Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Jenazah
Simpanan
********************
Wiro
sableng telah terdaftar di departemen kehakiman dan merupakan milik serta hak
cipta dari bastian tito seorang, tokoh panutan dan inspirator penulis, lanjutan
wiro sableng ini dibuat tanpa maksud apapun sekedar wujud kecintaan penulis
terhadap tokoh yang telah menemani penulis dalam suka dan duka. Oleh karenanya
penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada pihak yang merasa
berkeberatan dilanjutkannya kisah wiro sableng ini.
********************
“ Ratusan
Makhluk yang tubuhnya dipenuhi kobaran api perlahanlahan beringsut mundur dari
kepungannya terhadap Resi Kali Jagat dan yang lainnya. ada rasa jerih bercampur
takut kala mendengar bunyi suara Saluang ( alat musik tradisional Minangkabau )
yang mendayu perlahan dari arah barat Pohon Jati dimana Resi Kali Jagat beserta
kawan-kawannya terkepung.
Lain
halnya dengan Resi Kali Jagat dan kawan-kawannya, bunyi saluang yang mengalun
terasa begitu menyejukkan kalbu dan jiwa sehingga tanpa sadar ucap puji dan
syukur atas Rahmat Dewata berkumandang dari bibir ketiganya.
Tak
sampai sepeminuman teh kemudian dari arah barat menyeruak kabut tipis beserta
hawa dingin yang menggigit, hawa dingin ini tidak begitu terasa bagi Resi Kali
Jagat dan yang lain, namun tidaklah demikian bagi Kawanan Makhluk yang dikobari
Api! jeritan dan lolongan panjang keluar dari mulut mereka! Tubuh mereka mulai
bergelimpangan satu persatu disertai dengan padamnya api di tubuh mereka kala
satu sosok yang berjalan diantara kabut tipis melewati tubuh mereka! Seekor
Menjangan Bertanduk dan berbulu keemasan terlihat berjalan diantara kabut
putih, dipunggungnya duduk seorang kakek berjubah putih.berambut panjang.
Rambut
serta janggut dan kumisnya yang putih terlihat menjela tertiup angin diantara
jemari tangannya yang bergerak lincah memainkan sebuah Saluang yang berwarna keemasan.
Dipinggangnya tergantung sebuah kantung kulit tersamak dimana terselip enam
buah Saluang dengan warna yang beragam!”
********************
1
Nenek
Katai Ning Rakanini delikkan matanya yang besar sebelah, kedua tangannya yang
berwarna hitam pekat berkilat bersiap untuk melepaskan pukulan sakti kearah
makhluk raksasa bertanduk yang kepalanya menjulur dari dalam lubang atap yang
hancur karena pukulan bocah sakti Dirga Purana (baca episode sebelumnya: Jabang
Bayi dalam Guci).
Sesaat
lagi kedua tangannya yang berwarna hitam mengkilat melepaskan sebuah pukulan
sakti yang bernama Dalam Sesat Mencari Ketentraman, Resi Kali Jagat berteriak
mencegahnya “Tahan, Jangan!!” Nenek Katai Penguasa Rumah Ketentraman dan
Keselamatan memalingkan wajahnya kearah Resi Kali Jagat, Hidungnya yang
dicanteli anting-anting emas bergoyang-goyang sementara urat besar terlihat
menonjol di pelipisnya pertanda menahan amarah “Ampusena! Apa maksudmu menahan
serangan ku? Tidakkah kau dengar apa yang diucapkan makhluk ini? Dia
menginginkan orok dalam Guci! Dia pasti sudah menjadi salah satu kawanan
Gerombolan Sukma Merah!” Resi Kali Jagat menghela nafas sesaat.
“semoga
berkah Hyang Jagatnatha turun atas diri kita semua, Apa kabar Arwah Ketua
Penguasa Candi Miring? Lama kita tidak berjumpa” makhluk dengan tanduk berkilat
keluarkan tawa keras kemudian Wujud kepala Raksasa bertanduk bercahaya merah
keluarkan satu letusan kecil dan berubah menjadi gumpalan asap kelabu. Asap
kelabu itu kemudian berputar layaknya topan dan memasuki ruangan candi melalui
lubang diatas atap.
Gumpalan
asap kemudian bergulung membentuk satu sosok yang berdiri dihadapan Resi Kali
Jagat dan Nenek Ning Rakanini, sekejapan mata kemudian gulungan asap pun
akhirnya sirna meninggalkan satu sosok yang tidak lagi berbentuk raksasa
seperti sebelumnya, sosok kali ini merupakan sosok seorang kakek bertubuh kekar
berjanggut dan berkumis berkeluk berwarna hitam. pakaiannya merupakan jubah
biru yang bagian atasnya tidak dikancing sehingga memperlihatkan bulu dadanya
yang lebat. Wajah kakek ini terlihat pucat tak berdarah sehingga jalur urat
membayang biru dibalik kulit wajahnya. sepasang matanya berwarna putih menjorok
keluar dengan lensa berbentuk titik kecil dan di kepalanya yang botak terlihat
sebuah tanduk tunggal mencuat dari keningnya. Tanduk tersebut tidak terlalu
besar namun memancarkan cahaya merah berpendar.
“Semoga
berkah Para Dewa menyertaimu Sahabatku Ampusena, maafkan kelancangan ku wahai
Penghuni Rumah Ketentraman dan Keselamatan” ucap sosok Arwah Ketua sembari
mengedipngedipkan matanya yang juling kearah Nenek Ning Rakanini.
Sang
Nenek merutuk dalam hati sembari menurunkan kedua tangannya, kedua tangan
tersebutpun perlahan kembali kewarna asalnya. sementara Resi Kali jagat
menggelengkan kepalanya untuk kemudian berkata “berbilang tahun kita tidak
berjumpa, sungguh tidak dinyana dapat bertemu denganmu disini wahai Arwah
Ketua, gerangan apakah yang membawamu ketempat ini?”
“wahai
Sahabatku Ampusena, tak usahlah lagi kita berpanjang cakap, maksud kedatanganku
kali ini adalah meminta kau untuk memberikan saja jabang bayi dalam guci itu
kepadaku, toh disini tidak ada orang yang mau menampungnya, bagaimana Ampusena?
Kau tidak keberatan bukan?”ucap Arwah ketua sembari melirik kearah guci bening
yang berisi bayi merah yang tergeletak diatas meja batu.
Mendengar
apa yang dikatakan oleh Arwah Ketua, Nenek Katai Ning Rakanini menjadi
meradang, alisnya yang menyambung menjadi satu terlihat terjungkat
“Kowe,
jangan sembarang omong! siapa bilang aku tidak mau menampungnya? aku Cuma
khawatir tidak bisa menjamin keselamatannya!” hardik Sang Nenek. Arwah Ketua
memandang sinis kepada Nenek Ning Rakanini “Ampusena, kau sudah mendengar sendiri
bukan? Nenek ini tidak mampu menjaga Guci itu, jadi sebaiknya kau titipkan saja
kepadaku.”ucap Kakek Bertanduk ini sambil terkekeh.
“Kurang
ajar! Makan Pencarianmu!” jerit Nenek Ning Rakanini, Nenek satu ini tampaknya
sudah tidak bisa lagi mengendalikan emosinya sehingga tanpa bisa dicegah lagi
tangan kirinya mencabut tusuk konde yang tertancap di batok kepalanya dan
dengan secepat kilat ditusukkannya tusuk konde tersebut kearah perut Arwah
Ketua!
“Ning
Rakanini! Jangan!” Resi Kali Jagat Berseru tertahan Namun tak kuasa Mencegah,
Sementara itu Kakek bertanduk yang diserang oleh Nenek Katai Ning Rakanini
hanya senyumsenyum saja dan tampak adem ayem tidak berusaha untuk menghindari
serangan tusuk konde terbuat dari batu yang berwarna merah pekat itu. Sesaat
lagi tusuk konde yang berada di tangan Ning Rakanini menembus perut Arwah
Ketua, tiba-tiba didahului suara letusan kecil dan mengepulnya asap kelabu
tipis dari arah bawah tanah tempat antara Arwah Ketua dan Ning Rakanini berdiri
mencuat sebuah tangan berbentuk tulang jerangkong yang dengan secara sigap
menahan tangan Ning Rakanini sehingga tusuk konde yang hendak ditusukkannya
berhenti hanya sejarak setengah jengkel dari perut Arwah Ketua!
