Serikat
Setan Merah
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
Pendekar
212 Wiro Sableng duduk seperti dihenyakkan di bangku panjang itu. Perutnya
kenyang sekali dan kantuknya mendadak saja muncul tak tertahankan. Matanya
terasa berat dan sebentar-sebentar dia menguap lebar.
“Aneh,
kenapa aku jadi mengantuk seperti ini. Dan sekujur tubuhku terasa letih…..”
membatin sang pendekar, lalu dia garuk-garuk kepalanya. Seharusnya dia sudah
membayar makan dan minuman yang disantapnya sejak tadi, tetapi entah mengapa
dia masih saja duduk di rumah makan besar itu. Setiap saat matanya menatap pada
cangkir tanah berisi minuman. Semakin dipandangnya minuman itu semakin besar
hasratnya untuk mereguk. Dan buktinya dia sudah menghabiskan tiga cangkir
besar.
“Minuman
apa ini. Harum, manis. Tuak aneh…… Jangan-jangan minuman ini yang membuat
mataku mengatuk…….” Diangkatnya cangkir tanah itu lalu didekatkannya ke
hidungnya. Ketika dia mencium minuman itu dalam-dalam memang terasa seperti ada
hawa aneh yang ikut masuk ke dalam hidungnya dan terus menjalar ke tenggorokan.
Bersamaan dengan itu kedua matanya menjadi tambah berat. Tapi saat itu pula
hasratnya untuk meneguk tuak itu tidak tertahankan. Gluk….gluk….gluk. Beberapa
kali teguk saja minuman itu amblas ke dalam perutnya. Baru saja cengkir tanah
diletakkannya di atas meja dari samping terdengar pelayan menegur.
“Tuaknya
tambah den……?” Wiro berpaling. Pelayan perempuan ini! Tadi waktu masuk
tampangnya jelek, tapi kini mengapa kelihatan begitu cantik menawan?
“Ini
pasti pengaruh tuak keparat itu…..!” ujar Wiro dalam hati.
“Pasti
pemilik kedai menaruh sesuatu dalam minuman ini. Bangsat…..!” Wiro memaki dalam
hati. Dia memandang lagi pada pelayan di sampingnya yang siap mengisi cangkir
tanah dengan tuak baru. Tangan kanan sang pendekar bergerak hendak memegang
tangan si pelayan. Namun murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini masih
dapat menguasai diri. Dia menggeleng seraya berkata
“Cukup.
Perutku sudah kenyang dan rasa hausku sudah lepas…… Sebentar lagi aku akan
pergi…..”
“Ah
mengapa begitu buru-buru, den? Kelihatannya raden ini keletihan dan mengantuk.
Jika ingin istirahat, di belakang ada kamar untuk berbaring-baring…..”
“Hem…..
begitu?” ujar Wiro. Dalam hatinya dia mulai menduga-duga janganjangan rumah
makan besar ini di sebelah belakangnya merangkap rumah bordil alias tempat
pelacuran!
“Bagaimana,
raden hendak istirahat dulu? Saya punya banyak teman yang cantik-cantik yang
pandai memijat raden hingga segar bugar kembali…..” berkata pelayan di samping
Wiro.
“Tak
meleset dugaanku……” kata Wiro dalam hati. Kembali dia menggeleng.
“Sudah,
kau layani saja tamu-tamu yang lain….” Kata Wiro pula. Ketika pelayan berlalu
Wiro memandang ke kanan. Di ujung bangku panjang di sampingnya duduk seorang
lelaki separuh baya berbelangkon dan berpakaian bagus. Orang ini duduk dengan
satu tangan menopang dagunya. Kedua matanya setengah terpejam, kepala dan
tubunya tergontai-gontai. Jelas dia juga tengah dilanda kantuk setelah makan
kenyang dan minum banyak.
Pelayan
yang tadi menawarkan tuak pada Wiro melangkah mendekati orang ini lalu
menepuk-nepuk bahunya dengan keras hingga dia tergagap dan tersentak bangun.
“Bapak…..
Kalau kau sudah kenyang dan puas minum sebaiknya segera membayar dan pergi
saja! Masih banyak tamu lain yang butuh tempat duduk di sini!” kata si pelayan
dengan kasar. Ditegur begitu itu orang tersebut tampak seperti sadar diri dan
buru-buru mengeluarkan koceknya lalu menyerahkan sejumlah uang. Si pelayan
mengambil uang itu dengan kasar. Lalu dengan muka cemberut dia berkata
“Uang
sejumlah ini mana cukup membayar semua makanan dan minuman yang kau habiskan!
Ayo bayar lebih banyak….” Sang tamu seperti mau membantah. Tapi mukanya yang
kuyu dan keadaanya yang mengantuk itu membuat dia seperti tak berdaya menampik.
Dan ketika si pelayan enak saja menarik kocek uang itu dari tangannya, dia
seperti pasrah saja. Lalu berdiri dari bangku dan dengan langkah
terhuyung-huyung berjalan ke pintu diikuti pandangan galak dan tampang cemberut
si pelayan. Bahkan terdengar suara memaki
“Tamu
tolol! Makan sebakul minum segentong, mau membayar se-upil!” lalu pelayan itu
membalikkan tubuh menuju ke sudur rumah makan di mana duduk seorang lelaki
berpakaian serba hitam, berbadan gemuk dengn muka selalu berminyak tapi garang.
Kepada lelaki ini si pelayan menyerahkan kocek uang. Yang menerima tertawa
lebar dan menepuk-nepuk bahu si pelayan. Lalu tampak dia memandang ke pintu dan
cepat-cepat berdiri ketika melihat ada seorang tamu masuk. Sebelum meninggalkan
tempatnya si baju hitam ini masih sempat berbisik pada pelayan tadi.
“Dengar,
untuk tamu yang satu ini jangan kau berikan tuak yang dibubuhi obat itu. Dan
jangan kau berani meminta bayaran!” Si pelayan mengangguk tanda mengerti. Orang
berpakaian hitam cepat melangkah ke pintu menyambut tamunya. Wiro berpaling
mengikuti langkah si gemuk. Ahai! Ternyata tamu yang disambut oleh lelaki
pemilik rumah makan itu adalah seorang dara cantik jelita berkulit putih
mengenakan pakaian tingkas berwarna merah. Kepalanya diikat dengan sehelai sapu
tangan kecil berwarna merah pula.
“Sungguh
satu kehormatan besar dara ayu berkenan singgah dan bersantap di rumah makan
saya yang buruk ini. Silahkan….silahkan masuk…..” Pemilik rumah makan itu
menjura dalam-dalam. Sang dara tampak seperti kikuk menerima sambutan itu. Dua
orang tamu yang duduk di sebuah meja tengah menunggu pesanan mereka tiba-tiba
saja dibentak oleh pemilik kedai.
“Sampean
berdua silahkan duduk di pojok sana! Ada tamu penting yang akan duduk di sini!”
“Tapi…..
kami sudah dulu duduk di sini. Dan sudah pesan!” sahut salah seorang tamu
dengan nada marah.
“Manusia
tidak tahu diri!” hardik pemilik rumah makan.
“Aku
tidak butuh uangmu! Kalau tidak suka silahkan keluar!” lalu pemilik kedai
tangkap pinggang tamunya itu, mengangkatnya dan melemparkannya ke sudut ruangan
dimana terletak sebuah bangku panjang. Melihat gelagat yang tidak baik ini
orang yang satu cepatcepat berdiri, menghampiri kawannya yang tersandar ke
dinding rumah makan lalu menarik tangannya. Keduanya keluar dari tempat itu
sambil menggerutu. Dengan sehelai serbet besar pemilik kedai bersihkan meja dan
kursi lalu dia berpaling pada dara berpakaian merah yang masih tertegak di
ambang pintu, menjura dan berkata
“Silahkan
duduk di sini rara ayu…. Mari. Hidangan lezat dan minuman nikmat segera saya suruh
siapkan . Silahkan duduk…..”
Walaupun
disambut dengan penghormatan yang membuatnya kikuk itu, tapi sang dara tampak
sangat tenang. Tanpa ada perubahan pada wajahnya apalagi tersenyum, dia
melangkah dan duduk di kursi yang disediakan. Pemilik rumah makan kembali
menjura lalu cepat-cepat masuk ke dalam. Wiro garuk-garuk kepalanya. Adanya
“bunga” jelita dalam rumah makan itu membuat kantuknya tiba-tiba saja lenyap.
Dan dalam hati pemuda ini bertanya-tanya siapa gerangan adanya dara cantik
berpakaian merah itu. puteri seorang petinggi Kerajaan atau puteri seorang
Pangeran atau anak gadis seorang hartawan? Tapi mengapa seorang diri dan
caranya mengenakan pakaian ringkas seperti itu hanyalah kebiasaan orang-orang
persilatan.
“Pssst……”
Wiro keluarkan suara mendesis untuk menarik perhatian sang dara. Tapi si baju
merah menolehpun tidak. Wiro menyengir seraya garuk-garuk kepala. Ketika dia
memandang berkeliling pemuda ini jadi keheranan karena saat itu dilihatnya satu
demi satu para tamu yag ada di tempat itu meninggalkan rumah makan. Yang masih
setengah makan bahkan cepat-cepat mencuci tangan lalu pergi. Selagi
berpikir-pikir apa yang sebenarnya terjadi di tempat itu Wiro melihat pelayan
perempuan keluar dari ruangan dalam bersama seorang kawannya. Mereka masingmasing
membawa sebuah nampan besar berisi penuh makanan dan minuman. Di belakang kedua
pelayan ini berjalan si gemuk pemilik rumah makan.
“Luar
biasa! Makanan yang dihidangkan begitua banyak, serba lezat dan cepat. Siapa
sebenarnya gadis baju merah ini. Kalau dia salah serang kawan yang dikatakn
pelayan itu sebagai gadis-gadis yang pandai memijat, hemmmm…… Menyesal aku
kalau tidak sempat berkenalan dengannya!” Begitu Wiro berpikir-pikir dalam
hati. Wiro memperhatikan makanan yang dihidangkan di atas meja dengan penuh
hormat lalu pemilik rumah makan membungkuk-bungkuk mempersilahkan tamunya mulai
bersantap. Tanpa menoleh, tanpa perubahan pada wajahnya dara berbaju merah
segera saja menyantap hidangan dimulai dengan meneguk minuman sementara pemilik
rumah makan pergi duduk di sudut ruangan dan dua pelayan tegak tak jauh dari
tempat itu, menunggu kalau-kalau ada yang harus dilakukan…… Wiro batuk-batuk
beberapa kali. Si gemuk berpaling. Saat itulah pemilik kedai ini menyadari
kalau di situ masih ada duduk seorang tamu. Serta merta dia berdiri menghampiri
Wiro.
“Tamu tak
tahu diri. Lekas minggat dari tempat ini. Tapi bayar dulu makanan dan
minumanmu!” Tentu saja Wiro terheran-heran diperlakukan seperti itu.
“Ada
keanehan terjadi di tempat ini sejak si jelita itu muncul! Siapa sih dia?!”
ujar Wiro masih tetap duduk di bangku panjang malah kini kaki kanannya
dinaikkan seenaknya. Melihat hal ini pmilik rumah makan jadi marah sekali.
“Bayar
dan pergi!” teriaknya seraya mendorong bahu Wiro. Pendekar kita tidak melawan,
karena itu waktu di dorong tubuhnya langsung jatuh terduduk di lantai rumah
makan. Berpura-pura bodoh Wiro bengkit berdiri sambil tepuk-tepuk pantat
celananya.
“Kalau
sampeyan suruh pergi ya aku pergi,” kata Wiro pula.
“Tapi aku
tidak mau bayar!”
“Patah
lehermu berani tak membayar!” mengancam pemilik rumah makan sambil mengulurkan
kedua tangannya bersikap hendak mencekik. Tenang dan enak saja Wiro menjawab.
“Kawan
yang duduk di sampingku tadi sudah membayari makanan dan minumanku. Bukankah
pelayanmu itu telah merampok seluruh isi koceknya tadi?!” Lalu dia kembali
duduk di bangku.
Paras si
gemuk itu tampak berubah. Rahangnya menggembung dan gerahamnya terdengar
bergemeletakan.
“Kowe
memang minta mampus!” kertaknya. Tangan kananya yang membentuk tinju langsung
diayunkan ke kepala Wiro. Tentu saja Pendekar 212 tidak mau kepalanya dijadikan
bulan-bulanan jotosan lawan. Tubuhnya yang duduk di pertengahan bangku panjang
tiba-tiba meluncur ke ujung kiri. Keseimbangan pada bangku lenyap dan bangku
panjang itu tempat mencuat ke atas, tepat pada saat tinju pemilik rumah makan
sampai. Bukk! Tinju itu menghantam kayu bangku. Langsung si gemuk terpekik.
Tangan kanannya bengkak merah, tulang jari kelingkingnya bahkan patah!
“Pemuda
haram jadah!” teriak pemilik rumah makan. Kaki kanannya menendang, namun saat
itu Wiro Sableng sudah melompat ke pintu dan lenyap! Sambil mengerenyit menahan
sakit pemilik kedai mendatangi dara berbaju merah, membungkuk berulang kali
lalu berkata.
“Mohon
maaf kalau santap siangmu terganggu oleh pemuda kurang ajar tadi….” Sesaat
gadis itu melirik ke arah tangan kanan lelaki gemuk di hadapannya. Lalu tanpa
berkata apa-apa dia meneruskan makan. Selesai makan dia mengeluarkan sejumlah
uang dan meletakkannya di atas meja. Melihat hal ini si pemilik rumah makan
cepat mendatangi. Seraya membungkuk dia berkata.
“Rara,
aku Kecak Ronggo yang rendah mana berani menerima pembayaran darimu. Simpan
kembali uang itu rara. Segala perlindungan yang diberikan padaku sudah cukup
membuat aku berhutang budi seumur hidup. Ambil kembali uang itu rara. Saya
tidak berani menerimanya…..” Gadis berbaju merah mengangkat kepalanya sedikit
menatap tampang Kecak Ronggo, lalu tanpa berkata apa-apa dia berdiri dari
kursinya, membalikkan tubuh dan bergegas menuju ke pintu. Sampai di luar dia
langsung naik ke atas punggung seekor kuda putih.
“Ah,
celaka aku! Celaka aku!” ujar Kecak Ronggo berulang kali. Uang di atas meja
diambilnya lalu dia lari ke pintu ssambil berteriak-teriak.
“Rara,
jangan! Ambil uang ini kembali…..” Tapi sampai di pintu gadis berbaju merah itu
sudah memacu kudanya menuju ujung jalan. Kecak Ronggo masih terus
berteriak-teriak memanggil sambil acungkan tangan kirinya yang memegang uang.
Namun sang dara lenyap di kejauahn. Ketika pemilik rumah makan itu hanya bisa
berdiri bengong tiba-tiba dari samping berkelebat satu tangan dan tahu-tahu
uang yang ada dalam genggamannya lenyap. Ketika dia berpaling ke kiri dia
mendengar satu suara siulan, di lain saat dilihatnya pemuda berambut gondrong
tadi tahu-tahu sudah berada di atas kuda coklat.
“Berani
kau mengambil uang itu! Pemuda rampok! Kau tak tahu siapa gadis berbaju merah
itu! Orang-orangnya pasti akan mencincangmu sampai lumat!” Dari atas punggung
kuda Pendekar 212 menyeringai seraya timang-timang uang yang dirampasnya dari
Kecak Ronggo. Kudanya di putar dengan cepat. Binatang itu sudah melompat dan
lari jauh ketika Kecak Ronggo coba mengejar.
******************
2
Kuda
putih yang ditumpangi dara berpakaian merah itu larinya sebat sekali.
Bagaimanapun Wiro menggebrak kuda coklatnya tetap saja dia tidak mampu
mengejar. Ketika memasuki daerah berbukit-bukit yang di kiri kanannya diapit
oleh rimba belantara tak begitu lebat, murid Sinto Gendeng itu mulai mencari
akal. Di satu daerah ketinggian dia dapat melihat bahwa jalan yang ditempuh
sang dara akan menikung di sebuah penurunan maka dia harus memotong dengan
membelok ke kanan memasuki hutan. Ketika Wiro mencapai tikungan di penurunan
itu dan menunggu, dia menjadi heran karena orang yang ditunggunya tak kunjung
muncul. Padahal dia sudah memperhitungkan masak-masak kalau kudanya pasti
sampai lebih dulu di tempat itu karena tadi dia menempuh jalan memotong yang
lebih dekat jadi lebih cepat. Pendekar kita jadi garuk-garuk kepala. Melihat
kenyataan ini semakin besar hasratnya untuk mengetahui siapa adanya dara
berbaju merah itu. Wiro memutuskan menunggu lagi sampai beberapa saat. Ketika
yang ditunggu tetap tak kunjung muncul denan penasaran pendekar ini akhirnya
menepuk pinggul kuda coklat dan meneruskan perjalanan. Belum seratus langkah menunggangi
kudanya, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Wiro berpaling ke kanan, ke
arah bagian bukit yang agak gundul. Di atas sebuah batu besar yang rata tampak
seekor kuda putih dengan kepala mendongak ke langit dan meringkik beberapa
kali.
“Itu kudanya!
Tapi di mana orangnya…..?” ujar Wiro. Dia memandang berkeliling, tetap saja
tidak melihat sang dara berpakaian merah.
“Dia
pasti bersembunyi di satu tempat dan saat ini pasti memperhatikan gerak
gerikku!” pikir Wiro pula. Maka sambil bersiul-siul kecil dia mendaki bukit
menuju batu besar tempat kuda putih berada. Sampai di situ kuda putih itu
kembali meringkik. Wiro melompat turun dari kudanya, menghampiri kuda puih dan
mengelus-elus bulu tebal di leher binatang ini.
“Tenang
sobatku. Tenang. Tak ada apa-apa di tempat ini. Mana tuanmu yang cantik jelita
itu…..” kata Wiro seraya memandang berkeliling mencari-cari.
“Ah, di
situ dia rupanya…..!” Pendekar 212 Wiro Sableng akhirnya menemukan juga si
gadis. Saat itu si baju merah ini tengah membasuh kedua tangan dan mukanya di
sebuah mata air jernih yang membentuk kolam kecil dengan dasar batu batuan
hitam. Tidak menunggu lebih lama lagi Wiro segera menuju ke mata air itu.
Pendekar kita membuka pembicaraan dengan suatu pujian.
