Srigala
Iblis
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
*****************
1
KAPILATU
DUDUK MENCANGKUNG di depan Kiai Talang Bungsu sambil mengipas kayu api
penjarang air. Sang Kiai sendiri duduk bersila di atas selembar tikar butut
yang terletak di langkan sebuah gubuk terbuat dari bambu. Kedua matanya
terpejam, mulutnya berkemik menggumam sementara jari-jari tangannya meluncur
satu persatu di atas seuntai tasbih berwarna putih kehijauan.
Saat itu
hampir menjelang tengah hari. Di puncak bukit yang tinggi itu teriknya sinar
matahari dikalahkan oleh sejuknya udara segar. Justru saat itulah Kapilatu si
pembantu melihat sesuatu yang tidak dimengertinya. Sambil terus mengipasi kayu
api dan matanya memandang ke arah kanan, mulutnya berucap, “Aneh, siang-siang
begini ada kabut di bukit…”
Sepasang
mata Kiai Tawang Bungsu bergerak, tapi tidak membuka. Jari-jarinya yang
menyelusuri untaian tasbih berhenti bergerak.
“Kau
melihat kabut katamu, Latu…?” bertanya Kiai Talang Bungsu.
“Benar
sekali Kiai,” jawab si pembantu.
“Di
jurusan mana?” bertanya lagi sang Kiai.
“Kira-kira
dua puluh langkah di sebelah kanan gubuk kita, Kiai. Searah matahari terbit.
Paras Kiai Talang Bungsu berubah.
“Yang kau
lihat bukan kabut Latu. Ada seorang besar datang berkunjung…” kata Kiai Talang
Bungsu. Kedua matanya perlahan-lahan dibuka. Tasbih dimasukkannya ke dalam saku
jubah putihnya, lalu orang tua ini bangkit berdiri dan melangkah turun dari
langkan ke tanah. Dia berjalan tujuh langkah ke arah timur diikuti pandangan
mata Kapilatu yang terheran-heran. Dalam hatinya pembantu ini berkata: “Makin
lanjut usia orang tua ini, semakin banyak keanehan yang diperlihatkannya. Aku
menampak kabut di seberang sana. Eh, dia bilang ada orang besar datang! Orang
besar siapa…?“
Tepat
pada langkah ke tujuh Kiai Talang Bungsu hentikan langkahnya. Dia memandang tak
berkesip ke arah kabut putih yang menyelubung semakin banyak sejarak lebih
sepuluh langkah di hadapannya.
Makin
lama selubung kabut itu semakin tebal dan mendadak saja udara di bukit itu
menjadi lebih dingin dari biasanya. Selebung kabut bergerak dan berubah aneh
pada bagian tengah sampai ke atas. Lalu membentuk seperti bayang-bayang
manusia. Dari bayangbayang berubah lebih jelas membentuk satu sosok tubuh yang
hanya terdiri dari bagian pinggang ke atas. Bagian bawah tenggelam dalam
selubung kabut aneh. Orang itu laksana melayang di awan.
Kapilatu
terkesiap dan ternganga saking tidak percaya akan apa yang disaksikannya.
Di-antara selubung kabut itu dia melihat satu sosok tubuh seorang tua berwajah
gagah dan kelimis meskipun rambutnya yang disanggul kecil dan juga alis matanya
berwarna putih keseluruhannya. Pada tangan kanannya dia memegang sebuah tombak
emas bermata tiga yang memancarkan sinar kuning berkilauan.
“Manusia
atau mahluk jejadiankah ini…?” ujar Kapilatu dan tengkuknya terasa bergeming
dingin. Perlahan-lahan dia beringsut ke belakang.
Ketika
sosok tubuh yang muncul dari dalam kabut itu semakin jelas terlihat hingga
hampir tidak beda dengan keadaan manusia biasa, Kiai Talang Bungsu menjura
dalamdalam lalu berucap: “Sang Prabu, salam sejahtera untukmu. Ada gerangan
apakah Sang Prabu berkenan berkunjung ke tempat saya yang buruk ini…?”
Orang tua
berselempang kain putih menggerakkan tangan kanannya yang memegang tombak emas
bermata tiga. Sinar kuning menyambar ke arah wajah Kapilatu. Langsung saja
pembantu ini rebah ke tanah dan terbujur seperti orang tidur!
“Kiai
Talang Bungsu, aku datang tidak lama. Di alam arwah aku merasa tidak tenang
karena ada orang-orang titisan darahku dalam menjalani masa kutukan telah
menambah dosa mereka dengan melakukan kejahatan keji. Membunuh dan menyiksa
orang-orang tidak berdaya dan tidak berdosa. Semua terjadi karena keserakahan
menuruti kata hati, hendak menguasai manusia lainnya demi kepentingan sendiri,
diatas kepentingan saudara bahkan di atas kepentingan orang tua! Mereka telah
mencorengkan arang busuk ke mukaku, yang tak mungkin dipupus oleh tabib
manapun, tak mungkin hilang sampai aku masuk liang kubur sekalipun! Mereka
telah terlanjur hidup dalam kutukan, menjadi insan-insan separuh manusia
separuh iblis. Keputusasaan membuat mereka melakukan perbuatan-perbuatan lebih
jahat dari setan, lebih ganas dari iblis, lebih mengerikan dari pada hantu! Aku
merasa tidak tenteram sebelum mereka dihancurkan sampai keakar-akarnya!”
“Sang
Prabu, apa yang jadi perintahmu akan saya laksanakan. Hanya saja, kalau saya
boleh bertanya apakah insan separuh manusia separuh iblis yang sang Prabu
maksudkan itu adalah manusia-manusia srigala yang banyak gentayangan di rimba
belantara Rekso Pratolo?” bertanya Kiai Talang Bungsu.
“Betul
Kiai. Hancurkan mereka. Cuma, jangan samaratakan mereka. Ada beberapa gelintir
yang menjadi mahluk iblis karena kemurkaan dan kutukanku. Tapi mereka tidak
melakukan kejahatan. Untuk mereka hari-hari mendatang menjadi saat-saat
pengampunan…”
“Saya
mohon petunjuk lebih lanjut, Sang Prabu…” kata Kiai Talang Bungsu pula.
“Dengar
baik-baik Kiai. Saat ini juga kau harus pergi ke hutan Rekso Pratolo. Pergi ke
bekas gubuk peristirahatanku. Gubuk itu berusia lebih dari dua ratus tahun.
Masih untung kalau kau dapat menemukan bekas-bekasnya saja! Kau tunggu di gubuk
itu. Menjelang matahari menggelincir ke barat besok, akan muncul seorang
pemuda. Dia akan datang dalam keadaan kehausan. Berikan buah kelapa ini
padanya. Setelah kau lihat dia meminumnya kau baru boleh meninggalkannya. Hanya
itu saja yang jadi tugasmu!”
Orang tua
yang dipanggil sebutan Sang Prabu itu gerakkan tangan kirinya. Tahu-tahu di
tangan itu ada sebutir kelapa hijau. Buah kelapa ini diserahkannya pada Kiai
Talang Bungsu.
Sambil
menerima buah kelapa itu sang Kiai bertanya: “Sang Prabu, pemuda yang kau
sebutkan itu bagaimanakah ciri-cirinya?”
“Kau
bertanya begitu karena takut kesalahan, bukan? Kau tak usah khawatir Kiai.
Hanya dia
satu-satunya pemuda yang berani masuk ke dalam rimba Rekso Pratolo. Akan
ciri-cirinya dia berambut gondrong, berbaju dan bercelana putih. Begitu yang
aku lihat dalam petunjuk para Dewa. Tapi siapa namanya itulah yang tak sempat
aku tanyakan atau diberitahukan para Dewa. Semua sudah jelas, aku pergi
sekarang, Kiai…”
Kiai
Talang Bungsu mengangguk dan men-jura dalam. Ketika dia mengangkat kepalanya
kembali Sang Prabu sudah lenyap. Kabut yang tadi menyungkupi tempat itu
perlahan-lahan lenyap. Ketika keadaan terang kembali, disam-pingnya Kiai Talang
Bungsu mendengar suara pembantunya Kapilatu yang tiba-tiba saja terbangun. Entah
bangun dari tidur entah bangun dari pingsan.
Pembantu
ini mengucak-ucak kedua matanya dan memandang berkeliling. “Eh, tertidurkah aku
barusan…?” tanyanya ketika matanya membentur Kiai Talang Bungsu yang tegak
memegang buah kelapa.
“Ya, kau
memang barusan tertidur Kapilatu,” jawab sang Kiai.
Sang
pembantu garuk-garuk kepalanya. “Aneh, tak habis pikir jadinya. Bagaimana aku
bisa tertidur. Padahal…” Dia berpaling ketika mendengar suara air mendidih.
“Ah! Padahal jelas tadi aku tengah menjerang air. Kini air itu sudah masak
mendidih!” Kapilatu berpikir keras. Lalu dia ingat. “Kiai, tadi aku melihat
sosok tubuh seorang lelaki tua di antara kabut. Dia mengenakan selempang kain
putih. Memegang sebatang tombak emas bermata tiga. Kau menyebutnya sebagai
seorang besar. Sekarang kemanakah dia?”
“Orang
besar itu sudah pergi, Kapilatu…” sahut Kiai Talang Bungsu.
“Pergi…
Benar-benar aneh. Siapakah dia Kiai, kalau aku boleh bertanya?” Pembantu itu
bertanya lagi.
“Dia
adalah sosok Sang Prabu Raja Blambangan yang muncul menjelma dari alam
arwahnya.“
Sulit
bagi Kapilatu mencerna penjelasan Kiai Talang Bungsu itu. Bagaimana mungkin
orang yang sudah lama mati hampir dua ratus tahun lalu tiba-tiba saja bisa
muncul begitu rupa. Kapilatu geleng-geleng kepala. Kemudian dilihatnya buah
kelapa yang ada di tangan kanan sang Kiai…
“Ribuan
tombak di seantero bukit ini, tak ada pohon kelapa. Dari mana kau mendapatkan
buah itu Kiai?” tanya si pembantu yang kembali jadi heran.
“Sang
Prabu yang memberikannya padaku,” jawab Kiai Talang Bungsu polos.
“Sang
Prabu! Benar-benar luar biasa… Dia membawanya dari alam arwah! Pasti itu buah
kelapa ajaib! Buah kelapa jejadian…Bolehkah aku melihat dan memegangnya Kiai?”
Kiai Talang Bungsu gelengkan kepala.
“Kita
harus pergi sekarang juga Kapilatu…”
“Kita harus
pergi katamu Kiai? Pergi kemana…?”
“Antarkan
aku ke hutan Rekso Pratolo.”
“Hutan
Rekso Pratolo!” mengulang Kapilatu dengan wajah berubah dan suara terkejut.
“Itu
hutan tempat sarang segala mahluk halus jejadian yang menakutkan! Mulai dari
dedemit bermuka raksasa setinggi pohon sampai tuyul sebesar jempol. Mulai dari
mahluk jejadian bertaring besar bermata merah dan berlidah yang selalu
mengucurkan darah sampai jin perempuan bermuka sepucat mayat. Mahluk-mahluk itu
akan mencekik kita sampai mati! jangankan manusia, setan sungguhanpun tak akan
berani memasuki hutan seribu keangkeran itu!”
Kiai
Talang Bungsu tersenyum. Walau dalam hati dia membenarkan ucapan pembantunya,
namun tetap saja dia berkata, “Itu hanya omongan orang saja Kapilatu. Hutan itu
tak ada apa-apanya. Nah, kita berangkat sekarang supaya menjelang siang besok
bisa sampai kesana…”
“Lalu
bagaimana dengan air panas ini. Aku masih belum membuatkan kopi untukmu Kiai.”
“Lupakan
saja kopi itu. Urusan kita lebih penting!” sahut Kiai Talang Bungsu.
“Ini
bukan urusan penting Kiai. Tapi urusan mencari penyakit!’ kata Kapilatu pula.
Tapi dia
terus saja bangkit sambil tepuk-tepuk pantat celananya. Dari dalam saku
pakaiannya dikeluarkannya sebuah topi beludru hitam. Lalu topi ini dikenakannya
ke kepalanya. Karena kebesaran maka topi itu jadi kupluk sampai ke batas
alisnya.
Kiai dan
pembantunya itu menuruni bukit ke arah timur. Satu hari perjalanan baru mereka
akan sampai di hutan Rekso Pratolo. Kiai Talang Bungsu tak mau datang terlambat
di tempat tujuan. Dia sadar tugas besar yang harus dijalankannya demi
menyelamatkan manusia dari kehidupan alam sesat yang penuh kengerian.
****************
2
“KIAI,
SUDAH LAMA SEKALI kita berada di tempat ini. Tengkukku sudah sejak tadi terasa
beku dan dingin. Perutku keroncongan. Siapa sebenarnya yang kita tunggu
disini…?” begitu Kapilatu bertanya.
Saat itu
mereka berada dalam hutan Rekso Pratolo yang redup karena sinar matahari tak
sanggup menembus lebat dan rimbunnya pohon-pohon besar. Keduanya duduk di
tanah, di depan sebuah bangunan kayu yang hanya tinggal tiang-tiang lapuk serta
dinding yang sudah hancur dimakan usia bahkan nyaris jadi bubuk. Konon itulah
dulu bangunan tempat istirahat Prabu Blambangan pada saat dia melakukan
perburuan dalam rimba belantara.
Saat itu
menjelang tengah hari. Kiai Talang Bungsu diam-diam merasa cemas. Apakah pemuda
yang dikatakan Sang Prabu dalam penjelmaannya siang kemarin akan benar-benar
muncul di tempat itu? Pertanyaan pembantunya membuat dia menjadi tidak enak.
Karena sang Kiai tidak menjawab pertanyaannya Kapilatu tidak mau mengulang.
Dalam hatinya dia tetap tak habis pikir, apa sebenarnya tujuan Kiai Talang
Bungsu datang ke tempat itu, untuk apa pula dia membawa buah kelapa hijau yang
katanya didapat dari Sang Prabu Blambangan. Lalu siapa sebenarnya yang tengah
ditunggu sang Kiai?
“Kiai…”
Karena tak tahan membisu Kapilatu kembali membuka mulut. Tapi Kiai Talang
Bungsu cepat menukas.
“Diam
Kapilatu! Aku mendengar suara orang bersiul di hutan ini. Bukan suara siulan
biasa. Gendang-gendang telingaku terasa bergetar. Jangan-jangan inilah orang
yang dikatakan Sang Prabu…”
Kalau
sang Kiai berkata begitu maka Kapilatu saat itu sama sekali tidak mendengar
suara siulan. Ini cukup memberi pertanda bahwa Kiai Talang Bungsu memiliki
ketajaman pendengaran dan ilmu yang tinggi. Beberapa saat kemudian ketika
pembantu itu akhirnya bisa mendengar suara siulan tersebut, telinganya terasa
laksana ditusuk dan mendenyut sakit. Cepat-cepat Kapilatu tekap kedua
telinganya dengan telapak tangan. Kiai Talang Bungsu bangkit berdiri. Matanya
memandang ke arah kanan, dari jurusan mana datangnya suara siulan itu. Tak
selang berapa lama dia melihat kepala orang yang bersiul itu, lalu dadanya.
Ternyata dia seorang pemuda berikat kepala kain putih. Dibawah ikat kepala,
tampak rambutnya yang gondrong menjulai bahu. Bajunya berwarna putih. Ketika
pemuda ini melihat Kiai Talang Bungsu dan Kapilatu serta merta dia hentikan
siulannya, memandang sesaat lalu melangkah mendekati kedua orang itu.
“Salam
untuk kalian berdua…” Si pemuda menegur. “Setengah harian tersesat dalam rimba
belantara tidak sangka bertemu orang.” Pemuda ini tersenyum lebar pada Kiai
Talang Bungsu dan Kapilatu. “Orang tua, sedang apakah kau di tempat ini?
Tampaknya seperti sedang menunggu seseorang…”
Kiai
Talang Bungsu perhatikan pemuda di-hadapannya dengan seksama beberapa saat lalu
menjawab, “Aku memang tengah menunggu seseorang. Aku Kiai Talang Bungsu.
Siapakah engkau adanya, anak muda?”
“Namaku
Wiro Sableng.” jawab si pemuda yang ternyata adalah Pendekar 212 dari Gunung
Gede.
Dalam
hati Kiai Talang Bungsu berkata: “Tampangnya tidak meyakinkan. Namanya malah
lebih tidak meyakinkan. Jangan jangan bukan manusia satu ini yang dimaksudkan
oleh Sang Prabu. Tapi melihat keadaan hari, saat ini sang surya telah condong
ke barat. Kemunculannya tepat waktunya seperti yang dikatakan Prabu. Bagaimana
ini? Lebih baik aku langsung bertanya saja…”
“Anak
muda, katamu tadi kau tersesat masuk ke dalam hutan ini. Bagaimana bisa terjadi
begitu?” bertanya Kiai Talang Bungsu.
“Pagi
tadi ada dua ekor anak rusa lucu-lucu di tepi hutan ini. Keduanya jinak sekali.
Mereka mengikuti ke mana aku pergi. Menjilati betisku. Melompat-lompat di
hadapanku lalu berlari-lari masuk ke hutan. Ketika ku-ikuti, dalam hutan
keduanya lenyap begitu saja. Aku kembali ke tempat semula tapi ada hal yang
aneh. Aku tak mampu keluar dari hutan ini! Makin kucoba mencari jalan keluar,
makin jauh aku tersesat masuk ke dalam rimba belantara ini. Gila betul!”
“Tersesat
berarti berada dalam kesulitan. Tapi mengapa tadi kudengar kau bersiul-siul
seperti orang gembira saja?” tanya Kiai Talang Bungsu.
Wiro
garuk kepala. “Pikiranku sedang kalut. Dengan bersiul mungkin aku bisa tenang
dan mampu mencari jalan keluar. Tahu-tahu aku bertemu kau dan kawanmu ini
disini…”
“Tahukah
engkau kalau hutan ini merupakan hutan paling angker, penuh dengan segala
mahluk halus dan jejadian yang setiap saat bisa muncul mencekikmu sampai mati?”
Yang berkata adalah Kapilatu.
“Eh… Apa
betul begitu orang tua?” tanya Wiro.
Kiai
Talang Bungsu mengangguk.
Wiro kini
perhatikan kedua orang di hadapannya itu. “Kalau begitu… Jangan-jangan kalian
berdua ini adalah mahluk jejadian itu…”
Sang Kiai
tersenyum tapi Kapilatu mendamprat. “Enak dan lancang amat mulutmu! Apa kau
lihat muka kami seperti dedemit dan kedua kaki kami tidak menginjak tanah?!”
“Aku
hanya bergurau,” berkata Wiro. “Perutku lapar. Tapi rasa haus membuat
tenggorokanku seperti terbakar. Aneh, padahal hutan ini redup dan tidak panas…”
Kedua mata Wiro mengerling pada buah kelapa yang ada di tangan kanan Kiai
Talang Bungsu.
“Jika
kuberikan buah kelapa ini padamu, apakah kau mau meminumnya?” tanya Kiai Talang
Bungsu sambil mengangkat buah kelapa itu dekat-dekat ke hadapan Wiro.
“Ah, kau
baik sekali orang tua. Aku memang haus. Tapi aku tak akan menghabiskannya
seorang diri. Kita bagi tiga air kelapa itu…”
“Tak usah
berbasa-basi. Kami sudah minum sebelumnya. Kelapa satu ini silahkan kau
habiskan sendirian.” kata Kiai Talang Bungsu pula. Lalu dia berpaling pada
pembantunya dan berkata: “Buatlah lobang untuk minum sahabat kita ini…”
“Kiai,
bagaimana kau ini…” Kapilatu berkata terheran-heran. “Kau hendak memberikan
kelapa ini padanya. Padahal kita berdua saat ini juga tengah keha…”
“Lakukan
saja apa yang aku perintahkan Kapilatu!” Kiai Talang Bungsu memotong ucapan
pembantunya dengan keras.