“Ketentraman
dan keselamatan berasal dari hati yang suci dan bersih, hawa marah dan
kebencian hanya akan membawa setiap insan ke dalam musibah dan penyesalan!
Rakanini kendalikan emosimu.” Satu suara keluar dari satu sosok berbentuk
jerangkong putih yang keluar dari dalam tanah.
“Lor
Pengging Jumena…!” seru Resi Kali Jagat Ampusena kala melihat sosok Jerangkong
Putih yang memegang tangan Nenek Katai Ning Rakanini.
“Mbah
Buyut…” Desis Sang Nenek Katai Penghuni Rumah Ketentraman dan keselamatan
tersebut dengan tubuh bergetar.
********************
2
Disatu
tempat terpaut delapan ratus tahun dari negeri Bhumi Mataram, diselatan Kaki
Gunung Gajah tak jauh dari Bukit Menoreh terlihat seorang kakek berambut tipis
sedang duduk bertopang dagu dibawah satu pohon Jamblang. Kakek ini memiliki
sepasang mata jereng yang selalu berputar kesana-kemari tidak bisa diam
sementara sebuah telinganya terlihat terpasang terbalik menghadap kebelakang,
bau pesing santer keluar dari tubuh dan pakaiannya.
“aduh
biyung, tobat aku..! kemana lagi aku harus mencari anak setan itu! Setahun
lebih tak tahu rimbanya tak tahu juntrungannya jangan-jangan Bocah Gemblung itu
balik lagi ke Latanah Silam! Buseet!” gerutu si kakek sembari menggaruk-garuk
kepalanya.
Pluk..pluk..
tiba-tiba dari atas pohon jamblang berjatuhan dua buah jemblang yang langsung
jatuh menimpuk kepala dan tubuh si kakek bau pesing yang bukan lain adalah
Setan Ngompol tokoh kosen dunia persilatan tanah jawa pada saat itu.
“Naga
Kuning anak setan! kamu Jangan kurang ajar sama orang tua!” bentak sang kakek
sembari meraupkan kedua tangannya kebalik celananya yang basah kuyup kemudian
dipeperkannya tangannya yang basah oleh air kencing itu keatas pohon, serangkum
angin beserta titik-titik air berbau pesing menghambur deras kearah Pohon
menggetarkan batang pohon dan meluruhkan sebagian daun pohon Jamblang!
Sementara
itu dari balik rimbunan pohon satu bayangan hitam melesat sambil terkekeh-kekeh
menghindari serangan peperan air kencing Setan Ngompol. (Mengenai riwayat Setan
Ngompol dan Naga Kuning silahkan baca Petualangan Wiro Sableng di Lembah
Akhirat dan Negeri Latanah Silam)
“kakek
Setan Ngompol! Jangan marah begitu, aku kan Cuma becanda! Aku juga tahu kamu
itu bukannya mikirin si Wiro yang kamu bilang balik lagi ke Latanah Silam, tapi
kamu lagi mikirin si Nenek genit menor siapa tuh namanya? Luh Lemper apa ya?”
ucap seorang bocah berambut jabrik yang bukan lain adalah Naga Kuning sambil
mengorek-ngorek hidungnya! “ Lemper…Lemper…!! Yang kamu ingat Cuma lemper!!
Anak Geblek! Namanya Luh Lampiri!” sembur Setan Ngompol sembari membeliakkan
matanya yang jereng, mata diatas yang jereng mata dibawah ikut-ikutan mancur!
Naga Kuning terkekeh melihat tingkah kakek sahabatnya itu sementara Setan
Ngompol menggerutu panjang-pendek! Dikisahkan setelah kepergian Wiro ke Mataram
Kuna negeri delapan ratus tahun silam banyak terjadi perubahan di tanah jawa,
di tanah jawa mulai bermunculan tokoh-tokoh berkepandaian tinggi dan aneh-aneh.
berbagai macam peristiwa dan kejadian-kejadian aneh dibarengi bermacam kasus
penculikan terjadi di seantero negeri. Korban-korban penculikan itu biasanya
adalah para pemuda yang sudah mencapai akil balik.
Suasana
dunia persilatan tanah jawa pun mulai mencekam, saling tuding dan berbuntut
pertumpahan darah pun akhirnya terjadi. Kyai Gede Tapa Pamungkas yang melihat
keadaan ini pun merasa prihatin sehingga mengutus Naga Kuning dan Setan Ngompol
untuk mencari dan menemukan Wiro Sableng beserta Sinto Gendeng yang diketahui
menghilang bersamaan dengan menghilangnya Wiro Sableng. Adapun Gondoruwo Patah
Hati atau Ning Intan Lestari yang datang menghadap Kyai Gede Tapa Pamungkas
bersama Naga Kuning ditahan oleh sang Kyai dengan alasan untuk mempersiapkan
Pernikahannya dengan Naga Kuning. Rupanya Sang Kyai sudah merestui hubungan
putri angkatnya tersebut dengan Naga Kuning. Meskipun dengan berat hati akhirnya
Ning Intan Lestari atau Gondoruwo Patah Hati melepas kepergian Naga Kuning yang
sesungguhnya adalah seorang Kakek Sakti Berjuluk Kyai Paus Samudera Biru! Dalam
pencarian terhadap Wiro, kedua orang konyol tersebut akhirnya terpesat di kaki
gunung gajah. “hei Naga Kuning, mana jamblangnya? Masih ada? Bagi kemari aku
masih lapar.” Ucap Setan Ngompol sambil menatap Naga Kuning. “waladalah kek,
habis semuanya! Sisanya tuh sudah rontok semua kena air kencing sampeyan.”
Tunjuk Naga Kuning ke bawah pohon dimana beberapa buah jamblang terlihat
berguguran rontok akibat angin pukulan Setan Ngompol.
Setan
Ngompol mengelus perutnya yang kerempeng sembari mendesah “Nasibmu biyung,
sedari pagi Cuma diisi Jamblang! Naga Kuning kamu masih ada bekal tidak?” Naga
Kuning menggelengkan kepalanya “aku juga masih lapar kek” ucap polos Naga
Kuning “kalo lagi laper gini jadi inget Nasi timbelnya Yu Pinem, janda penjual
timbel di simpang lima Godeyan. Hemm, sambel pincuk, ikan asin..” belum habis
berucap Naga Kuning tiba-tiba merasa tubuhnya diangkat dan dikepit Setan
Ngompol. “kek! Apa-apan ini?”jerit Naga Kuning.
“Simpang
Lima Godeyan tidak jauh dari sini, hanya sepenanakan nasi..” Gumam Setan
Ngompol. “memangnya sampeyan punya duit kek?” tanya Naga Kuning. “urusan
belakangan…”seru Setan Ngompol seraya berlari sambil menaikkan kempitan Tubuh
Naga Kuning, malangnya kepala sang bocah terbenam di ketiak Setan Ngompol. Satu
suara tercekik keluar dari tenggorokan Naga Kuning.
********************
3
Jurang
Langit Pendam merupakan satu Jurang yang Cukup dalam dan terjal, letak jurang
ini juga sangat terpencil dan tersembunyi. jika seseorang berdiri di pinggir
jurang dan mencoba untuk menengok kebawah, maka orang tersebut tidak akan bisa
untuk melihat apa yang ada di dasar jurang karena yang hanya bisa dilihat
hanyalah gumpalan awan dan kabut putih tebal. oleh karena itu pula jurang yang
terletak di salah satu lereng gunung Salak ini disebut dengan Jurang Langit
Pendam. Kawasan Jurang langit pendam sudah dikenal oleh masyarakat sekitar
sebagai suatu tempat keramat yang bahkan dipercayai sebagai tempat bermukimnya
banyak makhluk halus, demit dan sejenisnya. Oleh karenanya tidaklah
mengherankan jika tidak ada seorangpun penduduk setempat maupun pendatang yang
berani untuk mendatangi tempat itu.
Keangkeran
tempat ini juga ditambah dengan tumbuhnya sebatang pohon beringin Raksasa yang
tumbuh tidak jauh dari bibir jurang. Pohon berusia ratusan bahkan mungkin
ribuan tahun ini memang amatlah besar sehingga bisa dilihat dari kejauhan.