“Saudari,
kuda putihmu itu hebat sekali. Larinya kencang luar biasa!” Yang ditegur diam
saja, berpalingpun tidak. Terus saja sang gadis membasuh mukanya dengan air
yang jernih dan sejuk itu. Murid Eyang Sinto Gendeng garukgaruk kepala.
“Jangan-jangan
gadis ini tuli dan bisu.” Pikirnya.
“Waktu di
rumah makan tadi, tak sepotong katapun keluar dari mulutnya ……” memikir begitu
Wiro ikut berjongkok di tepi mata air dan membasuh kedua tangan serta mukanya
pula, seperti yang dilakukan si gadis. Karena sampai sekian lama gadis itu
tidak mengacuhkan kehadirannya di sana, Wiro lalu keluarkan uang logam milik si
gadis yang diambilnya dari Kecak Ronggo si pemilik rumah makan. Uang logam itu
diletakkannya di atas sebuah batu dekat kaki si baju merah. Sang dara hanya
melirik sesaat lalu meneruskan mencuci mukanya.
“Kemudian
perlahan-lahan dia berdiri sambil mengeringkan wajahnya dengan sehelai sapu
tangan. Wiro ambil kembali uang yang diletakkannya di atas batu,
menimangnimangnya beberapa kali lalu mendehem.
“Saudari,
itu uang milikmu yang dikembalikan oleh pemilik rumah makan. Mengapa kau tak
mau mengambilnya…..?” bertanya Wiro. Si gadis tidak menjawab malah melangkah
menuju ke kudnya. Wiro jadi geleng-geleng kepala. Kalau orang memang tidak suka
diajak bicara, apalagi berkenalan diapun tak akan memaksa. Semula uang di atas
batu hendak diambilnya. Tapi karena jengkel dibiarkannya saja. Sambil melangkah
menuju ke kudanya sendiri dia berkata setengah menggerendang.
“Sayang
dan kasihan. Cantik-cantik begitu ternyata tuli dan bisu…..!” Baru saja Wiro
berkata demikian tiba-tiba terdengar suara bentakan dari samping.
“Siapa
yang tuli! Siapa yang bisu?!”
“Eh!”
Wiro tergagap kaget. Dia berpaling. Yang membentak adalah gadis berbaju merah
itu.
“Astaga!”
“Astaga
apa?!” kembali si gadis menghardik dengan mata mmbeliak.
“Jadi……?”
“Jadi
apa?!”
“Ternyata
kau tidak tuli. Juga tidak bisu! Maafkan diriku yang menyangka keliru. Habis
sejak kulihat pertama kali di rumah makan itu, tidak sepotong suarapun keluar
dari mulutmu…….!”
“Katakan
mengapa kau mengejar dan mengikutiku?!” sang dara bertanya. Kedua matanya tidak
berkedip.
“Aku
tidak bermaksud buruk,” sahut Wiro pula.
“Mana
mungkin!” tukas si gadis.
“Kenalpun
tidak, lalu mengikuti diriku. Mengejar dengan mengambil jalan memotong! Kau mau
membegalku?!” Wiro tertawa lebar dan garuk-garuk kepala.
“Jangan
menduga seperti itu. aku hanya ingin tahu dirimu sebenarnya. Waktu di rumah
makan kulihat pemilik rumah makan menyambutmu secara istimewa. Para tamu
ketakutan dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. yang tak mau pergi dilempar
oleh Kecak Ronggo. Lalu kulihat hidangan luar biasa diberikan padamu. Dan waktu
kau mau bayar, pemilik kedai menolaknya dengan ketakutan. Jika kau bukan
seorang luar biasa pasti tidak demikian perlakuan orang. Nah itu saja yang
ingin kuketahui…..”
“Siapa
percaya pada keteranganmu. Ada dua macam orang jahat di dunia ini….” berkata si
gadis.
“Maksudmu?”
tanya Wiro.
“Yang
pertama, mereka yang memperlihatkan kejahatannya secara terus terang. Langsug.
Misal bangsa maling dan rampok. Yang kedua yang berkedok purapura jadi orang
baik. Kaku kurasa temasuk orang yang kedua!” Wiro menggeleng.
“Dugaanmu
meleset. Aku buka orang jahat. Juga bukan orang baik. Saudari, kulihat kau
tidak begitu suka terhadapku. Lebih baik aku pergi saja. Maafkan kalau aku
telah mengganggu diri dan waktumu…..” Si gadis melirik pada uang logam yang
tadi diletakkan Wiro di atas batu.
“Sebelum
pergi harap kau ambil uang di atas batu itu. Paling tidak penambah bekalmu
dalam perjalanan……” Dari nada ucapan sang dara Wiro maklum kalau kata-kata itu
bukan menunjukkan rasa kebaikan, tapi bermaksud menghinanya. Maka diapun
menjawab
“Terima
kasih. Aku tidak butuh uangmu. Berikan saja pada pengemis. Mereka lebih
membutuhkan dariku….” Habis berkata begitu Wiro lantas melangkah pergi. Baru
saja dia hendak naik ke atas punggung kudanya, dari lereng bukit sebelah kiri
tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Wiro berpaling. Dia melihat empat lelaki
penunggang kuda mendatangi tempat dia dan si gadis berada dengan cepat. Sesaat
kemudian keempat orang ini sudah berada di depan gadis itu. keempatnya
mengenakan pakaian serba merah, membekal pedang dan golok. Mereka memandang
dengan curiga ke arah Wiro lalu berpaling pada si gadis dan serentak menjura
memberi penghormatan.
“Tidak
disangka bertemu dengan kawan segolongan di tempat ini. Apakah saudari berada
di sekitar sini dalam rangka persiapan pertemuan besar di puncak Bukit Batu
Merah…..?’ Gadis yang ditanya diam saja kemudian mengangkat bahu dan tak
beranjak dari tempatnya berdiri. Sebaliknya saat itu Wiro yang tadi hendak naik
ke kudanya kini melangkah ke dekat mata air, lalu duduk di atas batu di mana
masih terletak uang logam milik gadis berpakaian merah itu. Karena yang ditanya
tak menjawab, tentu saja keempat orang itu merasa tidak enak. Yang berkumis dan
berjanggut pendek berpaling ke arah Wiro. Saat itu Pendekar 212 tampak duduk di
atas batu sambil cengar-cengir dan menimang-nimang uang logam di tangan
kanannya.
“Saudari,
apakah pemuda berotak miring itu mengganggumu?” si kumis bertanya. Daru berbaju
merah melirik ke arah Wiro. Lalu tiba-tiba saja dia menjawab.
“Betul!
Dia sejak tadi menggangguku! Bahkan mengikuti perjalananku! Pemuda kurang ajar!
Sinting tak tahu diri!”
“Eh……!”
Wiro melengak kaget mendengar kata-kata si gadis. Sebaliknya si kumis berbaju
merah terdengar berkata.
“Kawan,
tak usah kawatir. Biar aku memberi pelajaran sopan santun pada pemuda geblek
itu. kau inginkan dia hanya disiksa atau langsung dibikin mati?!” Mendengar
kata-kata itu sang dara jelas tampak agak kaget. Tapi sesaat kemudian dia
menjawab
“Terserah
padamu dan kawan-kawan! Saat ini aku harus melanjutkan perjalanan!”
“Silahkan
melanjutkan perjalanan saudari. Kita akan berjumpa lagi di Bukit Batu Merah
pada hari kelima bulan kelima! Pemuda ini serahkan padaku dn temanteman.
Selamat jalan!” Gadis berbaju merah tertawa lebar. Dia berpaling pada Wiro.
Sambil melangkah ke kudanya dia berkata.
“Rasakan
olehmu sekarang! Itu akibat kalau suka mengintili perempuan! Habis awakmu!”
Sang dara lalu keluarkan suara tertawa dan melompat ke punggung kudanya lalu
menghambur tinggalkan tempat itu. Tinggal kini Pendekar 212 Wiro Sableng yang
saat ini tengah didatangi oleh lelaki berkumis dan berjanggut pendek. Orang ini
melangkah dengan muka galak dan tangan kanan terkepal!
******************
3
Pendekar
212 masih saja tenang-tenang duduk di atas batu sambil menimangnimang uang
logam dengn tangan kanannya. Merasa dianggap enteng amarah lelaki berkumis dan
berjanggut pendek menjadi menggelegak. Wuuuutttt! Kepalan tangan kanan yang keras
terdengar menderu mengeluarkan angin tanda jotosan yang dilakukan penuh marah
itu disertai kekuatan tenaga luar yang dahsyat. Tiga orang berpakaian serba
merah yang masih berada di atas kuda masingmasing tampak heran dan kaget ketika
melihat kawan mereka si kumis melintir ke kiri lalu sempoyongan hampir
terbanting ke tanah! Sementara itu pemuda yang tadi hendak dijotosnya tetap
saja duduk di atas batu sambil cengar-cengir dan masih menimang-nimang uang
logam!
“Keparat!
Kau berani mempermainkanku!” orang berkumis membentak marah sekali. Tiga
kawannya melompat dari atas kuda, langsung mengurung murid Sinto Gendeng. Apa
sebenarnya yang terjadi? Ketika si kumis melayangkan tinjunya untuk menghantam
muka Wiro, pendekar kita miringkan kepalanya sedikit hingga tinju orang lewaT
seujung kuku di pipi kanannya. Karena pukulan yang mengerahkan tenaga luar yang
keras itu tidak mengenai sasarannya, si kumis kehilangan keseimbangan oleh
dorongan kekuatannya sendiri. Akibatnya tubuhnya terhuyung deras hampir
terpelanting jatuh!
“Sangaji,
rupanya pemuda gila ini tidak tahu kita ini siapa! Beritahu saja agar dia tidak
bersikap lebih kurang ajar!” salah seorang kawan si kumis membuka mulut.
“Kau saja
yang memberi tahu Galut!” jawab si kumis sambil menggulung lengan baju merahnya
tanda dia siap untuk menghajar kembali si gondong di hadapannya. Orang yang
bernama Galut melangkah ke hadapan Wiro dan berkata
“Pemuda
gila! Kowe tahu tengah berhadapan dengan siapa kau saat ini? Kowe tahu siapa
kami ini? Dan kowe tahu siapa gadis yang tadi berani kau ganggu?!” Wiro
goleng-golengkan kepala lalu menyahut
“Siapa
kalian mana aku tahu! Dan aku tidak merasa mengganggu gadis tadi!” jawab Wiro
polos. Si kumis yang bernama Sangaji langsung melompat dan layangkan tinjunya.
Tapi kawannya Galut cepat menahan dan berkata pada Wiro dengan suara bergetar.
“Kami
adalah anggota-anggota Serikat Setan Merah! Gadis itu salah satu anggota kami!
Dan kau berani berlaku kurang ajar terhadap anak buah Serikat Setan Merah!
Sungguh berani mati!”
“Serikat
Setan Merah!” seru Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia belum pernah mendengar nama
perkumpulan itu. Namun di hadapan keempat orang yang tidak dikenalnya itu dia
menyahuti
“Nama
Serikat Setan Merah memang sudah lama kudengar! Tapi apakah kalian sadar tengah
berhadapan dengan siapa saat ini?!”
“Anjing
kurap!” teriak Sangaji marah besar.
“Katakan
siapa dirimu!” Wiro menyeringai. Dia memandangi keempat orang itu satu persatu.
Tangan kanannya masih menimang-nimang mata uang. Tiba-tiba mata uang itu
dilemparkannya tingg-tinggi ke udara. Lalu ketika mata uang mulai jatuh ke
bawah dia menengadahkan kepalanya. Uang logam tepat jatuh di mata kirinya.
Dengan tangan kirinya Wiro usap uang logam dan matanya. Ketika tangannya
diangkat uang logam itu telah lenyap dari atas mata kirinya.
“Uang
logam itu telah kubikin amblas ke dalam mata kiriku!” ujar Pendekar 212 lalu
tertawa gelak-gelak.
“Bangsat!
Kau kira bisa menipu kami?! Uang itu kau sembunyikan dalam genggaman tangan
kirimu!” salah seorang anggota Serikat Setan Merah berseru. Rupanya dia telah
memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Wiro. Wiro kembali tertawa
bergelak. Dia buka tangan kirinya yang tergenggam. Ternyata uang logam itu tak
ada dalam genggamannya.
“Pemuda
keparat! Jangan coba mengalihkan urusan dengan ilmu sulap picisan!” teriak
Sangaji. Wiro tersenyum lebar. Lalu berkata
“Kalian
kulihat begitu bagga menyebut diri sebagai anggota-anggota Serikat Setan Merah!
Ilmu kalian tentu tidak rendah. Tapi di mana uang logam itu berada kalian tak
mampu mengetahuinya. Sungguh memalukan! Berlagak punya nama besar tapi
sebenarnya goblok!”
“Kurang
ajar! Berani kau menghina kami!” teriak Galut.
“Sabar!
Jangan cepat naik darah sobat!” ujar Wiro.
“Uang
logam itu kini berada dalam saku baju kirimu Galut!” Meskipun sangat marah dan
tidak percaya tapi Galut mengeruk juga saku bajunya. Ketika tangannya meraba ke
dalam saku, astaga! Uang itu ternyata memang ada dalam saku itu dan perlahan-lahan
dikeluarkannya. Tiga orang kawannya tentu saja tampak terheran-heran. Tapi
Sangaji cepat berkata.
“Permainan
sulapmu cukup bagus! Tapi itu tidak membuat kami mengampuni segala kekurang
ajaranmu!” Habis berkata begitu Sangaji melompat untuk mengirimkan jotosan ke
arah jantung Wiro. Tapi lagi-lagi Galut mencegahnya.
“Orang
ini tak bakalan lolos dari tangan kita Sangaji. Biarkan dulu dia kita beri
kesempatan untuk menerangkan siapa dia adanya! Ayo gondrong! Lekas katakan
siapa dirimu!” Wiro masukkan uang logam ke saku pakaian lalu tegak berdiri
sambil letakkan kedua tangan di pinggang.
“Aku
adalah Ketua Serikat Setan Putih! Ketua Serikat Setan Merah adalah adik
seperguruanku! Nah, setelah tahu siapa aku, apakah masih berani berlaku kurang
ajar tidak mau segera berlutut minta ampun?!”
“Penipu
besar bermulut busuk! Siapa percaya omonganmu!” teriak Galut.
“Ketua
kami tidak pernah menerangkan kalau punya kakak seperguruan yang memimpin
Serikat Setan Putih! Galut! Mari kita ganyang pemuda sedeng ini!” Maka Sangaji
dan Galut langsung menyerbu Pendekar 212. Wiro sudah maklum kalau orang-orang
yang menyerangnya bukan saja memiliki tenaga luar yang hebat tapi juga membekal
tenaga dalam. Maka cepat-cepat dia menyingkir dengan melompat ke kiri. Begitu
turun kaki kanannya sengaja menginjak mata air hingga air muncrat dan dengan
deras memercik di muka Sangaji dan Galut. Wiro tertawa gelak-gelak.
“Pemuda
iblis! Aku bersumpah membunuhmu!” teriak Sangaji lalu dorongkan tangan kanannya
ke depan. Inilah tanda dia tengah melancarkan pukulan tangan kosong yang
mengandung tenaga dalam. Murid Sinto Gendeng cepat selamatkan diri sebelum
tubuhnya tersambar angin pukulan lawan. Namun saat itu dari samping serangan
Galut berupa jotosan datang menyusup dengan cepat ke bahu kiri Pendekar 212.
“Buukkkkk!
Pukulan
yang tanpa kekuatan tenaga dalam itu menghantam bahu Wiro dengan keras.
Pendekar 212 terjajar ke kanan. Sebaliknya saat itu terdengar pekik Galut.
Orang ini tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangan kanannya. Jari-jari
tangannya tampak gembung merah dan lecet sedang tulang pegelangan tangannya
lepas dari persendian. Tangan kanan Galut sebatas lengan ke bawah tampak
terguntaiguntai dan sakitnya yang bukan main membuat Galut mengeluh tinggi
berulang kali. Ketika Wiro terjajar ke kanan akibat pukulan Galut tadi,
kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Sangaji. Kedua tangannya di dorong ke
depan. Pelipis dan rahangnya menggembung.
“Kunyuk
ini mengerahkan seluruh tenaga dalamnya!” kata Wiro dalam hati. Diapun langsung
menyalurkan tenaga dalam dari perut ke tangan kanan lalu angkat telapak tangan
itu ke atas menyambuti serangan lawan. Dua angin menderu menghantam ke arah
Wiro tetapi tertahan begitu membentur serangkum angin yang keluar dari telapak
tangan Pendekar 212. Perlahanlahan Wio dorongkan telapak tangan kanannya ke
depan. Sangaji terkejut ketika merasakan ada satu kekuatan dahsyat laksana satu
tembok batu mendorong tubuhnya ke belakang. Dia coba bertahan dengan sekuat
tenaga tapi kedua lututnya menjadi goyah, tubuhnya bergetar dan dadanya
mendenyut sakit.
“Celaka!”
keluh Sangaji. Dia berseru keras lalu melompat setinggi dua tombak menghindari
gempuran kekuatan dahsyat yang seperti hendak merontokkan tulang belulangnya.
Dari atas Sangaji membuat gerakan menukik, tubuhnya berkelebat ke arah Wiro.
Saat itu di tangan kanannya sudah tergenggam sebilah golok. Senjata ini menderu
keras, membabat ke arah leher Pendekar 212! Serangan yang dilancarkan Sangaji
memang hebat dan bagus untuk disaksikan. Tubuhnya laksana seekor burung walet
menyambar mengsanya. Tapi kehebatan serangan ini tidak ditunjang oleh gerakan
yang cepat, padahal gerakan cepat adalah dasar kesempurnaan setiap jurus silat.
Golok menyambar di atas kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu senjata lawan
lewat kedua tangan Wiro melesat ke atas. Sangaji terkejut ketika disadarinya
pergelangan tangannya telah dicengkeram lawan namun tidak ada kesempatan
baginya untuk melepaskan diri. Tahu-tahu tubuhnya sudah dibetot keras ke
samping. Tak ampun lagi tubuh Sangaji terlempar sejauh beberapa tombak, begitu
jatuh ke tanah langsung berguling-guling! Dalam keadaan tubuh dan pakaian serta
muka babak belur Sangaji berusaha berdiri. Goloknya lepas mental entah kemana.
Dia berpaling pada kedua kawannya yang tegak terkesiap lalu berteriak marah.
“Kalian
menunggu sampai aku dan Galut mampus dulu baru membantu?!” Dua anggota Serikat
Setan Merah yang dibentak seekan tersadar. Keduanya segera menghunus senjata
masing-masing yakni golok dan pedang pendek lalu langsung menyerang Wiro. Satu
dari samping kanan, satunya dari sebelah kiri. Karena masih segar bugar belum
cidera serangan dua anggota Serikat Setan Merah ini tampak sebat dan berbahaya.