Meski
dalam hati Kapilatu menggerendeng tapi pembantu ini mengerjakan juga apa yang
dikatakan sang Kiai. Dari balik pakaiannya Kapilatu keluarkan sebuah golok
kecil. Dengan golok ini dipapasnya ujung kelapa pada bagian tangkainya lalu
dibuatnya lobang. Air kelapa tampak bening dan segar. Kiai Talang Bungsu lalu
menyerahkan kelapa itu pada Wiro.
“Terima
kasih, kau benar-benar baik Kiai,” kata Wiro menerima kelapa. Lalu tanpa
menunggu lebih lama air kelapa segar itu langsung diminumnya sampai
setengahnya. “Manis sekali!” kata Wiro sambil menyeka mulut dengan belakang
tangannya.
“Kenapa
tidak kau habiskan sekaligus?” ujar Kiai Talang Bungsu pula.
“Jangan kawatir.
Air kelapa seenak ini pasti akan kuhabiskan!” sahut Wiro. Lalu kembali dia
meneguk air kelapa itu. Saking asyiknya minum,
Wiro tak
sempat lagi melihat gerakkan yang dibuat Kiai Talang Bungsu bersama
pembantunya. Ketika air kelapa yang diminumnya habis dan buah kelapa itu
diturunkannya dari mulutnya, terkejutlah pendekar ini. Baik sang Kiai maupun
pembantunya yang berpeci kupluk itu, tak ada lagi di situ. Dia memandang
berkeliling bahkan melangkah menyibak semak belukar. Kedua orang tadi lenyap seperti
ditelan hutan!
Wiro
Sableng bantingkan kepala di tangan kanannya ke tanah. “Heran…kemana lenyapnya
kedua orang itu. Kalaupun pergi mengapa pergi begitu saja! Jangan-jangan
keduanya betul-betul mahluk jejadian seperti yang kubilang tadi. Dan air kelapa
yang kuminum itu, jangan-jangan air kencing setan!” Memikir disitu Wiro pungut
kembali kelapa yang tadi dicampakkanya lalu dihantamnya dengan tangan kanan
hingga terbelah dua. Tampak bagian daging kelapa yang putih. Ketika daging
kelapa itu dikorek dan digigitnya, terasa manis dan legit.
“Ini
kelapa betulan…” ujar Wiro. Tambah bingung murid Eyang Sinto Gendeng ini.
Dia
menyeruak lagi beberapa kelompok semak belukar bahkan mencoba naik ke atas
sebatang pohon dan meninjau berkeliling. Tapi Kiai Talang Bungsu dan Kapilatu
tetap tidak kelihatan.
Wiro
melompat turun ke tanah. Pada saat ke dua kakinya baru menginjak tanah itulah
murid Sinto Gendeng ini melengak kaget. Karena di depan bangunan gubuk yang
hanya tinggal reruntuhan itu tiba-tiba saja dilihatnya ada seorang lelaki duduk
bersila di tanah membelakanginya. Orang ini hanya mengenakan sehelai celana
berwarna biru gelap, punggungnya telanjang. Rambutnya digulung dan diikat di
atas kepala. Karena membelakangi Wiro tak dapat melihat wajahnya. Apa yang
membuat Wiro jadi lebih tercekat ialah adanya seekor ular hitam berbelang hijau
yang melingkar dan meliuk-liuk membelit lehernya!
“Orang
itu…” kata Wiro dalam hati. “Tadi dia tak ada di situ. Mengapa tahu-tahu
muncul…?!” Sambil menjaga jarak agar jangan terlalu dekat Wiro melangkah ke
sebelah kanan, terus maju ke bagian depan orang yang bersila agar dia dapat
melihat wajahnya.
****************
3
WIRO
SAMPAI DI HADAPAN orang yang duduk bersila itu. Ternyata dia seorang pemuda
berwajah cukup tampan. Kumis dan janggutnya meranggas kasar dan lebat. Kedua
matanya terbuka tetapi memandang kosong seperti buta. Kedua tangannya terletak
di paha. Sikapnya seperti orang bersamadi. Tubuhnya tak bergerak sedikitpun.
Kedua matanya tak pernah berkesip.
“Ki
sanak… Siapakah kau? Apakah tengah bersamadi?” Wiro berseru.
Ssssssssssssh!!!
Yang
ditanya tidak menjawab. Yang terdengar adalah desisan ular hitam belang hijau.
Binatang ini menegakkan kepala, mulutnya membuka, sikapnya siap hendak menerkam
Wiro!
“Ki
sanak!” Wiro berseru kembali.
Ular yang
melingkar di leher pemuda yang duduk bersila mendesis keras. Kepalanya
terpentang, gelungannya membuka dan tiba-tiba sekali binatang ini melesat
terbang laksana sebatang anak panah menderu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!
Untung saja murid Sinto Gendeng ini sudah bersikap hati-hati sejak tadi. Begitu
dilihatnya ular hitam hijau membuka libatannya di leher orang dan melesat ke
arahnya, Wiro langsung menghantam dengan pukulan kosong tangan kanan mengandung
tenaga dalam. Pukulan yang dilepaskannya adalah pukulan “kunyuk melempar buah”
Begitu
pukulan sakti itu menghantam kepala dan tubuhnya, tak ampun lagi ular hitam
belang hijau itu mental di udara dalam keadaan cerai berai. Tetapi begitu
hancuran tubuh jatuh menyentuh tanah, satu persatu hancuran itu lenyap seperti
ditelan tanah belantara! Di saat itu pula di dalam rimba terdengar suara orok
menangis, melengking keras dan panjang.
Wiro
merasakan bulu romanya berdiri, “Ular itu… Binatang jejadian…” katanya dalam
hati. “Begitu jatuh di tanah terus lenyap. Dan suara bayi menangis itu…Keanehan
apa yang tengah kuhadapi ini!” Wiro memandang ber keliling sampai akhirnya
pandangannya kembali membentur pemuda yang duduk bersila tak bergerak, bermata
nyalang tapi tak pernah berkesip.
Perlahan-lahan
Wiro melangkah mendekati tubuh yang seperti tengah bersamadi itu. Satu langkah
dari orang itu Wiro mendadak tersentak kaget. Kedua kakinya laksana ditancap ke
dalam tanah. Kedua matanya terpentang lebar, hampir tak percaya akan apa yang
dilihatnya. Diulurkannya tangan kanannya-memegang bahu si pemuda. Dipegangnya
dengan keras, lebih keras. Dari hanya memegang kini Wiro mengetuk-ngetuk bahu
itu, memukulnya. Keras! Dengan tangan gemetar Wiro meraba naik ke wajah yang
penuh ditumbuhi kumis serta cambang bawuk yang lebat. Juga terasa keras. Dan
dua mata yang terbuka itu bukan seperti mata semula. Seluruhnya telah berubah
keras. Tubuh, anggota badan, kepala termasuk rambut dan mata telah berubah
keras!
“Batu…!
Manusia ini telah berubah jadi patung batu! Ya Tuhan! Bagaimana mungkin ini
bisa terjadi…!” ujar Wiro sambil menyurut satu langkah. Selain rasa aneh dan
heran, Pendekar 212 merasa ada hawa yang menakutkan merasuki dirinya. “Hai!”
Wiro seperti terlonjak. Dari sepasang mata yang telah berubah menjadi batu
keras itu dia melihat ada tetesan air mata jatuh berderai, menggelinding diatas
pipi yang juga telah berubah jadi batu!
Wiro
ulurkan tangan kirinya yang gemetaran untuk menyentuh air mata yang berderai di
pipi. Terasa jari-jari tangannya basah.
“Manusia
batu ini benar-benar menangis…” bisik Wiro. Saat itulah dia mendengar suara
seperti anjing melolong dikejauhan. Panjang dan menggidikkan. “Lolongan anjing.
Bukan!
Bukan lolongan anjing. Itu lolongan srigala…” Murid Sinto Gendeng memandang
berkeliling. Tiba-tiba saja dia merasa seperti ada puluhan pasang mata yang
memperhatikannya. Puluhan pasang mata yang tidak terlihat oleh mata biasa, oleh
matanya sendiri! Rasa ngeri membuat keringat dingin mengucuri tubuhnya.
Menghadapi musuh yang bagaimanapun seramnya selagi masih bisa dilihat mata
telanjang, Pendekar 212 tidak pernah merasa takut. Tetapi menghadapi
mahluk-mahluk yang tidak terlihat, benar-benar membuat Wiro merasa lebih baik
dia segera meninggalkan tempat itu. Dia menyurut beberapa langkah lalu balikkan
diri dan tinggalkan tempat itu setengah berlari. Berlari beberapa jauh Wiro
berpaling ke belakang. Astaga! Larinya terhenti sesaat. Manusia yang berubah jadi
patung itu, tak ada lagi di tempatnya semula. Bahkan bekas reruntuhan gubuk
itupun tak tampak Segi di tempat itu!
Pendekar
212 Wiro Sableng tidak tahu berapa lama dia berlari, dalam lari itu dia merasa
seolah-olah ada yang mengikutinya. Namun setiap dia menoleh kebelakang sama
sekali tidak kelihatan ada orang yang menguntit!
“Orangnya
tak kelihatan. Tapi aku yakin ada yang mengikutiku. Bukan cuma satu orang…”
kata Wiro dalam hati lalu mempercepat larinya.
Di
hadapan sebuah pohon besar murid Sinto Gendeng ini akhirnya hentikan larinya.
Nafasnya mengengah dan keringat membasahi tubuh serta pakaiannya.
Di atas
pohon dua mahluk yang tidak kelihatan perwujudannya di mata manusia biasa
termasuk Wiro saling berbisik satu sama lain.
“Dayang,
kita mengikuti dan mengamati pemuda itu sejak tadi. Aku yakin memang dialah
orang yang kulihat dalam alam luar pandangku. Dialah orang yang akan
menyelamatkan kita ke dalam perwujudan semula…”
“Aku
memang berpendapat dan berharap sepertimu Dewi. Menyelamatkan kita tapi juga menghancurkan
mahluk-mahluk iblis itu! Selama mereka masih ada di muka bumi, dunia ini tidak
akan pernah aman. Orang-orang sesat akan bertambah berlipat ganda. Sudah
saatnya kita melakukan sesuatu Dewi!”
Mahluk
tanpa wujud yang dipanggil Dewi mengiyakan.
“Saatnya
kita memperlihatkan diri pada pemuda itu dan bicara padanya.” Dayang merasakan
tangannya ditarik. Ketika melayang turun dari atas pohon dimana dia berada,
Dayang memandang ke bawah lalu berseru terkejut seraya menunjuk.
“Dewi!
Lihat apa yang dilakukan pemuda itu!”
Dewi
berpaling ke arah yang ditunjuk dan ikut kaget. “Astaga! Dia…! Ah! Mengapa dia
melakukan hal itu disini! Celaka!”
“Kita
harus mencegahnya Dewi!”
“Percuma!
Sudah terlambat! Dia telah melakukannya!” ujar Dewi dengan suara tercekat.
“Nasib
kita tak akan berubah. Kita akan tetap hidup di alam gelap ini…” Terdengar
suara Dayang sesenggukan, lalu dia memeluk Dewi kencang-kencang. Dua mahluk ini
saling berangkulan dan teteskan air mata dalam alam mereka.
Di bawah
pohon saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng tampak tengah membuang air kecil.
Minum air kelapa begitu banyak ditambah berlari cukup jauh membuat tubuhnya
sebelah bawah terasa berat dan tidak dapat lagi menahan kencing. Lalu pemuda
ini membuang hajatnya di bawah pohon besar itu!
“Apa yang
harus kita lakukan sekarang Dewi?” bertanya Dayang. “Pemuda itu telah melanggar
pantangan! Mengotori pohon besar dengan air kencingnya. Sebentar lagi
Srigalasrigala iblis pasti akan muncul disini…!”
“Mereka
sudah datang, Dayang. Aku sudah melihat mereka muncul dari arah kanan sana.
Mari tinggalkan tempat ini…”
“Tapi
Dewi, bagaimana dengan pemuda itu. Bagaimanapun juga dia harapan kita
satusatunya. Kita harus menolongnya…!”
“Tidak
Dayang. Kita tak mungkin menolongnya. Kau tahu hal itu. Saat ini tak satu kekuatan
pun sanggup melawan srigala-srigala iblis itu. Kita harus pergi…”
Dayang
tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia mengikuti sang Dewi masih dalam keadaan
menangis sesenggukan.
Di bawah
pohon selesai membuang hajat Wiro Sableng rapikan celananya lalu memutar tubuh.
Pada saat itulah suasan sunyi dalam hutan Rekso Pratolo dirobek oleh suara
lolongan riuh, panjang dan keras. Wiro merasakan tubuhnya bergetar keras. Suara
lolongan itu bukan lolongan biasa. Ada satu kekuatan aneh tapi juga terasa
mengerikan menyertai lolongan itu.
“Lolongan
srigala…” ujar Wiro dalam hati.
“Bukan
hanya seekor… Mungkin puluhan. Tapi dimana binatang-binatang itu…”
Wiro
memandang berkeliling. Suara lolongan semakin keras tanda semakin dekat. Tapi
mahluk yang melolong tetap saja tidak kelihatan. Murid Sinto Gendeng gerakkan
tangan kanan memegang hulu senjata mustikanya, Kapak Maut Naga Geni 212.
Bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
Suara
lolongan riuh srigala yang mengerikan mendadak lenyap. Dalam kesunyian yang
mencekam tiba-tiba membahana suara tanpa rupa.
“Anak
manusia! Kau telah lancang dan kurang ajar mengotori istanaku! Bersiaplah
meninggalkan alam kasarmu! Bersiaplah menerima hukuman berat!”
****************
4
PENDEKAR
212 WIRO SABLENG memandang berkeliling. Suara yang barusan membertak garang
telah lenyap tapi gaungannya masih terdengar membahana menggetarkan seantero
hutan Rekso Pratolo. Wiro merasakan daun-daun pepohonan bergemerisik aneh.
“Suara tanpa rupa!” Wiro balas berseru. “Kepada siapa ucapanmu tadi kau
tujukan?!”
Terdengar
suara mendengus lalu bentakan keras, “Manusia tolol! Apa ada manusia lain di
sampingmu saat ini?!”
“Aku
memang sendirian di sini!” sahut Wiro. Kembali terdengar suara mendengus.
“Berarti
memang kaulah manusianya yang kurang ajar itu. Lancang mengotori istanaku!
Hukuman berat bagimu anak manusia!”
Wiro
garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia membatin. “Suara itu aneh, menegakkan
bulu roma. Tapi masih mirip-mirip suara perempuan. Setelah berpikir sejenak,
Wiro kembali membuka mulut. “Aku tidak melihat istana di tempat ini. Apalagi
mengotorinya! Aku juga tidak mengerti soal hukuman berat itu!”
Terdengar
suara menggereng banyak sekali.
“Kau
mengencingi istana kami bangsat!!” terdengar suara teriakan.
Lalu
terdengar suara tadi, “Kepalamu kulihat cukup keras! Cukup baik untuk jadi
ganjalan tiang istanaku! Hik… hik… hik!” Lalu menyusul suara lolongan tunggal.
Suara lolongan srigala! Dan lolongan tunggal ini kemudian ditimpali oleh suara
lolongan srigala banyak menggemuruh. Wiro usap-usap kepalanya.
“Mahluk
yang hendak menjadikan kepalaku ganjalan tiang istana! Siapa kau ini
sebenarnya! Mengapa tidak mau tampakkan muka?!” berteriak Pendekar 212.
“Kau akan
lihat… Kau akan lihat!” menjawab suara itu. Lalu terdengar suara keras laksana
guntur menggelegar. Begitu suara gelegar ini sirna, asap putih mengepul
membumbung ke udara setinggi lutut. Asap itu membentuk satu lingkaran besar dan
Pendekar 212 Wiro Sableng berada tepat di tengah lingkaran.
“Eh, kemana
lenyapnya pohon-pohon besar itu!” Wiro terkejut ketika dia tidak melihat lagi
pohon-pohon ataupun semak belukar hutan Rekso Pratolo. Yang dilihatnya kini
hanyalah kepulan asap putih mengurungnya. Tapi tidak! Bukan hanya kepulan asap
putih setinggi lutut itu yang saja yang kelihatan! Ada lagi benda lain yang
tampak! Dan Pendekar 212 merasa lututnya seperti goyah ketika menyadari mahluk
apa yang mengelilinginya!
Mahluk-mahluk
itu memiliki kepala berupa binatang yaitu kepala srigala, bertelinga runcing ke
atas, bermulut panjang yang selalu menganga memperlihatkan taring-taring
runcing dan lidah yang basah. Sepasang mata merah laksana menyala. Anehnya
mahluk yang berkepala srigala hitam ini memiliki tubuh sebatas leher kebawah
sama dengan tubuh manusia, kecuali sepasang tangan yang memiliki jari-jari
berkuku runcing mengerikan!
Seperti
manusia adanya mereka mengenakan celana hitam sebatas lutut. Dari keadaan dada
mereka yang telanjang Wiro segera tahu kalau mahluk-mahluk setengah binatang
setengah manusia itu adaiah mahluk-mahluk jantan.
Menurut
dugaan Pendekar 212 paling tidak ada sekitar tiga puluh mahluk berkepala
srigala mengurungnya saat itu. Semua memandang dengan buas ke arahnya.
“Yang
tadi mengeluarkan suara jelas suara perempuan. Tapi aku tidak melihat mahluk
betina di antara mereka…” kata Wiro dalam hati sambil matanya mencari-cari.
“Berikan
jalan pada Ratu!” tiba-tiba terdengar seruan sementara kepulan asap putih masih
terus mengambang setinggi lutut.
Kelompok
mahluk manusia srigala di sebelah kanan menyibak.Bau harum semerbak memenuhi
tempat itu. Disaat itu pula Wiro melihat satu sosok manusia srigala bertubuh
tinggi melangkah mendatangi. Pada bagian atas kepalanya ada sebentuk mahkota
kecil dihiasi batu-batu permata yang-memancarkan sinar berkilauan.
Mahluk
satu ini ternyata adalah manusia srigala betina. Dia mengenakan pakaian
sebentuk kemben di sebelah atas sedang di sebelah bawah memakai celana hitam
yang bagian atasnya lebih pendek hingga sebagian perutnya yang putih tampak
tersembul. Mahluk ini miliki payudara yang luar biasa besarnya, putih menyembul
diatas kemben. Di belakangnya mengiring tiga manusia srigala betina yang
tampaknya adalah pengiring-pengiringnya. Semua manusia srigala jantan menjura
dalam begitu srigala betina bermahkota ini muncul.
“Hem…
Yang betina ini agaknya pemimpin mereka!” ujar Wiro dalam hati. “Dadanya tampak
montok, sayang kepalanya kepala seekor srigala!” Dalam keadaan seperti itu Wiro
masih saja sempat berpikir yang bukan-bukan.
“Berlutut
di hadapan Ratu kami!” satu suara membentak memerintah pada Wiro. Tapi sang
pendekar tetap saja berdiri sambil pandangi dada montok di bawah kepala
berbentuk srigala hitam itu!
Melihat
orang tak mau berlutut, sang Ratu tampak marah. Dia berpaling pada salah
seorang pembantu betinanya dan memerintahkan. “Hajar dan paksa dia berlutut!”
Yang
diperintah melangkah maju tapi berbalik kembali dan berbisik. “Jika dia
melawan, apakah harus dibunuh?”