Sedemikian besarnya pohon beringin itu sehingga Jika dikumpulkan orang untuk
memeluk batang pohon ini saja diperkirakan membutuhkan kurang lebih dua puluh
satu orang! Keangkeran pohon ini ditambah dengan bertebarannya delapan buah
batu besar berwarna merah yang berjejer mengelilingi Pohon beringin Raksasa
tersebut. Batu-batu merah tersebut dililiti sejenis kain bermotif catur yang
sudah sangat tua hingga warnanya sudah terlihat pudar, kain yang menutupi
batu-batu tersebut juga sudah banyak yang robek. bau anyir tercium cukup keras
dari bagian batu yang berwarna merah kehitaman. Saat itu belum lagi senja namun
kesunyian amat terasa melingkupi areal Jurang dan sekelilingnya, namun hanya
beberapa saat kemudian kesunyian itu terpecah oleh satu suara letusan kecil
yang datangnya dari bawah tanah beberapa tombak dari pohon Beringin raksasa
berada. Tanah dimana letusan kecil tadi terjadi terlihat rengkah dan perlahan
mulai terkuak memperlihatkan satu lubang hitam yang memancarkan cahaya merah
gelap, tiba-tiba dari arah lubang tersebut melompat seorang anak lelaki
berpakaian mewah serba hitam, pada salah satu telinganya terpasang sebuah
anting-anting emas. Bocah ini tidak sendirian, di bahunya tersampir tubuh
seorang perempuan muda. Perempuan ini terlihat memejamkan matanya sementara itu
beberapa bagian tubuhnya tersingkap hingga mempertunjukkan auratnya yang putih
menantang, sesekali Bocah yang tidak lain adalah Dirga Purana Bocah sakti yang
dipanggil dengan sebutan Sang junjungan membelai dan meremas gemas tubuh
perempuan yang dibawanya. Udara sore yang berhembus membawa angin dingin
rupanya membuat gairah Dirga Purana makin berkobar, setelah memandang kekiri
dan kekanan bocah sakti ini perlahan menurunkan sembari terus memeluk tubuh
Menur Kembiri pelayan penghuni Rumah Ketentraman dan keselamatan ke tanah
bersebelahan dengan salah satu batu merah yang mengelilingi pohon beringin
“he.he.he. manis ayo buka matamu.”ucap sang bocah sembari menepuk nepuk pipi
sang gadis. Menur Kembiri yang ditepuki pipinya perlahan membuka matanya. Saat memandang
wajah Dirga Purna untuk sesaat gadis ini tersentak dan hendak memberontak dari
rangkulan sang bocah namun saat melihat sepasang mata Dirga Purana yang sesaat
memancarkan cahaya kuning kemerahan gadis ini pun mulai diam, bahkan Menur
Kembiri terlihat tersenyum dan mendesah lirih kala melihat wajah bocah
dihadapannya berubah menjadi wajah seorang pemuda yang sangat tampan. gairah
kewanitaan Menur kembiri pun terbangkitkan! tanpa kuasa Menur Kembiri mulai
membalas pelukan Dirga Purana dengan liar dan ganas! Menur Kembiri pun mulai
memagut dan melumat Bibir Dirga Purana yang mencumbunya dengan rakus. kemudian
untuk beberapa saat yang terdengar hanyalah dengus nafas dan desah kenikmatan
keduanya. Pohon beringin dan kedelapan batu menjadi saksi bisu Kebejatan yang
dilakukan oleh Dirga Purana. Selang beberapa lama kemudian Dirga Purana
menghempaskan tubuhnya ke atas dada Menur Kembiri yang montok dan basah oleh
keringat, nafasnya yang sebelumnya terdengar memburu perlahan mulai teratur dan
tenang. Sementara itu tanpa disadari oleh sang bocah udara yang tadinya masih
terangterang tanah tiba-tiba mulai mengelam, kabut tipis berhembus membawa
udara yang dingin menggigit. mendung kelabu mendadak muncul dan bergelung
membentuk lingkaran tepat diatas kepala kedua anak manusia yang baru habis
melampiaskan hasrat berahi tersebut. Kala Dirga Purana mulai menyadari keanehan
yang terjadi, pada saat itulah didengarnya Menur Kembiri Berucap. anehnya suara
yang keluar dari bibir gadis ini bukanlah suara milik sang gadis, suara yang
didengarnya kali ini merupakan satu suara yang amat ditakutinya! Suara yang
didengarnya adalah suara seorang lelaki yang terdengar berat, serak dan dalam
seolah diucapkan dari dasar sebuah jurang! “Dirga Purana!!! Anak Keparat!! Lain
disuruh lain pula kau lakukan! Mana Jabang bayi yang kuminta!! Kenapa aku tidak
bisa mencium, dan merasakannya dari tempatku berada?” Dirga Purana tersentak
dan meloncat kebelakang dalam keterkejutannya. sementara itu dilihatnya Menur
Kembiri yang dalam keadaan bugil dan rambut acakacakan tertatih bangkit dari
tanah. Saat pandangan sang gadis bentrok dengan tatapan matanya, maka
terperangahlah sang Bocah! Sepasang mata gadis yang tadinya bening bagus kini
tidak terlihat lagi namun tergantikan oleh sepasang mata yang berwarna hitam
tanpa bagian putih disekitarnya. Yang lebih mengerikan lagi dari sudut mata
sang gadis meluncur beberapa ekor belatung gemuk yang berwarna hitam berkilat!
Belatungbelatung tersebut tidak hanya keluar dari sepasang mata namun juga dari
hidung, mulut, kedua telinga, Pusar, dan Kemaluan Menur Kembiri! Saat sang
bocah melirik ke arah belakang sang gadis, tampak menyembul keluar dari dalam
tanah sesuatu seperti Akar beringin yang menyembul dan masuk kedalam Dubur
gadis itu! Walau keadaannya sedemikian rupa, namun sang gadis seperti tidak
merasakan Bagaimana binatang-binatang menjijikan itu keluar dari tubuhnya,
maupun akar beringin yang menembus duburnya!
Dengan
tubuh terbungkuk dan tertatih gadis tersebut melangkah mendekati Dirga Purana
yang saat itu merasakan seluruh tubuhnya kaku laksana terpantek ke bumi,
keringat dingin memercik di keningnya. “Junjungan Tertinggi Yang Mulia Jenazah
Simpanan…”ucap sang Bocah tercekat. “Anak keparat!!! Kerjamu hanya
bersenang-senang menyalurkan nafsu terkutukmu! Menyesal aku memberikan
kepercayaan untuk menyelesaikan tugas ini…” seru sang gadis masih dengan suara
yang terdengar bagai dari dalam jurang.
“tu..tunggu
yang mulia, dengar dulu penjelasan hamba, hamba tidak mampu mengambil bayi itu
karena bayi itu dilindungi oleh satu kekuatan yang luar biasa! Disamping itu
banyak tokoh berilmu tinggi yang melindunginya! Hamba mengaku salah, hamba
mohon diberi kesempatan sekali lagi…” ucap Dirga Purana tersendat sementara
dalam hatinya berkata
“Celaka!!
Mega Kuning Menyembah Bumi!! Aku tak bisa menggerakkan tubuhku!!” hati sang
bocah mulai gelisah, sang bocah berusaha mengalirkan tenaga dalam kearah kedua
kakinya yang terpantek namun sia-sia! Nampak asap kuning tipis keluar dari
dalam tanah pertanda dengan ilmu yang sama, sang bocah berusaha untuk
membebaskan diri namun usahanya gagal! “he.he.he. kau pikir kau bisa Melarikan
diri dengan ilmu itu? Ilmu Mega kuning menyembah bumi milikku seratus kali
lebih kuat dari milikmu! Karena akulah yang menciptakannya! Kau sudah tidak ada
gunanya lagi! Tapi aku masih membutuhkan mu… tepatnya Jenazahmu…!”ucap sang
gadis dengan terkikik lalu dengan gerakan secepat kilat Menur Kembiri
mengembangkan kedua tangannya dan ajaib! Kedua tangan Menur Kembiri tiba-tiba
berubah panjang dan mencengkram kedua pundak Dirga Purana! Tidak hanya sampai
disitu, tiba-tiba saja leher sang gadis pun berubah memanjang sehingga
tahu-tahu kepala sang gadis telah tiba sejengkal didepan wajah dirga purana
yang pucat pasi!