Wiro tak mau berlaku ayal. Dia segera berkelebat cepat untuk hindari diri.
Tubuhnya bergerak ke kiri, berpindah ke kanan, membalik dan tahu-tahu kaki
kanannya melesat menghantam dagu salah seorang penyerang. Tak ampun lagi orang
ini terpental, tergelimpang di tanah dalam keadaan pingsan dan mulut berdarah!
Kawannya yang satu lagi nampak panik tapi masih berusaha menyerbu dengan
menusukkan pedangnya ke perut Wiro. Pendekar 212 tendang siku penyerangnya
dengan kaki kiri. Terdengar suara berderak disertai jeritan setinggi langit.
Pedang pendek terlepas mental ke udara. Anggota Serikat Setan Merah mundur
menjauhi Wiro. Mukanya tampak mengerenyit pucat. Akhirnya dia tersandar pada
sebuah lamping batu sambil pegangi tangan kanannya yang patah!
Wiro
memandang berkeliling sambil bertolak pinggang.
“Serikat
Setan Merah!” katanya sambil mencibir.
“Dari
sikap dan tindak tanduk kalian aku tahu kalian bukanlah manusia-manusia dari
perkumpulan baikbaik! Hari ini aku hanya memberi pelajaran secukupnya. Tapi
lain kali jika kalian masih berani bertindak sewenang-wenang dengan
mengandalkan nama komplotan kalian, kalian akan kuhajar babak belur lalu
kutelanjangi hingga kalian bukan lagi sebagai Setan Merah tapi Setan
Telanjang!” Wiro mendengus lalu melangkah mendekati kudanya. Sebelum berlalu
masih sempat didengarkannya Sangaji berteriak.
“Pemuda
keparat! Kami tidak akan melupakan apa yang terjadi hari ini! kami akan
mencarimu untuk membuat perhitungan! Jangan harap kau akan bisa bernafas jika
bertemu kami sekali lagi!”
“Manusia
sombong! Urusi dulu muka dan pakaianmu yang compang camping berkelukuran
tanah!” sahut Wiro pula lalu gebrakkan kuda coklatnya dan tinggalkan tempat
itu. Sesaat setelah meninggalkan bukit dimana Wiro kini harus menghadapi empat
orang lelaki berseragam merah, dara penunggang kuda putih yang juga berpakaian
serba merah sebenarnya merasa heran. Mengapa rombongan empat orang itu begitu
menghormatinya, memanggil dirinya sebagai kawan segolongan lalu menyebutnyebut
pertemuan di Bukit Batu Merah tanggal lima bulan kelima. Apa arti semua ini?
dia menghubungkan pula dengan kejadian di rumah makan sebelumnya. Lalu ingat pada
pemuda gondrong berpakain putih itu . Siapa pula pemuda ini sebenarnya. Mengapa
dia mengikuti dirinya. Semua pertanyaan itu belum terjawab dan sulit akan
terjawab kalau dia tidak menyelidiki sendiri. Perlahan-lahan sang dara hentikan
kudanya. Dia berpikir-pikir beberapa ketika. Akhirnya dia putar kembali
tunggangannya itu dan memacunya menuju bebukitan dimana tadi dia berada. Dari
balik sebuah batu yang terlindung oleh semak belukar, gadis berbaju merah ini
memperhatikan apa yang terjadi. Semua yang berlangsung di situ disaksikannya
dengan terheran-heran. Terlebih-lebih ketika dilihatnya begaimana Wiro
memperhatikan keempat lelaki berseragam yang mengaku anggota-anggota Serikat
Merah lalu menghajar mereka satu demi satu!
“Pemuda
itu agaknya tidak berotak miring…..” membatin sang dara.
“Kepandaiannya
luar biasa. Ada keanehan pada dirinya. Mungkin dia sengaja menyembunyikan
kehebtan dirinya di balik sikap yang konyol seperti orang geblek begitu? Ah,
peduli apa aku dengan dirinya.” Akhirnya gadis ini memutar kudanya dan
tinggalkan tempat itu.
******************
4
Kuda
putih itu berlari kencang meninggalkan kepulan debu jalaan di belakangnya.
Bagaimanapun dara berpakaian merah itu tidak ingin mengingat-ingat apa yang
disaksikannya di bukit gundul tadi namun tetap saja apa yang terjadi terbayang
di pelupuk matanya. Sesekali dia tampak tersenyum ketika ingat bagaimana pemuda
berambut gondrong itu mempermainkan empat anggota Sereikat Setan Merah dengan
permainan uang logamnya.
“Ah, baru
tiga hari aku turun gunung, banyak keanehan yang kutemui di tengah jalan!”
berkata sang dara dalam hati. Dia mengusap leher kuda tunggangannya seraya
berkata.
“Ayo,
Putih, percepat larimu! Kita harus sampai di Solotigo sebelum matahari
terbenam!” Seakan mengerti ucapan penunggangnya kuda putih itu keluarkan suara
meringkik kecil lalu percepat larinya.
“Bagus!
Kau memang kuda yang baik!” memuji sang dara. Baru saja dia berkata begitu
tiba-tiba binatang tunggangannya meringkik panjang lalu hentikan lari sambil
angkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Jika saja sang dara tidak cepat
bergayut pada lehernya, pastilah dia akan jatuh terpelanting ke tanah.
“Tenang
Putih! Apa yang kau takutkan…..?!” ujar gadis berpakaian merah seraya
mengusap-usap leher kuda putihnya. Perlahan-lahan kudanya melangkah ke depan.
Di balik sebuah tikungan pada jalan yang akan dilalui sang dara, membelintang
sebuah pohonn besar. Untung saja kuda tunggangannya memiliki perasaan tajam
sehingga meskipun pohon itu berada di tikungan jalan yang belum kelihatan tapi
binatang ini telah mengetahui adanya bahaya dan langsung menghentikan larinya.
“Hemmmm…..
Ada yang sengaja menghadang perjalanan kita……” bisik sang dara pada kuda
putihnya. Lalu dia melompat turun. Baru saja sang dara menjejakkan kedua
kakinya di tanah dari balik semak belukar yang mengapit jalan tanah itu
tiba-tiba berlompatan enam orang yang tak satupun dikenal oleh si gadis. Orang
pertama seorang kakek berpakain compang-camping, berambut kotor acak-acakan. Di
tangan kanannya dia memegang sebatang tongkat yang terbuat dari sejenis akar
pohon. Berbeda dengan keadaan si kakek, lima orang lain yang mengurung tempat
itu adalah empat orang pemuda dan seorang pemudi. Mereka semua mengenakan
pakaian biru muda dan rata-rata bertampang gagah sedang si gadis yang memakai
baju biru tua, memiliki wajah jelita berkulit putih mulus. Si kakek berbaju
compang camping menuh tambalan tertawa mengekeh tapi di balik tawanya itu jelas
dia menyimpan satu kemarahan besar karena sepasang matanya tampak
berkilat-kilat.
“Anak-anak,
akhirnya kita temui juga salah seorang dari mereka!” berkata si kakek.
“Lekas
kalian ringkus dia kemudian kita tanyai!”
“Dan jika
dia tidak mau memberitahu dimana Griyati berada, habisi saja nyawanya!” Yang
menimpali kata-kata si kakek adalah dara berbaju biru tua. Lalu empat pemuda
dan satu gadis yang melakukan pengurungan itu tanpa menunggu lebih lama segera
menyerbu dara berbaju merah.
“Tunggu!”
si baju merah berseru.
“Apa-apaan
ini?! Aku tidak kenal kalian. Mengapa hendak meringkus diriku?!”
“Si kakek
tertawa lalu mendengus.
“Tiga
hari lalu kalian orang-orang Serikat Setan Merah menyerbu tempat kediaman kami
karena kami tidak mau bergabung dengan kalian! Lalu kalian membunuh beberapa
anak muridku! Juga menculik Griyati, muridku paling muda dan paling kami
sayangi! Kini kami bisa menghadangmu, apakah kami akan menyia-nyiakan
kesempatan?! Kau dengar sendiri! Jika kau tidak memberitahu di mana Griyati
berada, apalagi kalau sampai gadis itu mengalami cidera, kaupun akan kami
cincang sebagai pembalasan dan kepalamu kami pancangkan di tengah pasar di
Solotigo agar semua anggota Serikat Setan Merah mengetahui dan tidak berani
lagi melakukan kejahatan seenak perutnya!”
“Orang
tua, aku kasihan pada dirimu!” kata dara berpakaian merah sambil gelengkan
kepala.
“Tapi kau
dan murid-muridmu salah sangka. Aku bukan anggota Serikat Setan Merah. Aku juga
tidak tahu di mana muridmu bernama Griyati itu berada!” Lima murid orang tua
berpakaian compang-camping mendengus dan unjukkan muka berang. Si kakek sendiri
tertawa perlahan.
“Biasa
begitu,” katanya.
“Setelah
terkurung dan tak bisa lolos, seseorang selalu berusaha mencari jalan
menyelamatkan diri dengan mengatakan seribu kebohongan!”
“Terserah
pada kalian untuk percaya atau tidak! Aku sudah bilang aku bukan anggota segala
macam Serikat Setan atau Serikat Iblis. Aku tidak tahu di mana murid
perempuanmu berada! Sekarang beri jalan. Orang tua harap kau perintahkan
muridmuridmu menyeret pohon itu ke tepi agar aku bisa lewat!”
“Gadis
setan!” teriak dara berbaju biru tua. Dia mendahului keempat saudara
seperguruannya menyerang si baju merah. Perkelahian satu lawan lima tidak
terhindarkan lagi. Dalam waktu singkat si baju merah segera terdesak hebat.
Tapi gadis itu tampak tenang sekali. Penuh percaya diri dia hadapi kelima
pengeroyoknya dengna tabah. Gerakannya tampak lembut. Tapi di balik kelembutan
itu terdapat satu kekuatan yang dahsyat. Dan kelembutan itu sendiri bisa
berubah secara tiba-tiba menjadi gerakan yang sangat cepat serta tidak terduga.
Setelah lebih dari enam jurus didesak habis-habisan, si baju merah keluarkan
seruan nyaring. Tubuhnya berkelebat seperti lenyap. Kini hanya bayangan pakaian
merahnya saja yang tampak bergerak kian kemari. Kakek bertongkat akar pohon
terkesiap ketika dia mendengar salah seorang muridnya keluarkan jerit kesakitan
lalu tampak tubuhnya terhuyung sambil pegangi perut. Tendangan dara berbaju
merah rupanya telah menghantam perutnya hingga dia terpaksa keluar dari
kalangan perkelahian dan duduk di tepi jalan menahan sakit. Si kakek cepat
mendatangi untuk menolong muridnya yang cidera itu tapi gerakannya tertahan
ketika sekali lagi dia mendengar jeritan muridnya. Belum sempat dia berpaling
memutar kepala, satu sosok tubuh mencelat ke arahnya, lalu tergelimpang di
tanah sambil mengerang kesakitan. Mata kiri murid kedua yang jadi korban tampak
bengkak merah. Mau tak mau orang tua itu jadi tercekat dan memandang ke arah
kelanagan perkelahian. Kalau tadi si baju merah kena didesak hebat maka kini di
mana dia hanya menghadapi tiga orang pengeroyok, serangan-serangan balasannya
tidak tertahankan lagi. Korban ketiga adalah murid perempuan si kakek. Si baju
merah berhasil menjambak rambutnya hingga sanggulnya terlepas. Bagitu rambut
gadis ini tergerai, si baju merah menariknya kuat-kuat lalu membantingkannya ke
tanah. Dara berbaju biru tua terpekik kesakitan. Masih untung dia sanggup
mengimbangi tubuh hingga tidak jatuh punggung ke tanah. Degnan rambut masih
terurai, penuh amarah gadis ini kembali melompat untuk menyerbu!
“Sarti!”
seru si kakek.
“Mundurlah.
Tolong dua saudaramu yang cidera!” lalu sambil melangkah terbungkuk-bungkuk
orang tua ini mendekati kelangan perkelahian. Kembali dia berseru.
“Kalian
berdua juga mundur! Biar aku yang menghadapi gadis binal ini!” Dua murid si
kakek yang masih berusaha menghadapi si baju merah dengan muka merah karena
malu cepat-cepat melompat mundur. Salah seorang dari mereka masih sempat
menjura dan berkata.
“Guru,
maafkan kami tidak bisa meringkusnya!”
“Sudah,
menjauh sana! Apa sih sulitnya meringkus tikus bau pesing seperti gadis
ini…..?!” ujar si kakek pula. Mendengar dirinya disebut “gadis binal” lalu
“tikus bau pesing” dara berbaju merah menjadi marah dan balas mendamprat.
“Tua
bangka bau tahi kuda! Majulah lebih dekat biar kusumpal mulutmu yang lancang
itu dengan kepalan!” Si kakek tertawa pendek. Tanpa bilang apa-apa lagi dia langsung
putar tongkatnya. Gerakannya biasa-biasa saja. Tapi tahu-tahu ujung tongkat
telah menusuk ke arah tengorakannya. Si gadis sampai keluarkan pekikan kaget
dan buru-buru melompat mundur. Tapi tongkat si kakek kembali memburunya. Setiap
kali dia melompat atau membuat gerakan mengelak. Ujung tongkat itu selalu
bergerak menghadangnya. Begitu kejadian terus menerus hingga lama-lama si gadis
menjadi kewalahan! Selagi keadaan si baju merah terdesak seperti iu tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa di atas pohon. Yang tengah berkelahi tentu saja
tidak berani palingkan kepala. Tapi empat murid si kakek serentak berpaling dan
mendongak ke tas sebuah pohon. Di atas sebatang cabang yang tingginya sekitar
tiga tombak dari tanah, tampak duduk seorang pemuda berpakaian putih
tertawa-tawa sambil menggeragoti sebatang tebu.
“Perkelahian
seru!” ujar pemuda di atas pohon.
“Kucing
tua melawan cerurut merah! Ha……ha……ha! Tentu saja kucing tua yang bakal menang!
Tapi kalau cerurut merah mau pakai akal, pasti kucing tua itu bisa dibuat tak
berdaya! Ha…..ha……ha…….!” Kakek tua itu marah sekali dirinya disebut sebagai
kucing tua. Begitu juga sang dara baju merah yang dikatakan sebagai cerurut
merah. Empat murid si kakek memandang melotot penuh marah pada pemuda di atas
pohon tapi mereka tidak berani melakukan sesuatu selagi guru mereka terlihat
berkelahi dengna gadis berbaju merah itu. Karena ingin menyelesaikan
perkelahian dengan cepat lalu memberi pelajaran pada orang yang menyebutnya
kucing tua, si kakek putar tongkat akarnya dengan cepat. Kini makin terdesaklah
si baju merah.
“Hai!
Tidak juga kau pergunakan akalmu cerurut merah! Atau kau memang sudah kehabisan
akal! Kalau begitu biar aku memberikan petunjuk!” terdengar pemuda di atas
pohon berucap.
“Cerurut
merah, lekas kau masuk ke balik semak belukar di tepi jalan di belakangmu!
Tongkat butut kucing tua itu pasti tak akan banyak gunanya dan kau akan lebih
leluasa menghadapinya!” Meskipun tidak suka diperintah orang, namun petunjuk
yang diterima dalam keadaan terdesak begitu rupa mau tak mau diikuti juga oleh
si gadis berbaju merah. Dia melompat ke balik semak belukar. Si kakek memburu.
Tapi seperti yang dikatakan orang di atas pohon di dalam semak belukar yang
lebat begitu rupa tongkat di tangan orang tua itu tidak bisa berbuat banyak.
Setiap dia hendak memukul atau membabat, rerantingan dan semak belukar
menghalangi gerakan tongkatnya. Jika dia coba menusuk. Lengan dan tangan
pakaiannya tertahan oleh semak-semak!
“Kurang
ajar! Siapa yang berani ikut campur urusan orang?!” bentak si kakek marah. Dia
berpaling ke arah pohon di belakangnya. Begitu melihat pemuda yang duduk di
cabang pohon sambil mengunyah-ngunyah tabu orang tua ini menjadi sangat
jengkel.
“Pemuda
lancang! Kau tetap di situ! Jangan lari! Setelah gadis ini kuringkus, giliranmu
akan kugebuk kuberi pelajaran!” Pemuda di atas pohon tertawa.
“Orang
tua!” serunya membalas.
“Mengapa
berlaku tolol! Dara itu bilang dia bukan anggota Serikat Setan Merah! Juga
tidak tahu di mana muridmu bernama Griyati itu berada! Mengapa masih ingin
meringkusnya? Eh….. jangan-jangan kau punya maksud lain! Kau naksir pada gadis
itu ya? Ha….ha…..ha! Tua bangka tak tahu diri. Seharusnya kau berkaca dulu
sebelum punya pikiran seperti itu!”
“Mulutmu
kotor! Aku bersumpah akan merobek mulutmu itu! Jangan lari! Aku akan selesaikan
urusanku dengan gadis ini!” teriak si kakek.
“Biar
kami yang menghajar pemuda lancang bermulut keji itu, guru!” kata salah seorang
murid si kakek.
“Tidak,
kau dan saudara-saudaramu awasi saja dia jangan sampai lari! Nanti aku sendiri
yang akan menghajarnya!” Sebenarnya si kakek itu sudah maklum siapapun adanya
pemuda di atas pohon itu, kalau kehadirannya tidak seorangpun sempat mengetahui
sebelumnya, pastilah dia memiliki kepandaian tinggi. Karena ada rasa kawatir
dalam hatinya, itulah sebabnya si kakek memperingati kelima muridnya untuk
tidak bertindak mendahului. Ketika tadi si kakek berpaling dan bicara dengan
pemuda di atas pohon, kesempatan ini dipergunakan pula oleh dara berbaju merah
untuk melirik ke atas pohon.
“Ah, dia
rupanya!” kata sang dara dalam hati ketika mengenali siapa adanya orang di atas
pohon. Pemuda itu bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang sebelumnya
ditemuinya di kedai dan beberapa waktu lalu dijebaknya hingga harus menghadapi
empat orang anggota-anggota Serikat Merah! Si kakek berpaling kembali kepada
dara baju merah yang berada di balik semak belukar. Rahangnya mengembung.
“Apa kau
kira akan bisa berlindung terus di balik semak belukar hah?!” kertaknya.