Sang Ratu
tampak bimbang sesaat. Lalu menjawab, “Kita sudah tahu bencana apa yang bisa
dilakukannya terhadap kita dengan kemunculannya. Tapi kau tak usah kawatir Sari
Gali Satu. Kau akan sanggup menguasainya. Lakukan apa yang kuperintah!”
Srigala
betina yang dipanggil dengan nama Sari Gaii Satu anggukkan kepala lalu melompat
ke hadapan Wiro. Pendekar 212 melihat bagaimana lompatan yang dibuat mahluk itu
bukan seperti manusia biasa melompat, tapi lebih menyerupai lompatan seekor
binatang. Lompatan srigala! Dua tangan yang memiliki jari-jari berkuku panjang
mengerikan berkelebat ke arah kepala Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat
membuat gerakan mengelak sambil satu tangannya menangkis sekaligus memukul
lengan Sari Gali Satu. Tapi dia jadi terperangah karena begitu pukulannya
mengena dia seolah-oleh hanya menghantam angin atau udara kosong atau seperti melabrak
air saja! Dan justru selagi dia terkejut begitu rupa dirasakannya kedua
betisnya dihantam keras sehingga lututnya tertekuk dan tak ampun lagi tubuhnya
roboh ke tanah dalam keadaan berlutut. Ketika dicobanya untuk berdiri ternyata
sekujur badannya tak bisa lagi digerakkan. Tangan dan kakinya tegang kaku!
“Celaka!
Ilmu apa yang dipergunakan srigala betina ini membuat aku berlutut kaku seperti
ini?!” keluh Wiro.
Sari Gali
Satu berpaling pada sang Ratu dan berkata, “Tugas sudah dilaksanakan, mohon
petunjukmu lebih lanjut, Ratu!”
Sepasang
mata srigala sang Ratu memandang tak berkesip ke arah Pendekar 212. Lalu
terdengar dia berucap, “Geledah pakaiannya. Aku yakin dia membawa senjata.
Begitu kau temui ambil senjata itu dan serahkan padaku!”
Sari Gali
Satu memeriksa pakaian Pendekar 212. Begitu melihat sebilah senjata berupa
kapak bermata dua segera diambilnya lalu diserahkannya pada sang Ratu.
“Kembalikan
senjataku!” teriak Wiro dengan keras.
Ratu
srigala membuka mulutnya lebar-lebar seolah menyeringai. “Aku mau lihat kau
mampu berbuat apa kalau ini tidak kukembalikan!”
Wiro
kertakkan rahang, kumpulkan seluruh tenaga dan kerahkan tenaga dalam. Tapi
tidak ada otot-otot yang bisa digerakkan, tak ada hawa tenaga dalam yang bisa
dialirkan.
Ratu
srigala keluarkan suara melolong panjang. Begitu lolongannya lenyap dia
memerintah. “Bawa dia ke istana! Aku akan menentukan hukuman apa yang pantas
baginya! Dan Sari Gali Dua, simpan senjata ini di ruang benda-benda mustika!”
Sang Ratu lalu menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 pada pengiringnya yang
berdiri di sampingnya.
Setelah
itu sang Ratu memandang sekilas pada Wiro, balikkan tubuh dan tinggalkan tempat
itu diikuti oleh dua pengiringnya.
Wiro
merasa ada yang menepuk punggungnya. Lalu tubuhnya tertarik ke atas hingga dia
tertegak lurus. Kedua kakinya kini bisa digerakkan tapi sebatas pinggang ke
atas termasuk kedua tangannya tetap saja kaku tak bisa digerakkan.
“Jalan!”
Sari Gali Satu memerintah.
Seperti kerbau
dicucuk hidung Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah mengikuti sang Ratu bersama
dua pengiringnya. Di sebelah belakang, sekitar tiga puluh manusia srigala
jantan mengikuti bergerak, berjalan dalam bentuk setengah lingkaran seperti
ladam kuda. Jelas mereka sengaja membentuk barisan seperti itu untuk menjaga
segala kemungkinan agar tawanan satu itu tidak bisa melarikan diri.
****************
5
SETIAP
LANGKAH YANG DIBUATNYA dirasakan seperti tambah menyesakkan dada bagi murid
Sinto Gendeng. Bulu tengkuknya merinding, keringat dingin membungkus badannya.
Berulang kali dicobanya untuk membebaskan diri dari rasa kaku yang menghimpit
tubuhnya sebelah atas. Tapi sia-sia belaka. Dia tetap saja melangkah seperti
orang berjalan dalam mimpi atau seperti mayat hidup! Gerak kedua kakinya hanya
mampu untuk sekedar berjalan saja, ketika dicoba berlari kedua kaki itu seperti
diganduli batu besar hingga dia :ak mampu melakukannya. Kalaupun dia bisa lari,
kecil pula kemungkinan untuk dapat menembus kepungan manusia-manusia srigala hitam
yang bergerak dalam bentuk ladam kuda itu Lalu apa yang membuat Wiro Sableng
semakin merinding ialah ketika menyaksikan bagaimana semua mahluk setengah
manusia setengah srigala itu melangkah dengan kedua kaki tidak menyentuh tanah
sama sekali! Telapak kaki mereka tampak putih pucat, seperti kaki mayat!
Wiro
melangkah dengan kedua mata jelalatan kian kemari. Bagaimanapun juga keadaannya
yang tidak berdaya saat itu dia harus terus berlaku hati-hati, paling tidak
melihat apa yang ada di sekitarnya. Dia yakin sekali saat itu masih berada
dalam hutan Rekso Pratolo. Tetapi yang terasa aneh ialah dia sama sekali tidak
melihat pohon-pohon ataupun semak belukar. Dia sama sekali tidak melihat
tanaman apapun. Yang dilihatnya adalah tanah yang dilangkahinya, berupa tanah
merah kecoklatan. Lalu bagian kiri kanan dan atas yang seperti sebuah
terowongan panjang berlapis kabut tipis tak tembus pandang. Sepanjang
perjalanan yang penuh ketegangan itu Wiro tiada hentinya mendengar suara aneh.
Mulai dari lolongan srigala yang mencekam, suara tangis orok, suara mahluk aneh
tertawa mengerikan, suara erangan orang-orang yang seperti berada dalam keadaan
tersiksa atau sekarat. Sesekali lapat-lapat terdengar gema gamelan!
“Gusti
Allah dimana aku ini berada. Kemana aku ini mau dibawa…” ujar Wiro dalam hati
menyebut nama Tuhan. Baru saja dia berkata begitu mendadak terdengar suara
keras seperti guntur menggelegar. Wiro merasakan kakinya yang menginjak tanah
merah kecoklatan bergetar keras. Ada hawa aneh menjalar masuk ke dalam tubuhnya.
Tapi hanya sesaat. Di sekitarnya manusia-manusia srigala tampak mendongakkan
kepala ke atas, meraung melolong panjang. Wajah mereka tampak cemas.
“Ya
Tuhan, apa pula ini!” Seru Wiro kembali dalam hati. Untuk kedua kalinya
menggelegar suara guntur di tempat itu. Lalu kembali ada hawa aneh yang
mengalir masuk dari dalam tanah ke tubuh Wiro lewat kedua kakinya. Rasa sesak
yang menghimpit dadanya berkurang sedikit. Begitu juga rasa berat yang
mengganduli kakinya juga berkurang, namun masih belum cukup untuk membuatnya
mampu berlari.
Tiba-tiba
saja Wiro mencium bau harum semerbak dan tiba-tiba saja Ratu srigala telah
berada di hadapannya. Mahluk aneh ini memandang dan berkata: “Jangan kau berani
mempunyai pikiran dan mengucap yang bukan dalam hatimu! Atau kucabut lidahmu
saat ini juga dan kutambah hukuman beratmu!”
Murid
Sinto Gendeng hendak balas memaki tapi sang Ratu telah membalikkan diri dan
tinggalkan tempat itu, hanya bau harum tubuhnya saja yang masih tertinggal di
tempat itu! Hanya bisa memaki panjang pendek dalam hati, Wiro lanjutkan
langkahnya.
Berjalan
kira-kira selama sepeminuman teh, di sebelah depan terdengar suara orang
berseru. “Rombongan telah sampai di gerbang Istana!”
Seruan
itu disambut oleh suara lolongan semua manusia srigala yang ada ditempat itu.
Karena jengkel dan juga sekadar untuk mengurangi rasa takutnya murid Sinto
Gendeng ikut-ikutan keluarkan suara meniru lolongan itu. Hanya saja suara
lolongannya terdengar berbeda dan agak terlambat. Ketika semua manusia srigala
telah berhenti melolong, suara lolongan Wiro tertinggal sendirian.
Plaaakkkk!
Satu
tamparan keras menghantam pipi kanan Pendekar 212. Demikian kerasnya tamparan
itu hingga tubuhnya terbanting ke tanah. Sudut bibirnya pecah, pipinya bengkak
membiru!
“Keparat!
Kupecahkan kepalamu!” teriak Wiro geram. Dia bangkit berdiri dan gerakkan
tangan kanannya untuk memukul. Tapi bukan saja dia tidak mampu menggerakkan
tangannya yang kaku, dia juga tidak tahu siapa yang telah menamparnya tadi.
Wiro
memandang berkeliling. Saat itulah dia mendengar satu suara berucap, "Anak
manusia! Jangan kau berani lagi meniru melolong! Itu penghinaan besar bagi kami
orang-orang Kerajaan Srigala!”
“Setan
alas! Kalian semua srigala iblis!” Makian itu hanya bisa diucapkan Wiro dalam
hati karena kawatir kalau diucapkan keras-keras tamparan atau pukulan akan
mendera dirinya kembali! Dalam keadaan tak berdaya seperti itu adalah konyol
kalau dirinya akhirnya babak be-lur dihantami mahluk-mahluk srigala bertubuh
manusia itu.
Wiro
melangkah terus. Darah dari pecahan bibirnya jatuh ke dagu lalu menetes ke
pakaian putihnya. Belasan manusia srigala tampak beringas melihat darah itu.
Salah satu diantaranya tiba-tiba menerkam Wiro. Pendekar ini berteriak
menyangka kepalanya akan digerogot, ternyata mahluk itu hanya ingin menjilat
darah di dagu dan di bajunya!
“Edan!”
maki Wiro dengan tubuh tambah merinding. “Mahluk-mahluk ini ternyata pelahap
darah!”
Rombongan
bergerak maju sampai akhirnya Wiro melihat apa yang disebut pintu gerbang
istana itu! Pintu gerbang ini ternyata adalah sebuah ukiran raksasa berbentuk
kepala seekor srigala hitam yang mengangakan mulutnya lebar-lebar. Gigi dan
taring-taringnya membentuk pagar pintu sedang lidahnya merupakan tangga pendek
jalan masuk. Wiro melangkah masuk, mengikuti mahluk-mahluk yang melewati pintu
gerbang itu. Begitu sampai di sebelah dalam, pemuda ini kembali tercekat. Dia
sama sekali tidak menemukan atau melihat sebuah bangunan istana menjulang
megah, tapi yang disaksikannya adalah sebuah pedataran luas, ditumbuhi sekitar
seratus pohon pohon besar.
Di
sebelah tengah terdapat pohon paling besar dan paling tinggi. Rata-rata
pepohonan ini bercabang banyak, memiliki dedaunan yang rimbun hingga pedataran
itu tampak suram menggidikan. Paling tidak pohon-pohon itu berusia rata-rata
seratus tahunan! Terdengar suara tawa mengekeh. Lalu menyusul lolongan panjang.
Itu adalah tawa dan lolongan sang Ratu.
“Anak
manusia! Kau pasti kecele! Kau pasti menyangka akan melihat gedung besar megah
sebagai bangunan Istana! Yang kau saksikan justru hanya pohon-pohon besar!
Hik…hik… hik. Buka matamu lebih lebar! Kau belum melihat apa yang ada di
keseluruhan tempat ini! Saksikan sendiri kehebatan istanaku!”
Wiro
kedip-kedipkan matanya lalu memandang berkeliling. Begitu matanya terbiasa
dengan keredupan di tempat itu maka mulutnya pun berseru tegang, matanya
mendelik. Apa yang dilihatnya benar-benar mengerikan. Berada di nerakakah dia
saat ini?!”
Di bawah
pohon, terjepit antara batang dan akar besar-besar tampak kepala-kepala manusia
dibuat sebagai ganjalan. Setiap kepala tampak bergelimang darah mata mendelik
dan ada erangan keluar dari mulut mereka. Bagian leher hanya merupakan kutungan
mengerikan karena urat-uratnya tampak jelas berserabutan, melentik-lentik
memercikkan darah! Setiap pohon ada dua sampai tiga kepala yang berada dalam
keadaan seperti itu. Yang paling banyak adalah kutungan kepala di bawah pohon
paling besar. Di situ terdapat lebih dari lima kepala! Jika di tempat itu
terdapat seratus pohon berarti paling tidak ada dua ratus lima puluh kepala
yang dibuat jadi ganjalan seperti itu!
Kengerian
itu bukan hanya sampai disitu. Di atas pepohonan Wiro menyaksikan kengerian
lain lagi. Disitu tampak beberapa sosok tubuh digantung berbagai cara. Ada yang
dengan kaki ke atas kepala ke bawah. Ada yang lehernya diikat langsung ke
cabang pohon.
Yang
paling mengerikan ialah manusia-manusia yang digantung ke cabang pohon dengan
lidahnya sendiri! Kelihatannya lidah mereka ditarik keluar lalu lidah itu
dikatikan ke cabang pohon! Banyak diantara mayat yang tergantung itu berada
dalam keadaan perut terbuai hingga isi perutnya kelihatan jelas memberojot
keluar. Soal darah jangan disebut lagi. Ratarata semua tubuh penuh gelimangan
darah!
“Gila!
Apakah saat ini aku masih berada di dunia atau di neraka?!” membatin Wiro.
Dia
memandang berkeliling lalu kembali melengak. Di bawah salah satu pohon dia
melihat satu sosok tubuh lelaki duduk bersila membelakanginya. Di lehernya
melilit seekor ular hitam belang hijau.
Walau
tidak melihat wajah orang itu tapi Wiro yakin itu adalah pemuda yang ditemuinya
di hutan Rekso Pratolo, di depan reruntuhan gubuk tua. Pemuda yang kemudian
secara aneh berubah menjadi arca batu!
“Anak
manusia! Akhirnya kau lihat juga pemuda itu! Juga ular itu! Binatang itulah
yang telah kau bunuh lima hari lalu…!” terdengar suara sang Ra’tu. Sosoknya
tidak kelihatan entah dimana.
“Lima
hari…?!” Wiro mengulang terheran. Dia merasa yakin peristiwa itu baru
berlangsung siang tadi. Mengapa sang Ratu celaka itu menyebutnya lima hari
lalu?
Terdengar
tawa mengikik lalu suara lolongan srigala. “Kau tentu heran anak manusia! Di
tempat ini waktu berjalan lebih cepat dari waktu di alam kasarmu! Satu hari di
sana, lima hari disini. Dan ketahuilah di sini tidak ada siang ataupun malam…!
“Tidak ada siang tidak ada malam! Lalu bagaimana kalian tidur…?!” Terdengar
tawa dan lolongan riuh.
“Kami
manusia-manusia Kerajaan Srigala tidak pernah mengenal apa yang dikatakan tidur!
Dan kaupun seumur-umur di sini tak akan bisa tidur anak manusia!” terdengar
sahutan sang Ratu.
“Seumur-umur?!
Aku tak akan seumur-umur berada di tempat celaka ini! Aku akan keluar dari sini
dan dengar…Apa yang kalian lakukan padaku akan kubalas setimpal berikut
bunganya!” teriak Wiro pula.
Suara
lolongan srigala yang riuh dan panjang menyambut ucapan Pendekar 212 itu.
Lalu
terdengar suara Ratu srigala. “Mengangkat tanganmupun kau tidak sanggup,
bagaimana mungkin keluar dari tempat ini dan melakukan pembalasan?! Anak
manusia, apakah kau masih belum sadar bahwa kau saat ini tidak lagi berada
dalam alam kasarmu? Kau sudah berada dalam alam mahluk halus! Dan kau adalah
satu orang tawanan kami. Lihat, saksikan berkeliling. Dua hari di muka nasibmu
akan sama seperti tawanan-tawanan lainnya, mungkin lebih buruk karena kau lebih
berbahaya dari mereka!”
“Mengapa
kau menawanku?! Aku yakin bukan soal kencing di bawah pohon itu saja yang jadi
alasan!” Ratu srigala tertawa lalu melolong.
“Tampangmu
tolol tapi otakmu cerdik juga! Memang kencing di pohon lima hari lalu hanya
pangkal sebab kesalahanmu. Justru memang ada yang lebih penting dan lebih
berbahaya dari itu. Kau hendak menghancurkan, meruntuhkan Kerajaanku!”
“Mahluk
jejadian. Ternyata kau juga tolol…!”
Satu bayangan
melompat ke arah Wiro. Terdengar suara sang Ratu. “Jangan hajar dia. Biarkan
dia terus berbicara! Anak manusia, lanjutkan ucapanmu!”
Bayangan
yang tadi hendak menghantam mundur dengan cepat.
“Ayo
lanjutkan kata-katamu. Mengapa kau katakan aku tolol?” terdengar suara Ratu
srigala.
“Aku
datang dari alam lain, sesuai ucapanmu! Mana aku tahu menahu tentang
Kerajaanmu! Apalagi berniat menghancurkannya! Apa itu tidak tolol?!”
“Anak
manusia, kau tahu apa tentang alam halus dimana kau sekarang berada. Kau sama
sekali tidak tahu kalau dijadikan perkakas. Dijadikan alat orang-orang di alam
sana untuk menghancurkan kami. Sudahlah, apapun yang aku jelaskan kau tak akan
mengerti. Para prajurit, siapkan hidangan kelas satu untuk tawanan satu ini!
Dia pasti lapar dan haus!”
Hanya
sekejapan mata saja tahu-tahu dihadapan Wiro sudah terhidang di atas daun
setumpuk nasi putih yang masih mengepul hangat, setumpuk sayur kangkung yang
ditumis dan menebar bau sedap, lalu sebuah bumbung bambu berisi tuak yang harum
sekali! Tenggorokan Pendekar 212 turun naik. Air liurnya terbit membasahi
mulutnya yang masih berdarah. Tapi ada rasa jijik dalam dirinya melihat
hidangan itu.
“Anak
manusia, silahkan makan. Anak buahku akan menolongmu. Sari Gali Dua, suapi
dia!’
Sementara
itu bersernbunyi di salah satu pohon yang jauh dari tempat itu, dua mahluk yang
tak kelihatan berbisik satu sama lain.
“Dewi,
apa yang bisa kita lakukan. Kalau makanan dan minuman itu sampai disantap
pemuda itu, makin parah keadaannya dan makin sulit kita menolongnya!”
“Aku tahu
Dayang, aku tahu. Kita memang berada dalam kesulitan. Kita tak mungkin
menolongnya. Kita harus menunggu sambil mencari akal. Apakah kau ada membawa
potongan kemenyan itu…?”
“Ada
Dewi, tapi bagaimana kita bisa memberikan padanya, apalagi menyuruhnya
menelannya?”
Dewi
berpikir keras. Lalu dia berbisik, “Kau pergilah ke bagian timur. Timbulkan
keributan di sana pada saat mereka lengah, akan kucoba melemparkan sepotong
kecil kemenyan ke dalam sayur kangkung itu…”
Dayang
mengangguk. Dia menyerahkan sepotong kemenyan pada sang Dewi lalu tinggalkan
tempat itu.