Mendadak
dari kejauhan terdengar bunyi Lonceng berdentang laluu dari angkasa laksana
tabir turun sinar berwarna kuning yang mengarah ke tubuh Menur Kembiri! “Adinda
Mimba Purana..” desis Dirga Purana, sementara Menur Kembiri memalingkan
wajahnya memandang kearah tabir Sinar Kuning yang hendak melabrak dirinya.
puluhan belatung berhamburan dari bibirnya kala mulutnya menyunggingkan senyum
yang menggidikkan. “Bara Moksa Geni!!!” satu teriakan membahana keluar dari
mulut Menur Kembiri, sesaat lagi sinar kuning menghantam Menur Kembiri
tiba-tiba Pohon Beringin mendadak dilamun api berwarna hitam! Sungguh aneh! Api
berwarna Hitam yang mengobari Pohon Beringin tiba-tiba menggebubu keatas dan
langsung menyongsong datangnya sinar kuning terang! Tapi yang terjadi tidak
hanya sampai disitu! Mendadak ke delapan batu merah yang mengelilingi pohon
beringin terlihat berpendar dan nampak delapan sinar putih Redup berkiblat
keluar dari kedelapan batu merah memapasi serangan Api Hitam yang dilontarkan
Pohon Beringin Raksasa! Satu letusan keras terdengar membahana di seantero
Jurang langit pendam, Cahaya kuning, putih dan hitam yang saling bentrok
membuat satu ledakan bola api yang sangat besar dan menyilaukan mata! Tampak
potongan kain bermotif catur berhamburan diudara yang panas akibat pertemuan
tiga hawa sakti yang bentrok diudara! Hantaman tiga hawa sakti di langit Jurang
pendam membawa pengaruh yang hebat di daerah sekitarnya, pohon-pohon dan
rerumputan tercabut dari tempatnya dalam keadaan hangus merangas, kedelapan
batu yang berdiri mengelilingi pohon beringin tampak bergulingan tumpang
tindih! Di beberapa tempat terlihat onggokan daging mengepulkan asap menyebar
menggidikkan! Sebenarnya apa yang terjadi? Pada saat terjadi bentrok antara
tiga kekuatan yang berbeda, Dirga Purana yang tak kuasa untuk bergerak hanya bisa
mendelikkan matanya pasrah! Sementara Menur Kembiri yang disusupi oleh satu
kekuatan tiba-tiba dengan sekuat tenaga menghentakkan tangannya yang memegang
bahu Dirga Purana dan melemparkan bocah tersebut kearah Pohon Beringin! Dirga
Purana menjerit keras kala tubuhnya menghantam kulit pohon yang membara!
punggungnya laksana digarang diatas Pendiangan! Tiba-tiba dalam hitungan detik
sebelum ledakan pecah diudara, dari dalam pohon keluar sulur-sulur akar yang
langsung membelit tubuh dan menarik Tubuh Dirga Purana masuk Kedalam Pohon
beringin! Sementara itu diluar pohon bunyi letusan dan kekuatan ledakan dari
bentroknya tiga hawa sakti menghantam ke segala arah termasuk menghantam kearah
Tubuh Menur Kembiri yang tegak tergontai “Akhirnya bebas…” ujarnya sembari
tersenyum sepersekian detik sebelum tubuhnya meledak terhempas kekuatan dahsyat
hasil bentrokan tiga kekuatan sakti. Sementara itu sesaat setelah letusan besar
terjadi, dari atas langit perlahan turun sebentuk awan kelabu mengitari daerah
seputar jurang langit pendam.
Sesosok
bocah berbaju hitam dengan perawakan sama dengan Dirga Purana tampak terduduk
lesu diatas awan sembari menatap kearah pohon beringin raksasa. “Kakang Dirga
Purana… aku terlambat…” desisnya penuh duka. Sementara itu Dirga Purana Yang
tubuhnya terbelit rangkaian akar pohon beringin tidak kuasa untuk bergerak dan
membuka mata, seluruh tubuhnya serasa ditancapi ratusan jarum berapi!
Untuk
beberapa saat dia merasa tubuhnya seakan diseret di semacam lobang yang pengap
dan panas! setelah merasa tubuhnya tidak terseret lagi, sang bocah berusaha
untuk membuka matanya dan ajaibnya kali ini dia mampu untuk membuka matanya!
Dan apa yang disaksikannya membuat sang bocah merinding dan tercekat! Sang
bocah mendapati dirinya berada dalam satu ruangan atau rongga bawah tanah yang
amat luas. ruangan itu terlihat terang benderang namun cahaya terang yang
menyinari ruangan itu bukan berasal dari sinar matahari melainkan berasal dari
lahar yang menggelegak didasar ruangan! Ya, ruangan yang berada dibawah pohon
beringin itu tidak memiliki dasar selain dasar berupa lahar yang mendidih
menggelegak! Saat memandang keadaan dirinya maka terkejutlah sang bocah!
Dirinya ternyata hanya tergantung diudara bebas hanya dibelitkan oleh beberapa
helai akar beringin! Kembali sang bocah menyapukan pandangannya, dan sang bocah
kembali terpaku karena sang bocah mendapati bahwa ternyata dia tidak sendiri!
Di sekelilingnya tidak kurang dari ratusan bahkan mungkin ribuan orang
tergantung oleh akar beringin yang menjuntai diatas kepulan lahar yang membara!
Orang-orang tersebut terdiri dari orang tua, muda, pria dan wanita dari
berbagai umur dan kalangan. Sekali memandang saja Sang Bocah tahu kalau semua
orang yang tergantung itu semuanya sudah lama menjadi mayat, ratusan bahkan mungkin
ribuan tahun. Hal ini bisa disimpulkan dari pakaian yang dikenakan oleh
mayatmayat tersebut. Yang menjadi tanda tanya dihati sang bocah adalah
bagaimana mayat-mayat yang sudah meninggal lama tersebut tetap awet dan tidak
membusuk. Selagi sang bocah termangu menatap pemandangan disekelilingnya
tiba-tiba dirinya dikejutkan oleh satu suara yang bergaung seakan dari dasar
jurang “Dirga Purana, apa yang kau lihat merupakan seluruh koleksi ku yang
paling berharga. Mereka adalah orangorang hebat dijamannya yang takluk dan
tunduk dibawah kekuasaanku. Dan sebentar lagi kau akan mendapat kehormatan
menjadi salah satu bagian dari mereka” ucap suara tersebut. Dirga purana
berusaha memandang keatas mencari asal suara dan pandangannya pun terbentur
pada satu sosok yang menggidikan! Sosok tersebut hanya merupakan jerangkong
yang terbenam pada salah satu bonggol akar beringin. kepala tengkoraknya
berwarna hitam dan dikening nya terlihat mencuat sepasang tanduk yang berwarna
hitam. sosok tersebut kedua tangan terlihat bersidekap menggenggam suatu benda
bercahaya yang tidak bisa dilihat oleh Dirga Purana, tampak akar-akar beringin
mengitari seluruh tubuh tengkoraknya sementara bagian pinggul dan kedua paha
serta kakinya tidak terlihat karena terbenam dalam
Pokok
bonggol akar beringin dan dari pokok-pokok akar beringin inilah terangkai satu
sambungan pokok-pokok akar halus lainnya yang membelit dan menghubungkan
ratusan bahkan mungkin ribuan jenazah dibawahnya! Tiba-tiba makhluk tengkorak
hitam mengeluarkan bentakan keras
“Lamanyala!
Bangun! Pimpin seratus Laskar Iblis dan Rebut Jabang Bayi Pantangan! Setelah
itu bergabung dengan dua kawanmu yang lain dan bumi hanguskan Mataram!” satu
untaian akar yang tergantung hingga kebawah Lahar tiba-tiba bergerak naik dan
dari dalamnya terlihat satu sosok yang dilamun kobaran api bergerak bangkit
seraya melepaskan diri dari belitan akar dan langsung berdiri diatas Lahar
mendidih!