“Kakek
bau! Kau tak bakal menang menghadapiku! Bagaimana kalau kau melayani dulu
kacungku yang di atas pohon sana! Kalau kau bisa mengalahkannya maka aku akan
menyerahkan diri tanpa perlawanan padamu!”
“Gadis
edan!” maki Wiro dengan suara tertahan dan melengak jengkel.
“Enak
saja dia menyebutku kacungnya! Lagi-lagi dia hendak pergunakan otak liciknya!
Sebelumnya aku dijebak hingga harus berkelahi dengan empat lelaki berpakaian
serba merah itu! Kini dia hendak mengadu aku dengan kakek berpakain compang
camping itu! Sungguh cerdik!”
“Hemm……
jadi monyet gondrong di atas pohon itu adalah kacungmu ya…..?!” kakek
bertongkat akar pohon manggut-manggut.
“Aku
lebih suka menggebuk tuannya lebih dulu, urusan dengan kacungmu itu biar
kuselesaikan nanti!” Habis berkata begitu si kakek selipkan tongkatnya di
ketiak kiri lalu dia membungkuk. Apa yang dilakukan orang tua itu sungguh luar
biasa! Dengan kedua tangannya dalam gerakan yang cepat dia mencabuti semak
belukar yang ada di tempat itu hingga dalam waktu singkat semak belukar yang tadi
menjadi perlindungan bagi sang dara kini rambas dan tempat itu jadi terbuka.
Dalam marahnya rupanya si kakek merasa tak ada jalan lain untuk dapat mencapai
dan megnalahkan si gadis selain harus merambas semak belukar yang ada di
sekitar situ.
“Ha….ha…..ha!
Cerurut merah! Kemana kau hendak sembunyi sekarang?!” kekeh si kakek lalu
tangan kanannya bergerak dan tongkat akar kayunya kembali berkiblat. Kali ini
tampaknya dia tidak mau membuang waktu lagi karena serangan tongkatnya bukan
saja cepat luar biasa tapi gerakan yang dibuatnya merupakan gerakan-gerakan
ganas mematikan. Rupanya orang tua ini tidak perduli apakah dia bisa meringkus
sang dara dalam keadaan hidup atau mati! Beberapa kali terdengar dara berbaju
merah keluarkan suara pekikan karena tongkat lawan hampir menusuk tubuh atau
memukul kepalanya. Serangan tongkat yang laksana curahan mati-matian. Breetttt!
Bahu pakaian sang dara robek. Kulit bahunya tergaris perih. Gadis ini meringis
kesakitan. Tiba-tiba dia keluarkan keritan keras dan pukulkan tangan kanannya
ke arah lawan. Serangkum sinar kelabu menggebubu, membuat si kakek kaget sekali
dan buru-buru menyingkir. Sinar kelabu lewat di depan dadanya yang menebar hawa
dingin. Kakek berpakaian compang camping itu kiblatkan tongkat kayunya ke atas.
Tongkat itu tergetar keras tapi sinar kelabu langsung musnah. Di saat yang sama
ujung tongkat menyambar deras dan cepat ke arah tonggorakan si baju merah.
Serangan tongkat lawan sekali ini sama sekali tidak terduga oleh sang dara baju
merah. Tapi dia menyangka bahwa pukulan tangan kosongnya yang mengandung aji
kesaktian yang selama ini selalu menjadi andalannya pasti akan membuat lawan
roboh, paling tidak mental dan menderita cidera berat. Tapi pukulan bernama
“awan kelabu” itu ternyata mampu dielakkan si kakek. Tercekat oleh kegagalan
pukulan saktinya, sang dara jadi bertindak lengah. Dan dalam kelengahan yang
hanya sepersekian kejapan mata itulah ujung tongkat lawan menusuk ke arah
lehernya tanpa dia mempunyai kesempatan untuk berkelit ataupun menangkis!
“Cerurut
merah! Mengapa tusukan tongkat butut begitu saja kau tak sanggup
mengelakkan……?!” terdengar suara Pendekar 212 dari atas pohon. Lalu sebuah
benda sepanjang dua jengkal melesat ke bawah, menghantam ujung tongkat di
tangan si kakek. Traak! Benda yang menghanam tongkat kayu itu patah dua dan
ternyata adalah batangan tebu. Tongkat di tangan si kakek sendiri tergetar
keras dan si orang tua sempat terjajar satu langkah. Telapak tangannya terasa
panas. Terkejut dan marah si baju compang camping ini bukan kepalang. Terkejut
karena menyadari lemparan batang tebu itu bukanlah lemparan biasa dan yang
melemparkannya jelas adalah pemuda di atas pohon sana. Marah karena ujung
tongkatnya yang seharusnya akan menusuk paling tidak merobek daging leher dara
berbaju merah akibat lemparan tebu tadi jadi meleset sampai tiga jengkal!
“Setan
alas” teriak orang tua itu sementara si baju merah cepat melompar mundur dengan
wajah pucat! Saat itu dia punya kesempatan untuk melompat ke punggung kuda
putihnya dan tinggalkan tempat itu. Namun hal itu tidak dilakukannya karena dia
ingin melihat apa yang kini bakal terjadi antara si kakek dengan si gondrong.
******************
5
Didahului
oleh suara menggembor keras seperti harimau terluka kakek berpakaian compang
camping melompat ke atas cabang di mana Pendekar 212 duduk berjuntai. Tubuhnya
laksana terbang. Tongkat akar kayu di tangan kanannya berputar laksana titiran,
mengeluarkan angin deras sekali hingga daun-daun pohon rontok berjatuhan. Jelas
kakek ini menggerakkan tongkatnya disertai tenaga dalam penuh.
Trak….trak….traaakkkk! Cabang pohon yang diduduki Wiro patah berkeping-keping.
Tapi si kakek terdengar berseru kaget. Yang diharapkannya ialah patah tulang
belulang si pemuda berambut gondrong tapi yang dihantamnya ternyata hanyalah
cabang pohon . Kemana pemuda itu lenyapnya?! Sebenarnya, ketika orang tua itu
melesat ke cabang pohon , Pendekar 212 sendiri justru membuat gerakan
menjatuhkan diri ke bawah, berjungkir balik di udara lalu melompat ke tanah dan
turun tepat di samping dara berbaju merah! Dan dasar konyolnya murid Sinto
Gendeng ini, ketika melompat turun dia tidak hanya sekedar melompat saja, tapi
tangan kanannya secara jahil menarik celana si kakek ke bawah. Celakanya yang
punya diri tidak menyadari apa yang terjadi. Begitu mendapatkan Wiro tak ada
lagi di atas pohon, dia langsung melompat turun dan ketika tegak di tanah
celananya masih dalam keadaan melorot ke bawah hingga tentu saja anggota
tubuhnya yang paling rahasia terpampang dengan jelas.
“Guru!”
tiga orang anak murid si orang tua berseru hampir berbaregan sementara Sarti si
murid perempuan berpaling dengan muka jengah! Di lain pihak, begitu melompat ke
samping si baju merah Wiro tertawa lebar dan menjura seraya menegur
“Saudari,
kita berjumpa lagi. Apa kabarmu saat ini…..?” Kalau sebelumnya sang dara memang
tidak menyukai Wiro, kini setelah dirinya diselamatkan dari serangan maut tadi
mau tak mau sikapnya jadi berubah. Apalagi dilihatnya tingkah laku dan segala
perbuatan si pemuda yang konyol itu membuat tertawa geli dalam hati.
“Aku baik-baik
saja, saudara!” si gadis menjawab.
“Terima
kasih kau telah menyelamatkan diriku!” Wiro kembali tersenyum lebar. Sambil
garuk-garuk kepalanya dia berkata
“Saudari,
omong-omong apa kau ada melihat seekor burung gagak kesasar di sekitar
sini……?!” Si baju merah sebenarnya sudah tahu apa yang terjadi yaitu apa yang
dilakukan oleh Wiro terhadap kakek berpakaian rombeng. Jika saat itu bukan
tengah menghadapi perkelahian mungkin dia sudah tertawa terpingkal-pingkal.
Sambil melengos dari pemandangan menusuk mata di hadapannya dia menjawab.
“Tak ada
kulihat burung gagak kesasar di sekitar sini saudara. Yang kulihat hanya seekor
burung hantu!” Mendengar ucapan si gadis Wiro tertawa gelak-gealk. Sang dara
baju merahpun tak dapat menahan tawanya lalu ikut tertawa terpingkal-pingkal.
Kudanya tertawa sampai mengeluarkan air mata. Karena orang tua itu masih belum
juga sadar apa yang terjadi atas dirinya maka salah seorang muridnya melompat
ke hadapan gurunya dan menunjuk ke bawah. Ketika orang tua itu menoleh ke arah
yang ditunjuk pada tubuhnya di bawah perut, barulah dia sadar apa yang terjadi!
““Bangsat
rendah! Manusia kurang ajar! Penghinaan ini harus kau balas dengan nyawa
busukmu!” teriak kakek itu marah. Cepat-cepat dia tarik celananya ke atas lalu
melompat ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Lima orang muridnya yang merasa
terhina oleh perlakuan itu ikut menyerbu. Salah seorang dari mereka berkelebat
sambil berteriak
“Guru!
Izinkan kami menghancurkan tulang belulangnya!” Kalau sebelumnya si orang tua
melarang murid-muridnya untuk ikut campur, kini dalam kemarahannya yang meluap
dan rasa malu yang amat sangat dia tidak perdulikan lagi. Makin cepat dia bisa
menghajar si gondrong kurang ajar itu makin puas hatinya! Maka enam orang
disaat yang sama serentak menyerbu Pendekar 212 Wiro Sableng. Gerakan enam
penyerang itu sebat sekali. Entah kapan murid-murid orang tua itu mengeluarkan
senjata masing-masing, tahu-tahu Wiro melihat enam buah bayangan tongkat
berkiblat ke arahnya, menggebuk dan menusuk ke arah enam bagian tubuh, dua
diantaranya menyambar ke arah kepala! Melihat serangan yang bukan main-main
ini, Pendekar 212 yang tadi masih cengar cengir, kini cepat bergerak. Sebelum
dia sempat melakukan sesuatu dari samping terdengar bentakan perempuan.
“Manusia-manusia
curang! Beraninya kalian main keroyok! Jaga kepala kalian!” Bersamaan dengan
itu satu bayangan merah menyambar dari arah kanan sedang dari samping kiri
menderu sinar abu-abu menebar hawa dingin. Melirik ke samping Wiro saksikan
bahwa yang membentak bukan lain adalah dara berbaju merah jelita itu. Di tangan
kanannya dia memegang secarik kain merah yang tadinya merupakan kain ikat
kepalanya. Dengan kain inilah dia memapasi serangan enam tongkat sedang dalam
waktu yang bersamaan tangan kirinya ikut bekerja melepaskan pukulan sakti
bernama “awan kelabu” Dua orang pemuda yang berada di jurusan sambaran pukulan
sakti sang dara cepat menghindar. Berarti dua pengeroyok tak dapat meneruskan
serangannya. Ujung kain merah di tangan sang dara berkelebat menyambar ke arah
kepala empat pengeroyok lainnya. Tak…..tak…..tak…..tak! terdengar suara
berdetak empat kali berturut-turut ketika ujung kain beradu dengan ujung
tongkat kayu di tangan lawan. Lalu menyusul suara kain robek. Kemudian suara
seruan tertahan dara berbaju merah. Di saat yang bersamaan terdengar pula
keluhan salah seorang penyerang. Wiro melihat semua yang terjadi dengan cepat.
Dua ujung tongkat kayu murid kakek berpakaian compang camping tampak hancur.
Murid ketiga kelihatan terhuyung mundur sambil pegangi keningnya yang
mengucurkan darah akibat hantaman ujung kain merah. Orang ini adalah yang
sebelumnya sudah babak belur mata kirinya kena jotosan. Tapi sang dara sendiri
tidak berada dalam keadaan menguntungkan. Malah keadaan kini berbalik membahayakan
dirinya. Dua ujung tongkat, satu milik si kakek dan satunya milik muridnya
berhasil menjepit ujung kain merah yang jadi senjata dara berbaju merah. Ketika
dua tongkat itu sama ditarik dengan keras, bukan saja kain merah menjadi robek,
tapi tersentak lepas dari tangan pemiliknya. Tubuhnya terhuyung beberapa
langkah. Selagi dara baju merah terkesiap kaget sambil imbangi tubuh, tiga
tongkat kayu datang menghantam. Sang dara masih bisa berkelit dari serangan
tongkat di sebelah kanan, tapi yang datang dari depan yaitu tusukan tongkat si
kakek dan yang menggeprak dari samping kiri tak kuasa dihindarinya. Dalam waktu
sekejap saja perutnya akan tertambus tusukan tongkat yang datang dari depan
sedang tongkat yang meyambar dari samping kiri sudah dapat dipastikan akan
menggebuk hancur pangkal bahunya!
Dalam
keadaan yang sangat berbahaya itu tiba-tiba menderu suara seperti tawon
mengamuk disertai berkiblatnya sinar putih menyilaukan dan menghamparnya hawa
panas! Si kakek masih sanggup untuk menahan teriakan kekagetan, tapi wajahnya
yang pucat tak dapat disembunyikan. Dia melompat mundur sambil melotot pandangi
tongkat akar kayunya yang kini hanya tinggal kutungan sepanjang dua jengkal.
Tangannya sendiri terasa seperti kesemutan dan ada hawa panas aneh yang membuat
persendian tangan kanan itu seperti kaku. Cepat-cepat dia menekan beberapa
bagian tangannya seraya kerahkan tenaga dalam. Di samping kirinya dilihatnya
salah seorang muridnya terkapar jatuh di tanah dengan muka seputih kertas.
Tongkatnya patah dua dan mentak entah kemana. Dara berbaju merah yang tadi
merasakan seperti sudah copot jantungnya, kini menjadi lega begitu menyadari
dirinya baru saja lolos dari bahaya maut walau tengkuknya terasa dingin.
Memandang ke depan kakek dan murid-muridnya melihat pemuda gondrong berpakaian
putih itu tegak dengan kaki terkembang dan kedua tangan bersilang di depan
dada. Tangan yang kanan memegang sebuah senjata berupa kapak bermata dua yang
memancarkan sinar menyilaukan. Pada masing-masin mata kapak jelas kelihatan tertera
tiga rangkaian angka yaitu angka 212.
“Apakah
benar aku berhadapan dengan orang yang menyandang gelar Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212……?” terdengar si kakek berucap seolah-olah tidak percaya. Lima
muridnya, dua diantaranya yang mengalami cidera tampak terkejut mendengar
kata-kata guru mereka, memandang dengan mata besar ke arah Wiro. Seperti juga
sang guru mereka sama-sama tidak mempercayai kalau pemuda gondrong di hadapan
mereka itu adalah Pendear 212 Wiro Sableng. Wiro menyeringai.
“Aku
dilahirkan hanya membawa nama. Soal segala macam gelar itu adalah urusan
orang-orang persilatan yang tolol!” berucap murid Sinto Gendeng itu.
“Hemmmmm……
kau betul pendekar. Orang-orang rimba persilatan terkadang bersifat tolol! Satu
di antaranya adalah kau sendiri!”
“Siapa
menyangka, pendekar yang selama ini punya nama besar dan dikenal sebagai tokoh
dari golongan putih, pembela kebenaran penegak keadilan, penolong orang-orang
yang lemah dan tertindas, tahu-tahu kini kulihat berkomplot dengan orang-orang
Serikat Setan Merah!” menjawab si kakek dengan rahang menggembung dan mata
membeliak. Wiro tertawa gelak-gelak lalu berkata.
“Aku
tidak munafik mengakui diriku memang tolol. Tapi kupikir kau jauh lebih tolol.
Juga lima muridmu yang tidak mau mempergunakan akal dan pikiran hingga mau
ikut-ikutan jadi orang tolol seperti gurunya!” Lima murid si orang tua tampak
jadi beringas tapi mereka tak berani bergerak ataupun melakukan sesuatu.
“Gadis
sahabatku ini sudah mengatakan sejujurnya bahwa dia bukan anggota Serikat Setan
Merah, tapi kau dan muridmuridmu tetap saja menuduhnya sebagai anggota
komplotan itu! Lalu menyerangnya, mengeroyok! Ingin membunuhnya! Juga hendak
membunuhku! Apa itu tidak tolol?! Apakah kau bisa membuktikan bahwa dia memang
anggota Serikat Setan Merah itu…….?”
“Dia
mengenakan pakaian dan ikat kepala seeba merah. Seragam setiap anggota Serikat
Setan Merah!” Wiro berpaling pada dara berbaju merah di sampingnya lalu
geleng-gelengkan kepala. Ketika dia menggeser kedua kakinya dan menggerakkan
tangan kanan yang memegang kapak, si kakek dan murid-muridnya bergerak mundur
menajuhi seolaholah bersiap-siap menjaga segala kemungkinan.
“Orang
tua, harap maafkan diriku kalau aku bilang ucapanmu tadi jelas-jelas
menunjukkan kebodohanmu! Jika ada kambing atau anjing diberi pakaian serba
merah, menurut jalan pikiranmu yang tolol itu tentu kau akan menuduh
binatangbinatang itu sebagai anggota Serikat Setan Merah…….!” Paras si kakek
tampak mejadi merah di tempelak ucapan Wiro tadi. Dia berpaling pada kelima
muridnya lalu berkata.
“Mari
kita tinggalkan tempat ini…..” lalu pada Wiro dia berkata.
“Apa yang
terjadi hari ini akan kusampaikan pada pertemuan para tokoh silat golongan
putih bulan dua belas yang akan datang! Kau tak bakal bisa lari dari hukuman
yang bakal dijatuhkan, pendekar sesat!”
“Tunggu
dulu!” seru Wiro ketika si kakek dan murid-muridnya hendak berlalu.
“Aku dan
sahabatku ini tidak mengetahui apa dan siapa adanya Serikat Setan Merah itu.
dapatkan kau memberi penjelasan……?!”
“Jangan
pura-pura tidak tahu!” bentak gadis bebraju biru tua bernama Sarti. Tapi sang
guru cepat menimpali.
“Ada
baiknya kuterangkan padamu anak muda! Serikat Setan Merah merupakan komplotan
pemeras dan penganiaya rakyat. Mereka merampok dan membunuh siapa saja yang
tidak mau menyerahkan uang atau harta sesuai dengan aturan yang mereka buat!
Lebih keji dari itu mereka menculik istri dan anak gadis orang! Komplotan
biadab ini baru muncul beberapa bulan saja! Tapi kejahatan dan angkara murka
yang mereka lakukan telah lewat takaran! Selangit tembus!”