Tak lama
kemudian… Puluhan mahluk srigala berbadan manusia yang berjaga-jaga di bagian
timur apa yang disebutkan Istana itu tiba-tiba berseru dan melolong kaget
ketika salah satu pohon tiba-tiba bergoyang keras mengeluarkan suara
berkereketan. Enam mayat yang digantung di cabang pohon itu berpelantingan kian
kemari lalu jatuh bergedebukan ke tanah.
Mendengar
ribut-ribut itu sang Ratu melolong keras dan memerintahkan anak buahnya untuk
menyelidik. Di saat itulah, tanpa ada satu pun yang tahu, sebuah benda sebesar
ujung jari kelingking melayang di udara dan jatuh tepat di atas sayur kangkung
yang terletak di atas daun di hadapan Wiro. Seorang manusia srigala datang
menghadap.
“Apa yang
terjadi prajurit?!” tanya Ratu srigala.
“Pohon di
sebelah sana tiba-tiba saja bergoyang keras seperti mau tumbang. Enam mayat
yang digantung jatuh ke tanah. Dua kepala yang jadi ganjalan mencelat mental!
Tapi keadaan sudah kita kuasai Ratu walau kami tidak dapat mengetahui apa
penyebab kejadian itu…”
“Perintahkan
semua prajurit untuk lebih berjaga-jaga. Aku yakin itu pekerjaan mahluk putus
asa srigala putih dan pembantunya!”
Sementara
itu di bawah sana… Ada rasa tidak enak membuat Wiro tak mau memakan hidangan
yang disediakan. Tapi dalam ketidakberdayaannya dia tidak mampu menolak. Nasi
dan sayur disuapkan dengan paksa kedalam mulutnya. Ketika dia hendak meludahkan
makanan itu tenggorokannya dicekik hingga akhirnya mau tak mau sayur dan nasi
itu lewat juga dirangkungannya.
Ternyata
hidangan yang disantapnya itu sedap sekali rasanya. Hingga kalau tadi Wiro
merasa tidak suka, kini nasi dan sayur itu disantapnya dengan lahap sampai
habis termasuk secuil kemenyan yang ada di dalam sayur. Lalu tuak dalam bumbung
bambupun diteguknya sampai habis.
“Ratu,
tawanan selesai bersantap. Menunggu perintahmu selanjutnya!” Sari Gali Dua
melapor.
“Bawa dia
ke ruang penantian. Dua hari di muka akan aku putuskan hukuman apa yang bakal
dijatuhkan. Jadi ganjalan tiang istana atau jadi kembang gantung penghias
langitlangit Istana!”
Sari Gali
Dua menarik tengkuk pakaian putih Wiro. Dua orang prajurit manusia srigala
memegang lengannya. Terdengar suara lolongan panjang. Wiro merasakan tubuhnya
seperti dibawa terbang. Dia melayang ke atas sebatang pohon. Tubuhnya
disandarkan ke batang pohon sebelah atas, lalu segulung tali aneh dilibatkan ke
tubuhnya mulai dari kaki sampai ke dada, membuatnya laksana dipantek jadi satu
dengan batang pohon. Hanya satu jangkauan dari hadapannya, dua mayat tergantung
bergoyang-goyang. Satu digantung kaki ke atas kepala ke-bawah, lainnya
digantung pada lehernya dan mukanya dengan mata mendelik dan lidah mencelet
menghadap ke arah Wiro!
Wiro
hendak mengucap menyebut nama Tuhan, tapi aneh lidahnya terasa seperti kelu.
Ini bukan lain disebabkan oleh nasi dan sayur serta tuak yang disantapnya
barusan. Masih untung ada secuil kemenyan yang ikut tertelan, kalau tidak
keadaannya akan lebih parah. Bukan saja dia akan lupa pada Yang Maha Kuasa,
tapi dia juga bisa lupa terhadap dirinya sendiri. Berada dalam keadaan terikat
di atas pohon setinggi itu dalam keadaan tubuh lemah lunglai, Pendekar 212 Wiro
Sableng berusaha menguatkan diri. Tapi sia-sia saja. Tak berapa lama kemudian
kelihatan kepalanya terkulai ke bawah. Pendekar ini jatuh pingsan.
****************
6
“DEWI,
KULIHAT KEADAAN DI ISTANA srigala iblis sunyi. Sebagian dari mereka berburu
tawanan baru di rimba Rekso Pratolo sebelah selatan. Sang Ratu keparat itu
tengah berbincang-bincang dengan tiga pembantunya. Mungkin tengah menetapkan
hukuman apa yang bakal dijatuhkan terhadap tawanan baru itu. Kurasa inilah
saatnya kita berusaha menyelinap menolong tawanan itu…”
Sang Dewi
terdiam beberapa ketika, lalu berkata: “Aku kawatir jangan-jangan ini adalah
satu perangkap yang sengaja dibuat oleh Ratu celaka itu. Kita harus
berhati-hati Dayang. Ingat luka di punggungmu masih belum sembuh ketika anak
buah srigala iblis itu memergoki penyelinapan kita tiga minggu lalu dan sempat
mencakar punggungmu?!”
“Apa yang
telah kualami tidak membuatku takut, Dewi. Aku bersedia melakukan dan
mengorbankan apa saja, bahkan nyawa sekalipun. Asal bisa terlepas dan keluar
dari alam mahluk halus ini!”
“Aku
terharu mendengar ucapanmu dan menyaksikan kesetiaanmu Dayang. Mudahmudahan
para Dewa akan menolong kita. Mari kita melakukan pengintaian. Ingat, jika kita
sampai ketahuan, kita harus lari berpencar agar mereka lebih susah mengejar
kita.”
Dayang
mengangguk. Lalu kedua mahluk tanpa wujud itu berkelebat menuju kelompok
pepohonan yang menjadi kawasan Istana Ratu srigala hitam.
“Kita tak
bisa menembus lapisan kabut di kiri kanan dan atas belakang kawasan Istana.
Kita harus lewat pintu gerbang kepala srigala. Hati-hatilah Dayang…” bisik
Dewi.
Saat itu
ada dua penjaga berdiri di mulut pintu gerbang. Keduanya adalah manusiamanusia
srigala berkepandaian tinggi dalam ilmu hitam. Ketika Dewi dan Dayang mendekati
pintu gerbang itu, keduanya segera mencium bau para pendatang ini.
“Aku
mencium bau semerbak. Tapi ini bukan harumnya bau tubuh Ratu kita.” kata salah
seorang dari manusia srigala itu. Dia mendongak ke atas tapi tak melihat
apa-apa. Lalu dia memberi isyarat pada temannya. Kedua manusia srigala ini
segera melangkah ke pertengahan pintu gerbang, mengangkat kedua tangan ke atas
menutup jalan masuk.
“Dayang,
kita tak bisa melewati kedua pengawal itu. Kita harus melakukan sesuatu untuk
membuat mereka beranjak dari pintu gerbang itu!”
Dayang
menghela nafas dalam. “Inilah nasib buruk kita. Kena sumpah jadi mahluk halus,
tak terlihat oleh mata siapapun tapi tetap saja tubuh kasar kita tak bisa
menyelinap seperti hembusan angin…”
“Kau tak
usah putus asa Dayang. Keadaan itu membedakan kita dengan mahlukmahluk halus
seperti srigala-srigala iblis itu. Berarti walau entah kapan sekalipun kita
masih bisa kembali ke alam dunia kita semula,” kata sang Dewi pula.
“Dewi,
aku akan menyalakan api di depan pintu gerbang lalu mengerang seperti orang
sekarat minta tolong. Begitu mereka bergerak meninggalkan pintu gerbang, kita
harus cepatcepat menyelinap…”
“Otakmu
cerdik. Lekas lakukan hal itu. Aku menunggu di samping pintu gerbang, menjaga
segala kemungkinan!”
Dayang
tinggalkan sang Dewi. Sejarak lima tombak dari pintu gerbang berbentuk kepala
srigala raksasa itu dia membakar semak belukar lalu keluarkan suara minta
tolong sambil mengerang.
Apa yang
terjadi di depan pintu gerbang itu serta merta menarik perhatian dua pengawal.
“Ada api
di sebelah sana…!”
“Aku
mendengar suara perempuan mengerang…”
“Aku
juga! Mari kita menyelidik!”
Dua
prajurit penjaga pintu gerbang melompat. Pada saat itulah Dewi dan Dayang masuk
menyelinap.
“Kurang.ajar!
Kita tertipu!” seru salah seorang manusia srigala ketika api yang tadi terlihat
dari jauh tiba-tiba saja lenyap begitu juga suara erangan minta tolong! “Lekas
kembali ke pintu gerbang!” Kedua manusia srigala itu cepat kembali ke pintu
gerbang, tapi mereka menyadari kalau sudah kebobolan. Keduanya mencium bau
harum di sekitar pintu gerbang itu.
“Lekas
lapor pada Ratu!” kata salah seorang diantara mereka dengan suara bergetar
karena takut. Dia tahu hukuman apa yang bakal dijatuhkan terhadapnya dan
kawannya.
Ketika
peristiwa itu disampaikan pada Ratu srigala, marahlah manusia srigala bertubuh
perempuan ini.
“Ganti
penjagaan di pintu gerbang. Seret dua pengawal ceroboh itu ke tiang gantungan!”
perintah Ratu.
Dua
pengawal jatuhkan diri berlutut minta ampun. Tapi sang Ratu tidak perdulikan.
Dia memberi isyarat. Lima prajurit segera bergerak jalankan perintah di bawah
pimpinan Sari Gali Tiga. Dua puluh prajurit disebar ke berbagai penjuru untuk
melakukan penyelidikan dan pengawasan. Sang Ratu sendiri melayang ke atas pohon
besar yang menjadi tempat ketidurannya. Dari sini dia memandang tajam dan
kerahkan penciumannya. Ada bau harum masuk ke dalam jalan pernafasannya.
Pertanda Istananya memang telah kemasukan musuh!
“Lipat
gandakan penjagaan di pintu gerbang! Penyusup sudah masuk ke tempat kita!
Jangan sampai lolos keluar!” teriak Ratu srigala lalu laksana terbang tubuhnya
melesat ke arah pohon dimana Pendekar 212 berada. Di pohon itu dilihatnya Wiro
Sableng masih berada dalam keadaan terikat dan pingsan. Dia memandang
berkeliling. Tak tampak mahluk lain di sekitar situ. Tapi dia yakin ada yang
telah menyusup!
Maka Ratu
srigala ini lantas berteriak: “Dewi! Dayang! Jangan kalian kira aku tidak tahu
kehadiranmu disini! Kalian terlalu pengecut untuk memperlihatkan diri! Apakah
kalian sangka bias lolos keluar dari sini?! Sampai kiamat kalian tidak akan
mampu kembali ke ujud semula! Ha… ha…ha…!”
Tak ada
jawaban. Yang terdengar hanya suara sitiran angin bergemerisik di daun
pepohonan. Saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng yang tadi pingsan mulai sadarkan
diri. Dia mampu melihat sosok tubuh berupa kepala srigala bertubuh perempuan di
hadapannya walau dalam keadaan samar-samar. Ketika Ratu srigala memandang ke
jurusannya pendekar ini kembali berpura-pura pingsan.
Ratu srigala
mendengus. “Jangan berpura-pura. Kau kira aku tidak tahu kalau kau sudah
siuman!” bentak sang Ratu lalu jambak rambut Wiro hingga pemuda ini menyeringai
kesakitan.
“Besok
hukuman atas dirimu dijatuhkan! Tamat sudah riwayatmu, anak manusia! Kau tak bakal
dapat kembali ke duniamu! Seumur-umur tubuhmu akan tersiksa, mati tidak
hiduppun tidak!”
Wiro buka
kedua matanya. Lalu menjawab. “Bagiku hidup atau mati sama saja. Yang aku
kawatirkan justru keadaan dirimu, Ratu srigala…”
Mulut
Ratu sengaja membuka lebar, lidahnya menjulur dan sepasang matanya mendelik ke
arah Wiro yang terikat dan terpentang di batang pohon.
“Anak
manusia, apa maksudmu?!” sentak Ratu srigala.
“Menyiksa
atau membunuh diriku tak ada artinya… Itu tidak akan membuat dirimu bisa
kembali ke bentukmu semula! Seumur-umur kau tetap akan jadi perempuan srigala!”
“Manusia
keparat, jangan kau berani berkata lancang padaku!”
“Aku
tidak lancang! Justru aku ingin menolongmu!” sahut Wiro.
Ratu
srigala mendengus lalu tertawa panjang dan diakhiri dengan lolongan
menggidikkan.
“Apa yang
bisa kau tolong anak manusia? Apa kemampuanmu?! Saat ini membebaskan dirimu
saja kau tidak sanggup!”
“Memang
aku tidak sanggup. Tapi kau sendiri yang akan menolong melepaskan diriku. Lihat
saja nanti!”
“Apa
maksudmu?!”
Wiro
tertawa lebar walaupun untuk tertawa begitu bibirnya yang pecah terasa sakit.
“Kau
hidup di Istana megah ini sebagai seorang Ratu. Tapi apa yang kau dapat? Apakah
kau mendapat kebahagiaan dan kesenangan?!”
“Aku Ratu
srigala tidak butuh kesenangan atau kebahagiaan!”
“Jangan
membohongi diri sendiri. Yang namanya mahluk, biar manusia atau setan dan jin,
ataupun mahluk jejadian tetap membutuhkan kesenangan dan kebahagiaan! Dan
sebagai seorang perempuan apakah kau tidak pernah memikirkan seorang lelaki
pendamping? Seorang suami?!”
Ratu
srigala tertawa panjang.
“Dalam
dunia kami tidak ada yang dinamakan suami itu. Semua srigala lelaki di sini
bisa jadi suami setiap saat aku ataupun pembantu-pembantuku maui” ujar Ratu
srigala pula.
“Seorang
Ratu secantikmu, bersuamikan lelaki berkepala srigala, apa itu lucu…?”
“Kurobek
mulutmu!”
“Dengar
Ratu, jika kau mau membebaskan aku, aku bersedia menjadi pendampinmu di
Kerajaan ini…”
“Manusia
tidak tahu diri!” sentak Ratu srigala. Tangan kanannya bergerak.
Plaak!
Satu
tamparan mendarat di muka Pendekar 212 Wiro Sableng. Pemuda ini mengeluh pendek
lalu jatuh pingsan. Ratu srigala pandangi Wiro sesaat kemudian tinggalkan
tempat itu.
****************
7
“RATU
KEPARAT ITU SUDAH PERGI, DAYANG…mari kita dekati pemuda itu…” Dewi berbisik
pada pembantunya. Kedua mahluk tanpa wujud ini keluar dari balik pohon besar,
melayang ke atas cabang pohon di mana Pendekar 212 berada dalam keadaan
terikat.
“Dia
masih pingsan Dewi. Tamparan Ratu srigala tadi keras sekali! Biar kutolong agar
dia sadar…” berkata Dayang. Lalu dia mengurut beberapa bagian di kepala
Pendekar 212, juga urat besar pada pangkal lehernya. Dari balik kembennya
Dayang kemudian keluarkan sehelai sapu tangan yang menebar bau harum. Sapu
tangan ini diusapkannya ke hidung Wiro. Sesaat kemudian Pendekar 212
terbatuk-batuk. Dayang cepat tekap mulut pemuda itu agar suara batuknya tidak
terdengar.
Merasa
ada yang memegang kepalanya Wiro buka kedua mata. Dia sama sekali tidak melihat
siapapun. Tapi jelas terasa ada yang menekap mulutnya!
“Hantu
atau jin apa pula ini?!” ujar Wiro. Dibukanya mulutnya lalu digigitnya tangan
yang menekap. Terdengar suara jeritan. Suara jerit perempuan!
“Pemuda
nakal! Orang hendak menolong mengapa kau gigit tanganku?!” ujar Dayang lalu
lepaskan tekapannya.
“Siapa
kau? Aku tidak melihat siapa-siapa!” ujar Wiro.
“Ssst…Bicara
lebih perlahan. Jangan sampai terdengar srigala-srigala iblis!” yang berbisik
Dewi.
“Hemm…
Ada dua perempuan di dekatku! Tampang dan sosoknya tidak kulihat. Kalian pasti
mahluk-mahluk halus yang kesasar ke pohon ini…!”
“Dengar,
kami berdua bermaksud menolongmu. Dengan perjanjian bahwa kau juga bersedia
menolong kami!” berkata Dayang.
“Kami…
Kami! Siapa kalian berdua ini?” tanya Wiro tambah heran. “Aku mencium bau harum
semerbak. Kalian bukan anak buahnya Ratu srigala itu?”
“Justru
mereka adalah musuh-musuh kami!” jawab Dewi.
“Kalian
belum menerangkan siapa diri kalian.”
“Aku
Dewi…”
“Aku
Dayang, pembantu Dewi…”
“Aku Wiro
Sableng. Tawanan Ratu srigala. Soal tolong menolong apa yang kalian bicarakan
ini?”
“Jika
kita bergabung, kita pasti bisa keiuar dari Kerajaan iblis ini…”
“Eh,
baiknya kalian perlihatkan dulu tampang-tampang kalian. Aku tidak sudi bicara
dengan angin!”
“Kami
bukan angin,” sahut Dayang. “Kami tidak bisa memperlihatkan diri karena sekali
terlihat oleh Ratu srigala atau anak buahnya bisa celaka!”
“Penderitaanku
saat ini bukan olah-olah. Jangan tambah dengan segala macam keanehan edan! Aku
tidak bersedia berurusan dengan segala macam setan!”
“Mulutmu
lancang sekali. Pantas Ratu srigala menamparmu tadi!” kata sang Dewi.
“Dengar,
jika kita tidak saling kerja sama, sampai kiamat kita akan berada dalam alam
gelap hitam dan sesat ini. Dan besok kau bakal dijatuhi hukaman. Berarti sampai
kiamat kau akan tersiksa. Mati tidak hiduppun tidak. Mungkin kepalamu akan
dijadikan ganjalan pohon besar kediaman Ratu srigala. Mungkin juga digantung
kaki ke atas kepala ke bawah! Apa kau suka dibuat seperti itu?!”
“Jangan-jangan
kalian kaki tangan Ratu srigala yang hendak menjebakku!” kata Wiro.
“Akalmu
pendek amat. Kau tahu, kalau Dewiku tidak menolongmu keadaanmu saat ini pasti
jauh lebih parah. Daging tubuhmu akan mengkerut dan otakmu tak bisa bekerja
wajar lagi…”
“Begitu…?
Pertolongan apa yang sudah dilakukan Dewimu itu?” tanya Wiro.
“Dia
telah melemparkan sepotong kemenyan mujizat ke dalam sayur yang tadi kau
santap. Tanpa kemenyan itu ikut tertelan olehmu nasibmu seperti yang aku bilang
tadi!”
“Bagaiman
aku bisa percaya apa yang kau katakana itu tidak dusta?!” ujar Wiro pula.
“Kau
masih saja tidak percaya pada kami.” Kata Dayang hampir putus asa.
“Katakan
saja apa sebenarnya yang tadi disantap dan diminumnya itu!” terdengar suara
sang Dewi.
“Memangnya
apa yang sudah kumakan dan kuminum?!” tanya Wiro.
Maka
Dayangpun menjawan, “Apa yang kau lihat sebagai nasi putih mengepul bukan lain
adalah kotoran mahluk-mahluk srigala.”
“Apa?!”
Kedua mata Wiro membelalak.
“Sayur
yang kau lahap adalah cacing-cacing tanah!”
“Ah!
Tidak mungkin!” seru Wiro. Perutnya jadi mual.
“Sstttt!
Jangan membuka mulut keras-keras!” memperingatkan Dewi.
Lagi
Dayang menyambung, “Dan tuak dalam bumbung yang kau teguk habis itu adalah air
kencing manusia-manusia srigala itu!”
Wiro
ternganga. “Aku tidak percaya…” katanya. “Aku jelas-jelas melihat nasi putih,
sayur kangkung dan tuak harum!”