Tidak
hanya sampai disitu, perlahan dari dalam lahar mendidih mencuat kepala lalu
seluruh badan ratusan makhluk yang tubuhnya dikobari api! Sosok yang dipanggil
dengan sebutan Lamanyala adalah satu sosok jerangkong berjubah hitam dan
seluruh tubuhnya dilamun api sementara bagian tubuhnya sebelah kiri hanya
merupakan sebuah geroakan besar! (Perihal diri Lamanyala, Silahkan mengikuti
serial Wiro Sableng di negeri Latanahsilam dalam episode : Hantu Langit
Terjungkir) Lamanyala terlihat membungkukkan diri diikuti oleh seratus makhluk
api lainnya. “Titah Yang Mulia Junjungan Tertinggi Jenazah Simpanan adalah
hukum, dan hukum Adalah Yang Mulia Jenazah Simpanan, kami siap menjalankan
titah” sosok jerangkong hitam bertanduk yang dipanggil Yang Mulia Tertinggi
Jenazah Simpanan ganda tertawa kemudian kembali menyahut. “cepat laksanakan
tugasmu wahai Lamanyala! Ingat waktu kita hanya sampai Bulan Biru di Mataram
Berakhir! Setelah itu kita akan kembali tertidur dan hanya bisa bangkit delapan
ratus tahun mendatang! Ingat itu! Oleh karena itu kau harus bisa membunuh
Jabang Bayi Pantangan dan membumi hanguskan Mataram dalam waktu semalam
ini!”ucap Jenazah simpanan menggetarkan pelosok ruang goa. Lamanyala terlihat
menganggukan kepala “Ucapan Yang Mulia akan kami laksanakan, Kami pergi
sekarang, mohon bantuan yang mulia untuk mengirim kami ke atas. Makhluk
jerangkong ganda tertawa lalu dari sepasang matanya yang bolong memancar sinar
merah yang langsung menyambar tubuh Lamanyala dan seratus Laskar Iblis. Sinar
tersebut langsung membungkus tubuh mereka dan mengubah tubuh mereka menjadi
cahaya merah yang sangat kecil. Dengan sekali sentak cahaya-cahaya merah
terlihat melesat menembus keatas melalui cabangcabang akar beringin yang ada di
bawah tanah. Kepala jerangkong hitam kembali berpaling kearah Dirga Purana.
“Sekarang
adalah Giliranmu…”kekeh sang Jerangkong yang dipanggil dengan sebutan Yang
Mulia Tertinggi Jenazah Simpanan sembari menatap Dirga Purana. Bocah yang
dipandang menjadi ketakutan setengah mati sebelum akhirnya terhenyak kala
tiba-tiba satu sinar berkiblat melalui akar –akar pohon yang melilit tubuhnya!
Diga purana berusaha memberontak untuk membebaskan diri, namun sia-sia semata!
Perlahan
dirasakannya seluruh tenaga baik dalam maupun luar yang dimilikinya terhisap
oleh akar-akar pohon beringin.
“benar-benar
tenaga dalam yang maha dahsyat! Benar-benar anak pilihan! Jika saja aku bisa
menyerap seluruh tenaga Adikmu Mimba Purana, Pastilah tak ada yang akan mampu
mengalahkan aku bahkan Dewa sekalipun! Ha.ha.ha.” ucap Sang Jerangkong Hitam
sembari tertawa terbahak-bahak.
sementara
itu perlahan demi perlahan dalam rasa sakit yang amat sangat akhirnya
meninggallah Dirga Purana, bocah yang selama hidupnya bergelimang dosa dan
menjadi budak nafsu dirinya sendiri. Mati dalam keadaan habis terhisap seluruh
tenaganya luar dalam!
********************
4
Sementara
itu ditempat lain, setelah menerapkan ilmu Menembus Pandang pemberian Ratu
Duyung ke seantero pelosok Keraton dan sekitarnya Wiro pun menghembuskan nafas
lega. "Yang Mulia, saya rasa keadaan sekarang sudah aman. Yang Mulia dan
keluarga bisa segera masuk ke dalam istana. Saya dan para sahabat akan tetap
berada di sini sampai sang surya terbit. Selain itu, sudah saatnya saya harus
menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi Kepada Yang Mulia” Ucap Sang Pendekar
sembari mengangsurkan bungkusan kain putih berisi Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
kepada Raja mataram yang berdiri didepannya. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Raja
Mataram tersenyum dan menerima Keris yang diangsurkan Wiro. Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi ditaruhnya dikening kemudian sesudah merangkapkan tangan diatas kepala
keris sakti tersebut kemudian dicium. Raja Kemudian memerintahkan keluarganya
dan anggota kerajaan lainnya untuk segera masuk ke dalam keraton. “Ksatria
Panggilan, aku selaku raja Mataram sungguh berterima kasih atas semua yang kau
lakukan, Aku memberimu izin untuk menggunakan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi untuk
Mengobati penyakit sahabatmu Sakuntaladewi” ucap sang raja sembari
mengangsurkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi kepada wiro. Wiro pun menerima
kembali keris yang diangsurkan kepadanya, saat tangannya menyentuh bungkusan
keris dirasakannya perbedaan dari sebelum dia memberikan keris sakti tersebut
kepada raja mataram. Ada hawa hangat menjalari kedua tangannya yang memegang
keris tersebut.”Tampaknya daya Linuwih dan Kuasa Keris ini bertambah setelah
mendapat restu dari Paduka Raja” gumam sang pendekar dalam hati. “dan jangan
lupa wahai Ksatria Panggilan, kesembuhan sahabatmu Dewi Kaki Tunggal akan
terlaksana sepenuhnya setelah kau melaksanakan Kaul yang telah diucapkannya dan
disetujui oleh Dewata” Sambung sang raja. “Buset, apa benar aku harus kawin
dengan Dewi Kaki Tunggal? Kalau dihitung-hitung Sudah dua Kali aku kawin,
dengan ini bakalan jadi yang ketiga! Maknya!” ucap sang pendekar sambil
menggaruk-garuk rambutnya yang gondrong. (mengenai perkawinan wiro yang pertama
silahkan baca serial Wiro ditanah silam dalam episode: Rahasia Perkawinan Wiro.
Sedangkan perihal perkawinan Wiro yang kedua dengan Mendiang Puti Andini
silahkan baca serial Wiro episode: Kitab Seribu Pengobatan) Wiro beranjak
mendekati tempat dimana Sakuntaladewi atau Dewi Kaki Tunggal berdiri.
“Dewi,
maafkan kelancanganku aku akan mencoba mengobati penyakitmu, kuharap kau mau
menaikkan sedikit kainmu” ucap sang pendekar sembari menatap Sakuntaladewi.
Orang yang ditatap menjadi merah wajahnya dan tak kuasa untuk membalas tatapan
Wiro. Sakuntaladewi kemudian beranjak ke sebuah batu berbentuk datar yang ada
di tepian sebuah kolam atau sendang kecil yang berada di depan Keraton diikuti
oleh semua orang disitu termasuk Raja Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
Setelah Sakuntaladewi duduk bersimpuh diatas batu tersebut, Sakuntaladewi
kemudian menaikkan kain penutup kakinya hingga sebatas paha sehingga
memperlihatkan auratnya yang meski hanya berupa sebuah kaki namun berwarna
putih menantang. wajah sang gadis terlihat merah jengah. Wiro menenggak ludah
melihat apa yang dilihatnya didepan, sementara itu Raja Rakai kayuwangi dan
Kakek Kumara Gandamayana hanya memandang sejurus kemudian berganti
memperhatikan Wiro. Senyum-senyum kedua orang penting di Bhumi Mataram ini
memperhatikan Sang Pendekar yang tubuhnya gemetaran panas dingin!
Sementara
itu Ratu Randang dan Kunti Ambiri tampak meneteskan airmata. Dalam hati
keduanya sesungguhnya amat mencintai Wiro. Walaupun terpaut jauh usianya dengan
Wiro, Ratu Randang maupun Kunti ambiri yang dulunya dikenal sebagai Dewi Ular
telah mengalami banyak peristiwa yang membuat hati mereka amat dekat dengan
sang pendekar. Kini saat melihat sang pendekar hendak melaksanakan Kaulan untuk
mengobati dan menikahi Sakuntaladewi, walaupun dalam hati ada rasa senang akan
kesembuhan seorang sahabat, namun dalam hati keduanya cukup banyak juga tidak
relanya! Perlahan Wiro mulai membuka kain Putih pembungkus keris Kanjeng Sepuh
Pelangi, Cahaya biru diiringi seiris warna pelangi tampak menerangi udara. Wiro
kemudian meletakkan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi ke atas keningnya lalu dalam
hati sang pendekar berdoa “Ya Gusti Allah, Jika Kesembuhan memang kehendakmu,
Biarlah Dengan Restumu kau berikan kesembuhan melalui keris di tangan Hambamu
ini..” Sang Pendekar kemudian menyapukan perlahan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi
diatas permukaan kaki Sakuntaladewi.
