang berdiri paling depan malah bisa melihat celah diantara
kedua payudaranya yang ketat. Menghadapi hal yang tidak terduga yaitu bahwa
ternyata sang dara mengerti maksud mereka malah kini siap membuka pakaiannya,
Jumpadi memberi isyarat pada tiga kawannya.
“Kalian
bertiga tunggu di tempat jauh…” Tapi tiga pemuda hanya melangkah mundur sejauh
dua tombak.
Jumpadi
berpaling pada sang dara kembali dan berkata, “Jika bidadariku sudah mengerti
maksud kami, disinipun kita bisa bersenang-senang. Bukankah katamu tadi tempat
ini juga indah…?” Sang dara tersenyum dan anggukkan kepala.
Jari
tangannya membuka kancing ketiga. Jumpadi merasa seperti dipanggang nafsu.
Tangannya bergerak hendak meraba dada gadis di depannya tapi si gadis mundur
seraya berkata, “Tunggu… Tidakkah kau mencium bau sesuatu…?”
Jumpadi
mengendus. Lalu gelengkan kepala. “Bau apa? Aku tidak mencium bau apa-apa..!”
jawabnya sementara kedua matanya tidak lepas dari dada yang tersingkap.
“Cobalah
mengendus lebih dalam…” bisik si gadis dengan suara lirih yang membuat Jumpadi
jadi luruh tapi juga tambah bernafsu. Jumpadi mendongak ke atas lalu mencium
lama-lama dan dalam-dalam. Ketika kepalanya diturunkan dia berkata, “Ya… aku
mencium sesuatu. Bau… bau… bunga…”
“Ah,
penciumanmu ternyata tajam. Tapi bau bunga apa? Dapatkah kau mengatakannya…?”
“Itu bau
bunga… bunga kenanga!”
“Kau
betul! Kau menyebutnya bunga kenanga. Aku menyebutnya bunga orang mati. Bunga
mayat!”
Habis
berkata begitu sang dara keluarkan tawa. Mula-mula perlahan tapi lama-lama
semakin keras.
Di
hadapannya, Jumpadi yang sudah kelangsangan menahan nafsu kembali mendekat dan
berbisik, “Bidadariku, mari kita pindah ke bawah pohon di sebelah sana. Di situ
tanahnya lebih rata…”
Sang dara
tersenyum dan menggeliat. Gerakan tubuhnya ini membuat bajunya yang tidak
terkancing tambah tersingkap lebar. Jumpadi tak tahan lagi. Serta merta saja
tubuh gadis itu diterkamnya. Jumpadi yang dilanda nafsu sama sekali tidak
melihat bagaimana wajah cantik jelita yang tadi tersenyum kini tiba-tiba
berubah. Senyum lenyap dan wajah itu kini membersitkan kebengisan luar biasa!
Senyum berubah dengan seringai maut!
Hampir
tak kelihatan gadis itu gerakkan tangan kanannya. Sebuah benda berwarna kuning
melesat. Bau bunga kenanga yang sangat tajam menebar di udara malam. Lalu
terdengar pekik Jumpadi!
********************
TIGA
PEMUDA
BERNAMA JUMPADI itu roboh ke tanah dan tak berkutik lagi. Tiga kawannya
berteriak kaget lalu sama-sama memburu. Dan bergidiklah mereka melihat apa yang
terjadi. Jumpadi menggeletak melintang di atas makam. Dia telah jadi mayat.
Mukanya berlumuran darah. Kedua matanya mencelet. Diantara lumuran darah itu
tampak menancap sekuntum bunga kenanga kuning. Dan disaat itu pula udara di
situ dibuncah oleh bau bunga kenanga!
Ambalit,
Gandring, dan Bladu memandang melotot ke arah dara berbaju putih. Si gadis
tegak dongakkan kepala. Dari sela bibirnya yang merah mendesau suara tawa.
Mula-mula perlahan lalu makin keras dan panjang. Meski jelas yang berdiri di
hadapan mereka adalah seorang gadis cantik jelita namun saat itu tiga pemuda
tadi merasakan bulu tengkuk berdiri dan mereka seperti melihat setan kepala
tujuh!
“Dewi
Bunga Mayat!” teriak mereka bersamaan. Lalu serentak ketiganya melompat jauh
dan putar tubuh ambil langkah seribu.
Di
belakang mereka terdengar suara tertawa panjang. “Kalian hendak lari kemana?
Mengapa lari…? Bukankah maksud kalian hendak bersenang-senang bersamaku malam
ini? Hik…hik…hik…!”
Mendengar
ucapan itu, tiga pemuda sama lari tunggang langgang. Tapi baru lari beberapa
belas langkah tahu-tahu ada bayangan menyambar di hadapan mereka dan dara
berbaju kebaya putih itu tiba-tiba sudah menghadang sambil terus keluarkan
suara tertawa cekikikan.
“Dewi
Bunga Mayat! Maafkan kami! Ampuni selembar nyawa kami!” berkata Ambalit seraya
jatuhkan diri berlutut.
“Benar
Dewi, ampuni dosa kami! Kami tidak tahu kalau kau adalah Dewi Bunga Mayat…”
berkata pula Bladu seraya jatuhkan diri sementara Gandring ikut-ikutan berlutut
tapi tak mampu keluarkan kata-kata hanya manggut-manggut dengan mata melotot.
“Ha…ha…!
Kalian minta ampun setelah nama kalian tertera di pintu akhirat! Terlambat…
terlambat!“ ujar dara berbaju putih yang dipanggil dengan sebutan Dewi Bunga
Mayat. “Bersiaplah untuk menerima kematian!”
“Dewi,
jangan!” ratap Ambalit.
Saat itu
sang dewi sudah angkat tangan kanannya.
“Kawan-kawan!”
tiba-tiba Gandring berkata, “daripada mati percuma lebih baik berusaha
mempertahankan hidup!” Lalu pemuda ini keluarkan goloknya. Dua kawannya yang
tadi sudah merasa tidak punya harapan hidup lagi, melihat apa yang dilakukan
Gandring jadi muncul keberaniannya dan segera pula mencabut senjata
masingmasing. Bladu menghunus sebilah keris sedang Ambalit mencabut sebatang
besi yang ujungnya penuh tonjolan runcing seprti penggada.
“Ha…ha…!
Kailan pemuda-pemuda pemberani! Majulah berbarengan agar cepat aku membereskan
kalian!” seru Dewi Bunga Mayat.
Ambalit,
Bladu dan Gandring melompat menyergap. Tiga senjata berkelebat. Saat itu justru
terdengar suara orang membentak. “Manusia-manusia pengecut! Terhadap seorang
dara kalian berani main keroyok!”
Satu
bayangan berkelebat. Gandring terdorong hampir jatuh. Bladu terpelintir
sempoyongan sedang Ambalit menggerung kesakitan sambil pegangi bibirnya yang
pecah terkena jotosan keras. Lima giginya rontok!
Dewi
Bunga Mayat yang barusan hendak menghantamkan tangan kanannya hentikan gerakan
dan mundur dua langkah. Di hadapannya tegak seorang pemuda berambut gondrong.
Pemuda inilah yang tadi membuat dua orang penyerangnya terpelanting dan seorang
lagi pecah mulutnya. Dewi Bunga Mayat ingat, pemuda ini adalah yang ada dalam
kedai yang selalu memperhatikanya. Dia tidak ada sangkut paut dengan pemuda itu
dan merasa jengkel karena berani mencampuri urusannya. Sebelum sang dewi sempat
membentak si gondrong telah lebih dulu menjura seraya berkata, “Maafkan kalau
aku membuatmu marah. Aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Aku hanya tidak suka
melihat tiga pengecut ini mengeroyokmu!”
“Kalaupun
mereka mengeroyokku apa kau kira mereka bisa mengalahkanku?! Menyentuh tubuhku
sajapun mereka tidak bakal mampu! Lalu apa pasalmu masuk dalam kalangan
perkelahian?!” Wiro tak bisa menjawab dan hanya garuk-garuk kepala.
“Menyingkirlah!
Atau kaupun ingin kubunuh bersama tiga pemuda laknat itu?!” sentak Dewi Bunga
Mayat.
“Ah, aku
bukan orang yang termasuk dalam nyanyianmu! Aku bukan manusia mencari
sengsara!” jawab Wiro lalu cepat-cepat mengundurkan diri menjauh.
“Apakah
kalian sudah siap untuk mampus?!” Dewi Bunga Mayat membentak.
Tiga
pemuda yang sudah lumer nyalinya apalagi yang bernama Ambalit yang cidera berat
mulutnya, tanpa tunggu lebih lama lagi segera putar tubuh ambil langkah seribu.
Sang dara
tertawa tinggi. Ketika tawa itu lenyap dan wajahnya berubah bengis, bersamaan
dengan itu Wiro melihat tangan kanannya bergerak tiga kali berturut-turut. Bau
harum bunga kenanga bertebar di udara malam. Tiga benda melesat di kegelapan
malam. Di depan sana tiga pemuda yang menyelamatkan diri terdengar menjerit
lalu roboh malang melintang di atas tanah kuburan. Tak satupun yang berkutik
dan bernafas lagi. Mereka menemui ajal dengan punggung, tengkuk, dan batok
kepala ditancapi bunga kenanga alias bunga mayat!
Pendekar
212 leletkan lidah, memandang ternganga ke arah gadis berbaju putih itu.
Tiba-tiba dia jadi tergagap ketika sang dara berpaling ke arahnya seraya
mengangkat tangan.
“Sekarang
kau juga harus bersiap menerima kematian pemuda gondrong! Susul kawan-kawanmua
itu!”
“Hei!
Tunggu!” seru Wiro seraya mundur dua langkah. “Aku bukan komplotan empat pemuda
yang barusan kau bunuh!”
“Siapa
percaya pada dirimu?!” Dewi Bunga Mayat menghardik sambil memandang melotot.
“Aku
tidak suruh kau percaya! Tapi aku bicara sejujurnya!” ujar Wiro dan balas
melotot. Dua pasang mata yang sama-sama melotot saling beradu pandang. Sang
dewi angkat tangan kanannya.
********************
EMPAT
WAJAH
YANG CANTIK jelita itu berubah menjadi bengis. Pendekar 212 Wiro Sableng tahu
apa artinya ini. Maut! Namun entah mengapa dia tidak berusaha menyelamatkan
diri dengan menyingkir atau melompat. Juga sama sekali tidak mengerahkan tenaga
dalam dan menyisipkan pukulan sakti untuk menghadapi serangan lawan yang
mematikan. Murid Sinto Gendeng ini berdiri tidak bergerak seolah-olah pasrah.
Hanya sepasang matanya yang membesar memandang tak berkesip tepat-tepat ke
dalam mata gadis di hadapannya.
Dewi
Bunga Mayat merasakan ada hawa aneh yang menyambar dari sepasang mata pemuda di
hadapannya, masuk ke dalam tubuhnya lewat sepasang matanya sendiri dan membuat
getarangetaran aneh di dadanya. Semakin dia memandang marah pada pemuda itu,
semakin tidak keruan jantungnya.
“Aneh…!
Apa yang terjadi dengan diriku?! Mengapa aku hanya mampu menunjukkan sifat keras
tetapi hati kecilku sendiri tidak berkata begitu. Sepasang matanya itu… aku tak
sanggup memandangnya. Siapa pemuda ini sebenarnya…!” Rentetan kata-kata itu
menggema dalam lubuk hati sang dewi. Perlahan-lahan dia turunkan tangan
kanannya yang tadi siap melancarkan serangan maut. Bunga kenanga kuning yang
tadi ada dalam genggaman tangannya jatuh tercampak ke atas tanah pekuburan.
Pendekar 22 menarik nafas lega dan tersenyum.
“Terima
kasih, kau tak jadi membunuhku…” ujar Wiro.
“Saat ini
tidak, tapi lain kali mungkin saja!” jawab Dewi Bunga Mayat kembali galak.
“Sekarang katakan apa keperluanmu datang ke tempat ini. Kau sebelumnya kulihat
ada di kedai Aki Sukri…”
“Itu
betul…”
“Kau
mengikutiku ke tempat ini!”
“Itu juga
betul…!” jawab Wiro.
“Kalau
begitu jelas kau kawan dari empat pemuda yang sudah jadi bangkai ini!”
“Itu yang
tidak betul!”
Sang dara
kerenyitkan kening. Dalam keadaan tidak mengerti dan tidak percaya seperti itu
dimata Wiro wajahnya tampak jadi lebih cantik.
“Aku
tidak percaya!”
“Aku
tidak suruh kau musti percaya saudari… Eh, bagaimana aku harus memanggilmu. Aku
tak tahu namamu. Kudengar orangorang itu memanggilmu dengan gelar Dewi Bunga
Mayat. Apa aku harus memanggilmu begitu juga? Atau Dewi saja…? Bisa juga Bunga
saja. Eh… tentu tidak dengan sebutan Mayat saja…” Wiro tertawa dan lihat wajah
gadis di depannya menjadi merah.
“Maafkan
aku. Aku hanya bergurau. Aku akan panggil kau dengan nama Bunga… Itu nama
paling indah di dunia. Sesuai dengan kecantikan orangnya…”
Sang dara
tidak memberikan reaksi apa-apa.
Wiro
garuk-garuk kepala lalu bertanya, “Boleh aku tahu mengapa kau diberi gelar dan
disebut sebagai Dewi Bunga Mayat? Itu bukan nama sembarangan. Dan senjatamu
membunuh ke empat pemuda itu. Kuntuman bunga kenanga! Kau pasti seorang
pendatang baru berkepandaian luar biasa dalam dunia persilatan…!”
“Kau
sudah menjawab sendiri pertanyaanmu. Aku tidak punya waktu lama. Sekarang lekas
katakan siapa dirimu!”
“Namaku
Wiro Sableng. Aku orang tersesat dari Gunung Gede.”
“Hemmm…
Sableng sama dengan Gendeng. Gendeng sama dengan Sinting. Sinting sama dengan
Gila! Jadi pemuda macam begitulah kau rupanya!”
“Ah…
kira-kira begitulah!” jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Dalam
hatinya Dewi Bunga Mayat membatin. “Manusia aneh yang satu ini mungkin konyol,
mungkin juga memang sinting!”
Lalu sang
dewi mendongak ke langit malam yang gelap. Seolaholah membaca sesuatu di atas
sana mulutnya terdengar berkata,
“Namamu
Wiro Sableng… kau datang dari Gunung Gede. Gurumu seorang nenek sakti
mandraguna bernama Sinto Gendeng. Sahabatmu setumpuk tapi orang yang tak suka
padamu bertumpuktumpuk…”
“Apakah
kau…” Wiro memotong.