Sang Dewi
tertawa lalu berkata: “Dalam dunia halus, mata orang biasa menjadi terbalik.
Apa yang dilihatnya bisa tidak sama dengan yang sebenarnya. Dan itu yang
terjadi dengan dirimu…”
“Kalau
memang begitu, dan kau punya niat menolongku, mengapa kau tidak mencegah aku
menyantap kotoran, cacing dan air kencing itu….?”
“Kami
berdua tidak punya kemampuan untuk melakukannya!”
“Kalau
begitu berarti kau bohong besar mengatakan hendak bergabung dan saling
menolong! Kau tidak mampu!”
“Kami
berdua memang tidak mungkin. Tapi bersamamu kami bisa! Kau mempunyai kesaktian
luar biasa untuk bisa menghancurkan Kerajaan srigala iblis…”
“Dalam
keadaan tidak berdaya begini apa yang bisa kulakukan selain menerima nasib…!”
“Jangan
buru-buru putus asa! Bukankah sudah kami katakan kami akan menolongmu?” ujar
Dayang.
“Selama
aku tidak melihat ujud kalian berdua, aku tak akan percaya. Apalagi saling
tolong menolong!”
Dayang
dan Dewi saling pandang, lalu saling berbisik. Kemudian terdengar suara Dewi.
“Jika kami perlihatkan wujud kami, apakah kau tidak akan menyesal dan membatalkan
perjanjian saling menolong?”
“Aku akan
memegang janji!” jawab Wiro.
“Kalau
begitu lihatlah baik-baik. Kami hanya bisa memperlihatkan diri dalam sekejapan
mata saja!” kata Dewi.
Wiro buka
matanya besar-besar. Ada angin bersiur di hadapannya. Sesaat kemudian dua sosok
tubuh muncul di depannya. Keduanya berupa sosok perempuan berkepala srigala.
Bedanya dengan manusia-manusia srigala sebelumnya dua srigala ini berbulu
putih. Yang satu memiliki tubuh dan kulit serta pakaian bagus. Seperti Ratu
srigala, srigala putih yang satu ini juga memiliki mahkota kecil di kepalanya.
Tubuhnya memancarkan bau harum semerbak.
Ketika
dua sosok itu lenyap, Pendekar 212 Wiro Sableng masih ternganga bengong.
“Kalian
berbulu putih, siapa kalian ini sebenarnya …?” ujar Wiro.
“Aku
adalah puteri Prabu Blambangan. Terkena kutukan karena berbuat kesalahan besar,
memberi malu sang Prabu. Dayang adalah pembantuku yang setia…”
“Sulit
kupercaya! Kerajaan Blambangan hadir dua ratus tahun silam. Bagaimana mungkin
kini kalian masih gentayangan…?”
“Memang
sulit dipercaya, tapi itulah kenyataannya. Selama dua ratus tahun kami hidup
dalam keadaan seperti ini. Menurut mimpi yang kualami, engkaulah satu-satunya
orang yang bisa mengeluarkan kami dari malapetaka ini, kembali ke alam yang
Jebih sempurna…”
“Kesalahan
apakah maka sang Prabu sampai mengutuk kalian begini rupa?”
Dayang
dan Dewi saling pandang. Akhirnya sang Dewi menjelaskan dalam alam tanpa
wujudnya. “Sebagai anak dan puteri bungsu, aku menjalin cinta dengan seorang
pemuda bernama Dharmasala. Celakanya pemuda itu sudah dijodohkan dengan puteri
sulung, yakni kakak perempuanku sendiri. Karena Dharmasala tidak mencintai
kakakku, maka kami berdua menempuh jalan sesat untuk membatalkan perkawinan
kakakku dengan Dharmasala. Kami sengaja melakukan hubungan badan sampai aku
melahirkan seorang anak perempuan.
Di
Kerajaan kami memang ada semacam adat kebiasaan. Bila lahir seorang bayi dari
hubungan tidak syah, maka kedua orang tuanya wajib dikawinkan. Ternyata
perkawinan itu tidak terjadi.
Sang
Prabu sangat marah. Beliau mengutuk aku dan Dayang menjadi srigala putih sedang
Dharmasala dikutuk menjadi batu…”
“Tunggu
dulu!” ujar Wiro memotong. “Aku menemui seorang pemuda di hutan Rekso. Lehernya
digelungi ular. Tapi dia kemudian berubah jadi patung batu. Anehnya patung itu
bisa menangis! Itukah kekasihmu Dharmasala?!”
“Betul
sekali. Saat ini dia berada di bawah pohon sana, tak jauh dari pohon kediaman
Ratu srigala. Ular yang selalu bergelung dilehernya adalah ular penjaganya
hingga dia tak mungkin melarikan diri…”
“Aku
sudah membunuh binatang itu. Meng-hancurkannya sampai berkepingkeping…”
“Binatang
itu tak bisa dibunuh, kecuali oleh kami. Tapi kami tidak berdaya. Selama masih
dalam wujud kutukan ini, kami tak bakal dapat melakukannya.”
“Aku
seperti mendengar orang bercerita tentang mimpinya…”
“Ini
bukan mimpi. Ini adalah kenyataan yang sudah terjadi sejak dua ratus tahun
lalu!” sahut Dayang.
“Setelah
kalian berdua dimakan kutuk, lalu apa yang terjadi dengan kakak perempuanmu?”
bertanya Wiro kemudian.
“Diapun
terkena kutuk. Termasuk tiga pembantu dan puluhan pengikutnya. Dialah yang kau
lihat sebagai Ratu penguasa Kerajaan Iblis ini!”
“Astaga!
Dia rupanya!” ujar Wiro sampai le-letkan lidah.
“Waktu di
hutan beberapa hari lalu, adakah kau mendengar suara bayi menangis…?!” bertanya
Dewi.
“Ya,
memang kudengar. Apakah ….?”
“Itu
adalah suara tangis orokku. Bayi malang itu dibunuh oleh kakak perempuanku.
Tujuannya adalah untuk mencegah agar aku kawin dengan Dharmasala. Tanpa bayi
sebagai bukti aku tak akan bisa kawin, Tapi ayah kemudian mengutuknya. Dia
bersama pembantu dan pengikutnya menjadi srigala-srigala hitam. Hidup dalam
alam sesat, melakukan pembunuhan dan penganiayaan keji tiada taranya!” Wiro
jadi termangu mendengar semua penuturan itu.
Lalu dia
berkata, “Sekarang, apa yang bisa kulakukan dalam keadaan tak berdaya ini?!”
“Kami
tahu kau hilang kekuatan karena mantera jahat Ratu srigala. Kau tak mampu
menggerakkan bagian tubuhmu sebelah atas. Kau tidak mampu mengerahkan tenaga
dalam.
Dewi akan
menolongmu agar kekuatanmu pulih kembali… Lekas kau makan obat dari Dewi ini!”
kata Dayang. Wiro melihat sebuah benda berbentuk hijau sebesar ujung jari
kelingking bergerak ke arah mulutnya. Karena sudah percaya kalau mahluk-mahluk
itu memang berniat baik untuk menolong, maka Wiro tidak menolak ketika benda
hijau dimasukkan ke dalam mulutnya. Begitu masuk langsung ditelan. “Sebentar
lagi keadaanmu akan pulih. Kami…”
“Awas!
ada yang datang!” terdengar seruan Dewi. “Dayang, lekas tinggalkan tempat ini!
Sahabat lekas kau berpura-pura pingsan kembali!”
Wiro
merasa angin berdesir dihadapannya. Dewi dan Dayang berkelebat lenyap dalam
alam gaibnya. Sesosok, tubuh melayang ke atas pohon. Ternyata dia adalah Sari
Gali Satu, pembantu utama Ratu srigala.
Manusia
srigala betina ini memandang kian kemari lalu dia bergerak lebih dekat.
Setelah
memperhatikan keadaan Wiro yang pingsan itu, dia ulurkan tangan, memijat kening
dan urat besar di leher si pemuda. Caranya melakukan jni persis sama seperti
yang dilakukan Dayang. Hanya bedanya waktu Dayang melakukan itu Wiro
benar-benar pingsan sedangkan saat itu dia hanya berpura-pura saja.
Manusia
srigala itu merasa lega ketika melihat Wiro buka kedua matanya tanda mulai
siuman. Lalu dia tepuk-tepuk pipi Wiro dan berkata: “Pendekar muda…
Kedatanganmu memang sudah kutunggu sejak puluhan tahun lalu. Kau satu-satunya
yang bisa mengeluarkan aku dari alam gelap ini. Aku bersumpah akan menyerahkan
diri dan mengabdi padamu seumur dunia jika kita sudah keluar dari alam ini …!”
Wiro
menghela nafas panjang. “Kau srigala aku manusia, mana mungkin aku menerima
penyerahan dirimu…”
“Kalau
kita sudah bebas dari alam ini, aku akan kembali ke wujudku semula. Jika kau
mau, sekarang pun aku bisa menunjukkan rupa asliku. Tapi tidak di sini dan
hanya beberapa kejapan saat saja…”
“Aku
tidak percaya padamu. Kau mungkin menjebakku!” kata Wiro.
“Tidak
pendekar. Percaya padaku!”
“Tidak,
kecuali jika kau bisa membuktikan lebih dulu. Kembalikan senjata mustika
milikku yang diambil Ratumu…”
“Saat ini
tak mungkin aku lakukan. Dewi sedang berada di ruang penyimpanan senjata. Aku
berjanji akan mendapatkannya untukmu. Tanpa senjata itupun kita mampu keluar
dari sini. Yaitu setelah aku memulihkan kekuatan tubuhmu. Mari kubuka
ikatanmu…”
Sari Gali
Satu membuka ikatan yang melilit sekujur tubuh Wiro ke batang pohon. Begitu
terlepas segera dia mendukung pemuda ini di bahu kirinya. Wiro merasakan
tubuhnya dibawa melayang. Di lain kejap Wiro dapatkan dirinya berada di puncak
pohon sangat tinggi. Saat itu obat yang diberikan Dayang telah mulai bekerja.
Wiro dapat menggerakkan jari-jari tangannya, bahkan mengalirkan tenaga dalam
dari pusat tubuhnya yaitu di bagian perut. Namun dia sengaja berpura-pura tetap
seperti lumpuh.
Sari Gali
Satu mendudukkan Wiro di sebuah cabang besar yang diberi potonganpotongan kayu,
dibentuk demikian rupa merupakan tempat tidur kayu. Di hadapannya manusia
srigala betina itu tegak dengan kedua kaki mengangkang dan tangan mendekap ke
dada. Kepala srigalanya mendongak ke atas, kedua matanya terpejam dan lidahnya
menjulur basah. Dari mulutnya terdengar suara mendesau seperti gerengan halus.
Wiro kemudian menyaksikan kejadian yang luar biasa. Sedikit demi sedikit bulu
hitam kepala srigala itu lenyap. Bersamaan dengan itu bentuk kepala srigala
itupun berubah, berubah terus hingga muncul kepala seorang perempuan muda
berkulit hitam manis dengan tubuh sekal pada bagian dada dan bagian pinggul.
Dan yang membuat murid Sinto Gendeng jadi menahan nafas ialah tubuh yang tadi
pakai kemben itu kini tampak tidak tertutup selembar benangpun!
“Waktuku
tidak lama! Lekas berdiri. Tempelkan tubuhmu ke tubuhku! Kekuatanmu akan segera
kembali!” berseru Sari Gali Satu.
Seperti
berada dalam tenungan mantera, Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri dan melangkah
mendekati Sari Gali Satu. Ketika sesaat lagi tubuhnya akan menempel pada tubuh
telanjang itu tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek: “Bagus! Jadi ini
kerjamu disini pengkhianat busuk!”
****************
8
TUBUH
TELANJANG SARI GALI SATU tersentak. Begitu mengenal suara dan melihat siapa
yang ada di hadapannya, manusia jejadian ini langsung jatuhkan diri berlutut.
“Ratu,
harap maafkan diriku! Bukan maksudku mengkhianatimu…”
“Tutup
mulutmu!” hardik Ratu srigala marah sekali. “Gerak-gerikmu sudah kuperhatikan
sejak kau melepas ikatan pemuda itu. Semua pembicaraanmu sudah kutangkap! Kau
hendak memakai manusia ini sebagai penyelamat kehidupanmu! Padahal kita semua
sudah bersumpah untuk tidak akan kembali ke alam semula! Apapun yang terjadi!
Kita sudah dikutuk sejak dua ratus tahun lalu! Dan kau berani melanggar sumpah
bersama itu!”
“Mohon
ampunmu Ratu. Aku…”
“Cukup!
Aku tidak suka mendengar suaramu lagi! Aku tidak sudi melihat tampangmu lagi!
Hukuman bagimu sudah kutetapkan! Kau harus mampus dan berpindah ke alam setan
pelayangan!”
“Ratu!
Jangan lakukan itu… Aku minta ampun!” teriak Sari Gali Satu.
Tapi sang
Ratu srigala tidak memperdulikan. Dari mulutnya keluar suara menggembor.
Mulutnya terbuka lebar, lidah terjulur, gigi-gigi dan taringnya yang besar
runcing bergemeletukan sedang kedua matanya membara merah. Dari mulut Ratu
srigala itu tiba-tiba terdengar suara lolongan keras. Kedua tangannya yang
memiliki kuku-kuku panjang dan runcing melesat ke depan.
Terdengar
suara seperti kain dirobek berulang-ulang, dibarengi oleh suara pekik Sari Gali
Satu. Tubuh mahluk ini terhuyung-huyung lalu jatuh ke tanah dengan suara
berdebum. Wiro memandang ke bawah. Tengkuknya mengkirik. Sosok tubuh Sari Gali
Satu yang masih dalam keadaan telanjang itu tampak mandi darah. Muka, dada dan
perutnya sampai ke paha penuh robekan-robekan mengerikan! Di hadapannya Ratu
srigala tampak tegak dengan tangan basah oleh darah. Kedua matanya diarahkan
sesaat pada Wiro lalu berpaling kebawah. Tiba-tiba dia pukulkan tangan kanannya
seraya berteriak. “Mahluk pengkhianat! Pergi kau ke alam lain!”
Serangkum
asap hitam menderu dari tangan kanan sang Ratu, menghantam sosok tubuh Sari
Gali Satu di bawah pohon. Tubuh itu lenyap ditelan asap disertai terdengarnya
suara letusan keras. Terdengar suara jerit! Bukan suara jerit srigala, tapi
suara jeritan manusia.
Ketika
asap hitam pupus, sosok tubuh Sari Gali Satu tak tampak lagi di tempatnya
terbujur semula! Lapat-lapat terdengar suara seperti perempuan menangis.
Ratu
srigala bertepuk dua kali. Dua pembantunya yakni Sari Gali Dua dan Sari Gali
Tiga tiba-tiba saja sudah ada di tempat itu.
“Ikat
manusia ini kembali di tempat semula!”
Dua
pembantu segera jalankan perintah.
“Ingat
baik-baik! Setiap saat kalian bisa mengalami nasib celaka seperti Sari Gali
Satu jika berani mengkhianatiku!” mengingatkan Ratu srigala. Sari Gali Dua dan
Tiga hanya diam saja.
Saat itu
obat aneh yang diberikan Dewi dan telah ditelan oleh Pendekar 212 Wiro Sableng
telah mulai bekerja. Dia merasa tubuhnya sebelah atas perlahan-lahan menjadi
enteng tanda kaku dan tegang yang menguasainya telah punah. Kedua tangannya
jelas pasti sudah bias digerakkan. Tetapi dia tetap berpura-pura seperti orang
lumpuh sebelah. Diamdiam dia mengerahkan tenaga dalam. Tangan kanannya segera
dialiri dengan aji kesaktian untuk melepas pukulan sinar matahari yang paling
diandalkannya.
Tapi
justru saat itu Wiro mendengar ada suara mengiang di telinga kirinya.
“Jangan
lakukan! Belum saatnya! Kau tak akan bisa membunuh atau menghancurkan mereka!”
Itu adalah suara Dewi si srigala putih. Lalu terdengar suara Dayang
pembantunya.
“Terus
saja berpura-pura dalam keadaan lumpuh. Ikuti apa yang mereka lakukan atas
dirimu. Di saat yang baik kami akan mendatangimu!”
Mau tak
mau Wiro mengikuti apa yang dikatakan manusia srigala putih tanpa wujud itu.
Dia biarkan tubuhnya dikempit, dibawa terbang ke pohon besar dimana dia
sebelumnya diikat.
Ratu
srigala mengikuti di belakang. Begitu Wiro selesai diikat ke batang pohon, sang
Ratu berkata: “Nafasmu hanya tinggal setengah hari saja! Kau bisa melihat
sendiri kepalamu terpisah dengan badan. Tubuhmu akan jadi santapan binatang
hutan! Kepalamu akan kujadikan ganjalan tiang pohon besar istana kediamanku!
Hik… hik…hik!” Lalu sang Ratu melolong panjang.
Karena
merasa dirinya telah tertolong oleh dua manusia srigala putih itu, timbul
keberanian dan kekonyolan murid Sinto Gendeng itu untuk membalas ucapan sang
Ratu.
“Aku
menawarkan kesenangan hidup suami istri padamu. Tapi kau menjatuhkan kematian
padaku! Kau akan menyesal seumur-umur! Aku tahu betul, hanya aku manusia yang
bisa mengembalikanmu ke alam semula! Menjadikanmu sebagai manusia-manusia
seperti dua ratus tahun lalu!” Habis berkata begitu lalu Wiro keluarkan suara
meniru lolongan srigafa sambil kedip-kedipkan matanya pada sang Ratu.
Sang Ratu
mendengus. “Itu yang dikatakan Sari Gali Satu padamu! Dia hanya menipumu agar
kau mau menidurinya! Sumpah dan kutukan atas diri kami tidak mungkin dirubah!”
“Lalu kau
sendiri apakah tidak ingin bersenang-senang tidur bersamaku?!” tanya Wiro pula.
Kalau
saat itu tidak ada Gali Dua dan Tiga, mungkin Ratu srigala tidak akan semarah
itu mendengar kata-kata Wiro. Tangan kanannya yang berkuku runcing panjang
meluncur ke depan.
Breettt!
Terdengar
suara robek disertai pekik keras Pendekar 212. Dada pakaian putihnya robek
besar dan lima guratan luka yang cukup dalam membelintang di dadanya. Darah
mengucur!
“Mahluk
jahanam!” teriak Wiro. Baru saja dia hendak kerahkan tenaga untuk lepaskan
dirinya dari ikatan tali dan siap menghantam manusia srigala itu tiba-tiba
kembali terdengar suara Dayang. “Jangan! Kau masih belum mampu menghadapinya!
Jangan bertindak bodoh!”
Saking
geramnya Wiro kembali keluarkan teriakan keras, delikkan mata dan pencongkan
mulut serta hidungnya, lalu pluk, kepalanya terkulai ke samping, berpura-pura
pingsan. Pada hal saat itu sakit di dadanya yang luka bukan kepalang!
Ratu
srigala menggembor, berpaling ke arah Sari Gali Dua dan berkata, “Siapkan
upacara hukuman bagi manusia paling celaka ini!”
****************
9
“KITA TAK
PUNYA WAKTU LAMA, DAYANG LEKAS!” kata Dewi begitu dilihatnya Ratu srigala
berkelebat pergi sementara dua pembantunya sesuai perintah menyiapkan upacara
pelaksanan hukuman bagi Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kedua
mahluk tanpa rupa itu cepat keluar dari balik pohon besar tempat persembunyian
mereka, melayang ke arah pohon di mana Wiro berada dalam keadaan terikat dan
terluka di bagian dada.