Sakuntaladewi
terpekik kecil kala dari sekujur kakinya terlihat letupan-letupan api lelatu
berwarna biru! Asap tipis berbau setanggi menggebubu menyelimuti kaki Sakuntaladewi
“Wiro Lihat! Kakiku…”Tiba-tiba Sakuntaladewi memekik sembari memeluk leher sang
pendekar kala asap tipis berbau setanggi yang menutup kakinya sirna, kini
dihadapan semua orang tertampak sepasang kaki putih bagus menjela diatas Batu
datar. Sakuntaladewi mengusap kedua kakinya silih berganti kemudian kembali
sang Gadis menatap Wiro, sementara yang ditatap hanya cengar-cengir sembari
mengaruk rambutnya yang gondrong, kemudian tanpa disangka-sangka sang gadis
menghamburkan diri memeluk sang pendekar air matanya menitik kala ucapannya
lirih terdengar ditelinga Wiro “Terima kasih.. Suamiku..” Murid Sinto Gendeng
yang mendengar ucapan sang gadis tiba-tiba langsung meriang! Mendadak udara
malam yang sebelumnya dingin sejuk tiba-tiba berubah panas dan pengap! Kala
itulah tiba-tiba keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang masih berada digenggaman Wiro
bergetar dan tiba-tiba melesat keangkasa lalu menukik kearah Sang baginda Raja
Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala! Sementara itu berbarengan dengan melesatnya
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi Ke angkasa tiba-tiba berhamburanlah hampir ratusan
Cahaya merah bergeredepan kearah Wiro dan Kawan-kawan! “Awas Serangan…! Wiro
Lindungi Raja..!” Ratu Randang yang pertama menyadari adanya serangan berteriak
memperingati sembari melepaskan pukulan sakti kearah cahaya merah yang ternyata
adalah puluhan bahkan ratusan batu merah menyala yang berhamburan kearah
mereka! Sementara itu Kunti Ambiri yang berada disebelahnya juga tidak tinggal
diam, dengan cepat disebatkannya kedua tangannya kedepan, satu rangkum angin
berbau amis menderu memapaki datangnya batu-batu merah menyala tersebut.
Sementara itu saat batu-batu merah membara melesat menghantam Wiro dan
temannya-temannya, tak jauh dari situ Eyang Kumara Gandamayana bergerak cepat
kedepan untuk melindungi Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala, Sorbannya hendak
dikebutkan kedepan kala dari arah yang sama dimana Batu-batu merah melesat,
melesat pula sepuluh larik sinar hitam yang saling bersilang! Wiro yang sempat
sesaat melihat kearah Raja akibat teriakan Ratu Randang, terkejut besar dan
tanpa sadar berteriak kencang kala melihat cahaya pukulan yang sedang
menghantam Eyang Kumara Gandamayana dan Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
“Lima Kutuk Dari Langit! Astaga Bagaimana bisa..?”
sang
pendekar tidak sempat berpikir lebih lama, cepat diangkat tangannya yang
sebelumnya dipakai untuk memeluk Sakuntaladewi, Namun sebelum Wiro sempat
melepaskan Pukulan Matahari, dari angkasa secara tiba-tiba Menukik Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi kearah Raja Rakai Kayu wangi Dyah Lokapala! Saat jarak
keris mencapai kurang dari sepuluh depa dari Raja Mataram, keris itu bergerak
berputar membentuk kipas dengan cahaya pelangi melindungi Raja Mataram!
Kesepuluh
larik cahaya hitam yang hendak menghantam Raja dan Eyang Kumara Gandamayana
langsung terpental dan berhamburan sirna di angkasa! “Sang Hyang Jagatnatha!
Terimakasih
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi, Kau sudah melindungiku…” ucap syukur Raja Rakai
Kayuwangi Dyah Lokapala kala Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang sebelumnya
berputar di hadapannya dan telah menangkis serangan kesepuluh Larik cahaya
hitam perlahan turun dan berhenti tegak dihadapannya. Sang raja pun langsung
mengambil keris yang tergantung di udara itu meletakkan dikening dan kemudian
menciumnya. Sementara itu dari atas sebuah Pohon Randu sejauh lima puluh
lemparan tombak dari tempat wiro dan kawan-kawan berada meloncat turun dua
sosok tinggi besar, sosok pertama berjalan mendekati kearah kawanan Wiro, saat
sosok tersebut mulai tampak jelas, berdirilah bulu kuduk sang pendekar! Sosok
didepannya berwujud seorang pria dengan keadaan tubuh yang mengerikan, sepasang
matanya memiliki masing-masing dua bola mata berwarna biru! Pakaian yang
dikenakan adalah sehelai celana gombrang dari kulit kayu yeng diberi jelaga
hitam. Namun yang paling mengerikan adalah dikepala pria ini mulai pertengahan
kening melekat ratusan batu-batu berwarna merah membara mengepulkan asap tipis!
Batu-batu yang sama juga terlihat melekat sepanjang perut dan dada makhluk satu
ini! “Hantu Bara Kaliatus! Tidak mungkin! Bagaimana makhluk kapiran satu ini
bisa ada di tanah Mataram? Kalau begitu seorang lagi jangan-jangan…” Wiro
hendak berdiri untuk memastikan namun terpaksa ditunda saat satu tangan halus
mencekal pundaknya. satu erangan keluar dari mulut gadis yang masih berada
dalam pelukannya. “Wiro…” kejut sang pendekar bukan kepalang kala didapati
Sakuntaladewi yang masih berada dalam pelukannya terkulai bersimbah darah,
dibagian dadanya terlihat satu geroakan lobang sebesar hampir sekepalan anak
kecil mengeluarkan asap dan hawa panas! “Ya Tuhan! Dewi…apa.. apa yang…??”
tergagap Wiro kala melihat wajah Dewi Kaki Tunggal yang pucat dengan luka parah
dibagian dadanya, rupanya saat serangan batu-batu merah menyala yang
dilontarkan oleh makhluk yang bukan lain adalah Hantu Bara Kaliatus salah satu
Musuh Wiro di Negeri Latanahsilam ini, Sang gadis adalah orang yang pertama
kali melihat datangnya serangan, namun sang dara tidak sempat memperingati
maupun menangkis serangan karena kedua tangannya memeluk leher Wiro, yang bisa
dilakukan adalah menggerakan tubuhnya sehingga menggeser tubuh Wiro kesamping!
Akibatnya
bisa dilihat sendiri! ada sebuah batu yang tidak sempat ditembus oleh pukulan
sakti Ratu Randang dan Kunti Ambiri, Dengan telak menghantam dadanya!
Selekasnya Wiro mengeluarkan kedelapan bunga Matahari kecil yang ada dibalik
pinggangnya dan disapukan ke dada Sakuntaladewi. “Dewi bertahanlah! Kau pasti
sembuh” ucap sang pendekar sembari terus membelai kedelapan Bunga Matahari
Kedada sang gadis.
Saat
itulah terdengar suara kecil yang tidak tampak. “Ksatria Panggilan, kami tidak
bisa membantumu menyembuhkan gadis ini walaupun kami sangat ingin… gadis itu
telah meninggal…rohnya telah pergi…” Wiro terkejut besar kala mendengar suara
yang diketahuinya berasal dari Kedelapan Bunga Matahari ditangannya. “tidak
mungkin! Kemampuan kalian begitu hebat! Masakan kalian tidak mampu menolong
Gadis ini?” teriak sang pendekar sembari memeluk erat tubuh Sakuntaladewi.