“Dan
komplotan itulah yang hendak kau lindungi! Pendekar macam apa kau!” ikut
membentak murid perempuan si kakek dengan wajah beringas.
“Nama
besarmu yang selama ini disegani di delapan penjuru angin ternyata tidak lebih
dari seorang pendekar busuk! Kau menjadi kaki tangan komplotan yang membunuh
saudarasaudara seperguruanku! Kau berkomplot degnan manusia-manusia laknat yang
menculik Griyati, saudara seperguruanku! Sungguh rendah sekali perbuatanmu!”
Wiro menyeringai dan kedipkan mata kirinya pada si baju biru lalu berkata
“Murid
dan guru sama saja tololnya!” gerendeng sang pendekar.
“Hai!”
tiba-tiba dara berbaju merah berkata
“Jika
kalian masih penasaran silahkan datang ke Bukit Batu Merah pada hari kelima
bulan kelima. Di situ akan diadakan pertemuan rahasia para anggota Serikat
Setan Merah. Kalian akan melihat apakah kami ini memang orang-orang yang kalian
tuduhkan itu!” Murid perempuan si kakek tampak mencibir, lalu dia menarik
lengan gurunya. Bersama empat murid lainnya mereka bergerak tinggalkan tempat itu.
“Sebelum
pergi, harap kau suka memberitahu siapa dirimu adanya, orang tua!” berkata
Wiro. Meski sangat marah dan dendam besar, kakek berpakaian compang camping
menjawab juga.
“Aku tua
bangka buruk ini adalah Pengemis Budiman…..!” Wiro Sableng terkejut
“Jadi
kau! Ah…….” Murid Sinto Gendeng tidak sempat meneruskan kata-katanya karena si
orang tua dan lima muridnya sudah meninggalkan tempat itu.
“Kau
kenal orang tua itu?” bertanya dara baju merah.
“Tidak,”
wahut Wiro sambil menggeleng.
“Tapi
saudara tuanya aku kenal baik. Dia seorang bergelar Si Segala Tahu. Kalau
pengemis tua itu sempat mengadukan tindak-tandukku, pati bisa terjadi kesalah
pahaman…..” Wiro berpaling pada dara jelita ini.
“Tadi kau
menyuruh mereka pergi ke bukit Batu Merah, apakah kau juga berniat pergi ke
sana…..?”
Yang
ditanya mengangguk.
“Aku
merasa ada baiknya melakukan penyelidikan. Bagaimana caranya itu urusan
nani…..”
“Aku juga
berminat melakukan hal itu,” kata Wiro pula.
“Namun
untuk sementara kurasa kau perlu mengganti pakaian merahmu agar tidak
menimbulkan urusan baru!”
“Itu soal
mudah! Aku memang membekal sehelai pakaian warna kuning…..”
“Sekarang
kemanakah tujuanmu?” tanya Wiro.
“Solotigo,”
jawab sang dara.
“Apa kau
bermaksud hendak mengikutiku lagi….” Wiro tersenyum lebar.
“Aku
berjanji tidak akan menguntit kemana kau pergi. Asal kau mau memberitau namamu”
“Panggil
aku Kemala…..” jawa sang dara.
“Kemala……”
mengulang Wiro.
“Namamu
bagus….. Sebagus orangnya.” Saat itu sang dara berbaju merah sudah melompat ke
atas kuda putihnya. Wiro tak mau tertinggal, cepat-cepat dia melompat ke
punggung uda coklatnya dan mengejar Kemala.
******************
6
Saat itu
matahari telah condong ke barat. Kemala memacu kuda utihnya menuju bukit kecil
di sebelah timur. Gadis ini tahu bahwa di balik bukit itu terdaat sebuah
sungai. Dan sepanjang sungai pada kaki bukit terletak desa Kalimukus yang
terkenal sebagai desa subur. Penduduknya hidup dari mata pencaharian bercocok
tanam, memelihara tambak ikan serta beternak. Kira-kira setangah hari
perjalanan dari desa itu, ke arah barat terletak Solotigo, kota yang menjadi
tujuan Kemala.
“Tak
mungkin aku sampai di Solotigo sebelum malam tiba…..” berkata Kemala dalam
hati.
“Agaknya
lebih baik bermalam saja di Kalimukus. Besok pagi baru berangkat ke
Solotigo…..” Di lereng bukit Kemala menoleh ke belakang. Kuda coklat bersama
penunggangnya yaitu Wiro Sabelng masih terus mengikutinya terpisah beberapa
belas tombak. Dia berusaha mencari akal bagaimana dapat meloloskan diri dari
pemuda iut. Namun niatnya itu tidak dilakukannya karena ketika dia mencapai
puncak bukit, di bawah sana dia melihat satu pemandangan yang mengejutkan. Desa
Kalimukus tampak hanya tinggal tumpukan malapetaka belaka. Rumahrumah penduduk
musnah dalam kobaran api. Asap mengepul hitam ke udara. Dari atas bukit tampak
orang-orang berlarian di antara ternak yang berhamburan ketakutan kian kemari.
“Itu
bukan kebakaran biasa! Desa itu seperti sengaja dibakar!” Satu suara terdengar
di samping Kemala. Berpaling ke kiri sang dara dapatkan Pendekar 212 Wiro
Sableng bersama kuda coklatnya sudah berada di sampingnya. Kemala tak menjawab.
Wiro letakkan tangan kirinya di atas kening untuk menghidarkan silaunya sinar
matahari.
“Astaga!
Aku melihat ada beberapa sosok tubuh tergantung! Satu di pohon. Dua lainnya di
pintu rumah yang sedang terbakar!” Wiro gebrak pinggul kudanya. Kuda coklat itu
menghambur ke depan lalu berlari kencang menuruni bukit menuju desa yang
dilamun api. Kemala cepat mengikuti. Begitu keduanya sampai di desa yang
terbakar itu apa yang tadi mereka saksikan dari kejauhan di atas bukit, kini
terpampang lebih jelas dan mengerikan. Beberapa sosok mayat bergelimpangan di
tepi jalan, di halaman rumah, di tepi kali. Tubuh mereka penuh bekas bacokan
senjata tajam. Lalu di beberapa tempat terdengar suara erangan orang-orang yang
tergelimpang dalam keadaan luka-luka. Suara lenguh sapi yang ketakutan dan
embik kambing bercampur baur dengan gaduhnya suara ayam serta itik yang
berhamburan kian kemari, jadi satu dengan jerit pekik penduduk yang berlarian
dalam kekalutan. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang perempuan dan
laki-laki tua serta anak-anak. Ketika Kemala muncul bersama Wiro, beberapa
orang penduduk lari menjauh ketakutan. Seorang di antaranya berteriak.
“Mereka
datang lagi! Mereka datang lagi! Lari! Selamatkan diri kalian! Selamatkan
anak-anak……!” Wiro kerenyitkan kening.
“Kemala…..
Orang-orang itu ketakutan melihatmu!” ujar Wiro.
“Ada yang
tidak beres!” manyahuti Kemala. Dia melompat turun dari atas kuda. Menghadang
seorang lalki tua yag lari ka belik rumah sambil mendukung seorang anak
perempuan lalu mencekal tangannya.
“Demi
Tuhan! Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku……! Jangan bunuh cucuku!” lelaki tua
itu menjerit berulang kali sambil berusaha melepaskan pegangan Kemala.
““Tidak
ada yang akan membunuhmu atau mengganggu cucumu! Lekas katakan apa yang
terjadi……..!” berseru Kemala. Si kakek tampak melotot lalu kembali menjerit dan
meronta-ronta.
“Manusia
macam apa kau ini!” Orang tua itu berkata dengan suara gemetar dan tubuh
menggeletar.
“Setelah
kau dan kawan-kawanmu membunuh, merampok dan menculik masih bisa bertanya apa
yang terjadi?! Mengapa kau kembali? Apa masih belum puas membakari rumah-rumah
kami?! Apa masih murang jarahan yang kalian rampas?!”
“Orang
tua, kami baru saja sampai di desa ini. siapa yang melakukan perampokan dan
pembunuhan serta penculikan itu?!” Wiro ikut bicara.
“Ya,
lekas katakan siapa yang melakuan pembakaran di tempat ini?!” menyambung
Kemala. Orang tua itu tidak menyahut. Dia mengereahkan seluruh tenaganya lalu
menarik kuat-kuat hingga pegangan Kemala terlepas.
“Manusia
iblis! Dosamu tidak berampun! Kutukan Tuhan akan datang atas dirimu dan
komplotanmu!” habis berkata begitu orang tua itu lari meninggalkan Wiro dan
Kemala. Si gadis hendak mengejar. Tapi Wiro mencegah dan memberi isyarat agar
mengikutinya. Di pintu depan dua buah rumah yang terbakar mereka melihat dua
sosok tubuh digantung. Salah satu di antaranya mulai dijilat kobaran api. Lalu
tak berapa jauh dari tempat itu sosok tubuh ketiga tampak digantung pada cabang
sebuah pohon, kaku ke atas kepala ke bawah. Wajah orang yang tergantung ini
tertutup lumuran darah yang masih mengucur dari luka besar di batang lehernya.
Tiab-tiba Wiro mendengar suara berdesing. Dia cepat membungkuk menyambar
potongan kayu dan melemparkannya ke belakang. Terdengar suara berdentrangan.
Ketika berpaling ke belakang Kemala sempat melihat bagaimana potongan kayu itu
menghantam mental sebatang tombak yang semula melesat ke arah punggungnya!
“Kurang
ajar! Siapa yang berani membokong?!” teriak Kemala matrah. Dia melihat satu
sosok berpakaian hitam berkelebat menghilang di balik reruntuhan rumah besar
yang masih diamuk kobaran api. Tanpa tunggu lebih lama si gadis yang diikuti
Wiro cepat mengejar. Orang berpakaian hitam itu ternyata adalah seorang pemuda
yang lengan kirinya luka parah hampir putus sedang kepalanya di bagian kening
tampak koyak. Darah yang mengucur membasahi mukanya sehingga kelihatan
menggidikkan.
“Kau
masih bisa bertahan hidup! Tapi jika tidak segera memberi tahu mengapa kau
hendak membunuhku, kupatahkan batang lehermu saat ini juga!” mengancam Kemala.
“Kau
apakan diriku aku tidak takut! Kau dan orang-orangmu membunuh ayahku! Istriku
kalian culik! Bunuh! Ayo bunuh!” Pemuda itu tiba-tiba berteriak seperti gila.
Lalu tubuhnya tersungkur jatuh, lemah karena terlalu banyak darah yang mengucur
dari luka di tangan dan keningnya.
“Siapa
yang kau maksudkan dengan kalian?!” membentak Kemala. Pemuda yang terduduk di
tanah menyeringai. Dia mengeluarkan tangan hendak mencakar muka Kemala tapi
tubuhnya yang terlalu lemah membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan kanannya.
“Perempuan
iblis…. Kau masih bisa purapura bertanya. Memang belasan mayat yang kalian
bunuh tidak bisa memberi kesaksian. Kepala desa dan dua pamong desa yang kalian
gantung tidak bisa bicara! Tapi aku Gentolo menyaksikan sendiri apa yang kau
lakukan bersama komplotanmu Serikat Setan Merah!”
“Ah!”
Kemala mengeluarkan seruan tertahan sementara Wiro kepalkan tangan.
“Saudara,
kau salah sangka. Kawanku ini bukan anggota komplotan Serikat Setan Merah.
Hanya kebetulan saja dia mengenakan pakaian marah!” berkata Wiro. Lalu dia
menotok beberapa bagian tubuh si pemuda hingga darah berhenti mengucur. Wiro
juga salurkan tenaga dalam dingin ke tubuh Gentolo. Kalau tadi pemuda malang
ini merasakan tubuhnya lemah dan panas, kini ada hawa sejuk yang membuat dia sanggup
bertahan.
“Saudara,
mengapa orang-orang Serikat Setan Merah melakukan keganasan ini……?” bertanya
Kemala.
“Tanyakan
sendiri pada pimpinanmu!”sahut Gentolo.
“Aku
tidak percaya kau bukan anggota Serikat Setan Merah! Mengapa kau tidak
membunuhku saja saat ini! Jika kau biarkan aku hidup, aku bersumpah menuntut
balas! Menabas batang lehermu, mencincang mayatmu!”
“Jangan
jadi orang tolol!” bentak Wiro.
“Jika
kawanku ini anggota komplotan biadab itu, sudah sejak tadi kepalamu
menggelinding di tanah! Ayo jelaskan mengapa orang-orang Serikat Setan Merah
berbuat seganas ini?!”
“Ya! Juga
siapa mereka sebenarnya?!” menyambung Kemala. Gentolo mula-mula tak mau membuka
mulut. Namun akhirnya dia bicara juga.
“Siapa
mereka aku tidak tahu! Tidak ada seorangpun yang tahu….. Yang kami tahu mereka
mula-mula muncul dan bertindak selaku pelindung di desa ini. untuk itu penduduk
harus membayar apa yang mereka sebut uang perlindungan. Dan bukan uang saja,
mereka juga meminta harta atau ternak atau hasil ladang seenaknya. Lambat laun
jumlah yang mereka minta semakin banyak hingga penduduk tidak mampu untuk
memberikan. Lalu mereka mulai bertindak keras. Memaksa dan menghajar siapa saja
yang tidak mau memberikan apa yang mereka minta! Ketika banyak penduduk yang
mencoba melawan, mereka membunuhi orang-orang desa seperti membunuh lalat saja!
Kekeian mereka bukan cuma sampai di situ! Anggota Serikat Setan Merah juga
menculik anak gadis atau istri orang! Mereka melakukan kejahatan bukan cuma di
desa ini saja tapi juga di banyak kampung dan desa…….!”
“Sejak
pertama mereka muncul mengapa kalian tidak melaporkan ke Kadipaten……?” tanya
Kemala pula. Gentolo menyeringai pahit.
“Setiap
yang melapor mengalami nasib mengerikan. Hari ini melapor, besok ditemui mati
terkapar seperti anjing di tengah jalan. Tubuhnya penuh bacokan atau tusukan
benda tajam!”
“Kemala,
kau ingat pada rombongan-rombongan orang-orang berpakaian merah yang kita temui
di bukit beberapa waktu lalu……?” tanya Wiro. Kemala mengangguk.
“Mereka
pasti orang-orang Serikat Setan Merah! Dua di antaranya bernama Sangaji dan
Galut! Kau kenal dua nama itu……?’ Gentolo menggeleng.
“Mereka
bisa punya seribu nama, seribu muka……”
“Ada
keanehan yang tidak ku mengerti,” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Orang-orang
Serikat Setan Merah berani melakukan kejahatan secara terangterangan.
Gentayangan di siang bolong! Apa betul aparat Kadipaten tidak mengetahui macam
begini bahkan seharusnya sudah sampai ke Kotaraja!”
“Memang
sebelumnya pernah ada dua kali serombongan pasukan dari Kotaraja melakukan
pengejaran dan penyergapan. Tapi orang-orang Serikat Setan Merah cepat sekali
menghilang sebelum pasukan sampai…….” Menjelaskan Gentolo. Kemala berpaling
pada Wiro dan berkata.
“Kita
harus mengurus mayat-mayat yang malang itu, menolong penduduk yang cidera……”
“Hanya
kita berdua apa kau kita bakalan sanggup melakukan itu?” ujar Wiro.
“Gentolo!
Kau harus menolong memanggil penduduk yang kabur! Mereka harus kembali kemari
untuk membantu kami……!” berkata Kemala. Lalu tangan lelaki muda bernama Gentolo
itu ditariknya disuruhnya berdiri.
“Wiro…….”
Kata Kemala menyebut nama sang pendekar untuk pertama kalinya.
“Salah
seorang lelaki berpakaian merah yang kita temui di bukit mengatakan tentang
pertemuan hari kelima bulan kelima di Bukit Batu Merah. Aku memutuskan untuk
datang ke sana! Aku bersumpah untuk membasmi manusia-manusia laknat itu! Aku
bersumpah menghancurkan Serikat Setan Merah sampai ke akar-akarnya!” Kemala
mengepalkan tangan kanannya dan meninju-ninjukan ke telapak tangan kirinya.
“Kalau
begitu, akupun ikut bersumpah sepertimu!” ujar Wiro seraya mengangkat tangan
kanannya ke atas. Lalu dia melanjutkan ucapannya.
“Tapi
sebelum segala sumpah dilaksanakan, sebaiknya kau tukar dulu baju merahmu itu!
semua orang ketakutan melihatmu karena menyangka kau anggota Serikat Setan
Merah! Kecuali aku…. Ha….ha…..ha……ha…..! Adalah tolol kalau takut melihat gadis
secantik dirimu ha…ha….ha…..!”
******************
7
Adipati
Suro Kenanga duduk mendengarkan apa yang disampaikan pembantunya bernama
Martobiru itu lalu menganggukkan kepala dan berkata.
“Aku
membenarkan apa yang kau lakukan itu Marto. Jika tidak begitu eadaan bisa
berbahaya bagi kita. Harap kau memberitahu pada kawan-kawan agar mereka
memasang telinga mementang mata, menyirap kabar atau gerakan apa saja yang
sewaktu-waktu bisa terjadi……”
“Akan
saya lakukan Adipati. Selanjutnya perlu juga saya beritahukan…..”
“Cukup
sampai di sini dulu Marto. Ada orang datang……” memotong Suro Kenanga. Martobiru
berdiri dari kursi lalu meninggalkan serambi depan Kadipaten Solotigo yang
berlantai batu mar-mar mengkilap itu. Sesaat sang Adipati masih tetap duduk di
kursinya, memperhatikan dua penunggang kuda menambatkan tunggangan
masing-masing lalu berbicara dengan seorang pengawal. Pengawal ini kemudian
mengantarkan kedua tamu tersebut menuju gedung Kadipaten. Suro Kenanga tidak
mengenali kedua tamunya. Yang berjalan di sebelah depan adalah seorang gadis
cantik jelita berpakaian kuning, rambutnya yang hitam berkilat dikuncir di
belakang kepala. Langkahnya ringan dan gerak geriknya menjelaskan pada sang
Adipati bahwa gadis ini adalah seorang dari rimba persilatan. Di belakang sang
dara melangkah seorang pemuda gondrong, tampangnya seperti orang tolol dan
celangak celinguk sambil sesekali menyengir.