“Aku
tidak mengerti,” berbisik Sari Gali Dua pada kawannya. “Untuk pemuda bertampang
tolol dan banyak cakap itu mengapa sampai Ratu kita mengadakan segala
upacara…?”
“Hati-hati
kalau bicara!” sahut Sari Gali Tiga.
“Sempat
terdengar Ratu, kau bisa celaka. Menurutku jika pemuda itu hanya seorang tolol
biasa, tak akan Ratu memerintahkan melakukan upacara penghukuman. Kau tahu
sendiri, sampai saat ini, sejak dua ratus tahun berlalu, baru dua kali kita
melakukan upacara dalam menjatuhkan hukuman. Pertama terhadap Pangeran
Ajibarang. Kedua atas diri Datuk dunia persilatan golongan hitam bergelar
Seribu Racun. Dan pemuda ini adalah yang ketiga.
Berarti
dia termasuk korban cabang atas! Sudahlah, sebaiknya kita tidak usah banyak
bicara. Lakukan saja perintah Ratu…”
Kita
tinggalkan dulu dua pembantu utama Ratu srigala yang tengah menyiapkan upacara
kematian Pendekar 212 Wiro Sableng. Kita kembali pada Dewi dan Dayang.
“Sssttt
kami datang kembali. Terus saja berpura-pura pingsan,” berbisik Dayang dari
alam tanpa wujudnya.
“Mereka
siap membunuhku. Kalian selalu mencegah aku untuk turun tangan. Apa aku jadi
setan dulu baru melawan?!” ujar Wiro. Kepalanya terus terkulai dan dia masih
berpurapura pingsan. Dibukanya matanya sedikit. Namun dia tidak melihat
apa-apa.
“Dengar,
kami tak punya waktu lama. Untuk berjaga-jaga kami akan menyusupkan sebuah
benda ke balik pakaianmu!” terdengar suara Dayang kembali.
Wiro
bukakan kedua matanya sedikit. Dilihatnya sebuah benda bergerak seperti melayang
ke arah dadanya. Ketika diperhatikan ternyata sebuah boneka kayu sebesar ibu
jari.
“Eh, apa
artinya ini! Untuk apa boneka kayu itu kalian susupkan ke balik pakaianku?!”
tanya Wiro.
“Sudah
kami katakan, untuk berjaga-jaga.” Yang berkata kali ini adalah sang Dewi.
“Kami
mungkin tidak punya waktu banyak. Seandainya Ratu srigala iblis itu atau anak
buahnya datang sebelum kami selesai dengan pekerjaan kami, maka kau sudah kami
pagari dengan boneka itu. Jika sampai kau dipancung, maka boneka kayu itu yang
akan mati!”
“Aku
tidak mengerti. Boneka kayu itu jelas benda mati! Bagaimana lantas kau bilang
dia yang akan mati?!”
“Kami
tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan. Lekas telan ini!” kata Dayang.
Lalu Wiro
melihat sebuah benda sebesar ujung jari berwarna coklat keputihan bergerak
cepat ke arah mulutnya. Sebelum dia sempat menolak benda itu sudah menyusup ke
dalam mulutnya. Lalu seperti ada cekikkan di lehernya, yang membuatnya terpaksa
menelan benda tadi.
“Kemenyan!”
desis Wiro.
“Memang
kemenyan. Benda itu akan membuatmu kebal dari segala kelumpuhan otak dan aurat
atau kekakuan akibat racun jahat atau totokan manusia-manusia srigala iblis,”
menjelaskan Dewi.
“Sekarang
gulungan kertas ini akan kami susupkan ke dalam tubuhmu!” Dayang yang kini
bicara.
Wiro
melihat secarik kertas sepanjang jari kelingking yang digulung sangat kecil,
hanya dua kali besarnya lidi bergerak di udara, melesat ke arah perutnya. Dia
hendak berteriak tapi bless! Secara aneh gulungan kertas itu amblas masuk ke
dalam tubuhnya di bagian perut tanpa dia merasa sakit sedikitpun!
“Hai!
Kertas apa yang kalian tancapkan dalam tubuhku ini?!” tanya Wiro.
“Itu
tameng terakhir yang bakal menjaga dirimu. Di dalamnya ada serangkaian ayatayat
suci! Dengan ada kertas itu dalam tubuhmu, pukulan atau senjata apapun yang
dihunjamkan ke tubuhmu tidak akan mempan! Ingat satu hal baik-baik. Jika
upacara kematianmu mulai dilaksanakan, sering-sering menyebut nama Tuhanmu.
Dengan mengucap begitu Kerajaan Srigala iblis dan penghuninya akan sangat
terganggu. Satu hal lagi perlu kami beritahukan, segala ilmu kepandaian dan
kesaktian yang kau miliki baru bisa bekerja setelah sekujur tubuhmu menyentuh
tanah dan tanganmu mampu memegang kepala Datuk Seribu Racun yang menjadi
ganjalan pohon besar kediaman Ratu srigala. Jadi kau harus mengusahakan untuk
bisa bergulingan di tanah!”
“Edan!
Bagaimana aku tahu yang mana kepala Datuk Seribu Racun itu!” berkata Wiro penuh
jengkel. Hati kecilnya saat itu ingin saja dia melepaskan diri dari ikatannya
kebatang pohon, lalu langsung menyerbu Ratu srigala. Tapi diam-diam dia
menyadari bahwa dia bukan berada dalam dunianya sendiri. Melainkan dalam satu
alam penuh keanehan yang dibungkus dengan darah dan maut yang penuh kengerian.
“Lagi
pula perlu apa aku harus memegang kepala manusia yang sudah jadi bangkai hidup
itu!” sambung Wiro sesaat kemudian.
“Mengapa
kau harus memegang kepala sang Datuk tak dapat kami katakan saat ini karena tak
ada waktu dan kaupun mungkin sulit bisa mengerti. Kepala Datuk itu ada pada
bagian bawah sebelah kanan pohon. Kepala dengan kedua bola memberojol keluar
dari rongga mata, memiliki kumis dan cambang bawuk, telinga kanan sumplung dan
pipi kiri hancur robek sampai ke telinga!”
“Dayang,
kita harus pergi sekarang…”
“Tunggu
dulu!” ujar Wiro cepat. “Senjata mustikaku, Kapak Naga Geni 212 telah mereka
rampas. Aku minta bantuan kalian untuk mendapatkannya kembali!”
“Jangan
kawatir. Pada saat upacara penjatuhan hukuman atas dirimu, manusiamanusia
srigala iblis itu pasti akan memusatkan perhatian pada jalannya upacara. Kami
akan punya kesempatan untuk menyelinap ke dalam kamar penyimpanan senjata Ratu
srigala…”
“Kamar
penyimpanan, katamu…?” tanya Wiro heran.
“Kamar
itu bukan kamar sungguhan. Tapi sebuah pohon besar penuh dengan senjatasenjata
rampasan milik para korban perburuan Ratu srigala!”
“Perburuan,
siapa yang diburu?!” tanya Wiro tambah tidak mengerti.
“Kami
tidak punya waktu untuk menerangkan. Tapi kau saksikan sendiri kepalakepala
yang dijadikan ganjalan pohon! Tubuh-tubuh yang digantung secara mengerikan!
Itulah korban pemburuan Ratu iblis itu dan kami…”
“Dewi”
Dayang memutus ucapan sang Dewi. “Mereka datang, kita harus menyingkir!”
Dua sosok
tubuh manusia srigala perempuan melayang ke atas pohon. Tidak lain adalah Sari
Gali Dua dan Tiga. Sari Gali Dua yang memiliki penciuman sangat tajam,
mendongakkan kepala srigalanya ke atas dan menyerap udara di sekitarnya, lalu
menggereng, “Aku mencium bau harum di tempat ini. Pasti mahluk putus asa itu
ada disini! Aku yakin sesuatu telah terjadi ditempat ini! Sari Tiga, mari kita
menghantam membersihkan tempat!”
“Apa yang
perlu dikawatirkan Sari Gali Dua?!” jawab Sari Gali Tiga. “Mereka tidak mampu
melakukan apa-apa terhadap kita. Lalu sekali mereka masuk ke dalam kawasan
Istana, mereka tak akan sanggup keluar lagi!”
“Aku
tetap merasa kawatir. Jika kita tidak melakukan sesuatu kemudian terjadi
apa-apa dan Ratu mengetahui, nasib kita bisa sama dengan Sari Gali Satu! Ikuti
perintahku. Mari kita menghantam membersihkan tempat! Kau empat jurus mata
angin sebelah kiri, aku empat jurus mata angin sebelah kanan!”
Kedua
perempuan berkepala srigala hitam itu lalu mengapung diudara saling beradu
punggung. Keduanya kemudian menghantamkan tangan kiri kanan empat kali berturut
turut ke arah empat jurusan. Delapan suara gelegar menggoncang udara dan tanah.
Pohonpohon besar bergoyang. Ketika gelegar dan riuh gemerisik daun-daun
pepohonan lenyap di udara yang mendadak menjadi pengap terdengar dua jeritan.
Lalu sunyi kembali. Sari Gali Dua dan Tiga saling berpandangan.
“Apa
kataku!” ujar Sari Gali Satu.
“Mereka
ternyata memang ada di tempat ini. Keduanya telah terkena hantaman kita!”
“Gali
Dua, jangan biarkan Ratu kita menunggu di tempat upacara. Saatnya kita menyeret
tawanan ke tempat upacara pembantaian!” berkata Sari Gali Tiga. Sari Gali Tiga
menggereng. Lidahnya menjulur, matanya yang merah seperti membara. Lalu
terdengar dia berucap, “Kuharap Ratu mengizinkan aku pertama kali menghirup
darahnya begitu lehernya putus!” Lalu manusia srigala perempuan ini keluarkan
suara lolongan panjang!
****************
10
SUARA
GENDERANG ANEH terdengar riuh ketika tubuh Wiro Sableng yang dicekal oleh Sari
Gali Dua dan Tiga dibawa melayang turun ke tanah. Tempat upacara pelaksanaan
hukuman itu adalah sepetak tanah yang terletak di hadapan pohon besar tempat
bersemayam Ratu srigala.
Memandang
berkeliling murid Sinto Gen-deng itu merasakan nyawanya seolah-olah lepas. Dia
sudah hampir terbiasa dengan kepala-kepala srigala yang menyeramkan itu, namun
apa yang disaksikannya di sekelilingnya saat itu sungguh luar biasa mengerikan.
Diantara deru genderang menyeling suara tangis bayi dari lolongan panjang. Lalu
disekitarnya puluhan muka dan tubuh setan melayang-layang, seolah menari-nari
mengikuti tabuhan genderang.
Lima buah
kepala botak bertanduk dengan mata merah sebesar tinju dan memberodol keluar
disertai mulut terbuka penuh cairan darah melayang mengelilinginya. Sesekali
kepalakepala itu membuka mulutnya lebih lebar lalu meneriakkan suara lengking
mengerikan.
Darah
membersit dari mulut yang berteriak. Wiro berusaha menjauh ketika dua kepala
melesat ke arahnya tapi tak bisa melepaskan diri dari cekalan dua pembantu Ratu
srigala.
Satu
jengkal dari mukanya, dua kepala itu tersentak berhenti lalu tertawa bergerak.
Darah menyembur menyiprati muka dan pakaian putih Pendekar 212.
Belum habis
rasa takut dan kagetnya, dari samping terdengar suara pekik keras sekali.
Ketika berpaling Wiro melihat dua mahluk setinggi pohon yang memiliki lidah
sangat panjang, menjulai ke bawah seperti belalai gajah. Lidah yang penuh duri
dan bergelimang darah itu bergerak-gerak kian kemari, tiba-tiba melesat seperti
hendak membelit tubun dan lehernya.
Wiro
berseru tegang. Lidah panjang melesat menjauhinya. Bersamaan dengan itu
terdengar suara tawa bekakakan. Baru saja dua lidah menjulai lenyap mendadak
muncul sosok tubuh bayi raksasa dengan wajah aneh menyeramkan. Bayi ini
menggapai-gapaikan kedua tangannya ke arah Wiro. Tiba-tiba dari kedua matanya,
dari lubang-lubang hidung serta telinga dan dari mulut, melesat keluar kepala
dan tubuh ular hitam belang hijau. Tujuh ekor ular jejadian ini langsung
mematuk ke arah kepala dan tubuh Pendekar 212.
“Ya
Tuhan! Tolong diriku!” seru Wiro ketika dia tak sanggup berontak dari pegangan
Sari Gali Dua dan Tiga.
Saat itu
juga terdengar suara seperti guntur menggelegar. Tanah bergoyang, pohonpohon
berderik-derik seperti mau tumbang. Murid Eyang Sinto Gendeng lantas ingat akan
ucapan Dayang. Yaitu agar dia banyak-banyak mengucap menyebut nama Tuhan. Maka
dia segera mengulang-ulang menyeru nama Tuhan. Kawasan yang jadi Istana kediaman
Ratu srigala itu laksana dilanda gempa. Semua manusia srigala melolong panjang.
Di atas pohon dimana dia berada Ratu srigala berteriak keras.
“Gali
Dua. Gali Tiga! Kalian tunggu apa lagi, lekas laksanakan hukuman! Bantai pemuda
celaka itu sebelum dia menyebut lebih banyak nama Tuhannya!”
Mendengar
teriakan sang Ratu, Gali Dua langsung angkat tangannya kirinya ke atas Ketika
tangan :tu dibantingkan kebawah, di hadapannya Wiro melihat sebuah tiang batu
setinggi dua tombak tiba-tiba saja muncul di tempat itu. Di bagian atas tiang
bergelung seekor ular hitam belang hijau dengan mulut terbuka menunjukkan
gigi-gigi serta taring dan lidahnya yang menyeramkan. Binatang ini hampir sama
dengan ular yang menggelungi leher serta tubuh pemuda batu Dharmasala, kekasih
Dewi, hanya saja yang ada di atas tonggak batu dua kali lebih panjang dan dua
kali lebih besar!
Pendekar
212 merasakan keringat dingin membasahi sekujur tubuh dan wajahnya. Dia jelas
merasa takut melihat ular besar dan panjang itu. Tapi yang membuatnya lebih
merasa ngeri ialah ketika melihat Sari Gali Tiga tahu-tahu sudah memegang
sebilah senjata untuk memancung lehernya. Dan celakanya senjata itu bukan lain
adalah Kapak Maut Naga Geni 212 miliknya sendiri! Berarti dengan senjata
mustika pemberian gurunya itulah nyawanya bakal dihabisi. Lalu apakah benar
gulungan kertas bertuliskan ayat-ayat suci entah ayat-ayat suci apa yang
disusupkan oleh Dayang sampai amblas ke dalam perutnya yang katanya akan
membuat dirinya kebal terhadap segala macam senjata, benar-benar akan membuat
lehernya tidak mempan dibacok? Juga apakah boneka kayu jelek itu benar-benar
akan sanggup membentengi dirinya, menjadi pengganti dirinya yang hendak
dibantai? Murid Eyang Sinto Gendeng banyak mengetahui berbagai ilmu kesaktian,
baik yang sudah dikuasainya maupun yang dilihatnya dimiliki oleh orang-orang
lain. Tapi ilmu yang mengandalkan kekuatan boneka kayu butut, ilmu yang
mengandalkan kemenyan serta ilmu yang mengandalkan gulungan kertas, benar-benar
sangat diragukannya. Di saat itu dia memilih untuk lebih baik bertindak
mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri, dari pada mengandalkan kekuatan
lain yang sulit dipercaya dan belum pernah disaksikannya. Maka ketika dua
srigala perempuan di sampingnya berlaku agak lengah, Wiro kerahkan seluruh
kekuatan dan tenaga dalam lalu menghantam ke kiri dan ke kanan!
Gali Dua
dan Gali Tiga merasakan tubuhnya seperti di dorong tembok keras. Wiro terkesiap
ketika melihat dua manusia srigala itu hanya terjajar satu langkah, padahal
diperkirakannya keduanya akan terpental roboh ke tanah dalam keadaan terluka
dalam.
Dewi dan
Dayang yang menyaksikan kejadian itu dari tempat persembunyian mereka tampak
terkesiap kaget.
“Celaka!
Pemuda itu tidak melakukan apa yang kita katakan Dia bertindak mengandalkan
kekuatannya sendiri! Padahal percuma! Semua rencana bisa berantakan!
Celaka
kita Dewi!”
Sang Dewi
tak bisa berkata apa-apa. Diam-diam dia meresa tegang. Di atas pohon besar Ratu
srigala tampak terkejut.
“Bagaimana
mungkin pemuda celaka itu bisa bergerak dan memiliki kekuatan mendorong begitu
besar?!” serunya. “Padahal tubuh bagian atasnya lumpuh! Pasti ada yang tidak
beres!”
Sambil
melolong keras Ratu srigala melayang turun dan menghantamkan tangan kirinya ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu melihat sang Ratu dan ada angin yang
menyambar ke arahnya, Wiro balas menghantam dengan tangan kanan. Lepaskan
pukulan.sinar matahari. Tapi yang terdengar hanya suara des… des… des! Pukulan
sakti itu tak sanggup dikeluarkannya. Tubuhnya sendiri saat itu langsung kaku, tak
bisa digerakkan lagi. Namun sesaat kemudian, daya kekuatan aneh dari kemenyan
yang sebelumnya ditelan oleh Pendekar ini perlahan-lahan memusnahkan kekuatan
aneh yang membuat tubuhnya jadi tegang seperti batu itu. Dalam keadaan tubuhnya
mulai pulih seperti itu, terdengar suara teriakan Ratu srigala.
“Datuk
Ular! Lekas laksanakan tugasmu!”
Ular
hitam hijau yang bergelung di atas tonggak batu langsung melepas gelungannya.
Sekali binatang ini bergerak, mulutnya telah menjambak rambut gondrong pendekar
212 sedang tubuhnya yang panjang melilit badan Wiro. Ular ini membuat dua kali
liukan. Dan tahu-tahu sekujur tubuh Pendekar 212 sudah terikat oleh gelungan ke
tiang batu. Kepalanya terpentang tegak oleh gelungan ke tiang batu. Kepalanya
terpentang tegak oleh jambakan mulut ular sedang lehernya yang bakal jadi
sasaran perlindungan ikut terpentang.
Wiro kini
sadar kalau kekuatannya sendiri tidak bakal mampu menyelamatkan dirinya dari
bahaya maut yang megancam. Harapannya kini benar-benar tinggal pada segala ilmu
kesaktian aneh Dewi dan Dayang. Tapi yang lebih besar harapannya serta
kepercayaannya ialah pada pertolongan dan kekuasaan Tuhan! Kini tergelung ke
tiang batu tanpa daya, Pendekar 212 menunggu dengan pasrah apa yang terjadi.
Di
seberang sana, dibawah pohon paling besar dilihatnya potongan, kepala Datuk
Seribu Racun yang dua matanya keluar bergelantungan, muka robek mengerikan.
Kepala itulah kelak yang harus dipegangnya tanpa dia mengerti mengapa harus
begitu. Dan saat itu dia tak bisa berpikir lebih jauh karena di hadapannya Ratu
srigala mengambil Kapak Naga Geni 212 dari tangan Sari Gali Tiga. Dengan mulut
menganga, lidah terjulur dan mata mendelik merah, manusia srigala perempuan ini
melangkah ke hadapan Wiro. Satu langkah di depan si pemuda, sang Ratu angkat
tangan kanannya yang memegang Kapak Naga Geni 212. Tangan itu kemudian
diayunkan keras-keras. Sinar putih menyilaukan berkelebat disertai hawa panas
dan suara seperti seribu tawon mengamuk! Mata kapak yang sangat tajam
menghantam batang leher Pendekar 212. Crass! Kapak menembus masuk ke leher,
tertahan oleh tiang batu di belakang leher. Darah muncrat!