Sementara
itu Kunti Ambiri dan Ratu Randang terlihat berpelukan sembari menangis
sesenggukan “kuasa kami sangat terbatas wahai ksatria panggilan, hidup dan mati
merupakan kuasa Sang Hyang Jagatnatha, kami tidak punya kemampuan membangkitkan
nyawa orang yang sudah meninggal!” suara kecil kembali terdengar lalu tiba-tiba
bunga matahari di tangan wiro menghilang dan kembali ke balik pinggangnya. Sang
pendekar terlihat terpaku menatap wajah dingin yang tersenyum padanya itu.
perlahan dikecupnya kening jenazah Sakuntala Dewi lalu dibaringkannya ke tanah.
mata sang pendekar terlihat memancarkan cahaya aneh saat memandang kearah Hantu
Bara Kaliatus yang berdiri dihadapannya.
Didahului
raungan keras sang pendekar melesat terbang laksana kilat kearah Hantu Bara
Kaliatus! “Hantu Keparat…!!!Kembalikan Nyawa istriku!” teriak sang pendekar
penuh kemarahan. Kedua tangannya yang bersinar keperakan langsung menghantam
kearah Hantu Bara Kaliatus! Sesaat lagi dua sinar pukulan matahari meluluh
lantakkan tubuh Hantu Bara Kaliatus, tiba-tiba Wiro merasakan Sambaran Angin
tendangan dahsyat dari atas Kepalanya! “Kaki Batu Penghantar Roh!” teriak Wiro
Kala mengenali jurus tendangan yang mengancam kepalanya! Secepat kilat Wiro
melompat menyelamatkan diri. Pukulan Matahari yang di hantamkan ke arah Hantu
Bara Kaliatus menjadi melenceng jauh dan menghantam gapura keraton yang
langsung hancur hangus berantakan! Untuk sesaat Wiro memegang pundaknya yang
terasa perih terkena serempetan angin tendangan. Kala matanya menumbuk satu
sosok yang tadi berusaha menggagalkan serangannya pada Hantu Bara Kaliatus tubuh
Sang Pendekar tiba-tiba Bergetar keras! Satu teriakan terdengar keluar dari
mulut sang pendekar! “Lakasipo….! Ya Tuhan…!”
********************
5
Sementara
itu Didalam Candi yang disebut dengan sebutan Rumah Ketentraman dan
Keselamatan, satu sosok jerangkong terlihat keluar dari dalam tanah sembari
mencekal tangan Ning Rakanini yang berusaha menusukkan tusuk konde dikepalanya
ke perut Arwah Ketua Penguasa Candi Miring.
“Tanggalkanlah
Amarah Dan Kebencianmu Ajeng Puteri, janganlah masalah Pribadi membutakan hati
dan akal sehatmu…” ucap Sang jerangkong atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Lor Pengging Jumena seraya melepaskan pegangannya pada tangan Nenek Katai Ning
Rakanini. Sang nenek perlahan menurunkan tangannya lalu menancapkan kembali
tusuk konde di tangannya yang sedianya tadi hendak ditusukkan ke perut Arwah
Ketua kembali ke batok Kepalanya.
Kepalanya
tertunduk tak berani menatap mata jerangkong makhluk yang berdiri dihadapannya.
Sementara itu Arwah Ketua terlihat merangkapkan tangannya kearah lor Pengging
Jumena “Salam hormatku Wahai Lor Pengging Jumena maafkan ketidak sopananku
ini…” ucap sang kakek penjaga
Candi
miring ini. Kepala jerangkong Embah Buyut Kumara Gandamayana ini berputar
memandang kearah makhluk yang dipanggil dengan sebutan Arwah Ketua ini. “aku
menerima salam Hormatmu wahai Arwah Ketua, semoga berkat sang Hyang Jagatnatha
turun keatasmu..” setelah membalas hormat Arwah Ketua, Lor Pengging Jumena
kemudian memalingkan wajahnya kearah Resi Kali Jagat, sebelum makhluk
jerangkong ini membuka suara, Resi Kali Jagat Ampusena telah terlebih dahulu
membuka suara tangannya bersidekap didepan dada sementara tubuhnya dirundukkan
sejajar dengan pinggang
“Saya
mohon maaf sebesar-besarnya Kepada Mbah Buyut Kumara Gandamayana eyang sepuh
pelindung kerajaan Mataram, hamba tidak mengetahui sebelumnya kalo hamba
berhadapan bahkan sudah ditolong oleh sang Pelindung Bhumi Mataram sendiri.
Hamba benar-benar lancang dan pantas dihukum” ucap sang Resi bergetar.
Lor
Pengging Jumena kemudian berjalan kearah Sang Resi lalu memegang kedua bahunya
dan membangunkan Sang Resi. “Berdirilah Ampusena, kau tidak lancang dan tidak
ada yang harus dihukum karena kau tidak bersalah! Justru kau sudah melakukan
tugas mulia yang dibebankan kepadamu dengan baik dan tanpa pamrih, tanpa adanya
kau niscaya bayi suci dan malang ini tak akan bisa diselamatkan. Perlu kau dan
semua orang yang ada disini ketahui, ditangan jabang bayi ini nanti seluruh
keselamatan dan ketentraman Bhumi Mataram bahkan seluruh Tanah Jawa Dwipa
digantungkan…”
Lor
Pengging Jumena sesaat memandang kearah Ning Rakanini dan Arwah Ketua lalu
kembali memandang kepada Resi Kali Jagat Ampusena.” Aku Meminta maaf sebelumnya
kalo tadi aku bersikap seolah tidak mengetahui mengenai dirimu dan perihal
jabang bayi dalam Guci tersebut.
Pada
sesungguhnya aku pun pada dasarnya sama sepertimu, ditugaskan untuk menjaga dan
melindungi Bayi Dalam Guci bening tersebut karna sesungguhnya ada satu makhluk
jahat yang tidak mengingini kehadiran bayi suci ini ke muka bumi” suasana
hening sejenak terasa kala lor Pengging Jumena mengakhiri ucapannya, setelah
beberapa saat Arwah Ketua mulai membuka suara “Aku juga sesungguhnya datang
kesini atas petunjuk yang kuterima saat bersemadi di candi miring, Petunjuk
tersebut tidak begitu jelas, yang pastinya petunjuk tersebut hanya berupa
kisikan yang meminta aku untuk secepatnya datang ke daerah hutan jati ini.
Saat aku
melihat bayi dalam Guci di tangan Sahabatku Ampusena, aku jadi teringat pada
Mimba Purana saat masih orok dulu di sumur api. Aku jadi rindu dan jadi ingin
memelihara bayi itu, apalagi tadi kudengar Ning Rakanini menolak saat Ampusena
memohon untuk menitipkan bayi padanya jadi kupikir-pikir tidak salah kalo
sebaiknya aku saja yang menjaga bayi tersebut bagaimana Lor Pengging Jumena?
Apa salah ucapanku?” ucap sang kakek bertanduk yang langsung dibalas pelototan
mata jereng Nenek Katai Ning Rakanini. (Mengenai Riwayat Mimba Purana, Silahkan
baca Serial Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa. Karya Bastian Tito) Resi Kali
Jagat Ampusena menghembuskan nafas berat.
“itulah
yang menjadi pikiranku saat ini Mbah buyut, aku tidak tahu lagi harus kubawa
kemana bayi ini, aku tidak tahu lagi tempat yang aman selain disini. Sampai
sekarang Roh Putih yang menjadi penuntun dan pemberi petunjuk juga belum
memberitahukan kemana dan apalagi yang harus kulakukan dengan bayi ini..
sungguh aku sangat khawatir dengan keselamatan bayi ini..”ujar sang Resi sembari
menatap sayu kearah Jabang Bayi dalam Guci yang terletak diatas meja batu.
Ning
Rakanini yang masih mendelikkan matanya ke Arwah Ketua juga mulai membuka
suara. “aku sesungguhnya tidak keberatan dan tidak menolak dengan permintaan
Resi Kali Jagat untuk menyimpan bayi itu disini, tapi seperti yang Embah buyut
lihat, aku tidak menyangka karena keteledoranku tempatku ini masih bisa dibobol
orang..
Rumahku
yang disebut orang Rumah Ketentraman dan keselamatan akhirnya tidak membawa
ketentraman dan keselamatan lagi buat penghuni didalamnya.”ucap sang nenek
masih sambil melotot memandang kearah Arwah Ketua!
Makhluk
yang dipelototin hanya senyum-senyum saja, namun tiba-tiba Arwah ketua
memandang kearah Resi Kali Jagat dengan pandangan gembira. “tunggu dulu, bukankah
masih ada satu tempat yang bisa dijadikan tempat untuk menyimpan jabang bayi
ini, satu tempat yang tidak bisa ditembus dan dimasuki oleh sembarang orang,
tempat dulu bersemayamnya Keris Kanjeng Sepuh Pelangi!” lonjak Arwah Ketua
kegirangan.