“Aku
belum selesai membaca riwayatmu! Jangan bertanya dulu!” membentak dara itu.
Lalu dia menengadah ke atas kembali.
“Sahabatmu
setumpuk tapi orang yang tak suka padamu bertumpuktumpuk. Kau membekali dirimu
dengan senjata semacam kapak aneh. Tubuhmu tidak mempan racun selama senjata
itu menempel di badanmu. Kau tidak suka minuman keras tapi kau suka menggoda
perempuan. Kau…”
Sang dewi
tidak teruskan ucapannya.
“Ah..
bacaanmu sudah habis rupanya. Sekarang biar aku yang ganti membaca!” kata Wiro.
Lalu pemuda ini lakukan sikap seperti sang dara, mendongak ke langit dan mulai
berucap.
“Langit
malam gelap gulita…
Udara
dibungkus kesejukan embun yang siap turun
Di tempat
ini bertaburan makam anak manusia
Ada yang
sudah terkubur
Tapi ada
empat yang masih malang melintang
Empat
yang menemui ajal karena sengaja menacari sengsara
Aku
berdiri di sini
Tapi
tidak sendiri
Di
hadapanku tegak seorang dara…”
“Kau ini
melawak atau tengah membaca syair…” Dewi Bunga Mayat memotong penasaran.
“Aku
belum selesai membaca! Jangan memotong dulu!” Wiro membentak, persis seperti
yang tadi dilakukan oleh sang dewi. Melihat hal ini mau tak mau sang dara jadi
gelengkan kepala dan diam-diam merasa geli. Senyum menyeruak di bibirnya yang
merah. Wiro melanjutkan ‘bacaannya’.
“Di
hadapanku tegak seorang dara
Berbaju
putih berwajah jelita
Saat ini
dia tersenyum
Tersenyum
entah untuk siapa
Mungkin
untuk para penghuni makam
Mungkun
juga untuk empat pemuda yang sudah putus nyawa
Syukur-syukur
kalau senyum itu untukku
Si jelita
tidak bernama
Yang
kupanggil dengan nama Indah, Bunga
Memiliki
kepandaian luar biasa
Syukur-syukur
kalau aku bisa jadi sahabatnya….
Ah,
bacaanku sudah selesai….”
Wiro
palingkan kepalanya. Dilihatnya sang dara masih tersenyum. Lalu diapun tertawa
gelak-gelak.
Dewi
Bunga Mayat membuka mulut, “Syairmu bagus, Cuma sayang aku tidak mau bersahabat
denganmu…”
“Ah
nasibku memang jelek kalau begitu. Kau tidak mau karena aku sableng, sinting…
gendeng… gila…?”
Dewi
Bunga Mayat tidak menjawab tapi dalam hatinya dia berkata, “Kau memang mungkin
sinting. Tapi bukan itu alasanku tidak suka bersahabat denganmu. Aku tidak bisa
mengatakannya…”
“Apakah
kita bisa bertemu lagi, Bunga?”
Sang dara
mendengar pertanyaan itu dan berpaling pada Wiro. Dia menatap wajah pemuda itu
sesaat lalu menjawab, “Aku tidak tahu. Sekarang aku ingin meninggalkan tempat
ini. Kau silakan pergi duluan….”
“Tidak,
aku tetap disini. Kalau kau memang ingin pergi, pergilah. Aku berdiri disini
memperhatikan kepergianmu… Tapi sebelum kau pergi kancingkan dulu bajumu.
Salah-salah kau bisa masuk angin…”
Paras
sang dara jadi merah. Seolah baru sadar akan keadaan dadanya yang sejak tadi
tersingkap, cepat-cepat dia membalik dan kancingkan kebaya putihnya.
“Manusia
satu ini benar-benar kurang ajar, konyol dan juga keras kepala. Bagaimana ini,
bagaimana aku harus menyuruhnya pergi…?” membatin bingung sang dara dalam hati.
“Hanya kabut yang bisa menolongku. Kabut… turunlah lebih banyak. Tolong aku…”
Dan
terjadilah hal yang aneh. Seolah-olah ucapannya mujarab sekali saat itu
tiba-tiba saja kabut turun banyak sekali. Pemandangan di pekuburan menjadi
sangat terbatas. Ketika sekelompok kabut menyaputi tempat dimana mereka
berdiri, meskipun hanya terpisah dekat namun Wiro mendadak tak dapat lagi
melihat sosok Dewi Bunga Mayat. Lalu sesaat kemudian ketika kabut pupus, dara
itu tak ada lagi ditempatnya berdiri!
Wiro
terkesiap. Memandang berkeliling. Menyusuri seluruh daerah pekuburan itu dengan
kedua matanya yang tajam. Tapi sang dara tetap saja tidak kelihatan lagi.
“Tidak
mungkin dia bisa pergi secepat itu!” Wiro memandang lagi. “Eh, kuda putihnya
yang tadi ada di ujung sana juga lenyap! Gadis aneh. Gelarnya juga aneh.
Senjatanya lebih aneh… hanya sekuntum bunga kenanga. Yang juga mengherankan
bagaimana dia tahu banyak tentang diriku. Apakah sewaktu mendongak ke langit
dia memang benar-benar membaca seperti membaca sesuatu…? Ah tak masuk akal!”
Wiro
memandang ke tanah. Bunga kenanga yang tadi hendak dilemparkan ke arahnya masih
tampak tercampak di tanah. Murid Sinto Gendeng membungkuk mengambil bunga itu,
menciumnya sesaat lalu memasukkannya ke dalam saku baju putihnya. Saat itu
terdengar kuda meringkik membuat sang pendekar tersentak kaget dan memaki lalu
tinggalkan pekuburan Batuwungkur itu.
Baru dua
langkah bertindak tiba-tiba ekor mata Pendekar 212 melihat ada sesuatu bergerak
di kegelapan disamping kirinya. Dia cepat berpaling. Tapi tak kelihatan apa tau
siapa-siapa. Hanya kegelapan yang membungkus pekuburan itu. Makam-makam
berderet-deret. Ada yang terurus baik dan utuh, ada yang sudah tak karuan lagi
dan tanpa batu nisan. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara burung malam.
Angin bertiup dingin.
“Mataku
mungkin bisa ditipu. Tapi perasanku tidak!” kata murid Sinto Gendeng dalam
hati. “Ada orang atau makhluk disekitar pekuburan ini. Mendekam disatu tempat,
bersembunyi mengintai gerak-gerikku! Lebih baik aku terus berjalan. Jika orang
itu berniat jahat dia akan tahu rasa…!” Lalu Wiro kerahkan tenaga dalam ke
tangan kanan.
********************
LIMA
WIRO
MELANGKAH EMPAT tindak. Pada langkah ke lima, tibatiba di udara malam yang
gelap dan dingin di atas pekuburan Batuwungkur itu melesat suara suitan keras
dari arah samping kanan. Suara duitan ini disambut elh suara sutian lain dari
arah depan. Lalu suara suitan ketiga melegkinda ri arah samping kiri. Ketika
Pendekar 212 hentikan langkahnya, tiga sosok bayangan tampak berkelebat sebat
dan tahu-tahu tiga sosok aneh sudah mengrungnya dari arah muka dan kiri kanan.
Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini angkat tangan kanannya, siap
menghantam. Tapi gerakanya serta merta tertahan ketika melihat siapa yang saat
itu mengurungnya. Tiga sosok tubuh itu adalah ternyata tiga manusia katai
permpuan. Pakaian dan tampang mereka serta rambut yang dikuncir membuat
ketiganya tampak lucu. Tapi dibalik kelucuan itu tersembunyi satu kenagkeran
yang mematikan. Wajah tiga perempuan cebol ini membekal maut. Ketika ketiganya
menyeringai kelihatan bahwa mereka memiliki gigi-gigi kecil yang berwarna hitam
berkilat.
“Dimana
dia?!” tiba-tiba si cebol di sebelah depan membentak. Suaranya nyaring tapi
kecil.
“Eh… Kaku
bertanya siapa pada siapa?!” tanya Wiro.
“Kami
bertanya dia padamu!”
“Dia
siapa?!” tanya Wiro pula.
“Jangan berpura-pura!”
seru si cebol perempuan sebelah kanan kiri menghardik. “Barusan dia ada disini.
Berbincang-bincang denganmu! Dan kau berani berpura-pura tidak tahu!”
“Kawan-kawan!”
membuka mulut perempuan katai di seebelah kiri. “Kalau dia jelas-jelas kawan
orang yang kita cari, mengapa harus membuang waktu bertanya jawab. Kita
bereskan saja dia saat ini juga!”
“Setuju!”
teriak si katai di sebelah depan.
Terdengar
tiga jeritan dahsyat. Tiga tubuh pendek itu laksana bola melesat ke arah Wiro
Sableng. Tiga serangan maut menebar!
“Wong
edan!” teriak Pendekar 212 ketika dilihatnya serangan tiga manusia katai itu
benar-benar ingin membunuhnya. Mereka memegang senjata berbentuk clurit kecil
di tangan kiri masingmasing. Ternyata ketiga maunia katai permpuan ini sama-sama
kidal. Senjata itu berkilat-kilat dan menderu dalam gelapnya malam. Manusia
katai di sebelah depan membabatkan clurit kecilnya ke arah batang leher
Pendekar 212. yang di samping kiri menyapu ke perut sedang yang di sebelah
kanan menghunjamkan serangan ke selangkangan pendekar ini! Tiga serangna
mematikan itu disertai dengan pekik jerit memkakkan telinga. Agaknya tiga
manusia katai ini sengaja berteriak begitu agar lawan terpengaruh dan lengah.
Murid Eyang Sinto Gendeng angkat kedua tangannya menghantam dengan pukulan
sakti bernama ‘dinding angin berhembus tindih menindih’
Terdengar
suara seperti angin putting beliung di atas pekuburan itu. Tiga manusia katai
yang lancarkan serangan sambil melompat tampak seperti hendak tersapu tunggang
langgang. Namun sambil terus berteriak ketiganya berjungkir balik di udara lalu
membalik sambil membabat kembali dengan senjata masing-masing. Tapi tampaknya
mereka tidak sanggup menembus hantaman angin. Ketiganya kerahkan tenaga
berusaha keras mnerobos dinding angin yang tidak kelihatan. Mereka tampak
seperti mengapung di udara. Pakaian dan rambut berkibar-kibar. Mata membeliak
dan mulut berteriak-teriak. Wiro terus kerahkan tenaga dalamnya. Bebrapa kali
tangannya kiri kanan dihantamkan agar dapat menghempaskan tiga penyerang itu
tapi tetpa saja musuh-musuh katai itu bertahan di udara. Masih untung ketiganya
berada di sebelah depan. Kalau ada yang menyerang dari belakang pasti akan
bobol pertahanan murid Sinto Gendeng.
Keringat
bercucuran dari punggung dan wajah Wiro Sableng. Tiga perempuan katai masih
terus mengapung dan mencoba menembus pertahanannya. Dan tiba-tiba setelah
bertahan sekian lama. Astaga! Salah seorang dari mereka berhasil lolos
menerobos dinding angin!
Breet!
Clurit
kecil membabat di perut Wiro, merobek pakaian putihnya.
“Kurang
ajar!” maki Pendekar 212 lalu melopat mundur dengan muka pucat.
Lompatan
mundur yang dilakukannya membuat tiga pengeroyok seperti tersedot. Tiga manusia
katai itu kembali menggempur. Dan kini pertahan dinding angin Pendekar 212
benarbenar jebol!
Tiga
manusia katai melesat. Tiga clurit berkiblat. Wiro memukul dengan pukulan
”kunyuk melempar buah.” Tangan kanannya menghantam membentuk tinju. Begitu
lengan melurus lima jari dibuka. Maka menderulah gelombang angin laksana
gumpalan batu besar.
Tiga
musuh katai berterak keras. Namun hanya satu yang kena dihantam. Yang satu
terpental sejauh dua tombak, bergulingan di tanah lalu diam tak berkutik. Mati
dengan kepala pecah!
Dua
manusia katai lainnya terus merangsak masuk ke dalam pertahanan Wiro yang sudah
ambruk.
“Celaka!
Matilah aku!” keluh Wiro. Dalam keadaan sulit begitu rupa dia masih bisa
memukul tangan si katai di sebelah kanan. Luar biasa! Tangan si katai yang
kecil itu membuat Wiro terpental tiga langkah, hampir jatuh duduk. Justru di saat
inilah yang secara tidak sengaja meyelamatkan nyawanya dari serangan si katai
yang satu lagi. Clurit membabat di depan hidungnya sementara lawan yang tadi
beradu lengan dengannya jatuh bergdebuk sambil menjerit-jerit dan berusah
mencari cluritnya yang mental dalam kegelapan malam.
“Manusia-manusia
katai edan! Tidak ada silang sengketa kau hendak membunuhku!” teriak Wiro.
“Kami
belum membunuhmu manusia bangsat! Tapi kau telah membunuh seorang saudara kami!
Dan kawanmu yang kami cari sebelumnya telah membunuh satu-satunya kakak lelaki
kami!”
“Soal
kematian kakak lelakimu itu aku tidak tahu, tidak ada sangkut pautnya denganku!
Pergi kalian dari sini sebelum aku menciderai atau membunuhm kalian!”
“Enak
benar bicaramu! Kami akan pergi kalau usus dan jantungmu sudah kami korek dari
tubuhmu!”
“Makhluk-makhluk
tidak tahu diri! Jangan kira aku tidak tega membedol kantong nasi kalian!”
teriak Wiro lalu keluarkan senjata mustika saktinya yaitu Kapak Maut Naga Geni
212. Kilauan sepasang mata kapak yang angker ternyata tidak membuat jeri dua
manusia katai itu.
Yang satu
malah mengejek, “Senjata mainan! Siapa takut!”
yang
bicara ini sudah menemukan cluritnya yang tadi jatuh. Lalu cepat luar biasa
keduanya menyerbu. Trang… trang…!
Belum
lagi Pendekar 212 sempat mengayunkan senjatanya, dua clurit kecil secara
sengaja tidak terduga dan cepat sekali sudah menelikkung gagang kapak dan
begitu dua manusia katai itu membetot, Wiro merasa seperti tangannya ditarik
oleh dua raksasa! Kapak Naga Geni 212 terlepas dari pegangannya, langsung
disambut oleh si katai di sebelah kanan. Begitu dapatkan kapak si katai ini
berteriak pada yang satunya.
“Adikku!