****************
11
PENDEKAR
212 MELIHAT darah yang muncrat dari lehernya! Darah itu memercik mengenai
kepala Ratu srigala yang berdiri di hadapannya. Bahkan hampir tak percaya, Wiro
melihat sendiri kepalanya yang ditebas putus menggelinding di tanah!
Saat itu
sang Pendekar tidak lagi sempat berpikir apakah yang terjadi dan dilihatnya itu
bisa diterima oleh akal sehat. Melihat kepalanya sendiri menggelinding begitu
rupa, murid Sinto Gendeng ini langsung berteriak menyebut nama Tuhan. Saat itu
juga tanah bergetar dan pohon-pohon bergoncang keras. Puluhan manusia srigala
melolong panjang. Ratu srigala dan dua pembantunya berdiri tegang, Ular yang
tadi menjambak rambut Wiro keluarkan suara mendesis keras. Mulutnya lepaskan
cengkeraman di rambut sang pendekar tapi tubuhnya tetap menggelung badan Wiro.
Takut,
ngeri luar biasa Wiro kembali menatap kepalanya yang tergeletak di tanah.
Tiba-tiba terdengar suara berdentrang keras. Kepala yang ada di tanah mendadak
sontak berubah menjadi sepotong kepala boneka kayu kecil terbuat dari kayu.
Bagian badan boneka tergeletak tak jauh dari potongan kepala!
“Ini
pasti perbuatan si keparat Dewi dan pembantunya!” teriak Ratu srigala marah.
Kedua matanya laksana menyala menatap boneka kayu yang buntung itu.
Teriakan
itu menyadarkan Pendekar 212 Wiro Sableng apa yang barusan terjadi. Lebih dari
itu kini dia baru bisa percaya keampuhan gulungan kertas bertuliskan ayat-ayat
suci yang ditancapkan ke dalam perutnya. Dan juga akan kekuatan aneh yang ada
pada boneka kecil terbuat dari kayu itu!
Meskipun
demikian tetap saja Wiro pegangi lehernya yang tadi dirasakannya putus.
Ternyata leher itu masih utuh.
“Sungguh
gila! Sekarang saatnya aku harus bertindak sesuai yang dikatakan dua srigala
putih itu,” ujur Wiro dalam hati. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada,
memukul ke atas sedang kaki kirinya menginjak ekor ular keras-keras. Binatang
ini menggeliat hebat.
Meski
pukulan dan tendangan yang dilakukan oleh Wiro bukan sembarangan, sanggup
menghancurkan tembok dan meremuk batu, tapi ternyata semua itu tidak berbekas
pada ular hitam belang hijau. Binatang ini malah langsung buka mulutnya
lebar-lebar lalu keluarkan suara mendesis. Serangkum asap hijau menderu
menyelubungi kepala Pendekar 212. Itulah racun yang luar biasa ganasnya. Tak
ada satu mahluk bernafaspun yang sanggup bertahan sekejapan mata terhadap racun
itu. Ratu srigala sendiri sempat berseru, “Mati kau sekarang!”
Tetapi
sang Ratu melengak kaget ketika melihat bagaimana racun ular itu tidak
mematikan si pemuda. Ini tidak lain adalah akibat kekuatan kemenyan serta
gulungan kertas yang ada dalam tubuh sang pendekar. Malah kini dilihatnya Wiro
telah meloloskan diri dari gelungan ular besar. Ratu srigala segera menyerbu
dengan. Kapak Naga Geni 212 di tangan kanan dan satu pukulan sakti di tangan
kiri.
“Lekas
jatuhkan dirimu ke tanah dan berguling ke pohon besar!” terdengar suara
mengiang di telinga Wiro. Itulah suaranya sang Dewi.
“Betul!
Lakukan lekas! Begitu sampai di pohon cepat kau pegang kepala Datuk Seribu
Racun!” Yang terdengar kali ini adalah suara si Dayang.
Mendengar
semua ucapan itu Pendekar 212 iangsung jatuhkan diri ke tanah, berguling ke
arah pohon secepat yang dilakukannya. Pukulan tangan kosong sang ratu lewat.
Tapi srigala betina ini memburu dengan Kapak 212. Berkali-kali terdengar suara
bergedebukan ketika mata kapak menghantam perut, punggung atau dada Wirol
Ternyata senjata itu tidak sanggup melukai pemiliknya sendiri! Wiro kebal
akibat kemenyan dan gulungan kertas yang ada dalam tubuhnya!
Wiro
berhenti bergulingan tepat di bawah pohon besar kediaman Ratu srigala dimana
terdapat lebih dari lima kepala yang dijadikan sebagai ganjalan! Karena sudah
diberi tahu lebih dulu, tidak sulit bagi Wiro untuk mengenali kepala Datuk
Seribu Racun. Dengan cepat dia ulurkan tangan memegang kepala itu.
Tiba-tiba
dua buah tangan berwarna sangat hitam dan penuh bulu mencuat dari dalam tanah,
langsung memegang bahu Pendekar 212! Sementara potongan kepala yang mengerikan
dan tadinya terjepit dibawah besar pohon diantara akar-akar melayang ke atas!
****************
12
TAHU-TAHU
SATU SOSOK tubuh setinggi hampir dua tombak mengangkat Pendekar 212,
menegakkannya di tanah. Sambil pegang bahu Wiro dengan tangan kirinya mahluk
jangkung ini pergunakan tangan kanannya untuk memasukkan kedua matanya yang
memberojol ke luar, ke dalam dua rongga mata yang tadinya oblong mengerikan.
Sambil melakukan itu dari mulutnya tiada nenti terdengar suara tawa parau
sementara darah becucuran dari hampir seluruh bagian kepalanya, termasuk dua
buah mata yang baru saja “diperbaikinya”!
Wiro yang
sudah tak sanggup menahan rasa takut berusaha mundur lepaskan diri. Tapi
astaga! Dia sama sekali tidak sanggup membebaskan diri dari pegangan tangan
kiri mahluk jangkung menyeramkan itu! Si mahluk tertawa panjang.
“Anak
muda! Jangan takut! Aku bukan setan jejadian yang akan mengunyah batok
kepalamu! Ha… ha… ha…! Aku Datuk Seribu Racun! Aku sangat berterima kasih kau
telah selamatkan aku dari siksa alam durjana dengan jalan memegang kepalaku
tadi! Sahabatsahabatku sang Dewi dan si Dayang pasti yang memintamu melakukan
hal itu! Kalau tidak karena kalian sampai ratusan tahun aku akan tetap jadi
ganjalan pohon celaka itu! Ha…ha…ha…!”
Tiba-tiba
ada suara menggereng di belakangnya. Wiro cepat berpaiing. Ratu srigala dengan
Kapak Maui Naga Geni 212 di tangan kanan bersama Sari Gali Dua dan Tiga
melangkah mendatangi. Mata mereka tampak berapi-api dan rahang yang penuh
taring runcing terdengar bergemeletakan.
“Bagus!
Jadi kalian ternyata telah berkomplot. Komplotan kalian tak akan berjalan lama!
Datuk Seribu Racun, kau akan kembali ke tempatmu semula! Jadi ganjalan tiang
Istanaku! Dan kau pemuda celaka! Kau akan menjadi pendamping abadi si Datuk!
Malah kau akan mendapat kehormatan tambahan! Seratus kala jengking akan
menggerogoti batok kepalamu! Sisa potongan tubuhmu akan kugantung di atas pohon
dengan sepuluh ular terus menerus me-matukimu! Kau akan menderita siksa lebih
hebat dari neraka seumur-umurmu! Hik… hik… hik!”
Habis
tertawa cekikikan sang Ratu lalu melolong. Kemudian dari mulutnya terdengar
suara suitan panjang. Puluhan manusia srigala balas melolong. Lalu laksana air
bah mereka menyerbu Pendekar 212 dan Datuk Seribu Racun.
“Celaka!”
seru Wiro. Bagaimana mungkin mereka berdua sanggup menghadapi serbuan
mahluk-mahluk jejadian seperti itu!
“Jangan
putus nyali pendekar muda!” berkata Datuk Seribu Racun dengan suara paraunya.
“Aku akan rampas kembali senjata mustikamu! Lihat!”
Datuk
Seribu Racun keluarkan pekik aneh. Tangan kirinya mendadak berubah panjang dan
keluarkan cahaya hitam menggidikkan.
“Ratu!
Awas racun hitam perenggut sukma!” teriak Sari Gali Dua ketika melihat cahaya
hitam legam memancar dari tangan kiri Datuk Seribu Racun.
Ratu
srigala mendengus keras dan kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke arah sang
Datuk, Manusia jangkung ini tertawa keras ketika melihat ada sinar perak menyilaukan
menerpa disertai suara seperti tawon mengamuk. Tangan kirinya berkelebat ke
depan.
Terdengar
raungan Ratu srigala ketika menyadari Kapak Naga Geni 212 tak ada lagi di
tangannya.
“Pendekar,
terima senjatamu kembali!” berseru Datuk Seribu Racun.
Kapak
Naga Geni 212 tampak melayang di udara. Wiro cepat melompat untuk mengambil.
Tapi saat itu dari samping Sari Gali Tiga ikut melompat untuk merebut senjata
mustika itu. Wiro yang sejak sudah siapkan pukulan sinar matahari di tangan
kiri segera menghantam. Terdengar suara menggelegar disertai hawa panas dan
berkibtatnya sinar putih perak menyilaukan. Tapi bukan kepalang terkejutnya
murid Sinto Gendeng ini ketika melihat bagaimana pukulan saktinya itu
seolah-olah menghantam udara kosong saja. Sosok tubuh Sari Gali Tiga hanya
tsrgoyang tergontai-gontai laksana asap, sama sekali tidak mempan oleh hantaman
pukulan sinar matahari!
Meskipun
perempuan srigala itu tidak hancur lebur atau mati, namun Wiro mempunyai
kesempatan untuk menyambar Kapak Maut Naga Geni 212 yang melayang di udara.
Begitu senjata mustika tergenggam di tangannya dia langsung membabatkan ke arah
Sari Gali Tiga yang masih agak sempoyongan. Wuuttt!
Kapak
Maut Naga Geni 212 menyambar batang leher manusia srigala betina itu. Tapi
senjata itu lewat begitu saja seolah-olah membabat udara kosong atau membacok
air! Kejut Pendekar 212 bukan kepalang. Di hadapannya Sari Gali Tiga
menyeringai memperlihatkan lidah merah dan taring runcing. Dari mulutnya
menggelegar suara lolongan panjang. Dengan kedua tangan terpentang dia menyerbu
ke arah Wiro.
Saat
itulah terdengar Datuk Seribu Racun berkata, “Pendekar, arahkan serangan kapakmu
pada pinggul kiri lawan! Hanya di situ bagian tubuh mereka yang tidak kebal!
Dan hanya senjata di tanganmu itu saja yang mampu membantai mereka!”
“Datuk
keparat! Kau membuka rahasia kelemahan kami!” terdengar Ratu srigala berteriak
marah! Dua tangannya di hantamkan ke depan. Mulutnya membuka lebar lalu dia
menyembur!
Lidah api
keluar menderu dari mulut sang Ratu sedang kedua tangannya yang berkuku panjang
hitam menyambar ganas ke arah leher dan dada sang Datuk!
Sebelumnya
dua mahluk ini satu manusia satunya lagi mahluk jejadian telah pernah
bertempur. Itu terjadi sekitar sembilan tahun silam. Sang Datuk ternyata tidak
mampu menghadapi manusia srigala betina itu. Mukanya dicabik salah satu
kupingnya dibuat buntung, kedua matanya dikorek secara ganas. Lehernya kemudian
ditebas. Tapi entah dengan ilmu apa, sang Datuk tidak dibuat mati, tetap hidup
walau kepala dan badan terpisah, tersiksa hebat selama bertahun-tahun, mati
tidak hiduppun tidak!
Kini
saling berhadapan kembali, walau membekal dendam hebat namun ada rasa kawatir
dalam hati manusia bergelar Seribu Racun itu. Satu-satunya harapannya untuk
dapat membalaskan sakit hati bahkan menghancur musnahkan Kerajaan Ratu srigala
itu bersama seluruh isinya terletak di tangan Pendekar 212 Wiro Sableng yang
memiliki senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212, Itulah sebabnya dia harus
cepat memberi tahu kelemahan mahluk-mahluk manusia berkepala srigala itu. Dan
kekebalan mereka hanya akan musnah oleh Kapak warisan Eyang Sinto Gendeng itu.
Selain dari itu tak satu senjatapun sanggup menghancurkan mereka. Karenanya
dapat dibayangkan bagaimana marahnya Ratu srigala ketika sang Datuk berteriak
membuka rahasia kelemahannya dan anak buahnya. Datuk Seribu Racun cepat
melompat menghindari sambaran lidah api dan dua cakaran lawan sambil membalas
dengan pukulan sakti mengandung racun jahat berwarna hitam. Ratu srigala
melolong tinggi. Sekali dia gerakkan tangannya, musnahlah cahaya hitam yang
keluar dari pukulan Datuk Seribu Racun. Malah kini lidah api terus menggebu
menjilat dadanya. Terdengar raung Datuk Seribu Racun. Sebelum kepalanya ikut
terbakar, Datuk ini cepat membuang diri ke kiri, jatuhkan tubuh ke tanah lalu
bergulingan menjauhi lawan.
Di saat
yang sama, begitu rahasia kelemahannya diketahui lawan, Sari Gali Tiga jadi lumer
nyalinya. Dia mundur terus-terusan menghindari sambaran, bacokan maupun babatan
senjata mustika di tangan Wiro. Namun dia tak bisa bertahan lama. Satu kali
Kapak Naga Geni 212 tepat menghantam pinggul kirinya.
Srigala
betina itu melolong setinggi langit! Terjadilah hal yang aneh. Tubuh Sari Gali
Tiga tampak bergoyang hebat dan perlahan-lahan berubah jadi kepulan asap hitam
pekat. Warna hitam ini kemudian berubah jadi kelabu. Lalu terdengar suara
berdentum. Asap kelabu lenyap dan tampak terhampar sosok jerangkong putih!
Ratu
srigala berteriak keras melihat kejadian itu. Dia sampai membatalkan serangan
susulan yang tadinya hendak dilakukannya terhadap Datuk Seribu Racun yang saat
itu berada dalam keadaan luka parah yakni terbakar di bagian dada. Teriakan sang
Ratu diikuti oleh lolongan Sari Gali Dua dan puluhan srigala jantan lainnya. Di
lain kejap semua mahluk berkepala srigala itu menyerbu ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng.
Murid
Sinto Gendeng mengamuk dengan senjata mustikanya. Setiap menyerang yang dihantamnya
adalah pinggul kiri lawan. Satu demi satu mahluk srigala itu jatuh
bergelimpangan, jadi asap lalu berubah jadi tengkorak! Namun jumlah mereka
banyak sekali.
Wiro
tiba-tiba saja ingat pesan Dewi dan Dayang yakni agar terus menerus menyebut
nama Tuhan. Maka sambil berteriak, “Gusti Allah, tolong aku! Tuhan Maha Kuasa
tolong aku menghancurkan mahluk-mahluk terkutuk ini!” Begitu dia terus menerus
menyebut dan menyeru Tuhannya. Dan setiap teriakan membuat tempat itu laksana
dilanda gempa. Tanah bergetar keras, pohon-pohon bergoncangan dan mahluk-mahluk
srigala seperti dipanggang berteriak-teriak hingar bingar. Dalam keadaan kacau
balau begitulah Wiro terus menghantam dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Beberapa
kali manusia srigala itu sempat memukul, menendang bahkan mencakarnya. Namun
berkat kekuatan kemenyan dan gulungan kertas yang ada dalam tubuhnya semua
serangan lawan tidak mempan. Ratu srigala melolong tiada henti ketika dapatkan
semburan api, cakaran kuku dan pukulan-pukulan mautnya sama sekali tidak
berbekas! Memandang berkeliling dia dapatkan sudah lebih dari lima belas anak
buahnya menjadi korban amukan Wiro. Korban terakhir saat itu adalah pembantunya
Sari Gali Dua!
“Hentikan
pertempuran!” teriak Ratu srigala tiba-tiba. Semua anak buahnya melompat
menjauhi Wiro. Sang Ratu melangkah mendekati Pendekar 212 lalu menjura
dalam-dalam.
“Eh, apa
maumu…?” bertanya Wiro keheranan.
“Aku
bersedia memenuhi permintaanmu tempo hari. Asalkan kau berhenti membunuhi anak
buahku!” berkata sang Ratu.
“Eh,
permintaanku yang mana…?” tanya Wiro lagi tambah heran.
“Kita
hidup berdampingan di Kerajaan ini. Aku Ratu dan kau Raja…Bagaimanana?!”
“Ah!”
tentu saja Pendekar 212 terkejut mendengar kata-kata sang Ratu. Namun di lain
saat dia tertawa gelak-gelak. Pada saat dia tertawa itulah terdengar suara
Datuk Seribu Racun berseru, “Pendekarl Hati-hati! Jangan tertipu omongannya!”
“Ratu…
Dulu aku memang memintamu begitu. Tapi sekarang semuanya sudah terlambat… !“
ujar Wiro.
“Jadi kau
bukan seorang manusia yang mampu memegang janji. Pendekar apa kau ini! Kau
menolak karena aku mahluk bertubuh perempuan tapi berkepala srigala…? Apa kau
kira aku ini memang sejelek yang kau lihat? Buka matamu lebar-lebar. Lihat
siapa aku sebenarnya!”
Habis
berkata begitu Ratu srigala angkat kedua tangannya. Kelihat ketiaknya yang
putih ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat. Sepasang payu daranya yang besar
bergerak turun naik.
Sesaat
kemudian kepala srigalanya lenyap, berubah dengan kepala seorang dara berparas
cantik sekali, bermata bening, berhidung mancung dan berdagu terbelah! Mau tak
mau Wiro jadi berdecah juga melihat kecantikan mahluk ini. “Aku berjanji,
setiap kita bermesraan aku akan memperlihatkan diri seperti ini… Bagaimana, apa
kau masih menolak? Atau masih tidak cantikkah diriku ini di matamu…?!” ujar
Ratu srigala.
Wiro
garuk-garuk kepala. “Hem… Kau memang cantik. Tapi kau sebenarnya adalah bangkai
hidup! Siapa sudi bermesraan dan tidur dengan bangkai!”
Mendengar
kata-kata yang sangat merendahkan itu, marahlah Ratu srigala. Dari mulutnya
menderu lidah api, menyambar ke arah Wiro. Pendekar 212 cepat-cepat babatkan
Kapak Naga Geni 212. Sinar perak putih menyambar. Lidah api menderu berbalik ke
arah yang melepaskannya. Ratu srigala berteriak keras. Melompat ke atas. Justru
saat itu pula Wiro sudah menyerbu ke depan sambil menghantamkan Kapak Naga Geni
212 ke arah pinggul sang Ratu.
Crasss!
Bagian
tajam dari senjata mustika itu menancap tepat di pinggulnya. Darah memuncrat.
Bukan berwarna merah, tapi darah berwarna hitam pekat menggidikkan! Dari mulut srigalanya
terdengar lolongan setinggi langit. Tempat itu laksana mau runtuh ketika
puluhan manusia srigala lainnya ikut melolong menggidikkan. Sosok tubuh Ratu
srigala bergoyang keras lalu berubah menjadi asap hitam. Dari hitam berubah
jadi kelabu. Terdengar dentuman dahsyat. Pohon-pohon bergoncang, tanah
bergetar. Lapat-lapat terdengar suara orok menangis. Lalu ada jerit pekik
manusia, banyak sekali!
Pada saat
sosok tubuh Ratu srigala berubah menjadi asap kelabu, dua sosok tubuh tampak
melayang turun dari sebuah pohon besar.