“Gedung
Kadipaten ini luar biasa bagusnya! Tak pernah au melihat gedung sebagus ini
sebelumnya!” terdengar pemuda gondrong itu berkata sambil berhenti sejenak dan
memandangi bagian depan gedung mulai dari atap sampai ke tangannya yang
berkilat. Dara berpakaian kuning melangkah menaiki tangga, lalu berhenti di
ujung serambi dan membungkuk pada Suro Kenanga yang duduk di kursi.
“Apakah
saya berhadapan dengan Adipati Solotigo, Raden Suro Kenanga?” Suro Kenanga
bangkit dari duduknya, menatap wajah gadis yang menegurnya itu sesaat lalu
menjawab
“Benar,
aku Suro Kenanga, Adipati Solotigo. Siapa dirimu, apa maksud kedatanganmu ke
mari?” Sang dara tersenyum, membuat Adipati jadi terheran.
“Rupanya
paman lupa pada saya…..?” ujar si gadis pula.
“Eh,
siapa kau ini sebenarnya gadis manis. Aku seperti……” Suro Kenanga memijit-mijit
keningnya.
“Kau……kau……”
dia menunjuk-nunjuk tapi tak berhasil mengingat atau mengenali siapa adanya
gadis di hadapannya itu. Maka si gadis langsung berkata.
“Saya
Kemala, anak tunggal Suro Abang, kakak kandung Adipati sendiri!” Adipati itu
seperti terlonjak dari lantai.
“Astaga!
Ya Tuhan! Kau rupanya! Keponakan sendiri aku sampai tidak mengenali!” Kedua
orang itu sama melangkah mendekati lalu saling rangkul. Adipati Suro kenanga
mengelus dan menepuk-nepuk bahu sang dara berulang kali. Di dekat tangga,
pemuda berambut gondrong menggaruk kepalanya beberapa kali. Dalam hati dia
menggerendeng.
“Keponakan
sih keponakan. Tapi jangan main peluk lama-lama begitu……”
“Kemala,
terakhir sekali aku melihatmu sembilan, mungkin sepuluh tahun yan lalu. Ketika
ayahmu mampir dalam perjalanan mengantarkanmu ke Kaliurang. Kau masih begitu
kecil waktu itu. dan sekarang sudah beubah menjadi seorang gadis cantik jelita!
Jangan salahkan kalau tadi aku tidak bisa mengenalimu! Parasmu mirip ibumu. Eh,
apakah kedua orang tuamu ada baik-baik, Kemala……?”
“Saya
belum sempat kembali pulang, paman. Baru saja turun gunung dilepas Ki Ageng
Kuncoro Bekti……..”
“Ah,
rupanya jadi juga kau berguru pada orang tua sakti itu! Ilmumu tentu sudah
setinggi langit saat ini!” Suro Kenanga tampak gembira sekali mendengar
penjelasan keponakannya itu.
“Tak ada
ilmu paling tinggi di dunia ini paman, kecuali ilmunya Gusti Allah,” menyahuti
Kemala.
“Bagus!
Aku suka mendengar ucapanmu itu, bukan saja kau memperlihatkan kerendahan hati
dan ketinggian budi. Tapi kau juga memperlihatkan tasa takwa dan iman pada
Tuhan Yang Maha Kuasa! Sekarang kau akan kuajak masuk ke dalam menemui
bibimu……. Eh, siapa pemuda yang datang bersamamu itu…..?”
“Dia
sahabat saya paman. Namanya Wiro,” menerangkan Kemala. Mendengar orang memperkenalkan
dirinya, Wiro Sableng maju ke hadapan Adipati Solotigo itu dan menjura
dalam-dalam. Sang Adipati membalas penghormatan itu dengan anggukkan kepala.
“Mari
Kemala, kita temui bibimu…..” kata Adipati kemudian setelah memberi isyarat
pada Wiro agar duduk di kursi serambi depan itu. Sambil melangkah Kemala
berkata
“Dalam
perjalanan kemari kami menemui malapetaka besar menimpa sebuah desa di selatan
Solotigo…….” Adipati Suro Kenanga meraba dagunya dan hentikan langkah.
“Malapetaka
apa maksudmu? Bencana alam….?’
“Bukan
paman, Desa itu, Desa Kalimukus diserbu perampok. Rumah penduduk dibakari,
mereka bukan saja dijarah harta bendanya tapi juga di bunuh. Kepala desa
bersama dua pembantunya digantung secara keji! Para penjahat itu juga menculik
anak gadis dan istri orang……!”
“Desa
Kalimukus berada dalam wilayah Kadipaten Solotigo!” ujar Suro Kenanga pula.
“Bagaimana
mungkin tidak ada satu orang aparatkupun yang datang memberikan laporan?!
Kurang ajar! Ada yang tidak beres! Perampok-perampok memang banyak merajalela
akhir-akhir ini di seluruh silayah selatan. Malah mereka berani muncul di
sekitar Kotaraja…..”
“Tapi
mereka bukan perampok-perampok biasa paman……..”
“Maksudmu
Kemala…..?” tanya Suro Kenanga.
“Mereka
adalah penjahat-penjahat yang selalu muncul dengan pakaian seragam merah.
Mereka tergabung dalam komplotan yang dinamakan Serikat Setan Merah dan mereka
berani muncul secara terang-terangan. Saya dan sahabat saya bahkan sempat
bertemu dengan beberapa orang diantara mereka. Kalau saat itu saya tahu bahwa mereka
adalah manusia-manusia baiadab sebuas apa yang mereka lakukan terhadap penduduk
Kalimukus, saya tak akan memberi kesempatan hidup pada mereka!” Adipati Suro
Kenanga menghela nafas panjang.
“Nama
Serikat Setan Merah memang sudah sejak beberapa bulan ini aku dengar. Pasukan
Kadipaten, bahkan serombongan dari Kotaraja pernah mengejar dan mengepung
mereka. Tapi mereka berhasil meloloskan diri……!”
“Itu satu
pertanda bahwa mereka mempunyai jaringan yang rapi, mempunyai mata-mata di
mana-mana….. Orang-orang seperti kita harus dapat menangkap pemimpinnya dan
membawanya ke tiang gantungan atau mencincangnya di hadapan rakyat banyak!”
“Adipati
Suro Kenanga tersenyum. Sambil memegang bahu keponakannya dia berkata.
“Aku
bangga punya keponakan yang bicara dan punya jiwa besar sepertimu, Kemala.
Darah ksatria sudah benar-benar mengalir dalam tubuhmu…….. Tapi ketahuilah,
kedatanganmu kemari adalah untuk bergembira karena sekian tahun kita tak pernah
bertemu. Selanjutnya kau harus cepat-cepat menuju Kejaten, menemui kedua orang
tuamu. Sejak ayahmu mampir sembilan tahun lalu di sini, dia belum pernah datang
lagi. Kau harus cepat-cepat menemui mereka. Ayah ibumu pasti sudah sangat rindu
padamu…….”
“Memang
benar kata paman. Saya harus cepat-cepat kembali ke Kejaten. Tapi ada satu hal
yang akan saya lakukan sebelum pulang…..”
“Hem…..apa
pula itu Kemala? Apa yang hendak kau lakukan?!” bertanya Suro Kenanga.
“Ada
kabar rahasia bahwa pada hari kelima bulan lima Serikat Setan Merah akan
mengadakan pertemuan besar di Bukit Batu Merah. Saya dan sahabat saya tu akan
muncul di sana. Saya yakin banyak para pendekar golongan putih yang juga akan
muncul di sana……”
“Jika kau
muncul di sana, apa yang akan kau lakukan Kemala?”
“Saya
akan mengobrak abrik pertemuan itu. Menangkap pimpinan mereka. Menyerahkannya
pada Kerajaan, kalau tidak mungkin menangkapnya hidup-hidup maka akan saya
cincang di situ juga!”
“Anak
hebat!” memuji Suro Kenanga.
“Tapi kau
harus berpikir panjang dan hati-hati keponakanku. Jika Serikat Setan Merah
adalah satu komplotan besar berarti mereka mempunyai orang-orang cabang atas
yang memiliki kepandaian tinggi. Dan jumlah mereka pasti tidak sedikit. Jika
keteranganmu itu betul, biar urusan Serikat Setan Merah itu serahkan saja
padaku.” Suro Kenanga lalu melirik ke arah Wiro lalu bertanya
“Kemala,
apakah temanmu yang seperti orang tolol dan sebentar-sebentar menggaruk kepala
itu adalah juga orang persilatan……?” Kemala mengangguk.
“Tampang
dan geriknya memang begitu paman. Tapi dia bukan pemuda sembarangan. Paman
pernah mendengar seorang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212? Dialah
orangnya!” Paras Adipati Solotigo itu tampak berubah. Lalu dia tersenyum.
“Kemala!
Lupakan dulu segala macam urusan dengan Serikat Setan Merah itu. mari temui
bibimu…….”
******************
8
Karena
sahabat dari Kemala maka malam itu Wiro diberikan sebuah kamar yang bagus di
sebuah bangunan berbentuk joglo kecil di halam belakang gedung Kadipaten. Dasar
orang rimba persilatan, pendekar itu merasa risih tidur di dalam kamar
tersebut. Sepanjang malam dia tak bisa memicingkan mata. Lampu minyak
dipadamkannya namun teteap saja dia tak bisa tidur. Akhirnya diam-diam sang
pendekar keluar dari kamar. Keluarnyapun tidak lewat pintu melainkan melalui
jendela. Saat itu lewat tengah malam. Udara di luar dingin. Pendekar 212 duduk
di sebuah bangku batu yang terletak dalam taman kecil di belakang gedung.
Seluruh gedung diselimuti kesunyian dan gelap. Wiro duduk mendekam seperti
patung batu. Ketika dia hendak bangkit berdiri untuk masuk kembali ke dalam
kamar, saat itulah dia melihat ada dua bayangan manusia muncul dari balik
tembok belakang lalu melompat masuk ke dalam halaman belakang gedung. Meskipun
tempat sekitar situ gelap namun Wiro dapat melihat kedua orang yang menyelinap masuk
itu mengenakan pakaian dan ikat kepala merah.
“Anggota-anggota
Serikat Setan Merah!” desis Wiro tak pelak lagi.
“Berani
benar mereka menyusup ke tempat kediaman Adipati! Mau merampok?! Heran….. mana
pengawal gedung? Tak satupun kelihatan batang hidungnya! Dua bedebah ini harus
dibekuk hidup-hidup biar diketahui siapa dedengkot mereka! Tapi sebelum dibekuk
biar kuhajar dulu sampai babak belur!” Wiro segera bergerak bangkit. Menyusup
ke tempat yang lebih gelap, memintas gerakan dua orang di sebelah sana dari
arah kiri. Tapi gerakan Pendekar 212 segera terhenti ketika dilihatnya dua
orang berpakaian merah itu melangkah cepat justru ke arah kamar tidurnya. Di
tangan masing-masing kini tampak terhunus sebilah golok panjang.
“Heh…..
apa tujuan mereka sebenarnya?” tanya Wiro dalam hati dan terus memperhatikan.
Dua penyusup itu tidak menuju ke pintu kamar melainkan menyelinap ke samping ke
arah jendela kamar. Jendela yang memang tidak terkunci itu dengan mudah mereka
buka. Keduanya lalu melompat masuk ke dalam kamar. Wiro bergerak cepat ke arah
pintu kamar dan menunggu di sana sambil rangkapkan kedua tangan d depan dada.
Di dalam kamar terdengar suara
“Keparat!
Kamar ini kosong!”
“Kemana
perginya manusia itu?!” suara lain menyahuti. Sesaat kemudian pintu kamar terbuka,
menyusul ucapan orang yang membuka pintu itu dari dalam.
“Tak
mungkin dia pergi begitu saja. Pasti ada di sekitar sini…..”
“Aku ada
di depanmu kisanak!” Wiro Sableng yang tegak di depan pintu membuka mulut
membuat orang ayang tadi bicara tersentak kaget sebelu sempat bersurut mundur
satu jotosan mendera mata kanannya! Orang ini melolong kesakitan, tubuhnya
seperti dibanting ke belakang lalu roboh di lantai kamar. Goloknya telah lebih
dulu berdentrangan jatuh di lantai. Dia tak kuasa berdiri lagi. Matanya sebelah
kanan bengkak lebam dan mengucurkan darah. Kawannya walaupun kaget tapi bisa
cepat menguasai keadaan. Golok panjang di tangannya segera menderu dibabatkan
ke arah kepala murid Sinto Gendeng.
“Wuuuuuuttttt!!
Sambaran
golok deras dan dingin. Membuat Wiro terkejut dan sadar si baju merah yang satu
ini memiliki kepandaian yang tidak sembarangan. Cepat-cepat dia rundukkan
kepala. Begitu senjata lewat berdesir di atas kepalanya, Wiro susupkan satu
sodokan ke arah perut penyerang. Namun golok panjang itu tiba-tiba membalik ke
bawah, memapas dengan ganas.
“Edan!”
maki Wiro. Dia membuang diri ke samping seraya dorongkan tangan kiri,
melepaskan pukulan tangan kosong yang disertai tenaga dalam. Orang yang
memegang golok tampak tergontai-gontai. Tangannya yang membacok seperti kaku,
dan dia berusaha menahan diri dari dorongan keras angin pukulan yang dilepaskan
Wiro. Sesaat kemudian tanagn kanannya yang tadi tampak kaku tiba-tiba mampu
bergerak kembali. Kini ujung golok ditusukkan ke arah dada Wiro.
“Ah, yang
satu ini tidak sembarangan!” membatin Wiro seraya menggeser kuda-kuda kedua
kakinya ke samping lalu secepat kilat pukulkan tangan kiri untuk menghantam
sambungan siku lawan. Ternyata si pemegang golok tidak bodoh. Dia seperti sudah
membaca gerakan Wiro. Dengan memutar kedudukan lengannya maka pukulan Wiro
berhasil dikelit sebaliknya golok di tangan kanannya menggelicir ke atas. Kalau
tadi menusuk ke arah dada maka kini bagian ujung dan tajam dari senjata itu
melesat menyambar bahu kanan. Breeett! Buuukk!! Dua suara itu disusul dengan
suara berkerontangannya golok jatuh ke lantai. Bahu kanan pakaian putih
Pendekar 212 robek besar. Wiro melompat mundur dengan paras berubah. Terlambat
saja dia mengatur gerakan tidak dapat tidak bahunya pasti akan putus, paling
tidak luka parah. Di depannya orang berbaju merah tampak tersandar ke tiang
bangunan sambil pegangi dadanya yang sesak. Dadanya sakit bukan main. Mukanya
tampak pucat. Dia terbatuk dua kali, bukan ludah yang keluar tapi darah yang
membersit dari mulutnya.
“Manusia
jahanam……!” merutuk orang itu. tiba-tiba kaki kanan bergerak menendang goloknya
yang tercampak di lantai. Ini bukan satu tendangan biasa karena begitu
ditendang golok tersebut mencelat dengan bagian tajamnya melesat lebih dulu ke
arah Wiro, tidak beda seperti sebilah tombak yang dilemparkan. Wiro berseru
kaget dan marah, membuat lompatan untuk selamatkan diri. Golok menderu lewat,
menancap di tiang bangunan. Ketika Pendekar 212 hendak mengebrak ke depan,
orang beraju merah itu ternyata sudah melarikan diri melompati tembok. Wiro
lepaskan pukulan tanagn kosong “kunyuk melempar buah”. Satu gelombang angin
menderu dahsyat menghantam bagian atas tembok hingga hancur berantakan. Tapi
orang yang diarah berhasil meloloskan diri dan lenyap dalam kegelapan.
“Apa yang
terjadi di sini?!” satu bentakan keras menggeledak terdengar. Wiro berpaling.
Yang membentak adalah Adipati Suro Kenanga yang datang bersama tiga orang
pengawal. Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah lelaki berpakaian merah yang
menggeletak di lantai dengan mata kanan mengucurkan darah.
“Dua
anggota Serikat Setan Merah berusaha menyusup ke sini…..” menjelaskan Wiro.
Lalu dia membungkuk dan menarik kaki orang itu, menyeretnya ke luar kamar yang
lebih terang agar sang Adipati dapat melihat lebih jelas.
“Kurang
ajar! Benar-benar berani mampus!” rutuk Suro Kenanga marah.
“Manusia
seperi ini tidak pantas dibiarkan hidup!” lalu tiba-tiba sekali sang Adipati
merampas tombak yang berada dalam genggaman salah seorang pengawalnya.
“Tunggu!
Jangan dibunuh dulu!” seru Wiro mencegah.
Tapi
tombak itu sudah dihunjamkan oleh Adipati Solotigo ke dada lelaki yang terkapar
di lantai. Tepat di arah jantungnya. Orang ini membeliakkan matanya besarbesar
lalu nyawanya putus tiada suara keluar dari mulutnya.
“Sayang……sayang…..”
kata Wiro berulang kali seraya garuk-garuk kepalanya.
“Kalau
saja dia bisa dibiarkan hidup sesaat, pasti bisa dikorek keterangan di mana
markas mereka dan siapa pemimpin mereka. Sialnya lagi, yang satu tadi sempat
melarikan diri!” Pendekar 212 kembali garuk-garuk kepalanya.
******************
9
Bukit
Batu Merah terletak di kaki timur gunung Merbabu, merupakan satu bukit tandus
yang hanya ditumbuhi semak belukar liar, diselang seling oleh bebatuan berwarna
merah. Pernah serombongan petani dari desa terdekat mencoba membuka semak
belukar itu untuk bercocok tanam. Tapi apa yang ditanam di sana tak pernah bisa
tumbuh, mati. Karena itulah tak pernah lagi ada orang yang mau pergi mendaki
bukit itu. Hari itu hari kelima di bulan lima. Kalau tadi dikatakan tidak
pernah ada orang ang naik ke atas bukit maka hari itu adalah aneh, sejak
pagi-pagi sekali tampak belasan orang datang dari pelbagai penjuru mendaki naik
menuju puncak bukit. Ada yang brelari atau berjalan cepat. Tapi ada pula yang
melangkah santai seperti tengah berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan di
bawah kaki bukit dan kaki gunung. Yang menarik perhatian ialah bahwa semua
orang yang menuju puncak bukit itu mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna
merah. Hari lima bulan lima. Itulah hari yang ditentukan oleh Serikat Setan
Merah sebagai hari pertemuan seluruh anggota dan pimpinan mereka. Di puncak
Bukit Batu Merah sebelah timur tampak dibangun sebuah panggung kecil. Di atas
panggung terdapat tiga buah kursi besar dan lima kursi keil yang dibuat dari
potongan-potongan batang kelapa. Di depan panggung , diantara semak belukar
liar terdapat bangku-bangku panjang dalam jumlah banyak, juga terbuat dari
batang-batang kelapa. Di ujung deretan kursi-kursi itu berdiri tiga orang
berpakaian merah darah, menyandang golok di pinggang. Ketiganya bertindak
sebagai penerima tamu. Setiap tamu yang datang dipersilahkan ambil tempat
duduk. Yang paling dulu datang diberikan tempat di deretan bangku sebelah
depan, tetapi banyak tamu yang memilih duduk di bagian tengah atau sebelah
belakang. Dari arah selatan lereng Bukit Batu Merah dua orang berpakaian merah
berlari cepat menuju puncak bukit. Yang pertama seorang nenek berambut putih,
bersarung tangan dan berkasut kain keras. Di ikat pinggang pakaiannya tersisip
sebatang tongkat bambu kuning sebesar ibu jari sepanjang sepuluh jengkal.