Lupakan dulu balas dendam. Kita mendapat rejeki besar. Lekas tinggalkan tempat
ini!” dia tertawa cekikikan. Sang adik juga tertawa cekikikan. Lalu didahului
oleh jeritan keras, keduanya membalik untuk larikan diri. Tapi baru saja mereka
sempat membuat setengah gerakan berputar mendadak terdengar suara berdesing
disertai harumnya bunga kenanga. Lantas dua manusia katai ini terdengar memkik
keras mengerikan. Kepala masing-masing terhempas ke belakang seolah-olah
dihantam tembok keras.
Dua
manusia katai itu langsung roboh terjengkang. Kapak Naga Geni 212 terguling ke
tanah.
“Eh, apa
yang terjadi…?” tanya Wiro keheranan. Ketika dia mendekati dua mayat manusia
katai itu, tertegunlah murid Sinto Gendeng ini. Dua manusia katai itu menemui
ajal dengan sekuntum bunga kenanga kuning menancap di kening masing-masing!
“Bunga…”
desis Wiro. “Kau ada di sini. Kau menolongku…”
Wiro
menunggu kalau-kalau ada jawaban. Tapi hanya kesunyian dan siliran angin malam
yang terdengar.
Wiro
memandang berkeliling. Tapi dia tidak melihat dara yang berjuluk Dewi Bunga
Mayat itu. Pemuda ini geleng-gelengkan kepala.
“Dara
hebat. Kepandaian luar biasa! Menolong tanpa memperlihatkan diri… Aku harus
berterima kasih padanya.”
Lalu
pemuda ini berteriak, “Bunga, aku berterima kasih atas pertolonganmu!” Wiro
seklai lagi memandang berkeliling. Ketika dia merasa tak bakal mendapat jawaban
apalagi melihat Dewi Bunga Mayat kembali maka dipungutnya Kapak Naga Geni 212
yang tercampak di tanah, disimpannya di balik pakaiannya.
********************
ENAM
PONDOK
KAYU DI DASAR lembah itu tampak tidak berbeda seperti sebulan lalu ketika dia
mengunjungi terakhir kali. Pintu dan satu-satunya jendela tampak tertutup. Tapi
dia tahu bahwa di dalam sana ada seorang penghuni.
Perempuan
muda berpakaian ringkas warna biru itu berpaling pada pemuda yang menunggang
kuda disampingnya.
“Kangmas..
Kau…”
“Sudah
berapa kali kukatakan. Kalau kita Cuma berdua aku tidak suak kau memanggilku
dengan sebutan itu. Panggil namaku…”
“Maafkan
aku kang.. Maffkan aku Sadewo..” kata perempuan berpakaian biru. “Kau tidak
ingin turun ke lembah menemuinya?”
Pemuda
bernama Sadewo menggeleng. “Kau saja yang pergi. Aku menunggu disini.” Lalu
pemuda itu menyerahkanbungkusan kain yang dipanggulnya.
Setelah
menerima dan menyandang bungkusan itu dibahunya, dara berbaju biru menarik tali
kekang kudanya, lalu perlahan-lahan dia mulai menurini jalan setapak yang
berbatu-batu. Di depan pondok dia turun dari kuda, menambatkan binatang itu
lalu melangkah menuju pintu. Dia mengetuk dulu lalu berucap keras-keras.
“Ayah,
akuk datang…”
Dengan
tangan kirinya dia mendorong pintu. Terdengar suara berkereketan. Begitu pintu
terbuka kelihatan seorang lelaki berambut putih, bertubuh kurus dan berwajah
pucat duduk bersila di lantai pondok. Usianya berlum enampuluh tahun, tahun
wajahnya kelihatan seperti wajah kakek delapan puluh tahun. Orang ini duduk
bersila pejamkan mata seperti tengah bersemedi. Ketika pintu terbuka,
perlahan-lahan kedua matanya juga terbuka. Dia memandang pada gadis di depan
pintu lalu menganggukan kepala perlahan sekali.
Gadis itu
masuk ke dalma pondok, berlutut di hadapan lelaki tua itu dan mencium
keningnya. Setalh itu diletakkannya bungkusan kain yang dibawanya di lantai.
“Semua
keperluan ayah ada dalam bungkusan…”
Yang
dipanggil ayah kembali mengangguk.
“Apakah
ayah ada baik-baik saja selama satu bulan ini?”
bertanya
si gadis yang dijawab juga dengan anggukan. Sunyi sesaat.
“Suamimu
mengantar…?” tiba-tiba orang tua itu bertanya.
“Ya, dia
mengantar. Dia menunggu di atas lembah…”
“Terima
kasih, kau sudah membawakan apa-apa yang aku perlukan. Kau boleh pergi sekarang…”
“Ayah,
sudah tiga bulan kau berada di tempat ini. Memencilkan diri. Kapan semua ini
akan ayah akhiri…?”
“Mungkin
tak akan pernah ku akhirii Suntini. Atau mungkin hanya kematian yang mengakhiri
semua ini…”
“Ayah
tidak boleh berkata begitu…” suara perempuan bernama Suntini itu kini terdengar
tersendat dan sepasang matanya tampak mulai berkaca-kaca. “Ayah mesti segera
pulang. Rumah besar kita sepi tanpa ayah…”
“Kau
boleh pergi sekarang, Suntini…”
“Jika
memang itu yang ayah kehendaki….” Kata Suntini pula seraya berdiri. Dia mencium
kening lelaki itu. Tetesan air matanya jatuh membasahi wajah si orang tua.
“Sebelum
kau pergi, adakah sesuatu yang hendak kau katakan…?” sang ayah bertanya.
Suntini
terdiam.
“Ada…?”
“Tidak
ada ayah…”
“Jangna
berdusta. Nada suaramu menyatakan ada sesuatu yang hendak kau katakan. Tapi kau
sengaja menyembunyikannya…”
Ketika
Suntini tidak juga menjawab, lelaki itu lalu ajukan pertanyaan, “Apakah dia
masih sering mendatangimu…?”
Paras
Suntini berubah. Perempuan muda ini tundukkan kepala lalu berkata, “Malam
Jum’at Kliwon dua minggu yang lalu ayah. Dia memang muncul. Memandang padaku
dengan pandangan dingin lalu pergi. Kangmas Sadewo juga melihat beberapa kali…”
“Waktu
muncul dia tidak mengatakn atau mengisyaratkan sesuatu…?” bertanya sang ayah.
Suntini
menggeleng.
“Anakku
dengarlah baik-baik. Selama dia muncul tidak mengganggumu atau siapa saja di
sekitarmu ambil sikap diam saja. Jangan mengusir, jangna mengatakan sesuatu.
Ini semua kodrat Tuhan. Kita tak bisa melawan kehendakNya. Ketahuilah… Tadi
malam dia juga muncul disini. Tegak di bawah pohon di luar sana, memandang ke
pondok ini tapi tak berusaha masuk atau menemuiku. Kalau aku ada kesempatan
menjenguk makam ibumu, aku akan berusaha untuk menlihatnya. Selam ini apakah
kau dan suamimu pernah menjenguknya?”
“Aku
takut ayah. Benar-benar takut melakukan hal itu…” jawab Suntini.
“aku
mengerti perasaanmu. Kau boleh pergi sekarang. Lain bulan kau tak perlu datang
kemari mengantarkan apa-apa. Aku bisa memenuhi kebutuhanku sendiri…”
“Berarti
ayah tidak akan pulang ke rumah?”
“Aku
tidak tahu anakku,” jawab orang tua yang duduk bersila itu lalu menarik nafas
panjang.
Suntini
berdiri, melangkah ke pintu dan lenyap dibalik daun pintu yang ditutupkan. Di
dalam pondok sang ayah pejamkan kedua matanya. Namun kali ini diantara sela
kelopak matanya kelihatan ada tetes air mata yang menyeruak.
Ketika
Suntini samapi diatas lembah, dia terkejut dan keluarkan seruan tertahan
sewaktu melihat Sadewo, suaminya, tergeletak meelungkup di tanah. Suntini melompat
turun dari kuda dan cepat membalikkan tubuh Sadewo.
“Kangmas…
Kau kenapa kangmas..?!” memanggil Suntini sambil mengusap wajah suaminya
berulang kali. Wajah itu tampak pucat seperti baru saja mengalami suat
goncangan hebat. Suntini letakkan telinganya di atas dada Sadewo. Masih
terdengar suara detakan jantung. Perempuan ini merasa lega sedikit lalu dia
memijat beberapa bagian tubuh suaminya. Tak selang berapa lama kedua mata
Sadewo perlahan-lahan kelihatan terbuka. Begitu terbuka lelaki muda ini melompat
terduduk dan memandang berkeliling dengan wajah ketakutan.
“Ada apa,
Sadewo…? Siapa yang kau cari…? Kau melihat sesuatu..?” bisik Suntini dengan
lebih kelu dan ikut-ikutan memandang berkeliling sementara dadanya berdebar
keras.
“Dia..
dia tadi muncul di dekat batu besar sana…” terdengar Sadewo menyahut. Suaranya
gemetar.
Suntini
memandang ke arah batu besar yang ditunjuk suaminya. Memandang berkeliling ke
tempat lain. Dia tidak melihat siapa-siapa.
“Dia…
biasanya dia hanya memandang dari kejauhan. Tapi sekali ini dia melangkah
mendatangiku. Dia begitu dekat denganku Suntini, membuatku ketakutan setengah
mati. Dia seperti hendak membuka mulut mengatakan sesuatu. Tapi saat itu ada
suara kaki kuda mendatangi. Mungkin sekali kuda tunggangmu. Lalu aku jatuh pingsan…”
“Kalau
begitu kita harus meninggalkan tempat ini cepatcepat…” kata Suntini pula. Dia
membantu suaminya berdiri, memapahnya ke arah kuda.
********************
TUJUH
DUA HARI
SETELAH peristiwa di bukit Batuwungkur, Pendekar 212 Wiro Sableng mengunjungi
kedai Aki Sukri. Dia duduk memencil di sudut kedai sampai larut malam. Ketika
pemilik kedai bersiap untuk menutup kedainya mau tak mau akhirnya pendekar itu
berdiri dari bangkunya.
“Anak
muda, kau seperti tengah menunggu seseorang di kedai ini…” berkata pemilik
kedai ketika Wiro memberikan uang pembayaran.
“Ah,
matamu tajam juga orang tua. Bagaimana kau bisa tahu?” bertanya Wiro.
“Setiap
saat kau selalu memandang ke pintu. Dan kau tampak kecewa jika ada tamu masuk
tetapi bukan orang yang kau nantikan. Kau berjanji dengan seseorang?”
Wiro
menggeleng.
“Lalu
siapa yang kau harapkan muncul di kedai ini?” tanya Aki Sukri.
“Aki ,
dua malam lalu aku mampir disini. Kau ingat…?”
“Aku
ingat. Karena malam itu kemudai diketahui ada empat mayat menggeletak di
pekuburan Batuwungkur. Mereka mati dengan kembang aneh menanca di muka dan
badan…”
“Kau
ingat dara jelita berpakaian putih yang juga ada di kedaimu malam itu…?’
“Aku
ingat seklai!” jawab Aki Sukri.
“Kau
kenal padanya? Atau mungkin tahu dimana aku bisa menemuinya?”
Pemilik
kedai menatapa wajah Pendekar 212 sesaat lalu gelengkan kepala. “Wajah cantik
itu memang seperti pernah kulihat sebelumnya. Tapi entah dimana dan entah
kapan. Waktu dia ada disini aku tak berani bertanya. Kelihatannya dia seperti
tidak mau diusik…”
“Dia
memang bukan dari sembarangan…” kata Wiro pula.
“maksudmu,
anak muda?” tanya Aki Sukri.
“Empat
pemuda jahat yang mati di pekuburan Batuwungkur itu, dialah yang membunuhnya!”
“Apa
katamu?!” dua mata Aki Sukri membelalak.
“Dia
adalah Dewi Bunga Mayat!”
“Ah!”
tubuh pemilik kedai tersentak dan wajahnya menjadi pucat.
“Kau
seperti orang ketakutan. Ada apa…?!”
“Jadi…
jadi dara itulah yang tengah kau cari?!” suara Aki Sukri bergetar. “Anak muda
lekas pergi. Aku segera menutup kedai ini.
Aku… kau
tahu…” suara Aki Sukri perlahan sepreti berbisik. “Kalau memang dara itu
manusia yang berjuluk Dewi Bunga Mayat, hatihatilah anak muda. Dia sanggup
membunuh manusai tanpa berkedip. Kepandaiannya tinggi. Kabarnya saat ini dia
jadi momok nomor sati di wilayah Jawa Tengah ini!”
“Momok
katamu? Gadis secantik itu kau katakan momok?!”
“Dia
muncul seperti setan. Lenyap seperti setan. Membunuh disana-sini… Apa itu bukan
momok?!”
Wiro
tertawa bergelak. “Kepandaiannya tinggi luar biasa itu memang berul. Dia
membunuh tanpa berkesip itu juga betul. Tapi dia bukan setan! Dia hanya
membunuh orang-orang jahat! Kau tahu empat pemuda yang jadi korbannya itu? Apa
yang hendak mereka lakukan? Hendak memperkosanya beramai-ramai…!”
“Ah,
karena dia kawanmu tentu saja kau membelanya. Tapi sudahlah. Aku akan menutup
kedai. Lekas pergi. Aku tak mau kau datang-datang lagi kemari, anak muda. Aku
tidak mencari urusan…!”
“Justru
jika kau melarang begitu berarti kau mencari urusan!”
tukas
Wiro. “Jika kau tak mau kedatanganku, tutup saja kedai ini selama-lamanya!”
“Aku
berjualan mencari makan. Tidak mau cari urusan…”
“Bagus
kalau begitu. Katakan, apakah gadis kawanku itu sering datang kemari?”
“Tidak.
Baru sekali itu dia datang kesini,” jawab Aki Sukri.
“Kalau
dia muncul lagi, katakan padanya. Aku sahabatnya berama Wiro Sableng
mencarinya. Kau dengar pesan itu, Aki?!”
“Aku
dengar anak muda. Dan akan aku sampaikan padanya…” jawab pemilik kedai pula.
********************
Dari
kedai Aki Sukri, Pendekar 212 dengan menunggang kuda menuju pekuburan
Batuwungkur. Kesunyian dan kegelapan malam menyambut kedatangannya. Angin
berhembus dingin dan dikejauhan terdengar suara burung malam bersahut-sahutan
beberapa kali. Murid Sinto Gendeng duduk di batu hitam dimana dulu Bunga pernah
duduk. Dia duduk seprti merenung. Entah mengapa perasaannya jadi seperti ini.