Ternyata
keduanya adalah dua perempuan berkepala srigala berbulu putih. Dewi dan Dayang.
Dewi, yaitu srigala yang bermahkota cepat memburu ke arah kepulan asap kelabu
seraya berteriak, “Kakak Suli! Kau tak boleh mati! Kau tak boleh jadi
tengkorak!” Dewi merangkul asap kelabu dan menyemburkan sejenis cairan harum
dari mulutnya ke arah asap kelabu. Sosok tubuh Ratu srigala yang tadi telah
berubah menjadi asap kelabu tiba-tiba kembali berbentuk sosok srigala bertubuh
perempuan.
“Dewi
adikku… Aku tahu maksud luhurmu! Tapi dosaku sudah seluas lautan setinggi
langit. Tak mungkin bagiku hidup di alam manapun! Biarkan aku pergi adikku. Aku
doakan kau berbahagia. Aku…” Sosok Ratu srigala lenyap jadi asap kelabu
kembali. Lalu terdengar suara berdentum laksana gunung meletus. Ketika dentuman
lenyap dan daun-daun pepohonan melayang jatuh, di tanah tampak lagi sebuah
tengkorak putih. Itulah jerangkong Ratu srigala. Tetapi saat itu bukan hanya
sang Ratu yang berubah menjadi jerangkong.
Puluhan
pengikutnya yang tadi masih hidup juga telah berubah jadi tengkorak. Bertebaran
di perbagai penjuru hingga tempat itu seperti lautan tengkorak! Mereka yang
berubah menjadi tengkorak bersamaan dengan sang Ratu, tampak tengkorak mereka
terbujur dengan kedua tangan mencekik leher. Apa yang terjadi? Para pengikut
sang Ratu, begitu melihat pimpinan mereka telah berubah jadi asap kelabu, serta
merta mencekik laher masing-masing, melakukan bunuh diri!
Srigala
putih bermahkota emas bertahtakan batu-batu permata duduk di tanah menangisi
jerangkong sang Ratu. Bagaimanapun jahatnya sang kakak di masa hidup, ternyata
melihat kematiannya yang mengenaskan begitu rupa membuat tetap saja sang adik
tidak sanggup menahan tangis dan kesedihannya.
Wiro
tegak tertegun memandangi srigala putih itu sesaat lalu memandang berkeliling.
Tiba-tiba dia melihat ada yang bergerak di dekat pohon besar bekas kediaman
sang Ratu. Pendekar 212 siapkan Kapak Naga Geni 212 seraya memberi isyarat pada
Datuk Seribu Racun. Mahluk dekat pohon itu ternyata melangkah ke jurusan
mereka!
****************
13
MAHLUK
ITU MELANGKAH dengan pandangan mata tertuju pada srigala putih bermahkota tanpa
berkesip. “Eh, bukankah dia pemuda yang jadi batu itu…?” ujar Wiro.
Mendengar
ucapan Wiro, srigala putih bermahkota palingkan kepala lalu melolong tinggi
ketika melihat pemuda itu.
“Kakak
Dharmasala!” pekik srigala putih alias Dewi lalu dia lari menubruk si pemuda.
Dharmasala merangkul srigala putih itu dengan air mata berlinang-linang.
“Syukur
kau bisa kembali ke alam ini, kakak Dharma. Syukur kau bisa hidup kembali!”
Wiro
melangkah mendekati. “Saudara, betul kau yang sebelumnya jadi batu…”
Pemuda
bernama Dharmasala, kekasih Dewi itu mengangguk. “Sahabat, terimakasih kau
telah menolong kami semua” Dia berpaling pada Datuk Seribu Racun. “Juga
terimakasihku untukmu…” Datuk Seribu Racun hanya bisa manggut-manggut karena
saat itu luka bakar di dadanya terasa sangat sakit.
“Mana
ular hitam hijau yang menggelung lehermu?” tanya Wiro pula.
Dharmasala
menunjuk ke arah pohon besar sebelah kanan. Disitu tampak teronggok rangka
seekor ular besar.
“Begitu
Ratu srigala mati… binatang itu langsung ikut berubah jadi kerangka…”
“Aneh,
sungguh serba aneh dan mengerikan!” ujar Pendekar 212.
“Semua
keanehan ini belum berakhir. Kita harus segera tinggalkan tempat ini.
Ketahuilah kita semua masih terkungkung dalam Kerajaan Iblis Ratu srigala.
Sebelum pergi aku akan mengobati dulu kalian berdua…” kata Dewi. Lalu srigala
putih ini mendekati Datuk Seribu Racun. Dia mengusap wajah dan dada Patuk Seribu
Racun beberapa kali.
Begitu
selesai diusap, luka bakar di dada segera sembuh tanpa bekas sedang wajah yang
robek penuh darah kini tampak licin bersih, hanya telinga yang buntung tak bisa
dikembalikan ke asalnya.
“Dewi,
perkenankan saya yang mengobati luka di dada pendekar itu,” berkata srigala
bernama Dayang ketika sang Dewi hendak mengobati luka bekas cakaran Ratu
srigala di dada murid Sinto Gendeng itu.
Wiro
hanya tegak berdiam diri ketika tangan berbulu putih dengan kuku-kuko panjang
runcing itu mengusapi bekas cakaran menggurat dadanya. Tiga kali diusap
luka-luka itupun lenyap.
Wiro
pandangi mata bening Dayang lalu berkata, “Terima kasih. Kesaktianmu sungguh
luar biasa…”
Dayang
balas menatap mata si pemuda lalu tundukkan kepala dan melangkah menghampiri
sang Dewi.
“Kita
pergi sekarang…” kata Dewi.
“Tunggu,
aku harus menyelamatkan senjata-senjata sakti milik orang-orang yang jadi
korban Ratu srigala!” terdengar kata-kata Datuk Seribu Racun.
“Ah,
senjata itu. Aku baru ingat,” ujar Dewi pula. “Senjata-senjata itu
disembunyikan di atas pohon besar sana. Bagaimana kau mau naik ke atasnya,
Datuk?”
“Dengan
jalan memanjatnya tentunya…” jawab Datuk Seribu Racun.
Dewi
tertawa dan berkata, “Akan memakan waktu lama Datuk. Biar Dayang melakukannya
lalu menyerahkan senjata-senjata itu padamu.” Sang Dewi berpaling pada Dayang.
Sang pembantu tanpa tunggu lebih lama segera melayang ke atas pohon besar.
Hanya beberapa kejapan saja dia telah kembali mengepit sebuah keranjang terbuat
dari daun. Di dalam keranjang ini terdapat beberapa bilah senjata milik
orang-orang yang lelah dibunuh oleh Ratu srigala. Salah satu senjata itu adalah
sebentuk keris berluk tujuh milik Pangeran Ajibarang. Dayang lalu memberikan
keranjang senjata itu pada Datuk Seribu Racun.
“Kita
pergi sekarang!” ujar Dewi.
“Eh,
sebentar!” Wiro membuka mulut.
“Ada apa
lagi pendekar?” tanya Dewi dan Datuk Seribu Racun hampir berbarengan.
“Harap
maafkan, aku tak punya maksud apa-apa. Tapi apakah kita akan pergi dalam
keadaan rupa kalian masih seperti itu?”
Dewi
terdengar batuk-batuk. “Saat ini kami berdua tidak punya kekuatan untuk
mengubah diri. Kita masih berada dalam kawasan bekas Kerajaan Ratu srigala.
Meski dia sudah mati bersama seluruh pengikutnya, namun kekuatan gaib masih
tetap menguasai tempat ini…”
“Jadi
kalian berdua akan tetap seperti itu seumur-umur?” Sambil berkata Wiro
memandang pada Dharmasala.
Pemuda
kekasih Dewi tampak bingung.
“Kau akan
lihat sendiri nanti, pendekar. Jika sudah tiba saatnya, kami berdua akan
kembali kebentuk asli kami!” jawab Dewi, lalu dia menarik tangan Dayang dan
memberi isyarat pada Wiro, Dharmasala dan Datuk Seribu Racun agar berjalan
lebih dulu di sebelah depan.
Berjalan
beberapa lama, rombongan itu akhirnya sampai di pintu gerbang Istana srigala
iblis. Wiro melangkah melewati pintu gerbang sambil memperhatikan pintu gerbang
yang ber-bentuk kepala srigala raksasa yang tengah membuka mulutnya. Menyusul
Dharmasala lalu Datuk Seribu Racun. Setelah itu dua srigala putih yaitu Dewi
diikuti oleh pembantunya yang setia Dayang.
Begitu
kedua kaki Dayang meninggalkan lidah srigala yang berbentuk tangga, tiba-tiba
di atas rimba belantara Rekso Pratolo berkilat halilintar disusul suara
menggemuruh yang meng-goncangkan tanah. Sekejapan hutan yang selalu gelap redup
itu tampak terang benderang. Ketika suara menggemuruh hilang dan. hutan kembali
diselimuti keredupan, entah dari mana datangnya, hutan itu kini dilanda tiupan
angin yang luar biasa kerasnya.
Semua
yang ada di-situ jatuhkan diri ke tanah agar tidak dihempaskan angin. Ada yang
coba berpegangan pada akar-akar pohon. Dedaunan rontok mengeluarkan suara aneh
mengerikan. Dua jeritan terdengar.
“Dewi!
Dayang! Di mana kalian?!” berseru Dharmasala. Pemuda ini bersama-sama Wiro dan
Datuk Seribu Racun melihat bagaimana dua sosok srigala putih itu terpental
tinggi ke udara menembus kerapatan daun-daun pepohonan dan lenyap!
“Dewi!”
teriak Dharmasala kembali.
“Dayang!”
Wiro ikut berseru.
Sementara
itu tiupan angin mulai mereda dan daun-daun tak ada lagi yang jatuh luruh.
“Lihat!”
tiba-tiba Datuk Seribu Racun berteriak seraya menunjuk ke atas. Wiro dan
Dharmasala sama mendongak.
Di antara
kerapatan daun-daun pepohonan tampak dua cahaya, satu berwarna biru, satu lagi
berwarna hijau. Cahaya itu melayang turun perlahan-lahan dan sementara turun
tampak bertambah besar. Ketika dua cahaya ini jatuh ke tanah, maka berubahlah
dia menjadi dua sosok tubuh gadis yang luar biasa cantiknya! Wiro sampai
berdecak kedipkedipkan mata sementara Datuk Seribu Racun usap-usap dagu sambil
geleng-geleng kepala. Gadis pertama mengenakan pakaian biru gelap indah sekait
bersulam benang emas. Rambutnya yang panjang hitam tergerai di punggung. Di
atas kepalanya ada sebuah mahkota emas bertaburkan batu-batu permata yang
berkilau-kilau. Wiro ingat betul mahkota itu sama bentuknya dengan mahkota yang
ada di kepala srigala putih bernama Dewi. Apakah ini berarti sang dara yang
jelita ini adalah sang Dewi itu? Baru saja Wiro berpikir begitu tiba-tiba
terdengar seruan Dharmasala.
“Dewi!”
Pemuda itu berlari menghampiri dara berpakaian biru lalu memeluknya eraterat.
Sang dara menangis terisak-isak dalam pelukan si pemuda.
“Dewi dan
Dharmasala… Satunya pernah jadi patung batu satunya hidup dalam alam aneh
bertubuh manusia berkepala srigala. Aneh! Bagaimana mungkin…!” Wiro garuk-garuk
kepala lalu pandangannya bertemu dengan dara kedua yang mengenakan pakaian
serba hijau. Dia tidak mengenakan mahkota, rambutnya disanggul, kulitnya putih
dan kecantikannya, menurut Wiro lebih dari sang Dewi. Gadis satu ini berdiri
tundukkan kepala dan terdengar menangis sesenggukan.
Wiro
melangkah mendekati si baju hijau ini dan menegur. “Kau pasti Dayang yang
berilmu tinggi itu…”
Sang dara
turunkan kedua tangannya, angkat kepala dan pandangannya beradu dengan sepasang
mata Pendekar 212. Lalu perlahan-lahan gadis ini mengangguk.
“Ah…
ah…ah! Ketika kulihat rupamu dalam sosok srigala putih itu, aku tak pernah
menduga parasmu cantik luar biasa seperti ini…” Memuji Wiro dengan polos
membuat hati Dayang berbunga-bunga tapi tetap tak kuasa hentikan sesenggukannya.
“Kami
kembali ke bentuk asal seperti ini setelah kita keluar dari kawasan Istana Ratu
srigala. Yaitu pada saat kita keluar dari pintu gerbang tadi…” Menerangkan
Dewi.
“Aku tak
habis pikir. Benar-benar tak habis pikir…” kata Wiro sambil memandang pada Dewi
dan Dayang.
“Mohon
dimaafkan. Para sahabat, kami bertiga tak punya waktu lama. Mari kita
tinggalkan tempat ini. Kita harus segera keluar dari hutan sebelum sang surya
tenggelam…”
berkata
Dewi lalu mendahului melangkah, didampingi oleh kekasihnya yaitu Dharmasala,
diikuti oleh Datuk Seribu Racun lalu Dayang. Disamping Dayang melangkah
Pendekar 212 Wiro Sableng yang tidak henti-hentinya mengerling memandangi, dara
jelita itu.
“Kita
sudah sampai ditepi hutan. Di barat matahari segera akan tenggelam. Kami terpaksa
meninggalkan kalian sahabat-sahabat yang berjasa besar. Kami harus
kembali…"
“Kembali
kemana…?” tanya Wiro heran.
Sebelum
pertanyaan itu terjawab, tiba-tiba ada sinar kuning menerangi tempat itu. Semua
orang memandang ke arah kanan. Disitu diatas gelombang asap yang menyerupai
awan tampak seorang tua berselempang kain putih, bertampang gagah kelimis. Di
tangan kanannya ada sebatang tombak emas bermata tiga. Tombak emas inilah yang
memancarkan sinar kuning itu.
“Sang
Prabu menjemput kita!” seru Dayang latu jatuhkan diri berlutut. Dewi dan
Dharmasala melakukan hal yang sama sementara Wiro dan Datuk Seribu Racun tegak
terbengong-bengong. Pendekar 212 yang tak tahan melihat semua keanehan ini
melangkah mendekati Dayang, lalu berlutut disamping sang dara seraya berbisik.
“Apa-apaan ini semua…? Kau bisa menerangkan padaku?”
Dayang
tersenyum dan pegang lengan Wiro. “Orang tua itu adalah Sang Prabu, ayah
junjunganku. Dia memperlihatkan diri tanda menjemput kedatangan puterinya. Jika
dia memperlihatkan diri berarti dia telah memaafkan dan melupakan apa yang
terjadi dua ratus tahun lalu.”
“Dua
ratus tahun lalu…?!” Wiro ternganga.
“Dayang,
kita pergi sekarang. Selamat tinggal sahabat-sahabatku! Budi baik dan
pertolongan besar yang telah kalian berikan tak akan kami lupakan. Kalian bukan
saja berjasa pada kami, tapi juga berjasa untuk Kerajaan Blambangan.”
Dayang
bangkit berdiri. Wiro juga berdiri dengan perasaan sesak. “Eh, tunggu dulu!”
ujar Wiro
sambiil memegang jari-jari tangan Dayang. “Kalau kalian pergi bagaimana dengan
aku! Ingat… Aku sudah menelan kemenyan dan dalam perutku masih ada gulungan
kertas ajaib itu. Apa kalian tidak akan mengeluarkan kemenyan dan gulungan
kertas itu dulu…?”
Dewi
tertawa lebar. “Begitu kita keluar dari pintu gerbang Istana srigala, kemenyan
dan gulungan kertas itu ikut lenyap. Kalau kau tak percaya teliti saja
perutmu…!”
Wiro
singkapkan pakaiannya yang robek-robek. “Memang… memang aku tak melihat
apa-apa, kecuali pusarku sendiri yang bolong…! Dewi dan Dayang tertawa
cekikikan.
“Wiro,
sahabatku… Aku pergi sekarang,” bisik Dayang. Suaranya agak tersendat.
“Kalau…
kalau aku ikut bersama kalian, apakah kalian mengizinkan?” tiba-tiba meluncur
saja pertanyaan itu dari mulut Sinto Gendeng.
Dayang
tak bisa menjawab. Dia berpaling pada Dewi dengan penuh harapan. Sang Dewi
merenung sejenak lalu menjawab, “Kami tidak keberatan kau ikut bersama kami,
sahabat Wiro. Tapi dunia kita saling berbeda. Kami hidup di alam dua ratus
tahun lalu. Apakah kau sanggup memasuki alam yang serba asing bagimu itu?”
“Alam dua
ratus tahun lalu…?” Wiro terbelalak. “Tak dapat kubayangkan!”
“Itulah,
bukan kami tak ingin bergaul lebih lama denganmu dan juga Datuk Seribu Racun.
Namun kita tak mungkin berkumpul dalam alam yang berbeda…”
Dayang
memandang sendu pada Wiro. Murid Sinto Gendeng pegangi jari-jari tangan gadis
itu malah kini menciuminya tiada henti. Jari-jari itu terasa harum sekali.
Ketika Wiro memandangi wajah Dayang, dilihatnya mata sang dara berkaca-kaca.
Kemudian terdengar suara Dayang setengah berbisik, mungkin dara ini tak mau
ucapannya didengar yang lainlain.
“Wiro,
jari-jari tanganmu telah bersentuhan dengan jari-jari tanganku. Bau harum
semerbak tubuhku akan ikut berpindah ke dalam tanganmu sebelah kanan itu. Pada
saat-saat tertentu, terutama jika kau berada dalam kesulitan, ciumlah
jari-jarimu. Jika mencium bau harum berarti aku berada didekatmu… Sekarang
izinkan aku pergi…”
Wiro
mencium lagi jari-jari tangan sang dara untuk terakhir kali. Kemudian
pegangannya terlepas. Dia merasakan ada hembusan angin. Lalu ada kecupan hangat
menyentuh pipi kirinya. Memandang ke samping Dayang tak ada lagi disebelahnya.
Juga Dewi dan Dharmasala. Ketika Wiro dan Datuk Seribu Racun berpaling ke arah
depan tampak ketiga orang itu sudah berkumpul bersama lelaki tua berselempang
kain putih. Keempatnya laksana terbang mengapung di atas asap sambil
melambai-lambaikan tangan. Pada saat sinar kuning sang surya menyirami tubuh
mereka, keempatnyapun lenyap tak berbekas.
“Apa yang
akan kita lakukan sekarang Datuk?” tanya Wiro.
“Tugas
pertamaku adalah mengembalikan semua senjata yang ada dalam keranjang daun ini
pada pewarisnya. Setelah itu aku akan menempuh hidup baru…”
“Hidup
baru maksudmu kawin Datuk?”
Sang
Datuk tertawa gelak-gelak. “Bukan kawin pendekar muda sahabatku. Dulu aku
adalah manusia paling buas dan paling bejat. Sekarang setelah aku bisa kembali
ke asal seperti ini, terlepas dari dunia hitam celaka itu, aku bertobat dan
berjanji akan jadi orang baik-baik. Nah itulah hidup baru yang aku maksudkan…!
Jadi bukannya kawin seperti katamu tadi! Ha…ha……ha…!
Sang
Datuk hentikan tawanya ketika dilihatnya Pendekar 212 menciumi jari-jari tangan
kanannya.
“Bagaimana
baunya…?” bertanya sang Datuk ingin tahu.
“Masih
harum Datuk. Masih harum!” sahut Wiro. Lalu dengan nada datar seolah-olah
menyesali dia berkata: “Sayang aku dan dia terpisah oleh jarak dua ratus tahun.
Ah, kenapa aku tidak dilahirkan dua ratus tahun lalu…?”
No comments:
Post a Comment