Mendampinginya adalah seorang kakek yang juga berambut putih. Seperti si nenek
dia juga membekal sebatang tongkat bambu kuning dengan besar dan panjang yang
sama. Kedua tangan dan kakinya juga mengenakan sarung serta kasut kain keras.
Dari cara berlarinya si kakek jelas bahwa salah satu kakinya pincang. Meskipun
demikian larinya bukan main cepatnya hingga berulang kali si nenek tertinggal
di belakang.
“Wiro!”
tiba-tiba si nenek berseru. Yang diserunya tentu saja kakek pincang di
depannya. Yang bukan lain memang adalah murid Sinto Gendeng, Pendekar Kapak
maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!
“Aku
benar-benar jengkel dengan semua penyamaran ini! Kepalaku terasa gatal oleh
jelaga berwarna putih ini. Mukaku terasa kaku oleh kanji dicampur bedak tebal!
Benar-benar konyol!” Wiro memperlambat larinya lalu menyahuti
“Lebih
bagus konyol begini dari pada mati konyol! Kau tahu apa yang kita lakukan ini
adalah memasuki sarang harimau! Sekali mereka mengenali kita, bisa berabe
urusannya!”
“Ah,
ternyata kau sepengecut itu!” ujar si nenek.
“Kemala,
jangan sok jadi orang jago kalau hanya mencari penyakit!” tukas Wiro Sabelng
pula.
“Penyamaran
ini adalah satu-satunya jalan agar kita bisa menyusup masuk ke tempat
pertemuan! Wajahmu dan tampangku sudah cukup dikenal oleh beberapa orang
anggota Serikat Setan Merah ang kita temui di bukit tempo hari! Kau mungkin
akan disambut dengan segala penghormatan! Tapi aku, belum dipersilahkan duduk
mungkin sudah mereka jegal lebih dulu! Lagi pula ada alasanku mengapa kita
harus menyamar begini rupa….” Si nenek ternyata adalah Kemala, keponakan
Adipati Suro Kenanga dari Solotigo, murid Ki Ageng Kuncoro Bekti dari Ungaran!
“Katakan
apa alasanmu itu.” sang dara berkata.
“Tak
dapat kukatakan sekarang!”
“Hemm…..
Mengapa begitu?” tanya Kemala penasaran.
“Aku
takut terlalu lancang menduga-duga yang tidak karuan. Tapi sejak kejadian ada
orang yang hendak membunuhku malam itu, aku punya firasat, janganjangan…….”
Wiro tak meneruskan ucapannya. Kemala tambah penasaran.
“Jangan-jangan
apa?!”
“Sudahlah,
kita sudah sampai. Ingat, dalam segala hal aku yang akan mewakili bicara. Kau
harus mengunci mulut rapat-rapat. Aku kawatir kau kesalahan omong atau
keterlepasan bicara. Kedok kita bisa terbuka. Kau mengerti……?’
“Hamba
mengerti Pangeran Sableng!” jawab Kemala pula.
“Kau anak
bagus! Aku senang kau mau mengikuti usulku pura-pura pulang ke Kejaten dan
bilang pada pamanmu bahwa kau tidak punya niat menghadiri pertemuan Serikat
Setan Merah……” Keduanya sampai di puncak buki tempat pertemuan. Tiga orang
penerima tamu segera menyabut mereka. Salah seorang diantaranya segera mereka
kenali yaitu si kumis dan janggut pendek bernama Sangaji. Di wajahnya masih
tampak bekasbekas hajaran Wiro tempo hari.
“Sepasang
nenek dan kakek gagah! Atas nama Pimpinan, kemi mengucapkan selamat datang di
Bukit Batu Merah. Tempat pertemuan yang bakal mencatat sejarah dalam dunia
persilatan…..” Sangaji selaku tuan rumah menyampaikan kata-kata sambutan. Lupa
pada perjanjiannya, Kemala lengsung saja ajukan pertanyaan.
“Siapakah
pimpinan kalian…..?” Wiro cepat menginjak kaki gadis itu seraya berkata.
“Maksud
nenek peot pacarku ini apakah kami boleh mengambil tempat duduk. Berlari jauh
mendaki bukit benar-benar sangat melelahkan…….!”
“Ah, jadi
nenek ini adalah pacarmu kakek gagah. Pasti kalian sudah lama berpacaran!”
Sangaji berkata. Mulutnya tersenyum tapi matanya mengawasi kedua orang itu
dengan tajam.
“Sudah….
Memang sudah lama kami pacaran. Dan ssstttt…..” Wiro melirik ke kiri dan ke
kanan, seolah-olah takut ada orang lain mendengar apa yang akan dikatakannya.
“Kalian
mau tahu. Kami pacaran sejak masih muda hingga tua bangka begini rupa. Kami ……
kami bukan pacaran. Tapi juga kumpul kebo! Ha…ha…ha….” Wiro tertawa gelak-gelak.
“Hik…hik….hik!”
Kemala ikut-ikutan tertawa. Sangaji dan kawan-kawannya juga turut tertawa
gelak-gelak.
“Kalian
kakek dan nenek hebat!” Sangaji memuji. Lalu meneruskan
“Sesuai
peraturan sebelum kalian mengambil tempat duduk, harap memberi tahu siapa nama
atau gelar kalian!”
“Ah,
sungguh kami tua bangka tidak tahu peradatan. Sudah diundang orang tapi lupa
memperkenalkan diri!” menyahuti Wiro. Lalu dia memberi isyarat pada Kemala.
Keduanya kemudian membungkuk dalam-dalam lalu Wiro berkata.
“Kami dua
tua bangka yang sudah bau tanah ini biasa dipanggil dengan gelaran Sepasang
tongkat bambu!” Sambil berkata begitu Wiro cabut tongkat bambunya dari
pinggang. Entah kapan dia menggerakkan tangan tahu-tahu tongkat itu sudah
menyusup di ketiak salah seorang anggota Serikat Setan Merah yang ada di
samping Sangaji. Orang ini sempat tersentak kaget. Wiro tarik kembali tongkat
bambunya lalu mendekatkan ujung bambu yang tadi terselip di ketiak orang itu ke
arah hidungnya.
“Hueekkk…..!
Ketiakmu bau amat!” kata Pendekar itu setelah lebih dulu keluarkan suara
seperti orang muntah. Si nenek tertawa cekikikan lalu tarik tangan si kakek dan
mencari tempat duduk di antara para tamu.
“Sepasang
tua bangka gila!” maki anggota Serikat Setan Merah yang tadi ketiaknya sempat
disusupi tongkat bambu.
“Mereka
bukan manusia-manusia gila!” menyahuti Sangaji.
“Ketika
keduanya tertawa gelak-gelak, lewat mulut mereka yang terbuka aku dapat melihat
barisan gigigigi mereka. Tapi dan utuh, tak ada satupun yang ompong! Tua bangka
seumur mereka mana mungkin punya gigi seperti itu?! Beri tahu Kepala Keamanan,
awasi kedua orang itu dengan ketat! Bilamana pertemuan selesai jangan izinkan
keduanya pergi. Kita harus memeriksa mereka. Kalau perlu menelanjanginya!”
Anggota Serikat Setan Merah yang diperintahkan segera tinggalkan tempat itu.
Semakin tinggi baiknya sang surya semakin banyak para tamu mendatangi tempat
pertemuan di Bukit Batu Merah itu. Wiro dan Kemala duduk pada deretan bangku
kayu keenam di barisan sebelah kanan. Memandang berkeliling sesaat, Wiro
kemudian berbisik pada Kemala.
“Aku
melihat Pengemis Budiman di deretan kursi paling belakang baris sebelah kiri.
Dia membawa beberapa orang muridnya. Kakek ini benar-benar berani mati, datang
ke sarang macan tanpa menyamar!”
“Dia
lebih menunjukkan jiwa kesatria dari pada kita!” tukas Kemala. Wiro hendak
menyahuti. Tapi terpaksa batalkan ucapannya karena tiba-tiba terdengar suara
seperti bunyi gong. Keras, menggema dan menggaung panjang di seantero puncak
bukit. Pada saat itu tampak seorang lelaki separuh baya, berpakaian dan berikat
kepala merah darah melangkah naik ke atas panggung. Di belakangnya menyusul
seorang lelaki yang juga mengenakan pakaian merah. Namun orang ini menutupi
wajahnya dengan sebuah kantong kain berwarna merah yang diberi berlobang pada
bagian mata dan bawah hidung. Begitu sampai di atas panggung, orang pertama
berbalik menghadap ke arah para tetamu yang duduk di bangku-bangku panjang lalu
mengangkat tangan kanannya dengan telapak terkembang. Pada saat itulah Wiro
segera mengenali orang ini. dia berbisik pada Kemala.
“Bangsat
yang mengangkat tangan itu aku ingat betul. Dia salah seorang yang menyusup ke
kamar tidurku tapi kemudian sempat melarikan diri….” Wiro masih hendak bicara
panjang tapi orang di atas panggung terdengar kembali berseru.
“Saudara-saudara
para tetamu orang-orang gagah yang kami hormati, selamat datang di Bukit Batu
Merah, selamat dan berbahagia berada di antara kamu orangorang Serikat Setan
Merah! Sesuai dengan rencana semula, hari ini akan dijadikan bersejarah bagi
dunia persilatan. Hanya sayang seribu kali sayang, pertemuan ini dicemari oleh
menyusupnya tamu-tamu yang datang ke tempat ini dengan hati buruk dan maksud
busuk! Menyadari suasana ini maka acara pertemuan terpaksa ditunda beberapa
saat. Atas nama Pimpinan Serikat Setan Merah, para tetamu yang merasa membawa
maksud jahat dan hendak menimbulkan kekacauan dipersilahkan menunjukkan diri.
Pemimpin, harap sudi memberi aba-aba……” Orang yang kepalanya ditutup kain
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu berseru.
“Aku
memberi kesempatan sampai sepuluh hitungan! Jika di antara para tamu tak ada
yang mau menyerahkan diri, terpaksa kami menurunkan tangan keras! Bahkan
hukuman pancung!” Wiro dan Kemala saling berpandangan sesaat.
“Aku
rasa-rasa mengenali suara orang berkedok kain itu…..” bisik Kemala.
“Tunggu
dulu!” tiba-tiba di bawah panggung ada orang yang berteriak seraya bangkit dari
duduknya. Ternyata dia adalah Si Pengemis Budiman!
“Soal
pancung memancung bisa kita bicarakan kemudian. Aku minta agar kau sudi
memperkenalkan diri dan memperlihatkan wajahmu yang tersembunyi di balik
kantong kain itu!” Lelaki pendamping Pemimpin Seikat Setan Merah menjawab
ucapan itu dengan kata-kata.
“Di
tempat ini kami yang membuat peraturan! Para tetamu tidak layak menyampaikan
kehendak yang bukan-bukan! Orang tua harap beritahu siapa kau adanya! Katakan
nama atau gelarmu!”
“Orang
memanggilku Pengemis Budiman. Beberapa waktu lalu anggotaanggota Serikat Setan
Merah menyerbu perguruanku tanpa alasan tanpa lantaran! Kalian membunuh
beberapa orang murid-muridku dan menculik murid perempuanku bernama Griyati!”
Langsung suasana di tempat itu menjadi gaduh. Orang di atas panggung mengangkat
tangannya. Lalu dia berkata dengan suara lantang
“Orang-orang
kami memang sengaja melakukan itu. Karena kau dan murid-muridmu bukan saja
bicara kotor tentang Serikat kami, tapi juga menolak memberikan uang
perlindungan serta membangkang tak mau bergabung dengan kami!”
“Siapa
sudi bergabung dengan iblis-iblis macam kalian! Aku Pengemis Budiman datang
untuk menuntut balas! Hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar nyawa!
Katakan di mana Griyati?!” Bersamaan dengan berakhirnya ucapan orang tua itu
enam orang berpakaian merah segera bangkit di kiri kanan Pengemis Budiman. Lalu
secara bersamaan, dengan gerakan cepat mereka membuka pakaian merah yang mereka
kenakan. Di balik pakaian merah itu kelihatanlah pakaian si kakek yang
compang-camping, lalu pakaian enam muridnya yang berwarna biru muda.
“Bagus!
Kalian sudah menunjukkan diri masing-masing! Sekarang atas izin Pemimpin aku
akan menunjukkan jalan kematian bagi kalian bertujuh! Para tetamu dan para
sahabat tolong dijaga agar tujuh pengacau itu tidak seorangpun sempat melarikan
diri!” Habis berkata begitu orang ini keluarkan suitan keras. Di sekitar
panggung tiba-tiba saja muncul mengepung hampir lima puluh orang anggota
Serikat Setan Merah, rata-rata bertampang liar dan buas!
“Bunuh
ketujuh orang itu!” Pemimpin Serikat Setan Merah berteriak dari balik kain
penutup kepalanya. Dia berpaling ke arah Wiro dan Kemala lalu sambil menunjuk
dia kembali berteriak
“Bunuh
juga kakek dan nenek itu!”
******************
10
“Celaka!
Dia dan orang-orang Serikat Setan Merah sudah tahu penyamaran kita!” berbisik
Kemala.
“Tenang
saja!” balas berbisik Wiro lalu dia berdiri. Kemala ikut bangkit. Terdengar
suara berkerontangan ketika lima puluh pengepung tempat pertemuan sama-sama
mencabut senjata masing-masing yaitu sebilah golok panjang!
“Siapkan
pukulan sakti yang mengeluarkan cahaya abu-abu itu…..” berkata Wiro.
“Mana
mungkin kita menghadapi bangsat-bangsat bergolok sebanyak ini!”
“Tak ada
yang tidak mungkin di dunia termasuk di puncak bukit ini!” sahut Wiro. Baru
saja dia berkata begitu, di atas panggung lelaki pendamping pimpinan Serikat
Setan Merah berseru.
“Saudara-saudara
para tetamu yang terhormat! Ini saat kita menunjukkan bakti pada Perserikatan!
Bantu kami menghancurkan kaum penyusup!” Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro
Sableng kembali berbisik
“Kau
tetap di sini. Aku harus membuat gebrakan!” Murid Sinto Gendeng ini kerahkan
tenaga dalamnya hingga suaranya menggelegar ketika dia berteriak.
“Para
orang gagah rimba persilatan! Jika kalian masih menjunjung kebenaran mari
bergabung bersama kami dan Pengemis Budiman untuk menghancurkan komplotan keji
Setan Merah ini!” Diantara para tamu memang hanya merupakan undangan biasa saja
yang bukan merupakan anggota Serikat Merah. Meski banyak dari mereka sangat
membenci segala apa yang telah dilakukan Serikat bejat itu namun sebagai tamu
mereka merasa sungkan, hingga hanya ada dua orang saja yang berdiri lalu
melompat ke dekat Wiro tegak. Habis berteriak begitu Wiro melompat ke atas
bangku kayu yang kosong, dari sini dia melesat ke atas panggung melewati kepala
para tetamu. Di saat tubuhnya melesat di udara, terdengar suara mendengung
laksana ribuan tawon mengamuk. Cahaya putih menyilaukan berkiblat disertai
menyambarnya hawa panas. Semua orang yang duduk cepat rundukkan kepala bahkan
ada yang bertiarap. Beberapa diantara anggota Serikat Setan Merah yang baru
bersiap-siap untuk menyerbu dan terkena sambaran cahaya panas menyilaukan itu
langusng terjengkang dan roboh dengan bagian tubuh hangus melepuh! Ketika Wiro
mendarat di atas panggung, orang banyak melihat “kakek” itu tegak berdiri
dengan kaki terpentang. Di tangan kanannya ada seuah senjata berbentuk kapak
bermata dua.
“Kapak
Maut Naga Geni 212!” terdengar beberapa mulut yang mengenali berseru. Tapi
sekaligus mereka terheran-heran. Bagaimana senjata mustika dunia persilatan
yang ditakuti dan diketahui milik Pendekar 212 Wiro Sabelgn kini berada di
tangan si kakek yang tidak dikenal?!
“Tua
bangka pengacau! Siapa kau sebenarnya!” bentak Pimpinan Serikat Setan Merah
sementara pendampingnya bersurut keder dua langkah. Si kakek mengumbar suara
tertawa. Tangan kirinya merengut ke wajahnya beberapa kali. Kanji kering yang
menutupi wajahnya terkelupas. Kini kelihatanlah mukanya yang asli.
“Kau!”
teriak pemimpin Serikat Setan Merah terkejut. Dia langsung berpaling ke arah si
nenek yang tegak diantara para tamu.
“Jangan-jangan…..”
““Semua
dengar!” teriak Wiro.
“Aku
berusaha mencegah pertumpahan darah dan ingin menangkap manusia biang racun ini
hidup-hidup. Tapi siapa ingin mencari mati silahkan maju!” Wiro melambaikan tangan
kirinya ke arah Pengemis Budiman dan berseru.
“Kakek
sahabatku, apakah kau dan murid-muridmu sudah siap?!”
“Kami
sudah siap dari tadi! Hanya saja kalau kau inginkan bangsat itu hiduphidup, aku
lebih suka mencincang tubuhnya sampai lumat!” menjawab Pengemis Budiman yang
meskipun senang melihat pendekar konyol berkepandaian tinggi ini berada di
pihanya tapi diam-diam dia masih mendendam atas perbuatan Wiro tempo hari yang
mempermalukannya di depan murid-muridnya sendiri yaitu menarik celananya hingga
auratnya yang terlarang tersingkap jelas!
“Boronowo!