Perasaan yang sebelumnya tak pernah terjadi seumur hidupnya. Dia selalu
teringat padaBunga. Hampi tak sekejapanpun dia melupakan gadis itu. Dia rindu
untuk bertemu tak tahu harus mencari kemana. Itulah sebabnya malam-malam begitu
dia mendatangi pekuburan dengan harapan bisa bertemu lagi. Kalaupun tidak
bertemu paling tidak dia telah bisa melepas kerinduannya dengan melihat tempat
yang pernah didatangi sang dara. Tempat dimana mereka pernah berdua-dua. Dan
dia kini duduk di batu yang pernah diduduki Bunga.
“Bunga…”
bisik kalbu Pendekar 212. “Dimana kau…? Dimana aku bisa menemuimu, Bunga…?”
Wiro
mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, memandang berkeliling lalu
menghela nafas dalam-dalam.
“Apakan
ini namanya cinta…?” bisik hati sang pemuda. “Ah… Aku tak percaya!tapi mengapa
aku selalu ingat padanya. Mengapa ada persaan rindu bertumpuk dihatiku. Gila
betul!”
Dalam
perjalanan hidupnya tentu saja Pendekar 212 telah bertemu dengan banyak gadis
berwajah cantik. Namun semua berlalu tanpa perasaan apa-apa. Berlainan sekali
dengan yang satu ini. Padahal baru dua hari lalu dia melihat dan bertemu. Dan
kini ada rasa rindu mencucuk hatinya.
“Gila!”
kata Wiro pula sambil meukul lututnya sendiri. Kedua tangannya mengeruk ke
dalam saku baju. Tangan yang kanan memegang sesuatu. Ketika dikeluarkannya
ternyat itu adalah bunga kenanga senjataBunga yang dua malam lalu dipungutnya.
“Aneh..,”
desis Wiro memperhatikan dan menimang bunga kenanga. “Bunga ini mengapa tidak
layu…? Keharumannya tidak berbeda seperti pertama kali aku memungutnya…” lalu
bunga kenanga itu dibawanya ke hidungnya, diciumnya lama-lama penuh perasaa.
“Bunga… aku mencarimu. Aku ingin bertemu…” Wiro bicara sendirian.
Malam
berlalu bertambah sunyi dan bertambah dingin. Tanpa disadarinya Pendekar 212
jatuh tidur dalam keadaan terduduk di atas batu.
“Wiro…”
Satu
suara memanggil. Pendekar 212 kenal sekali suara itu. Suara orang yang
dirinduinya, yang selama ini dicari-carinya. Begitu berpaling dilihatnya dara
itu tersenyum padanya.
“Bunga…”
“Aku
sudah lama menunggumu di sini, Wiro…” kata Bunga seraya melangkah mendekati.
Wiro
datang menyongsong. Keduanya saling bergenggaman tangan. “Aku mencarimu
setengah mati…”
“Setengah
mati? Ah, masa…?”
“Setengah
mati karena rindu. Kangen… Kau tidak kangen padaku, Bunga…?”
“Tidak…,”
jawab sang dara lalu tertawa cekikikan. “Tentu saja aku juga kangen padamu,
Wiro…”
“Berarti
kau senang bersahabat denganku?!” tanya Wiro seraya menatap dalam-dalam ke
sepasang mata si gadis.
Bunga
mengangguk. “Aku suka bersahabat denganmu…”
“Tapi…”
“Tapi
apa, Wiro…?”
“Aku tak
ingin hubungan kita hanya sampai pada jalinan persahabatan saja.”
“Maksudmu
Wiro….?”
“Aku… aku
tidak tahu persaan apa yang ada dalam diriku sejak pertama kali aku melihatmu.
Kurasa aku mencintaimu, Bunga. Ya betul. Aku mencintaimu…!”
Paras
Bunga berubah. Dia seperti ketakutan. Diremasnya jarijari tangan pemuda itu
tapi kemudian dilepaskannya.
“Kau
mencintaiku Wiro…? Jangan… jangan mencintaiku Wiro…” Bunga melangkah mundur.
“Mengapa
aku tidak boleh mencintaimu Bunga? Percayalah, aku tidak berdusta dan tidak
mempermainkanmu…?”
“Demi
Tuhan, jangan mencintaiku Wiro… Cinta berarti kematian bagi diriku…” Suara
Bunga tersendat. Wiro melihat ada air mata menetes di kedua pipi dara itu.
“Kau
menangis, Bunga…” bisik Wiro dan melangkah mendekat. Tapi yang didekati semakin
menjauh. Melangkah mundur.
“Bunga,
kau mau kemana…?” Wiro mengejar.
“Jangan
kejar aku Wiro… jangan…”
“Bunga,
jangan mundur. Ada jurang di belakangmu!” teriak Wiro.
Dara itu
berpaling ke belakang. Tapi terlambat. Kaki kanannya terpeleset dan tubuhnya
melayang jatuh ke dalam jurang yang dalam. Pekiknya mengumandang. Tapi teriakan
Wiro lebih keras lagi.
“Bunga…!!”
Pendekar
212 tersentak dan dapatkan dirinya terduduk di atas batu hitam diantara makam
di pekuburan Batuwungkur.
“Ah…
bermimpi aku rupanya…” kata pemuda ini termangumangu.
Di tangan
kanannya maih tergenggam bunga kenanga senjata Dewi Bunga Mayat.
“Bunga
ini… Tadi aku menciumnya. Lalu jatuh tertidur dan bermimpi. Apakah… apakah
hanya ini satu-satunya cara aku dapat bertemu dengan dia? Hanya dalam mimpi?”
Pendekar
212 merasa kelesuan menjalari seluruh tubuhnya. Perlahan-lahan dia berdiri,
memandang berkeliling. Lalu melangkah ke tempat dia menambatkan kudanya. Bunga
kenanga dengan penuh hati-hati dimasukkannya ke dalam saku bajunya.
********************
DELAPAN
SATU
PEMANDANGAN ANEH jika sebuah kereta tertutup yang jelek itu dikawal oleh hampir
dari dua lusin orang berkuda. Bahkan diantara mereka tampak lima orang prajurit
dan seorang perwira muda. Kereta yang ditarik dua ekor kuda itu menderu kencang
di jalan berdebu. Matahari sore berwarna merah kuning keemasan. Rombongan bergerak
cepat menuju ke selatan yakni arah Kotaraja. Namun saat itu mereka tidak akan
keburu mencapai tujuan sebelum pagi. Kotaraja masih sangat jauh dan jalan yang
idtempuh bertambah sulit serta buruk.
Selain
lima prajurit dan seorang perwira muda itu maka anggota rombongan lainnya
adalah orang-orang berseragam pakaian dan ikat kepala merah. Semua mereka
memlihara berewok dan kumis yang meranggas tidak diurus. Tampang mereka tak
satupun yang lumayan. Semua menunjukkan muka galak beringas.
Di
sebelah depan memacu kudanya seorang lelaki berpakaian merah dengan tubuh kurus
tinggi luar biasa. Hampir mencapai satu setengah tombak. Berewok dan kumisnya
yang lebat menyembunyikan wajahnya yang bopeng. Matanya besar dan merah. Dia
adalah Kunto Pasirawang bergelar Datuk Hantu Merah, dikenal sebagai Ketua
Komplotan Hantu Merah.
Dalam
dunia persilatan komplotan yang dipimpinnya ini terkenal sebagai komplotan
bayaran yang melakukan apa saja asal mendapat bayaran. Yaitu mulai dari
merampok, menculik sampai membunuh. Belakangan komplotan ini dikenal pula
sebagai penyedia perempuan-perempuan lacur di berbagai kota termasuk Kotaraja.
Bahkan
ada selentingan Datuk Hantu Merah sengaja mengirimkan perempuan-perempuan
cantik pada pejabat-pejabat tertentu di Istana. Itulah sebabnya selama sekian
tahun komplotan bejatnya itu tidak pernah dikejar apalagi ditumpas. Beberapa
orang Adipati diketahui tunduk dan ikut bekerjasama dengan sang datuk. Siapakah
sang datuk ini sebenarnya? Menurut mereka yang tahu, konon Kunto Pasirawang
dulunya adalah salah seorang kepercayaan seorang Pangeran di Keraton Timur.
Kemudian ketahuan bahwa dia bersifat culas, suka menggelapkan barangbarang
berharga, mencuri barang-barang pusaka. Dua kejahatan itu masih bisa dimaafkan
oleh sang Pangeran, namun ketika Kunto Pasirawang diketahui pula suka
mengganggu anak istri orang maka dia dipecat dari jabatannya dan di usir dari
gedung sang Pangeran. Selama dua tahun Kunto Pasirawang malang melintang
ditengah lautan menjadi bajak. Bosan di laut dia turun ke darat membentuk
Komplotan Hantu Merah dan malang melintang menimbulkan malapetaka.
Enam
orang berseragam pasukan Kerajaan itu sebenarnya adalah prajurit-prajurit dan
perwira palsu. Mereka sengaja mengenakan pakaian anggota pasukan Kerajaan untuk
mengelabui dan menjaga kalau sewaktu-waktu ada kesulitan dengan petugas
Kadipaten atau Kerajaan. Lalu apakah isi kereta buruk yang mereka kawal begitu
ketat? Uang, harta perhiasan atau senjata baru? Isi kereta itu bukan lain
adalah perempuan-perempuan culikan dari beberapa daerah di selatan. Rata-rata
mereka masih sangat muda. Ada yang ikut secara suka rela karena dijanjikan
pekerjaan di Kotaraja. Namun banyak yang diculik dari rumah orang tua mereka!
Sinar
surya semakin redup tanda akan segera masuk ke tempat tenggelamnya. Jalan yang
ditempuh mulai gelap. Orang berseragam perwira muda yang sebenarnya adalah anak
buah Datuk Hantu Merah memacu kudanya mendekati sang ketua lalu bicara
keraskeras diantara bisingnya derap kaki kuda dan gemeletak suara roda kereta.
“Ketua,
anggota rombongan kelihatan sudah pada letih! Malam ini sebaiknya kita berhenti
dan istirahat di hutan Jatiroto. Besok sebelum matahari terbit baru meneruskan
perjalanan ke Kotaraja. Menjelang tengah hari kita akan sampai disana…!
Bagaimana pendapatmu?”
“Aku tahu
apa yang sebenarnya yang ada di otakmu. Wulung Kingkit!” sahut Datuk Hantu
Merah menyeringai.
“Apa
maksudmu Ketua…?” tanya perwira muda palsu bernama Wulung Kingkit itu.
“Sebelum
gadis-gadis itu diserahkan pada mucikari di Kotaraja, kau akan memilih salah
satu diantaranya lalu bersenang-senang malam ini! Bukan begitu…?!” Wulung
Kingkit hanya bisa balas menyeringai.
“Tapi
jangan khawatir Wulung! Usulmu kuterima!” Datuk Hantu Merah tertawa bergelak
lalu dia mendahului membelok memasuki jalan menuju hutan Jatiroto.
Di suatu
tempat yang agak datar malam itu rombongan Komplotan Hantu Merah berhenti. Enam
buah obor dinyalakan. Empat buah kemah besar didirikan. Setelah itu pintu
belakang kereta dibuka. Dua puluh gadis keluar dengan wajah letih dan tubuh
keringatan. Mereka dikumpulkan di dua tenda lalu diberi makan seadanya.
Masing-masing mereka ditemani oleh anggota komplotan tanpa bisa menampik.
Banyak
diantara gadis ini yang mulai curiga dan ketakutan, meminta agar boleh naik ke
dalam kereta kembali. Tapi permintaan itu tidak dikabulkan, malah banyak
diantara mereka mulai dijejali tuak keras.
Datuk
Hantu Merah berbaring ditemani dua gadis yang ketakutan setengah mati. Salah
satu diantaranya mulai menangis.
“Anak
bagus! Sekarang kau menangis. Nanti kalau sudah merasa kau akan berlutut minta
tambah. Ha… ha… ha..!” Sang datuk tertawa bekakakan, teguk tuaknya lalu
merangkul dan menciumi dua gadis yang dikempitnya di kiri kanan. Kemudian
manusia tinggi kurus bermuka bopeng dan berewokan ini mulai menunjukkan
kebejatannya. Gadis disebelah kirinya dipaksanya membuka pakaian. Kesempatan
ini dipergunakan oleh gadis yang tadi menangis untuk lari keluar tenda. Tapi
sang datuk lebih cepat. Begitu berhasil menangkap gadis ini langsung seluruh
pakaiannya dirobek-robek. Lalu gadis itu di bantingkannya ke alas tenda. Selagi
berada dalam keadaan terlentang tak berdaya, Datuk Hantu Merah menindih
tubuhnya. Saat itulah terdengar suara ribut-ribut di luar. Lalu ada seseorang
berteriak, “Ketua! Ada yang tidak beres! Lekas keluar!”
“Bangsat
rendah! Apa yang tidak beres! Apa kalian tidak bisa menyelesaikannya sendiri?!
Keparat!” teriak sang datuk dari dalam tenda.
“Dua
orang anggota ditemui mati!” terdengar orang di luar berteriak memberi tahu.
“Anjing
betul!” menyumpah Datuk Hantu Merah. Cepat dia mengenakan celana dan pakaiannya
lalu menyembul keluar tenda.
“Ada apa
hah?!” sentaknya pada anggota komplotan yang tegak di depan tenda.
Yang
ditanya menunjuk ke arah kiri. Saat itu tampak beberapa anggota Komplotan Hantu
Merah menggotong dua orang kawan mereka yang sudah jadi mayat lalu
meletakkannya di hadapan sang ketua.
Datuk
Hantu Merah kerenyitkan kening ketika melihat mayat dua anak buahnya itu.
Mereka mati dengan leher hampir putus.
“Apa yang
terjadi? Bagaimana mereka bisa digorok begini rupa tanpa ada yang tahu?!”
bertanya Datuk Hantu Merah.
“Mayatnya
kami temui di dalam tenda sebelah sana ketika beberapa gadis di dalam tenda
berpekikan lalu berhamburan lari keluar,” menerangkan salah seorang anggota
komplotan.
“Apa ada
yang melihat siapa pembunuh mereka?!” bertanya perwira muda bernama Wulung
Kingkit yang juga sudah ada ditempat itu.
“Yang
melihat adalah dua gadis di dalam tenda. Tapi kedua gadis itu kabur entah
kemana!”
“Bangsat
rendah! Pasang lebih banyak obor dan cari gadisgadis yang melarikan diri itu!”