Kau tunggu apa lagi! Lekas bunuh pengacau satu ini! yang lainlain cincang
pendekar Budiman bersama murid-muridnya! Bunuh siapa saja yang berani menantang
Serikat Setan Merah!” Yang berteriak adalah pemimpin Serikat Setan Merah yang
sampai saat ini masih menyembunyikan kepala wajahnya di balik kain merah. Orang
di atas panggung yang bernama Boronowo, yang merupakan tangan kanan sang
pemimpin dan sekaligus menjabat sebagai Kepala Keamanan Serikat Setan Merah sesaat
tampak ragu. Tentu saja hatinya merasa kecut karena malam ketika dia hendak
melakukan pembunuhan atas diri Wiro Sabelng, murid Sinto Gendeng itu telah
menghajarnya hingga mutah darah dan terluka parah di dalam. Sampai saat itu
luka dalamnya masih belum sembuh. Dadanya kerap kali sesak dan setiap bernafas
dalam dan panjang terasa mendenyut sakit. Saat itu dia lebih suka berada di
tempat lain. Tapi di atas panggung dan diperintah begitu rupa mana mungkin bagi
Boronowo untuk menghindar. Maka mau tak mau dai lalu loloskan goloknya karena
memang ilmu golok adalah kepandaian yang paling diandalkannya. Di samping itu
untuk membentengi diri tenaga dalamnya langsung di alirkan di tangan kiri.
Boronowo membuka serangan dengan satu bentakan keras sambil membabatkan
senjatanya ke pinggang Pendekar 212 Wiro Sableng! Di bagian lain, lima puluh
anggota Serikat Setan Merah ditambah beberapa tokoh persilatan yang tersesat
masuk bergabung dengan komplotan itu sudah bergeark pula menyerbu Pendekar
Budiman dan enam muridnya yang dibantu oleh beberapa orang persilatan yang
memang sengaja datang untuk membuat perhitungan dengan Serikat Setan Merah. Si
“nenek” Kemala yang ada di antara orang-orang itu tentu saja menjadi sasaran
serangan pula. Tanpa tunggu lebih lama gadis ini hantamkan kedua tangannya ke
depan. Wusssss! Wusssss! Dua gelombang sinat abu-abu yang menghampar hawa
dingin menggebu ke arah para penyerang. Empat orang anggota Serikat Setan Merah
berteriak keras. Tubuh mereka terpental sampai dua tombak lalu roboh terjengkang
di tanah tanpa mampu bergerak lagi. Masing-masing menjadi kaku dan sekujur
tubuh terasa dingin laksana dibungkus es! Rahang mereka menggembung, geraham
bergemelatakan. Akhirnya keempat orang ini menemui ajal dengan muka mengkerut
dan mulut menganga. Betapapun tingginya tingkat kepandaian Kemala, namun
dikeroyok oleh lebih sepuluh orang lawan membuat gadis ini serta merta terdesak
hebat. Dengan nekad dia merampas golok salah seorang anggota Serikat Setan
Merah. Lalu dengan golok di tangan kanan dan tongkat bambu kuning di tangan
kiri, gadis ini mengamuk. Dua orang rebah mandi darah. Namun serangan bukannya
berkurang. Empat orang lagi datang menyerbu hingga kini ada dua belas orang
yang mengeroyok sang dara, kemudian di tambah lagi oleh seorang tokoh silat
bertubuh bungkuk yang merangsak dengan sebuah senjata berbentuk celurit besar.
Kembali murid Ki Ageng Kuncoro Bekti ini terdesak hebat. Pendekar Budiman dan
enam muridnya serta tiga tokoh silat yang ikut membantunya saat itu harus
menghadapi gempuran lebih dari tiga puluh orang anggota Serikat Setan Merah.
Dua diantara mereka adalah Sangaji dan Galut. Pendekar budiman mengamuk dengan
senjatanya yaitu tongkat akar pohon. Benda ini berkelebat kian kemari,
menggebuk dan menusuk. Dua korban pertama segara menjadi korban si kakek. Satu
pecah kepalanya, satu lagi ambrol perutnya ditembus ujung tongkat! Namun
seperti juga Kemala, keadaan pendekar tua dan murid-muridnya itu segera
terjepit dalam kurungan para pengeroyok. Si kakek kertakkan rahang. Tongkatnya
diputar secara aneh hingga berubah seperti sebuah titiran. Terdengar pekik di
sana sini. Korban jatuh lagi di pihak anggota Serikat Setan Merah. Tapi salah
seorang murid Pendekar Budiman saat itu tidak mampu loloskan diri dari satu
serangan serentak yang dilancarkan tiga orang anggota komplotan serta seorang
tokoh silat golongan hitam. Tubuhnya terkutung di bagian bahu kiri, roboh mandi
darah. Lalu selagi dia mengerang kesakitan satu tusukan golok menembus
lehernya! Pendekar Budiman menggembor marah menyaksikan kematian muridnya itu.
tongkat akar kayu terus di putar sementara tangan kirinya dengan cepat menyusup
ke balik pakaian. Begitu dikeluarkan langsung dihantamkan ke depan. Terdengar
suara berdesing sewaktu selusin paku halus menderu di udara. Lima anggota
Serikat Setan Merah terpekik. Tujuh lainna masih sempat melihat melesatnya
senjata rahasia itu lalu cepat-cepat jatuhkan diri cari selamat. Meski banyak
dari kawan-kawan mereka sudah menemui ajal tapi anggotaanggota Serikat Setan
Merah benar-benar nekad. Mereka terus merangksek dan entah darimana munculnya
tahu-tahu ada sepuluh lagi orang berpakaian merah memasuki ajang pertempuran.
******************
11
Kembali
ke atas panggung. Ketika golok lawan menyambar ke arah pinggangnya Wiro sengaja
tidak menangkis dengan Kapak Naga Geni 212. Dia hindarkan serangan orang dengan
melompat ke samping. Begitu serangannya luput, Boronowo langsung susul dengan
serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Namun pengerahan tenaga
dalam yang begitu besar membuat luka dalamnya yang masih belum sembuh menjadi
kambuh kembali. Dadanya langsung menyesak sakit! Tapi orang ini berlaku nekad!
Dalam keadaan begitu rupa dia masih berusaha lepaskan pukulan. Wuuuuuttt! Angin
deras menerpa ke arah Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng ini balas menangkis
dengan pukulan tangan kosong yaitu tangan kiri. Sang pendekar tampak
tergontai-gontai sebaliknya Boronowo terjajar beberapa langkah. Dari sela
bibirnya kelihatan ada darah mengucur yang kemudian diludahkannya ke bawah
panggung. Tangan kirinya diangkat memegangi dada.
“Kucing
buduk!” Wiro berkata seenaknya.
“Jika kau
mau memerintahkan anak-anak buahmu menghentikan perkelahian, akan kuampuni
selembar nyawamu!”
“Setan
alas! Bangsat rendah!” menyumpah Boronowo.
“Kalau
malam itu aku tak dapat membunuhmu, saat ini jangan harap nyawa anjingmu bisa
lolos dari tanganku!” Lalu dia melompat ke depan. Goloknya berputar ganas dan
aneh. Rupanya dia tengah mengeluarkan jurus-jurus ilmu goloknya yang paling
hebat. Wiro merasa seperti ada selusin golok mencurah ke arah tubuhnya mulai
dari kepala sampai ke pinggang. Murid Sinto Gendeng dipaksa harus bergerak
cepat untuk selamatkan diri. Dia melompat kian kemari namun tubuhnya seperti
satu magnit yang menarik senjata lawan. Golok itu terus mengikuti kemana dia
bergerak. Breet……brrreeeeeettt! Pakaian Pendekar 212 robek besar di bagian dada
dan perut. Wiro melompat jauh sambil meringis kecut. Tengkuknya terasa dingin.
Baru sekali ini dia menghadapi orang memiliki ilmu golok begitu luar biasa!
Karenanya ketika Boronowo kembali menyerbunya tanpa tunggu lebih lama murid
Sinto Gendeng angkat tangan kanannya. Terdengar suara menggaung disertai
berkilatnya sinar putih perak menyilaukan. Traang! Golok di tangan Boronowo
patah dua dan terpental lepas dari tangannya. Bersamaan dengan itu tubuhnya
jatuh duduk di lantai panggung. Tangan kanannya terasa kaku dan panas. Dia
berusaha bangkit tapi belum lagi tubuhnya terangkat satu tendangan melabrak
dadanya! Tubuh Boronowo tercampak ke bawah panggung, bergulingan beberapa kali
lalu terhenti di depan serumpun semak belukar liar. Buuukk! Satu pukulan keras
menghajar tengkuk Pendekar 212. Murid Sinto Gendeng tersungkur ke puanggung.
Pangkal lehernya seperti patah dan sakitnya bukan main. Tapi kemarahan pendekar
inipun bukan olah-olah. Sambil gulingkan diri ke kiri dia menyaksikan pemimpin
Serikat Setan Merah siap menghujamkan sebuah senjata berbentuk tombak pendek ke
arah perutnya!
““Setan
Merah keparat! Beranimu membokong dari belakang! Rasakan kapak Naga Geni 212
ini!” teriak Wiro marah. Setangah berlutut dia hantamkan senjata mustikanya ke
depan, menyongsong tusukan tombak. Untuk kedua kalinya ditempat itu terdengar
suara berdentrangan. Tombak di tangan pemimpin Serikat Setan Merah patah tiga
dan patahannya mencelat ke udara. Pemiliknya sendiri tampak sudah melompat
dengan muka pucat. Sekujur tangan kanannya terasa panas sekali!
“Sudah
saatmu membuka kain penutup kepala itu! Perlihatkan tampangmu manusia setan!”
ujar Wiro seraya melangkah mendekati. Yang didekati tiba-tiba membuka tangan
kirinya dan melemparkan sesuatu yang sejak tadi dipegangnya. Wuss! Terdengar
suara mendesis keras. Saat itu juga panggung itu terbungkus oleh asap tebal
berwarna kebiruan, membuat pemandangan Pendekar 212 jadi terhalang, pemimpin
Serikat Setan Merah ini segea melompat dari panggung, berkelebat ke arah kiri!
Kalau di atas panggung Wiro tidak dapat melihat kemana lenyapnya lawannya, lain
halnya dengan orang-orang yang brada jauh di bawah panggung. Hampir semua orang
diantaranya Kemala dan Pendekar Budiman, sempat melihat kearah mana kaburnya
pimpinan Serikat Setan Merah itu. Merasa tidak ada gunanya meneruskan
perkelahian, apalagi dia dalam keadaan terdesak pula maka Kemala yang sampai
saat itu masih berada dalam penyamaran sebagai seorang “nenek” keluarkan
bentakan keras, menghantam dengan bambu serta golok rampasan yang ada di kedua
tangannya. Begitu lawan tersibak, kesempatan ini dipergunakan si gadis untuk
menyelinap keluar dari kalangan perkelahian dan lari ke jurusan timur. Sambil
lari Kemala berteriak
“Wiro
ikuti aku! Bangsat itu lari ke arah lereng timur!” Dalam keadaan terbatuk-batuk
keluar dari kepungan asap lalu melompat ke jurusan di mana dilihatnya Kemala
berkelebat. Hal yang sama juga dilakukan Pendekar Budiman begitu mendengar
teriakan Kemala. Jauh-jauh datang untuk menuntut balas malah ada anak muridnya
yang sudah jadi korban maka kalau sampai kehilangan musuh besarnya itu, dia
akan mati penasaran! Di lain pihak, mengetahui bahwa pimpinan mereka melarikan
diri, apalagi setelah menyaksikan matinya Boronowo, para anggoa Serikat Setan
Merah menjadi patah semangat kalau tak mau dikatakan putus nyali. Semuanya
memilih melarikan diri. Mereka berserabutan ke berbagai penjuru Bukit Batu
Merah itu. Ternyata pemimpin Serikat Setan Merah yang melarikan diri tidak memiliki
ilmu lari yang bisa menyelamatkan dirinya. Dalam waktu sebentar saja Kemala
berhasil mengejarnya, lalu Wiro dan terakhir menyusul Pendekar Budiman.
“Manusia
setan! Permainanmu berakhir saat ini! cepat kau buka kain merah penutup
kepalamu! Atau aku yang membukanya bersama-sama batang lehermu!” berkata Wiro
sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni 212 di depan dada. Sepasang mata di
balik kain merah itu tampak melotot ketakutan. Dia melirik ke kiri dan ke
kanan.
“Jangan
harap bisa lolos dari tangan kami!” membentak Pendekar Budiman.
“Lekas
katakan di mana muridku Griyati kau sekap!”
“Kalau…..
kalau kuberi tahu di mana gadis itu berada, kalian harus berjanji untuk tidak
membunuhku dan membiarkan aku pergi!” berkata pemimpin Serikat Setan Merah.
Kemala melengak kaget ketika mendengar suara pemimpin Serikat Setan Merah.
Sebelumnya dia hanya mendengar dari kejauhan. Berada sedekat seperti saat itu
dia seperti mengenali suara orang iu. Tiba-tiba degnan kecepatan seperti kilat
Kemala melompat ke depan. Tangan kirinya menyambar dan……..!
“Paman
Suro Kenanga!” teriak Kemala ketika kain pembunkus kepala pemimpin Serikat
Setan Merah berhasil direnggutnya dan dia serta Wiro dan Pendekar Budiman kini
dapat melihat jelas kepala serta wajah orang itu!
“Aku
tidak bermimpi……” desis Kemala seraya menggosok-gosok kedua matanya. Ketika
ingat kalau saat itu dia masih menyamar sebagai nenek, dengan tangan kirnya
Kemala menanggalkan topeng kanji yang menutupi wajahnya.
“Kemala,
keponakanku….. Aku sudah duga. Memang kau rupanya…..” Suro Kenanga merasakan
lututnya seperti goyah, akhirnya dia terduduk di tanah. Wiro dan Pendekar
Budiman tertegak bengong. Tapi di lain kejap orang tua berpakaian compang
camping itu sudah melompat ke depan dan menekankan ujung tongkat akar kayunya
ke tonggorokan adipati Solotigo itu. Sekali dia menekan menusukkan maka
tertembuslah leher sang Adipati.
“Lekas
katakan di mana murid perempuanku! Atau kubunuh kau saat ini juga!” mengancam
Pendekar Budiman dengan suara bergetar menahan amarah dan dendam kesumat.
“Paman…..!”
berseru Kemala.
“Bagaimana
ini bisa terjadi! Benar kau menjadi pemimpin komplotan orang-orang jahat yang
menamakan Serikat Setan Merah itu…..?!”
“Kau
melihat sendiri Kemala, memang begitu kenyataannya…..” jawab Suro Kenanga
dengan suara perlahan dan sekujur tubuh kuyu.
“Dosaku
keliwat besar! Silahkan kalian membunuhku saat ini juga!”
“Bangsat!
Kau harus mengatakan lebih dulu di mana murid perempuanku!” teriak Pendekar
Budiman.
“Muridmu
berada dalam keadaan aman. Tidak kurang suatu apa. Tak ada yang menyentuh
dirinya atau menodainya…..”
“Aku
tidak bisa percaya kata-katamu Adipati laknat! Sebelum aku melihat sendiri
keadaan muridku!” sentak Pendekar Budiman lalu menekankan ujung kayu ke leher
Suro Kenanga hingga Adipati ini meringis kesakitan.
“Aku
bersumpah tidak mendustaimu. Muridmu berada di ruang bawah bangunan berbentuk
candi di halaman belakang gedung Kadipaten………” Pendekar Budiman kembali hendak
membentak tetap Kemala lebih dulu membuka mulut
“Paman,
saya tak habis mengerti dan sangat menyesalkan. Mengapa kau melakukan semua
ini…..” Sepasang mata Suro Kenanga tampak berkaca-kaca.
“Aku
……aku melakukannya karena butuh sejumlah besar uang dan harta…..”
“Uang dan
harta…..? Untuk apa paman?!” tanya Kemala.
“Aku
harus menyediakan dan memberikan uang serta harta atau apa saja yang berharga
pada seseorang di Kotaraja. Jumlahnya terlalu besar dan aku tak sanggup
mendapatkannya kecuali melakukan pemerasan dan penindasan terhadap rakyat.
Merampas dan merampok. Ketika keadaanku terancam, aku terpaksa memerintahkan
orang-orangku melakukan kejahatan itu. lambat laun mereka berubah menjadi
penjahat beneran. Lalu menyusup segala macam maling dan penjarah! Jumlah mereka
jadi tambah banyak. Aku tak sanggup lagi mengendalikan mereka….. Ah Gusti
Allah. Dosaku terlalu besar dan berat!”
“Paman,
kau belum mengatakan untuk apa uang dan harta itu? Lalu kepada siapa kau
berikan?” bertanya Kemala
“Uang dan
harta itu sebagai suapan agar aku tetap menduduki jabatan Adipati seumur hidup.
Kepada siapa aku memberikannya tak mungkin aku beri tahu. Ya Tuhan…. Aku sadar
aku ini gila jabatan. Gila kekuasaan…..” Wiro Sableng garuk-garuk kepala.
Sebelumnya dia memang sudah bercuriga bahwa pemimpin Serikat Setan Merah itu
adalah Suro Kenanga. Dia tidak mau memberi tahukannya pada Kemala. Takut
kesalahan. Ternyata dugaanya tidak meleset!
“Apa yang
harus kita lakukan sekarang?” bertanya Wiro meminta pendapat Pendekar Budiman.
Tapi orang tua itu tidak membuka mulut. Yang menjawab adalah Kemala.
“Paman,
kami terpaksa membawamu ke Kadipaten, terus ke Kotaraja. Tak ada jalan lain.
Mudah-mudahan Sri Baginda mengurangi hukuman bagimu….” Suro Kenanga
menggelengkan kapala.
“Berjalan
jauh-jauh ke Kotaraja hanya untuk mendapat tiang gantungan. Kalau aku harus
mati menebus dosa-dosaku, lebih baik mati di tempat ini saja. Sekarang!”
Tiba-tiba sekali Suro Kenanga menarik dan menghujamkan keras-keras ke lehernya
sendiri tongkat akar kayu milik Pendekar Budiman yang sejak tadi menempel di
lehernya! Darah muncrat. Kemala berteriak. Pendekar Budiman dan Wiro terkesiap
kaget. Perlahan-lahan kedua tangan yang memegang kencang tongkat kayu itu
terkulai lemas dan jatuh ke samping. Pendekar Budiman tak berani menarik
tongkatnya. Ketika senjata andalannya itu dilepasnya, sosok tubuh Adipati Suro
Kenanga yang sudah jadi mayat itu langsung jatuh terlentang di tanah. Lereng
bukit itu sesunyi di pekuburan. Hanya suara isak tangis Kemala yang terdengar
di antara siliran angin yang berhembus.
TAMAT
No comments:
Post a Comment