Datuk Hantu Merah berpaling pada Wulung Kingkit. “Kau dan anak buahmu segera
lakukan penyelidikan! Pembunuh itu harus dicari sampai dapat!”
Belum
sempat Wulung Kingkit menjawab, tiba-tiba terdengar suara dari dalam kereta.
“Kalian
tidak usah susah-susah mencari, aku pembunuh dua anggota komplotan bejat itu
ada di sini!”
Lalu
braak!
Pintu
kereta terdengar ditendang hingga mental berantakan. Dari dalam kereta keluar
seorang pemuda berambut gondrong sambil bertolak pinggang. Dia bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wulung
Kingkit segera hunus goloknya. Para anggota komplotan lainnya juga melakukan
hal yang sama, segera mencekal senjata masing-masing. Ketika lebih dari selusin
orang hendak menyerbu, Datuk Hantu Merah berseru.
“Tahan!
Sebelum dia kita cincang, aku ingin tahu siapa bangsat gondrong ini adanya.”
Lalu sang ketua maju empat langkah dan membentak.
“Gondrong!
Katakan siapa dirimu! Mengapa berani membunuh dua anak buahku?!”
“Namaku
Wiro Sableng! Aku membunuh dua anjing itu karena dia hendak memperkosa dua
gadis tak berdaya! Ketahuilah, masih banyak orang-orang di sini yang bakal
menemui kematian karena dosa terkutuk yang sama! Termasuk kau dedengkotnya!”
Marahlah
Ketua Komplotan Hantu Merah itu mendengar dirinya disebut dedengkot. Maka,
diapun berteriak memberi perintah.
“Bunuh
bangsat gondrong ini! Cincang sampai lumat!” Selusin orang bergerak. Selusin
senjata berkelebat.
Saat itu
terlihat sinar menyilaukan menyambar dibarengi suara mengaung macam ratusan
tawon mengamuk. Lalu…
Trang…!
Trang…!
Trang…!
Suara
senjata beradu susul menyusul yang ditingkahi oleh suara jeritan-jeritan
kematian!
Empat
anggota Komplotan Hantu Merah tergelatak roboh mandi darah. Lalu menyusul dua
orang lagi. Melihat ini enam orang lainnya menjadi ciut nyalinya. Hendak
melompat mundur mereka takut pada sang ketua. Kalau maju terus pasti menerima
nasib sama seperti enam kawan mereka itu!
Dalam
keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar teriakan Ketua Komplotan Hantu Merah.
“Mundur
semua! Biar aku yang mematahkan batang lehernya! Akan kubetot jantung dan isi
perutnya!”
Dari
mulut sang datuk terdengar suara berkeretekan rahang dan gerahamnya yang saling
beradu. Matanya merah membara. Berewoknya dan kumis tebalnya berjingkrak. Dia
melompat ke hadapan Pendekar 212 dengan tangan kosong. Melihat orang tak
bersenjata murid Sinto Gendeng ini segera simpan Kapak Maut Naga Geni 212.
Waktu itulah Wulung Kingkit berbisik pada ketuanya.
“Ketua,
kalau aku tidak salah manusia bernama Wiro Sableng ini adalah pendekar yang
menyandang gelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Aku merasa sangat pasti
setelah melihat senjatanya tadi!”
“Aku tak
pernah dengar nama dan gelar itu! Sekalipun setan dihadapanku aku tidak takut.
Kau kepinggirlah Wulung Kingkit!”
“Jangan,
Ketua. Biar aku saja yang bicara padanya. Aku akan menawarkan sesuatu padanya
asal kita bias selamat…!”
“Aku baru
tahu kau sepengecut itu Wulung Kingkit!” bentak Datuk Hantu Merah dengan mata
melotot.
“Ketua,
ini bukan soal pengecut atau apa. Manusia satu ini bukan lawan kita…!”
Datuk
Hantu Merah tertawa dan usap berewoknya sesaat lalu mendorong Wulung Kingkit ke
samping. Tapi saat itu Wulung Kingkit yang sudah tahu apa yang bakal terjadi
cepat mendahului melompat ke hadapan Wiro Sableng.
“Pendekar
212, aku bicara membawa usul. Habisi semua perkara antara kita. Tinggalkan
tempat ini dan kau boleh membawa semua gadis itu!”
Wiro
keluarkan siulan keras lalu tertawa lebar.
“Usul
yang menggiurkan perwira palsu!” jawab Wiro.
Wulung
Kingkit terkesiap. “Bagaimana bangsat ini tahu aku perwira palsu…?” dia
bertanya dalam hati.
“Pendekar,
apa yang aku usulkan adalah atas nama Kerajaan… Kau boleh tidak menghormati
diriku dan kami semua. Tapi kau wajib menghormati Kerajaan!” Wiro tertawa
bergelak.
“Perwira
tengik! Ternyata otakmu bukan cuma bisa berpikir keji, tapi juga pandai
mengatur rencana licik! Kalau kau mau memberikan kepala Komplotan Hantu Merah
padaku, baru aku mau membuat urusan ini selesai!”
Mendengar
ucapan Wiro itu, Datuk Hantu Merah menggembor marah. Dia menerjang ke depan.
Kali ini Wulung Kingkit tidak mau mencegah lagi. Dia cepat menyingkir ke
samping dan diam-diam mulai berpikir untuk melarikan diri.
********************
SEMBILAN
Tegak
berhadapan-hadapan begitu rupa tinggi Pendekar 212 hanya sampai sebahu Datuk
Hantu Merah. Tangan sang datuk yang panjang melesat ke arah batang leher Wiro.
Pendekar 212 cepat menunduk lalu hantamkan tinjunya ke perut lawan.
Buukk!
Jotosan
itu tepat mendarat di perut Datuk Hantu Merah. Mata orang ini membeliak besar
dan mukanya yang bopeng mengerenyit. Tapi tubuh dan kakinya tidak bergeming
sedikitpun!
Wiro
memukul sekali lagi. Saat inilah tangan kiri sang datuk berkelebat laksana
pentungan menabas dari kiri ke arah batang leher Wiro sementara tangan kanannya
bersiap-siap untuk menggebrak yaitu jika Wiro membuat gerakan menangkis atau
menghindar.
“Bangsat
ini tahan pukulan rupanya. Aku mau lihat apa dia tahan yang satu ini.” Membatin
Wiro lalu dia jatuhkan diri berlutut.
Tangan
kiri lawan menyambar di atas kepalanya. Tangan kanan yang berusaha menggapai ke
depan dipukulnya dengan tangan kiri. Dua lengan beradu keras. Tetap saja si
tinggi kurus itu tidak bergeming walau mukanya jelas mengerenyit menahan sakit.
Wiro pergunakan kesempatan. Tangan kanannya meluncur ke depan menarik
keraskeras celana merah sang datuk yang memang tidak terkancing betul.
Lalu
dengan tangan kirinya Wiro mendorong tubuh Datuk Hantu Merah. Karena kedua
kakinya tertahan oleh celana yang merosot, sang datuk hilang keseimbangan lalu,
Brukk! Dia jatuh terduduk di tanah!
Sesaat
Wiro hendak menghantam kepala lawannya, di bagian lain terdengar
jeritan-jeritan keras. Anggota Komplotan Hantu Merah Nampak lari kian kemari
menyelamatkan diri. Namun banyak diantara mereka yang jatuh bergelimpangan di
tanah dan menemui ajal dalam keadaan mengerikan. Ada yang perutnya jebol, ada
yang mukanya hancur! Wiro mengendus dalam-dalam. Dia mencium bau sesuatu….!
“Bau
itu…” desis Wiro. “Bau bunga kenanga!”
Lalu dia
dikejutkan oleh satu sosok tubuh yang jatuh di sampingnya. Ternyata adalah
sosok tubuh Wulung Kingkit si perwira palsu. Mukanya tampak berlumuran darah
dan di mata kirinya menancap bunga kenanga!
Baik Wiro
maupun Datuk Hantu Merah sama-sama mengenali bunga itu. Sang datuk yang hendak
melabrak dengan satu serangan tangan kosong serta merta batalkan niatnya.
“Bunga
mayat…” desis sang datuk. Dia melompat berdiri sambil tarik keatas celana
merahnya dengan susah payah. “Dewi Bunga Mayat!” desisnya lagi penuh ketakutan.
Dia tidak lagi perdulikan Wiro. Wiropun tidak lagi perdulikan manusia satu itu.
Yang ada dalam benaknya saat itu adalah Bunga si dara jelita. Jadi dia ada
disini!
“Bunga!
Bunga…!” teriak Wiro berulang kali. Dalam kegelapan malam dia melihat seorang
berpakaian serba putih menunggangi kuda putih. “Bunga!” memanggil Wiro.
Akhirnya ditemuinya juga gadis yang dicari-carinya selama ini. Dia berlari ke
arah kuda dan penunggangnya. Namun saat itu si penunggang telah menggebrak kuda
putihnya mengejar Datuk Hantu Merah yang tengah melarikan diri. Begitu terkejar
si penunggang jambak rambut sang datuk lalu menyeretnya beberapa belas langkah.
Begitu melewati sebatang pohon besar kepala itu langsung dihantamkannya ke
badan pohon. Praakkk!
Kelapa
dan pohon beradu. Tak ampun kepala itu pecah dan menggeletak mengerikan ketika
si penunggang kuda melemparkannya ke tanah.
“Bunga!”
teriak Wiro.
Orang
diatas kuda putih menoleh. Lambaikan tangan sambil tersenyum lalu membedal
kudanya.
“Bunga!”
teriak Wiro lagi. Kelabakan dia mencari kuda yang bisa dibedal. Begitu dapat,
Wiro langsung mengejar kuda putih dan Dewi Bunga Mayat si penunggangnya!
Keluar
dari hutan Jatiroto sang dewi ternyata melarikan kudanya ke daerah persawahan
dan berhenti di sebuah bangunan kecil di tepi sawah tepat dekat sebuah mata
air.
Wiro
sampai pula di bangunan kecil itu dan dapatkan Bunga telah duduk di dalam,
memandang padanya sambil tersenyum. Seperti lupa diri Wiro langsung melompat
merangkul sang dara.
“Bunga…
Aku mencarimu berhari-hari. Rasanya seperti mau gila tidak melihatmu….” berucap
Wiro.
“Seperti
mau gila berarti belum gila benaran kan?!” ujar Bunga.
“Ah, kau
masih tega mempermainkanku! Kemana saja kau selama ini… Bagaimana kau tahu-tahu
bisa muncul di hutan Jatiroto?”
“Eh,
pertanyaanmu banyak amat! Apakah semua itu sangat penting bagimu…?”
“Tentu
saja penting! Kini aku menemuimu. Jangan harap aku akan melepaskanmu Bunga. Aku
akan ikut kemana kau pergi…!”
Perlahan-lahan
Bunga melepaskan pelukan Wiro. Sambil menatap mata pemuda itu dia berkata,
“Tidak mungkin Wiro. Tidak mungkin kau mengikuti kemana aku pergi…”
“Tidak
mungkin bagaimana? Bukankah aku sudah bilang kalau aku mencintaimu. Eh…” ucapan
Wiro terputus.
“Mengapa
kau tidak meneruskan kata-katamu , Wiro? Apa kau menyesal telah mengakui isi
hatimu…?”
“Bukan…
Aku tidak menyesal. Dengar, aku pernah bermimpi diatas kuburan…” lalu Wiro
menceritakan mimpinya waktu dia duduk ketiduran diatas batu hitam di pekuburan
Batuwungkur.
Bunga
tertawa lebar mendengar cerita itu lalu ulurkan kedua tangannya memegang
jari-jari sang pendekar. Wiro angkat kedua tangan si gadis, menciumnya
berulang-ulang. “Aku tak mau berpisah lagi denganmu Bunga…” bisik Wiro lalu
mendekap sang dara eraterat ke dadanya. Wiro lalu merasakan Bunga membalas
rangkulannya itu. Keduanya hanyut dalam perasaan yang seolaholah menjadi satu.
Walau mereka berpeluk dan berciuman, namun dihati sang Pendekar 212 sama sekali
tidak ada gejolak hawa nafsu. Sentuhan cinta kasih yang tulus lebih menggema di
dalam tubuh dan aliran darahnya.
“Bunga..,”
bisik Wiro.
“Wiro…,”
balas berbisik Bunga.
“Kita
tidak akan berpisah lagi bukan…?”
“Apa yang
kau inginkan itu juga menjadi keinginanku, Wiro. Tapi saat ini…”
“Jangan
katakan tapi, Bunga. Aku akan membawamu pada guruku di Gunung Gede. Lalu aku
akan menemui orang tuamu. Aku…”
Jari-jari
tangan Bunga menempel di atas mulut Pendekar 212 hingga Wiro tidak bisa
meneruskan ucapannya.
“Saat ini
aku harus pergi Wiro. Sebentar lagi hari akan pagi.
Ada
sesuatu yang harus kulakukan…” Bunga melepaskan pelukannya. Lalu cepat sekali
dia melompat ke punggung kuda putih.
“Bunga…”
Wiro hendak mengejar. Lalu didengarnya gadis itu berkata, “Jika kau ingin
bertemu lagi datanglah ke kedai Aki Sukri tiga malam di muka. Aku menunggumu di
sana… Saat ini bagaimanapun tulusnya perasaanmu padaku, janganlah mengejar atau
mengikutiku. Berjanjilah Wiro…”
“Aku
berjanji Bunga. Demi cintaku padamu…”
“Dan
cintaku padamu…” sahut Bunga.
“Ah!
Jadi… kau juga mencintaiku Bunga…?” Tanya Wiro.
“Aku… aku
tidak bisa menipu perasaanku sendiri. Aku tak mungkin melawan kodrat…” jawab
sang dara lalu mengusap leher kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Wiro
merasakan kesejukan dalam dirinya mendengar kata-kata itu. Dia mengikuti
kepergian Bunga dengan pandangan mata dan senyuman sampai akhirnya sang dara
lenyap dikejauhan dalam kegelapan malam yang menjelang pagi itu.
********************
SEPULUH
SORE ITU
SUNTINI dan suaminya duduk bersama Menak Tunggoro sang ayah sambil menikmati
teh manis hangat di langkan samping rumah besar kediaman mereka.
“Ayah,
kami berdua benar-benar gembira melihat ayah kembali berkumpul lagi di rumah
besar ini…” berkata Suntini.
Menak
Tunggoro tersenyum.
“Besar
kegembiraan kalian berdua, lebih besar lagi rasa gembiraku, Suntini…”
“Lalu
apakah lusa ayah akan menghadap Adipati untuk menerima jabatan yang ditawarkan
beliau…?” yang bertanya adalah Sadewo, sang menantu.
“Itu yang
masih jadi pikiranku. Kalau aku datang berarti setengahnya aku bisa dianggap
sudah menerima jabatan itu. Padahal rasanya aku belum siap…”
“Diterima
atau tidak sebaiknya ayah tetap datang. Paling tidak ayah sudah menghormati
tawaran dan menghormati Adipati.”
“Ucapan
Kangmas Sadewo memang betul ayah. Ayah harus ke sana menmui Adipati. Mungkin
ayah perlu bertukar pikiran dengan beliau…”
Menak
Tunggoro tertawa dan memegang tangan anak perempuannya itu. “Sudah maghrib…”
katanya. “Aku harus sembahyang dulu…”
Orang tua
ini berdiri. Sesaat dia ingat sesuatu. “Ayah melihat banyak orang berjaga-jaga
di sekitar rumah kita ini. Ada apakah?” Menak Tunggoro berpaling pada
menantunya.
“Tidak
ada apa-apa, ayah. Sekedar untuk berjaga-jaga dari maling saja…” jawab sang menantu.
“Ah,
sudah banyak maling rupanya di pinggiran kota ini!?” Menak Tunggoro
mengangguk-angguk lalu masuk ke dalam.
********************
Udara
malam itu terasa panas. Di atas ranjang di dalam kamar mereka, suami istri
Suntini dan Sadewo tengah bermesraan.
“Setiap
kau terlambat datang bulan, aku selalu merasa gembira karena mengira kita bakal
dikaruniai anak… Ternyata sampai saat ini masih belum…” berkata Sadewo sambil
mengelus perut istrinya yang putih. Suntini menggeliat kegelian. Dia merangkul
tubuh suaminya erat-erat dengan tangan dan kakinya. Ketika dia menaikkan
kepalanya, tak sengaja dia memandang ke arah jendela yang hordengnya
tersingkap. Saat itulah dia melihat ada sosok seseorang memperhatikan ke arah
dalam kamar. Langsung wajah Suntini menjadi pucat dan sekujur tubuhnya
bergeletar.
Mula-mula
Sadewo mengira tubuh istrinya bergeletar karena rangsangan birahi. Namun ketika
dilihatnya kedua mata Suntini melotot ke arah jendela kamar dan mulutnya
bergerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar, Sadewo cepat berpaling ke arah
yang dipandang istrinya.
“Dia..
dia datang lagi…” bisik Suntini. Suaranya seperti kelu.
Lelaki
itu serta merta melompat dan mengenakan pakaiannya dengan cepat. Sebuah
kelewang yang tergantung di dinding kamar di sambarnya. Lalu dia membuka pintu
dan lari keluar.
“Mas
Sadewo! Jangan tinggalkan aku mas! Aku takut!” teriak Suntini.
Tapi
Sadewo terus lari keluar. Saat itu sosok yang tadi tegak di luar jendela sudah
lenyap. Sadewo lari ke langkan depan rumah dimana terdapat kentongan kayu.
Kentongan itu dipukulnya berulang kali sampai enam orang lelaki bertubuh tegap
muncul dihadapannya.
“Lekas
siapkan obor dan kuda! Makhluk itu muncul lagi! Malam ini kita harus membuatnya
kapok! Membunuhnya!”
“Tapi
kalau makhluk itu makhluk halus seperti katamu ‘den, bagaimana mungkin kita
bisa membunuhnya?!” tanya salah seorang yang datang menghadap.
“Diam!
Kau tahu apa! Turut saja perintah! Ki Dukun telah mengatur segala sesuatunya!
Kita tinggal menjalankan! Lekas siapkan obor dan kuda!” teriak Sadewo marah.
Enam
orang itu segera berlalu. Tak lama kemudian mereka kembali membawa tujuh ekor
kuda dan tujuh buah obor menyala. Sadewo melompat ke atas salah seekor kuda,
mengambil sebuah obor lalu memberi isyarat agar enam orang pembantunya
mengikutinya. Sadewo memimpin rombongan berkuda itu menuju bagian pinggir
selatan kota.
“Masih
belum kelihatan den. Apa raden merasa pasti makhluk itu lari ke jurusan sini?”
“Ki Dukun
yang berkata begitu…” sahut Sadewo. Dia memacu kudanya terus. Tak lama kemudian
mereka memasuki satu jalan menurun. Di depan mereka terdapat sebuah jembatan
bambu yang melintang di atas sebuah jurang dalam. Dulunya jurang itu merupakan
sebuah aliran sungai. Namun karena tidak dialiri air lagi, sungai dalam itu
berubah menjadi jurang.
“Raden!”
tiba-tiba salah seorang dari enam pembantu berteriak seraya menunjuk ke depan.
“Lihat, Raden! Makhluk itu ada di depan sana!”
Semua
kepala dipalingkan ke arah yang ditunjuk. Memang benar. Di depan sana, beberapa
belas tombak dari jembatan bambu tampak penunggang kuda putih tegak tak
bergerak seolah-olah sengaja menunggu mereka.
“Kejar!”
Perintah Sadewo. “Ingat! Begitu kalian berhasil mengejar, tusukkan obor ini ke
kepala dan tubuh orang itu! Dia pasti kapok! Mati konyol dimakan api dan tidak
akan mengganguku lagi! Jalan!”
Tujuh
kuda melompat ke depan menuruni jalan menuju jembatan bambu. Saat itu kuda
putih di depan sana tampak bergerak pula, melewati jembatan bambu dengan
perlahan-lahan. Sepertinya sengaja menunggu rombongan Sadewo di sebelah
belakang. Ketika melewati jembatan bambu, orang berkuda putih keluarkan sebuah
benda dari sebuah kantong dekat leher kuda. Ternyata segulung tali besar yang
ujungnya ada kaitan besinya. Tali ditebar dan diputarputar. Sesaat akan keluar
dari jembatan bambu, tali itu melesat ke bawah dan besi pengaitnya bergelung di
sebuah tiang bambu yang menjadi pusat daya tahan berat jembatan.
Di
sebelah belakang tujuh penunggang kuda menderu di atas jembatan. Saat itulah
penunggang kuda putih keluarkan tawa cekikikan. Dia menggebrak kuda
tunggangannya. Kuda putih itu melompat kencang. Tali berkait besi tersentak dan
langsung menarik tiang bambu di kolong jembatan. Begitu tiang berderak patah,
tak ampun lagi goyahlah bambu-bambu penopang lainnya. Jembatan bambu itu
langsung runtuh berderak. Tujuh peunggang kuda bergemuruh jatuh ke dalam
jurang. Suara ringkik kuda dan suara jeritan tujuh orang itu menjadi satu
merobek kesunyian malam secara teramat mengerikan.
Lalu
sunyi. Penunggang kuda putih campakkan tali yang dipegangnya ke tanah. Dia
berlalu sambil menabur tawa cekikikan penuh kepuasan!
********************
SEBELAS
SORE TADI
JENAZAH Raden Sadewo dan enam orang lelaki yang menjadi korban jatuh ke dalam
jurang telah dimakamkan. Atas permintaan istrinya, jenazah tidak dikubur di pemakaman
Batuwungkur yang terletak cukup jauh dari Sleman tempat kediaman almarhum, tapi
dimakamkan di pekuburan Kebalentoro di tenggara kota.
Malam itu
suasana di gedung kediaman Menak Tunggoro kelihatan sunyi senyap. Hanya sebuah
lampu minyak saja yang tampak menyala di bagian belakang rumah besar.
Penghuninya mungkin telah lelap keletihan karena siangnya melakukan berbagai
upacara sampai saat terakhir pemakaman Raden Sadewo.
Dalam
kesunyian dan kegelapan itu tiba-tiba tampak jendela bekas kamar almarhum terbuka.
Lalu satu sosok menyelinap keluar, bergegas menuju halaman belakang. Disini dia
masuk ke dalam kandang kuda. Tak lama kemudian orang tadi tampak keluar sambil
menuntun seekor kuda. Di luar halaman rumah besar baru dia naik ke punggung
kuda dan memacu binatang itu ke arah barat Sleman. Ki Dukun Sambarekso
tersentak kaget dari tidurnya ketika ada yang mengetuk pintu rumahnya keras
sekali. Dia terduduk di tepi ranjang dan memasang telinga. Suara ketukan itu
kini dibarengi oleh suara orang memanggil.
“Ki
Dukun! Lekas buka pintu! Aku perlu bicara denganmu! Ki Dukun Sambar! Buka
Pintu!” Itu suara perempuan!
Orang tua
hampir tujuh puluh tahun ini tapi masih bertubuh kekar bangkit dari ranjangnya,
bergegas keluar kamar. Setelah menyalakan lampu minyak di ruangan depan dia
langsung membuka pintu. Begitu pintu terbuka, sebatang golok tahu-tahu sudah
melintang di tenggorokannya! Membuat dia melangkah mundur ketakutan dan
akhirnya punggungnya tertahan dinding rumah.
“Den ayu
Suntini…” desis Ki Dukun ketika dia mengenali siapa adanya yang menempelkan
golok ke lehernya. “Kau datang malammalam begini dan mengancamku dengan sebilah
golok, ada apakah…?!”
“Kau tahu
suamiku meninggal karena kecelakaan masuk jurang?!” sentak perempuan yang
memegang golok yang ternyata adalah Suntini, puteri Menak Tunggoro, bekas istri
almarhum Sadewo.
“Aku
tahu, den ayu…”
“Kejadian
itu adalah karena kesalahamu!”
“Ke…
kesalahanku? Aku tidak mengerti?!”
“Kau akan
mengerti kalau lehermu sudah ku sembelih!”
“Tunggu!
Jangan den ayu…! Jangan menuduhku begitu…”
“Jangan
berani berdusta! Beberapa waktu lalu suamiku pernah datang padamu meminta
petunjuk….”
“Betul
den ayu. Itu memang betul. Dia memberi tahu adanya gangguan atas dirimu dan
dirinya sejak tiga bulan terakhir ini. Aku memberi perunjuk dan sebuah jimat
untuk keselamatan…”
“Dan
karena petunjuk serta jimatmu itu suamiku mati masuk jurang bersama enam
pembantunya! Kau harus tebus nyawa suamiku dengan nyawa tua bangkamu!” Golok
ditangan Suntini menekan. Ki Dukun terpekik dan darah mengucur dari luka di
lehernya.
“Den ayu…
jangan… jangan bunuh diriku. Kurasa… kurasa suamimu melakukan kesalahan.
Jangan-jangan dia melakukannya tidak sesuai petunjukku….”
“Tidak
sesuai petunjuk bagaimana…?!” sentak Suntini.
“Waktu
suami den ayu datang terakhir aku pernah memesankan, jika dia hendak menghadapi
si penggangu, dia musti berada dalam keadaan suci…”
“Suci?
Suci bagaimana…?”
“Dirinya
harus dalam keadaan bersih. Kalau sebelumnya dia perhan berhubungan badan
dengan den ayu maka dia harus mandi basah lebih dulu. Kalau tidak… itulah
bahayanya…”
“Kau
dusta! Kau sengaja mencari dalih agar bisa cuci tangan! Biar kubunuh kau saat
ini juga!”
“Kalau
kau bunuh diriku, berarti kau tak akan pernah bebas dari si pengganggu itu! Aku
masih ada cara lain untuk menolongmu den ayu!” tiba-tiba Ki Dukun berkata.
Suntini
yang hendak menekankan goloknya dalam-dalam ke leher si orang tua urungkan
niatnya. Dengan mendelik dia membentak, “Apa yang ada dalam otakmu, Ki Dukun?!”
“Aku
punya senjata rahasia bernama Pisau Daun Sirih. Dengan senjata itu kau bisa
menyingkirkan si penggangu. Asal kau mau dan benar-benar mengikuti petunjukku…”
“Baik
kuberi kau kesempatan sekali lagi. Jika tidak berhasil jangan harap kau bisa
lolos dari kematian!” Suntini turunkan tangannya yang memegang golok. Ki Dukun
merasa lega. Sepasang mata orang tua itu tiba-tiba tampak berkilat seperti
memancarkan sesuatu. Pandangannya menembus ke mata Suntini.
“Ada satu
syarat yang harus kau penuhi terlebih dulu den ayu…” kata Ki Dukun perlahan.
“Jangan
takut, kalau berhasil pasti akan kuberi hadiah uang!”
“Tidak,
bukan uang. Ku inginkan dirimu…” Dari mata Ki Dukun menyambar kembali kilatan
cahaya aneh itu. Seperti orang terkena sihir Suntini hanya diam saja ketika si
orang tua mulai membukai pakaiannya. Di lain saat perempuan muda ini sudah
berada dalam keadaan polos dan mengikuti saja ketika Ki Dukun membimbingnya ke
dalam kamar!
********************
DUA BELAS
MATAHARI
BARU SAJA tenggelam ketika Wiro masuk ke dalam kedai. Aku Sukri si pemilik
kedai segera mendatanginya dan hendak mengatakan sesuatu. Tapi Wiro cepat
memegang bahu Aki Sukri, menekannnya sedikit hingga pemilik kedai itu
mengerenyit kesakitan.
“Aku tahu
kau tidak suka melihat kedatanganku. Tapi jangan banyak bicara. Ini uang.
Terima!” berkata Wiro lalu masukkan dua keping uang ke dalam saku si pemilik
kedai.
Mau tak
mau Aki Sukri menerima saja uang itu lalu bertanya, “Kau tidak ingin memesan
makanan atau minuman?”
“Tidak,
aku akan menunggu seorang sahabat! Nanti saja kalau dia sudah datang…” jawab
Wiro.
“Sahabat
yang kau maksudkan itu, apakah dia dara temo hari? Yang katamu bergelar Dewi
Bunga Mayat?” tanya Aki Sukri dengan wajah berubah.
“Siapa
dia kau tak usah tahu. Lihat saja nanti siapa yang datang!” habis berkata
begitu Wiro lalu duduk di sudut kedai yang agaknya kegelapan.
Malam
terasa merayap sangat perlahan. Sampai menjelang tengah malam Wiro masih duduk
di tempatnya dalam keadaan terkantuk-kantuk. Dan orang yang ditunggunya masih
belum muncul.
Aki Sukri
mendatangi sang pendekar lalu berkata, “Maafkan, aku bukan mengusir. Tapi kedai
ini sudah mau kututup, anak muda…”
“Orang
yang kutunggu masih belum datang. Tunggu sebentar lagi, Aki…”
Aki Sukri
keruk saku bajunya dan keluarkan dua keping uang yang tadi diberikan Wiro, lalu
letakkan di atas meja.
“Ini uangmu.
Ambil kembali dan pergi dari sini…”
Pendekar
212 tersenyum. Dengan tangan kirinya didorongnya pemilik kedai itu seraya
berkata, “Orang yang ku nanti sudah datang. Kau tak usah menceloteh lagi, Aki.
Siapkan dua kopi hangat…”
Aki Sukri
berpaling ke arah pintu. Saat itu dilihatnya seorang dara berwajah cantik
berpakaian putih melangkah masuk, melangkah menuju sudut dimana Wiro menunggu
sambil berdiri. Pemilik kedai ini mengenali dan ingat betul, dara ini adalah
dara yang tempo hari datang ke kedainya, yang menurut si anak muda bergelar
Dewi Bunga Mayat! Betul dia rupanya yang datang! Penuh rasa takut Aki Sukri
menyiapkan dua cangkir kopi.
“Kau
pasti sudah kesal karena lama menunggu…” kata Bunga lalu duduk dekat-dekat di
samping Wiro.
Pendekar
212 pegang tangan Bunga dan menjawab, “Seratus tahunpun aku bersedia
menunggumu. Aku tahu kau pasti akan datang Bunga. Aku sudah memesan kopi panas
untuk kita berdua…”
“Aih aku
tidak pengopi. Tapi tak apa. Malam ini malam istimewa bagi kita berdua. Aku
akan minum kopi hangat bersamamu…”
“Setuju!
Malam ini malam istimewa bagi kita berdua. Kau mau aku memesan makanan…?”
“Tidak
usah. Kopi saja sudah cukup…”
“Apakah
kau baik-baik saja selama beberapa hari ini?” tanya Wiro.
“Ya… ya.
Kau sendiri bagaimana?” balik bertanya Bunga.
“Ah, aku
selalu ingat-ingat dirimu. Susah kalau sudah jatuh cinta begini…!”
Wiro
lantas tertawa sedang wajah Bunga tampak kemerahan. Wiro angkat tangan kanan si
gadis yang dipegangnya lalu diciumnya berulang kali. Saat itu terdengar suara
orang berdehem.
Aki Sukri
datang membawa dua cangkir kopi. Wiro tersipu malu, Bunga tundukkan kepala. Dua
cangkir kopi diletakkan di atas meja.
“Bunga
aku punya satu rencana besar…”
“Rencana
besar apa, Wiro?”
“Rencana
ini ada kaitanya dengan hubungan kita…”
“Hem…
katakan maksudmu…”
“Aku akan
menemui orang tuamu!”
“Eh,
untuk keperluan apa?!” tanya Bunga heran.
“Aku
hendak melamarmu!” jawab Pendekar 212 tanpa tedeng aling-aling.
Tentu
saja Bunga jadi terkejut. Dia seperti hendak tertawa gelak-gelak, namun
akhirnya gadis jelita ini tundukkan kepala.
“Aku… aku
sekarang baru sadar kalau kau memang bersungguh-sungguh…” ucap Bunga perlahan.
“Astaga!
Apa kau kira selama ini aku mempermainkanmu? Katakan, kapan aku bisa ketemu
kedua orang tuamu. Besok…? Eh, rumahmupun aku belum tahu! Bagaimana ini?!” Wiro
memandang lekat-lekat ke wajah jelita itu.
“Ibuku
sudah lama meninggal Wiro….”
“Maafkan
aku…” kata Wiro lalu garuk-garuk kepala. “Tapi ayahmu masih ada ‘kan?”
Bunga
mengangguk.
“Kalau
begitu aku akan menemuinya. Bolehkah…?”
Bunga menatap
paras pemuda itu sesaat, lalu mengangguk perlahan. Wiro kembali meremas dan
menciumi tangan kanan Bunga. Hatinya berbunga-bunga. Dadanya seperti mau
meledak karena kegirangan.
“Sekarang
katakan di mana rumahmu…” bsisk Pendekar 212.
“Kapan
kau mau datang, Wiro…?”
“Makin
lekas makin baik. Besok…?”
“Datanglah
ke Sleman. Cari rumah Raden Menak Tunggoro. Itu ayahku…”
“Raden
Menak Tunggoro. Nama hebat! Ayahmu pasti seorang yang hebat!” kata Wiro pula.
“Lalu namamu sendiri siapa? Kalau aku ketemu ayahmu, aku harus bilang mau
bertemu siapa…?”
Sang dara
tersenyum. “Namaku Suci…” bisiknya ke telinga Wiro.
“Suci…
Nama bagus. Nama indah sekali…” ujar Wiro. Lalu diciumnya kembali jari-jari
tangan sang dara. “Eh, sebaiknya kita teguk kopi ini. Jangan sampai dingin…”
Suci
ulurkan tangan memegang cangkir. Wiro melakukan hal yang sama. Sesaat sebelum
sepasang muda mudi yang dilanda cinta ini mendekatkan cangkir ke bibir
masing-masing dan meneguk kopi hangat itu, tiba-tiba mereka mendengar suara
sesuatu di atap kedai.
“Aku
mendengar suara sesuatu berdesing berputar-putar di atas atap…” ujar Pendekar
212 sambil turunkan cangkir dan meletakkannya di atas meja sementara Bunga
masih memegangi cangkir kopinya di depan dada.
“Aku juga
mendengar…” menjawab Bunga. Wajahnya jelas tampak berubah.
“Aku
mencium bau seperti kemenyan terbakar…” bisik Wiro lagi.
“Aku juga
mencium bau itu…” bisik Bunga. Suaranya bergetar.
Tiba-tiba
suara mendesing itu terdengar tambah nyaring lalu sebuah benda menerobos atap
kedai yang terbuat dari rumbia! Benda ini langsung melesat ke arah kepala Bunga
yang duduk di samping Wiro.
Bunga
melompat berdiri. Cangkir di tangan kanannya terlepas. Kopi hangat menyirami
dada, perut dan bagian bawah kebaya putihnya. Melihat bahaya besar mengancam
Bunga, Pendekar 212 cepat dorong gadis itu ke samping lalu tangan kanannya
dihantamkan ke atas benda yang menukik melesat dari atas atap! Sinar putih
berkiblat menyilaukan. Kedai itu seperti diamuk gempa dan hawa panas laksana
membakar. Tidak tanggung-tanggung Wiro telah lepaskan pukulan ‘sinar matahari’
demi menyelamatkan orang yang dicintainya.
Atap
kedai jebol dan terbakar karena hantaman sinar matahari. Benda yang tadi
melesat terpental kesamping dan jatuh tergeletak di atas meja. Meskipun sanggup
dibuat mental tapi ternyata benda itu tidak patah atau hancur, apalagi leleh
dihantam pukulan ‘sinar matahari’. Wiro dan bunga memandang membelalak pada
benda di atas meja itu. Benda ini adalah sebuah pisau aneh, badan dan matanya
berbentuk daun sirih. Kelihatannya terbuat dari tembaga merah yang seluruh
badannya penuh ukiran tulisan-tulisan aneh. Pada gagangnya yang juga terbuat
dari tembaga terikat sehelai kain putih. Di dalam kain putih ini terdapat
beberapa keping kemenyan! Inilah Pisau Daun Sirih kiriman Ki Dukun Sambarekso!
Kedua
muda-mudi itu baru sadar ketika mereka mendengar pekik jerit Aki Sukri yang
kalang kabut mendapatkan kedainya terbakar.
“Bunga…”
Wiro pegang lengan gadis itu, “cepat keluar dari tempat ini…” Lalu dipagutnya
pinggang sang dara. Sebelum lari keluar kedai, Bunga masih sempat menyambar
Pisau Daun Sirih diatas meja.
Di satu
tempat di halaman belakang kedai keduanya berhenti berlari dan memandang ke
arah kedai Aki Sukri yang terbkaar akibat hantaman pukulan ‘sinar matahari’
“Kasihan
pemilik kedai itu. Aku harus mengganti kerugiannya…” Karena tak ada jawaban
dari Bunga, Wiro berpaling.
Saat itu
dilihatnya si gadis berdiri tidak bergerak. Kedua matanya terpejam. Pisau Daun
Sirih yang dipegangnya di tangan kanan diangkat ke depan mulutnya lalu Bunga
meniup tiga kali.
“Eh, apa
yang tengah kau lakukan Bunga…?” tanya Wiro.
Bunga
mengangkat Pisau Daun Sirih tinggi-tinggi di atas kepalanya. Lalu terdengar dia
membentak, “Pergi! Kembali ke asalmu! Minum darah asal leluhurmu!”
Habis
membentak begitu, Bunga lemparkan Pisau Daun Sirih ke udara. Senjata iu melesat
dan lenyap dalam kegelapan malam!
“Wiro,
kita berpisah disini…” terdengar Bunga berucap.
“Eh…
Aku…”
“Besok
kau akan datang ke rumahku, bukan?”
“Ya, tapi
malam ini…”
“Aku
harus pergi Wiro,” kata Bunga pula lalu memeluk Pendekar 212. keduanya saling
berangkulan seperti tidak mau dipisahkan lagi. Peluk rangkul dan kecupan saling
bergantian sementara di sebelah sana Aki Sukri masih kalang kabut berusaha
memadamkan api yang membakar kedainya.
********************
Ki Dukun
Sambarekso tersentak dari samadinya. Telinganya menangkap suara mendesing
dikejauhan. Makin keras, makin keras tanda tambah dekat. Sesaat dia mengenali
suara desingan itu, pucatlah wajah sang dukun, dia melompat sambil berseru
keras.
“Pergi!
Pergi! Bukan disini sasaranmu! Bukan disini asalmu! Bukan disini leluhurmu!
Pergi!”
Suara
berdesing semakin keras. Lalu terdengar suara jebolnya atap bangunan disusul
melesatnya sebuah benda! Benda ini langsung mengarah Ki Dukun. Si orang tua
menjerit keras untuk kedua kalinya.
“Pergi!”
teriaknya. “Bukan disini asalmu! Bukan disini sasaranmu. Bukan… aakhhhhh!!!”
Pisau
daun sirih menancap di tenggorokan ki dukun sambarekso. Tubuhnya langsung roboh
terjengkang. Kedua kakinya kelojotan beberapa kali. Lalu diam tak berkutik
lagi. Orang tua tukang santet ini menemui ajal dengan mata mendelik. Darah
mengucur dari tenggorokannya yang ditembus senjata rahasia miliknya sendiri.
Anehnya darah ini tidak berwarna merah tetapi hitam pekat!
********************
TIGA BELAS
SORE ITU
DENGAN PAKAIAN sangat bersih dan rapi Pendekar 212 Wiro Sableng berangkat ke
Sleman. Tidak sulit baginya mencari rumah kediaman Raden Menak Tunggoro.
Seorang pelayan muda menemuinya dan menanyakan maksud kedatangannya.
“Namaku
Wiro Sableng. Aku datang dari jauh guna menemui Raden Menak Tunggoro. Apakah
beliau ada di rumah…?”
“Majikan
saya memang ada di rumah. Bisakah saya menanyakan maksud kedatangan raden…?”
tanya si pelayan pula.
“Aku hem…
Aku datang untuk melamar anaknya,” jawab Wiro polos.
Terkejutlah
si pelayan. “Melamar anaknya…?” dia mengulang.
“Betul!
Melamar anaknya!”
“Ah,
pemuda ini pasti gendeng. Den ayu Suntini baru kemarin ditinggal mati suaminya.
Kini dia datang melamar!” berkata si pelayan dalam hatinya. Tapi dia meminta
agar sang tamu menunggu. Dia akan menemui Raden Menak Tunggoro untuk memberi
tahu kedatangannya.
Akan
Raden Menak Tunggoro yang saat itu masih berada dalam suasana berkabung dan
sangat letih tentu saja sangat terkejut mendengar penjelasan sang pelayannya.
“Orang
gila dari mana yang kesasar ke rumah ini!” katanya jengkel. Tapi dia keluar
juga dari kamarnya menuju ruang depan. Pendekar 212 Wiro Sableng menjura
memberi hormat.
“Apakah
saya berhadapan dengan Raden Menak Tunggoro?” Wiro menyapa dengan sopan.
“Betul.
Siapa engkau anak muda? Pelayan mengatakan bahwa engkau datang hendak melamar
anakku?!” Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepalanya.
“Memang
betul begitu. Harap maafkan kalau saya berlaku lancang. Sebelumnya saya sudah
bicara dengan putri bapak. Dia menyetujui agar saya datang kemari menemui bapak
untuk meyampaikan lamaran…”
Raden
Menak Tunggoro menatap pemuda dihadapannya lamalama lau berkata, “Putriku
Suntini maksudmu…?”
Wiro
menggeleng.
“Bukan,
bukan yang bernama Suntini. Tapi Bunga…” kata Wiro pula.
“Bunga…?
Tak ada anak gadisku yang bernama seperti itu…”
“Ah,”
Wiro tepuk keningnya. “maksud saya Suci…” katanya cepat.
Berubahlah
paras Menak Tunggoro. “Suci…?” desisnya mengulang. Kedua matanya kini
memandangi Wiro dari kepala sampai ke kaki. “Kau tidak keliru, anak muda…?”
“Maksud
bapak, tidak ada gadis yang bernama Suci disini…?”
“Anak
muda, masuklah…” Menak Tunggoro memegang bahu Wiro, mengajaknya masuk ke dalam
dan mempersilakannya duduk di ruangan tamu.
Wiro
memandang berkeliling. Lalu berpaling pada Menak Tunggoro. “Bapak belum
menjawab pertanyaan saya tadi. Betul tak ada…”
“Kapan
kau bertemu dengan Suci? Katamu kau sebelumnya sudah bicara dengan dia…” Menak
Tunggoro memotong ucapan Wiro.
“Malam
tadi. Di kedai Aki Sukri. Apakah dia tidak
menceritakan
pada bapak bagaimana dirinya hampir saja jadi korban senjata rahasia…”
“Tunggu
dulu anak muda. Coba kau katakan sekali lagi! Kau bertemu dengan Suci malam
tadi di kedai Aki Sukri. Betul begitu?!”
“Betul!”
jawab Wiro. Dia mulai tidak mengerti ucapan-ucapan dan pertanyaan orang di
hadapannya ini.
“Apakah
sebelumnya… kau juga pernah bertemu dengan Suci…?”
“Beberapa
kali. Dia gadis hebat. Kepandaiannya luar biasa. Dia sanggup membunuh lawan
hanya dengan setangkai bunga kenanga! Itu yang membuat saya kagum. Tidak heran
kalau orang-orang menyebutnya dengan gelaran Dewi Bunga Mayat…!”
“Hah!”
Menak Tunggoro terlompat dari kursinya. “Suci…” desis orang tua ini. “Bagaimana
mungkin…?!”
“Apa yang
bagaimana mungkin, bapak?” tanya Wiro pula.
“Tidak
mungkin anak muda. Tidak mungkin kau telah bertemu dengan anakku Suci. Tidak
mungkin dia yang dijuluki Dewi Bunga Mayat itu…”
“Saya
tidak berdusta bapak. Atau apakah saya perlu bersumpah?!” tanya Wiro lagi.
“Saya benar-benar tidak mengerti semua ucapan-ucapan bapak….”
“Tentu!
Pasti kau tidak mengerti anak muda. Aku juga tidak mengerti! Karena Suci anakku
telah meninggal dunia tiga bulan lalu!”
“Apa?!”
kini Pendekar 212 yang tersentak kaget dan terlompat dari kursinya. “Bapak
bergurau agaknya…?”
Menak
Tunggoro menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kepalanya
degeleng-gelengkan beberapa kali.
“Aku
tidak bergurau anak muda! Aku juga tidak berdusta. Ya Tuhan…. Mengapa semua ini
bisa terjadi? Dosa apa yang aku buat sehingga nasib anak-anakku tidak karuan
begini rupa..?!”
“Bapak…”
Wiro tak bisa meneruskan kata-katanya. Dia melangkah ke pintu. “Orang tua ini
mungkin saja berdalih karena tidak suka aku menjadi suami anaknya. Tapi aku
melihat keanehan dibalik semua ini…”
Saat itu
tiba-tiba Menak Tunggoro berdiri. “Anak muda, jika kau tidak percaya mari ikut
aku. Aku akan antarkan kau ke kubur puteriku itu!”
Wiro
mengerenyit. “Katakan dimana Suci dikubur kalau dia memang betul-betul sudah
meninggal dunia…”
“Di
pekuburan Batuwungkur!” jawab Menak Tunggoro. Wiro Sableng terbelalak.
“Kalau
begitu memang perlu kita kesana sekarang juga sebelum hari malam. Kau harus
membuktikan. Kau harus menunjukkan kuburnya!” Suara Wiro bergetar. Tengkuknya
mendadak saja menjadi dingin dan sekujur tubuhnya keringatan. Ketika dia
membalik mendahului keluar dari ruangan itu, dia melihat seorang lelaki tua
melangkah terbungkuk-bungkuk menuruni tangga langkan depan rumah besar. “Orang
tua itu…. Aku tahu dia sejak tadi mendengarkan pembicaraan. Siapa dia…?”
bertanya Wiro dalam hati.
Selagi
dia tegak dengan kepala penuh tanda tanya seperti itu, Menak Tunggoro muncul
diatas kereta terbuka. Dia memberi isyarat pada Wiro agar lekas naik. Lalu
setelah Wiro naik, kusir segera mencambuk kuda penarik kereta. Saat itu sang
surya bersinar merah keemasan tanda tak lama lagi akan segera tenggelam.
********************
EMPAT BELAS
Roda-roda
kereta bergemeletakan ketika memasuki tanah pekuburan Batuwungkur. “Berhenti di
sini!” kata Menak Tunggoro.
Lalu
turun dari kereta sementara Wiro sudah melompat duluan. Dadanya berdebar keras
seolah-olah ada sesuatu yang hendak meledak dari dalam!
Menak
Tunggoro memberi isyarat agar mengikutinya di hadapan sebuah makam yang
ditumbuhi sepokok pohon kemboja kecil orang tua ini berhenti.
Astaga!
Wiro segera mengenali, itu adalah makam dimana dia pernah melihat Bunga berdiri
lalu lenyap diantara bayang-bayang kabut malam. Batu hitam yang pernah
didudukinya juga ada disitu. Matanya bergerak ke arah papan nisan yang mulai
lapuk. Lutut Pendekar 212 goyah ketika matanya melihat tulisan hitam bertuliskan
Suci di papan nisan itu!
“Bapak…”
Wiro berpaling ke arah Menak Tunggoro.
“Kalau
kau tanyakan bagaimana ini bisa terjadi akupun tak tahu jawabannya…”
“Tapi
bagaimana saya bisa percaya kalau ini benar-benar makam Suci. Lalu siapa gadis
yang saya temui selama ini…? Gadis cantik berkebaya putih…”
“Itulah
pakaian yang dikenakannya ketika dia meninggal!” kata Menak Tunggoro. “Sesuai
pesannya, dia minta agar dikubur dalam peti dengan kebaya putih dan celana
panjang putih lalu baru digulung dengan kain kafan. Ini bukan kebiasaan
menguburkan jenazah seperti itu. Tapi Suci sendiri yang berpesan begitu…”
“Bapak…
Kau mengizinkan kalau makam ini dibongkar? Saya hanya ingin melihat bahwa
jenazah didalamnya benar-benar Suci…”
“Aku
tidak mengizinkan makam anakku dibongkar. Demi Tuhan tak ada seorangpun yang
boleh melakukan hal itu!” kata Menak Tunggoro setengah berteriak.
“Kalau
begitu biarlah aku pergi saja. Biar semua kejadian ini berpangkal dan berujung
pada keanehan! Kenaehan yang tidak pernah terungkap…..”
Wiro
berbalik dan ketika dia hendak melangkah didengarnya Menak Tunggoro berkata, “
Tunggu… Aku akan panggilkan penggalipenggali makam…!” Lalu orang tua itu
berseru memanggil kusir kereta.
Tak lama
kemudian tiga orang penggali makam datang ke tempat itu. Dua orang membawa
pacul, datu membawa sendokan besar seperti sekop. Sementara sang surya sudah
hampir masuk ke ufuk tenggelamnya. Daerah pekuburan Batauwungkur mulai temaram.
“Lekas
gali sebelum malam turun!” ujar Wiro pada tiga penggali. Dengan tangannya ikut
menyibakkan tanah galian. Tak!
Salah
satu pacul membentur benda keras. Wiro tak tahan lagi. Dia segera terjun masuk
ke dalam lobang kubur. Sekop di tangan penggali kubur diambilnya lalu dia
sendiri melakukan penggalian dengan hati berdebar sampai akhirnya dia melihat
kayu penutup sebuah peti mati!
Dua orang
penggali makam melompat ke atas. Menyusul penggali yang ketiga. Ada satu
keanehan yang membuat mereka merasa ngeri ketika melihat penutup peti mati yang
ternyata masih dalam keadaan utuh, hanya rusak sedikit di beberapa sudut.
Kini
tinggal Wiro sendirian dalam makam itu, dia mendongak ke atas, pada Menak
tunggoro.
“Bapak,
izinkan saya membuka peti mati ini?!”
Menak
Tunggoro tampak tegang. Lalu orang tua ini anggukkan kepalanya.
Di dalam
kubur Wiro pergunakan sekop untuk menguit tepi kiri peti mati. Karena beberapa
bagian yang sudah lapuk, tidak sulit membuka penutup peti mati itu. Begitu peti
terbuka menebarlah bau harum bunga kenanga! Wiro seperti terpukau. Tangannya
gemetar, lututnya goyah. Dikuatkan hatinya. Dibukanya tutup peti mati itu lebih
lebar, lebih lebar hingga akhirnya tersingkap keseluruhannya! Menak Tunggoro
dan tiga penggali kubur sama-sama keluarkan seruan tercekat. Wiro sendiri untuk
beberapa lamanya tertegun seperti patung!
Dalam
peti mati yang terbuka lebar itu kini terpampang satu keanehan luar biasa yang
sulit diterima akal. Sosok mayat di dalam peti mati itu tampak utuh seperti
seorang yang sedang tidur. Dan sosok mayat ini adalah sosok mayat Suci!
Wajahnya pucat tapi kecantikannya tetap nyata. Dia mengenakan kebaya panjang
dan celana panjang putih. Disekitarnya berserakan robekan kain kafan yang sudah
melapuk.
Yang
membuat Pendekar 212 Wiro Sableng terbelalak adalah ketika dia melihat
bagaimana pada dada, bagian perut dan bagian sebelah bawah kebaya putih yang
dikenakan mayat Suci jelas terlihat bekas tumpahan kopi! Kopi yang tertumpah
ketika malam tadi terjadi serangan pisau daun sirih di kedai Aki Sukri!
“Suci…”
bisik Wiro. “Keanehan atau keajaiban apa yang kau berikan padaku. Aku tak
percaya bahwa kau benar-benar sudah tiada. Kalaupun itu memang kenyataan
ketahuilah bahwa dirimu ada dalam hatiku….” Wiro merasakan kedua matanya
menjadi panas. Kalau sebelumnya ada perasaan takut berada dalam kubur itu dan
menyaksikan mayat Suci, kini semua rasa takut itu lenyap tidak berbekas.
Diangkat tangannya, dipegangnya tangan Suci yang bersilang di atas perut. Lalu
ditundukkannya kepalanya untuk mencium kening dan kedua pipi Suci. Terakhir
sekali dikecupnya bibir mayat itu. Lalu terdengar suara isaknya. Inilah untuk
pertama kali dalam hidupnya Pendekar 212 menangis, sementara empat orang di
atas sana tampak bergidik melihat apa yang tadi dilakukan pemuda itu.
“Suci…”
Wiro berbisik ke telinga mayat. “Aku akan pergi. Tidurlah dengan tenang. Bagiku
kau tak pernah mati. Aku membawa cinta kasih kita yang berpadu rindu dalam diri
ini kemanapun aku pergi. Kalau aku rindu akan kucium bunga kenanga yang ada
dalam sakuku. Aku pergi Bunga… Aku pergi Suci…”
Wiro
Sableng usap kedua matanya lalu tutupkan penutup peti mati. Perlahan-lahan dia
naik ke atas. Ketika sampai di atas hari sudah gelap. Tiga penggali makam
kembali bekerja. Kali ini untuk menimbun tanah kubur yang tadi digali. Ketika
pekerjaan itu selesai, Menak Tunggoro memegang bahu sang pendekar lalu berkata.
“Sekarang
kau melihat sendiri kenyataan ini, anak muda. Kenyataan yang kita semua tak
akan bisa mengerti. Inilah kekuasaan Gusti Allah…” Orang tua itu diam sesaat.
“Aku akan segera kembali ke Sleman. Kau ikut…?”
“Terima
kasih. Saya akan tetap disini malam ini…” jawab Wiro pula.
Menak
Tunggoro diikuti tiga penggali makam tinggalkan tempat itu. Kini tinggal Wiro
sendirian, tegak termangu di hadapan Suci. Tiba-tiba telinganya mendengar suara
bergemerisik di sebelah kiri. Sekali lompat saja murid Sinto Gendeng ini berkelebat
ke arah setumpukan semak belukar.
“Ampun!
Jangan pukul diriku!” terdengar suara orang berteriak. Wiro cekal leher pakaian
orang itu. Ternyata dia adalah orang tua bungkuk yang dilihat Wiro di gedung
kediaman Menak Tunggoro.
“Apa yang
kau lakukan disini?!” bentak Wiro antara marah dan heran. “Kau sengaja
memata-matai diriku! Siapa yang menyuruh?!”
“Aku… Aku
tidak memata-mataimu… juga tak ada yang menyuruh…” berkata orang tua itu.
“Lalu apa
maksudmu mengikut sampai kesini, sembunyi dibalik semak belukar…?”
“Aku… aku
bermaksud baik, anak muda. Ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu. Aku… aku
merasa kasihan padamu…”
“Tambah
satu lagi keanehan di tempat ini!” ujar Wiro. “apa yang hendak kau ceritakan
padaku, orang tua?”
“Tentang
riwayat orang yang kau cintai itu…”
Wiro
pandang wajah tua keriput itu sesaat lalu berkata, “Kalau kau memang punya
cerita, ceritakanlah…”
“Aku
bekerja sebagai pelayan di rumah Raden Menak Tunggoro sejak lima puluh tahun
lalu. Apa yang terjadi di rumah besar itu kuketahui semuanya. Juga tentang
kematian Suci tiga bulan yang lalu. Dia mati tidak wajar….”
“Tidak
wajar bagaimana?”
“Suci
yang malang itu mati diracun oleh Sadewo atas suruhan Suntini, adiknya
sendiri…”
Tentu
saja Wiro jadi terkesiap mendengar keterangan itu. Untuk beberapa lamanya dia
tidak bisa berkata apa-apa sampai si orang tua bungkuk meneruskan ceritanya.
“Sebenarnya
Suci bukan anak kandung Raden Menak Tunggoro. Dia adalah anak pungut karena
selama enam tahun kawin Raden Menak Tunggoro tidak dapat anak dari istrinya.
Tapi setelah satu tahun mengambil Suci jadi anak angkat, tahu-tahu istrinya
mengandung. Lalu lahirlah Suntini. Kedua kaka beradik tiri itu samasama menjadi
dewasa dengan kenyataan bahwa Suci jauh lebih cantik dari adik tirinya.”
“Sebagai
remaja puteri, Suci memiliki seorang kekasih yaitu Sadewo. Celakanya, Sadewo
ini dicintai setengah mati oleh Suntini. Untuk merusak hubungan Suci dengan
Sadewo, Suntini lalu menceritakan siapa sebenarnya Suci. Pemuda itu ternyata
menjadi bimbang dan akhirnya tenggelam dalam rayuan Suntini yang memang seorang
gadis licik. Untuk menyingkirkan Suci maka Sadewo disuruhnya meracun Suci
dengan janji bahwa jika mereka kawin nanti setengah dari kekayaan ayahnya akan
diserahkan pada Sadewo. Dan Sadewo lalu meracun Suci. Itu terjadi tiga bulan
lalu….”
“Nah,
itulah yang bisa kuceritakan padamu anak muda. Apa yang terjadi selanjutnya kau
sendiri sudah tahu…. Selamat tinggal anak muda. Aku harus pergi sekarang…”
“Terima
kasih orang tua. Keteranganmu sangat berharga bagiku…” jawab Wiro lalu memutar
tubuhnya dan duduk di atas batu hitam di samping makam.
Angin
malam bertiup dingin. Kegelapan semakin memekat. Pendekar 212 duduk tak
bergerak. Di telinganya terngiang kembali kata-kata balasan yang diucapkan
Suci….
“Aku
berjanji Bunga. Demi cintaku padamu…”
“Dan
cintaku padamu…”
T A M A T
No comments:
Post a Comment