“Maksudmu
Ruangan Segitiga Nyawa? Tempat itu sudah pernah dibobol sebelumnya oleh Sinuhun
Merah Penghisap Arwah melalui Empu Semirang Biru, Disamping Itu ruangan
tersebut juga kini sudah tidak ada lagi alias sudah Hancur”
Sambung
Lor Pengging Jumena membuat Arwah Ketua duduk menjeplok ditanah saking
dongkolnya. Kakek berjubah biru ini mengetuk-ngetukan kepalannya ke kepalanya
yang bertanduk seakan sedang berpikir namun tiba-tiba tubuhnya terlonjak keatas
seakan pantatnya disengat kalajengking! Sementara itu mata bolong jerangkong
Lor Pengging Jumena terlihat bergerak menatap kearah luar bangunan Candi.
“Musuh kembali datang…”ujarnya. “yah, dan jumlahnya tidak kepalang tangung!”
keluh Arwah Ketua sembari mengebas pantat jubahnya yang kotor karena debu. Baru
saja Arwah Ketua berucap, Candi batu hitam terasa bergetar keras! Hawa panas
luar biasa terasa melingkupi ruangan candi. Sesaat kemudian satu sisi dinding
bergerak terbuka dan masuklah tiga orang gadis bermuka bopeng yang sedang
membopong seorang gadis yang terluka ditengah-tengah mereka, Mereka langsung
berlutut dihadapan Nenek Ning Rakanini “ Mohon ampunan Ajeng Puteri, Ada
ratusan Makhluk jahat yang menyerang Rumah Ketentraman dan Keselamatan kita,
kami tidak kuasa menahan mereka karena mereka terlalu banyak! Sudilah kiranya
Ajeng Puteri menurunkan perintah ” ucap salah seorang gadis masih sembari
memeluk gadis yang terluka. Ning Rakanini cepat menghambur kearah gadis yang
terluka diperhatikan dengan seksama wajah gadis yang pucat tersebut, terlihat
satu luka hangus berbau sangit didadanya. Sang nenek maklum bahwa nyawa sang
gadis tidak akan bisa tertolong lagi
“Kunir
Arum…”desah sang nenek menyebut nama sang gadis pelayan, sementara itu gadis
yang dipanggil namanya hanya tersenyum sesaat kemudian kepalanya pun terkulai
kesamping. Sang nenek menyeka air matanya kemudian bersuara kereng”
kalian
kembali ke Rumah Dasar! Bawa dan urus jenazah Kunir Arum baik-baik dan jangan
sekali-kali bergerak tanpa menunggu perintahku!” kedua gadis yang membopong
jenazah temannya tersebut kemudian duduk bersujud, seorang dari mereka kemudian
menggeserkan sisi kiri kakinya ke lantai, tampak perlahan tubuh para pelayan
Ning Rakanini ini seolah amblas kedalam tanah dan kemudian menghilang dari
lantai ruangan candi. Resi Kali Jagat menghela nafas berat
“tampaknya
kedatanganku dan bayi ini hanya membawa musibah dan petaka bagimu dan tempatmu
ini Ning Rakanini…” keluh sang Resi sembari menatap sayu kearah Nenek Katai
tersebut “sudahlah Ampusena, apa yang terjadi bukanlah salahmu, ini semua pasti
kehendak Para Dewa. Yang terlebih penting saat ini adalah bagaimana cara kita
menghadapi para Makhluk Keparat yang menginginkan Bayi yang kaubawa Ampusena!”
ujar sang nenek. Baru habis berucap dinding candi kembali bergetar keras, kali
ini lebih keras dari getaran sebelumnya! Hawa panas terlihat turun dari atap
candi yang berlubang. “tidak ada pilihan lagi! Kita harus keluar dan menghadapi
mereka atau tewas ditempat ini!” ucap Arwah Ketua. Nenek ning Rakanini
memandang kearah Lor Pengging Jumena seakan meminta persetujuan, kepala
jerangkong Embah Buyut mengangguk menanggapi pandangan sang Nenek, sang Nenek
menggerakkan tangannya kearah dinding dihadapannya hingga dinding tersebut
bergeser membentuk sebuah pintu. Sedetik kemudian tubuh sang nenek sudah melesat
keluar diiringi kelebatan Arwah Ketua, Embah Buyut, dan terakhir Resi Kali
Jagat Ampusena yang terlebih dahulu mengambil bungkusan kain hitam berisi
Jabang Bayi Dalam guci yang terletak di atas meja batu. Sesampainya mereka di
luar candi terkejutlah keempat orang ini! Pohon Jati besar yang menaungi Candi
Batu Hitam yang disebut dengan Rumah Ketentraman dan Keselamatan terlihat
dikobari api mulai dari pucuk batang hingga ke seluruh akarnya! Tidak heran
Candi Batu terasa panas laksana dipanggang! Tidak hanya sampai disitu, kala
Ning Rakanini dan kawan-kawannya menyapukan pandangan ke segala arah tampak
bahwa seluruh pohon jati dalam jarak sepuluh tombak dari candi batu semuanya
mengalami nasib yang sama dengan pohon jati raksasa, semuanya dilamun kobaran
api! Namun bukan hal ini saja yang membuat Resi Kali Jagat dan yang lainnya
terkejut, yang membuat mereka terhenyak adalah keberadaan ratusan sosok yang
tubuhnya dikobari oleh api menyala yang kini telah mengepung mereka!
Sosok-sosok ini tidak dapat diketahui jenis kelaminnya karena sekujur tubuh
yang hangus terpanggang dan dilamun kobaran api, makhluk-makhluk api ini
berdiri menyebar mengelilingi kawasan Candi batu mengepung Resi Kali Jagat dan
yang lainnya. Beberapa dari mereka terlihat bergelayutan diantara pohon jati
yang terbakar. “Gila! Makhluk apa mereka ini? Bagaimana bisa sebanyak
ini?”desis Ning Rakanini sembari menyiapkan satu pukulan sakti di tangan
kanannya sementara tangan kirinya menggenggam tusuk konde dari batu yang
dicabut dari kepalanya. “kita tidak mungkin bisa mengalahkan mereka sekaligus,
apabila mereka menyerang berbarengan kita bisa…”ucap Arwah Ketua Khawatir
sembari celingukan kesana-sini, belum habis kakek satu ini berucap, tiba-tiba
hampir selusin makhluk yang berdiri mengepung menggerakkan tanggannya kearah
Resi Kali Jagat dan kawan-kawan! Dua belas jalur kobaran api sebesar pohon
kelapa terlihat mengahantam secepat kilat kearah candi batu!
Nenek
Katai Ning Rakanini menggerakkan kedua tangannya, tusuk kundai dan satu sinar
hitam terlihat berkiblat, sosok jerangkong Lor Pengging Jumena tidak tinggal
diam, kedua tangannya juga mengibas kedepan satu rangkum cahaya biru keluar
dari kedua tangan nya yang berbentuk tulang belulang, sementara itu Resi Kali
Jagat semakin erat memeluk guci dalam pelukkannya. “Sang Hayang Jagathnata,
Tolong Lindungi bayi ini!” Arwah Ketua yang berdiri paling dekat dengan Resi
Kali Jagat langsung berdiri membelakangi sang Resi. “Jangan Khawatir Resi!
Masih ada aku disini!” ujarnya tubuh sang Kakek Arwah Ketua tiba-tiba berubah
membesar menjadi satu sosok raksasa! Tingginya bahkan mencapai pucuk pohon jati
yang terbakar! Tangannya yang besar bergerak turut memapaki dua belas jalur
bara api yang datang menghadang!
Satu
suara dentuman terdengar keras memekakkan telinga terdengar kala dua belas
jalur pukulan makhluk berapi menghantam pukulan-pukulan sakti yang dihantamkan
oleh Lor Pengging Jumena dan Ning Rakanini. Sang nenek terlihat terduduk
menjeplok ditanah sembari menekan dadanya yang sakit, tampak lelehan darah
menetes di sudut bibirnya, sementara itu sosok jerangkong Lor Pengging Jumena
terlihat tergontai-gontai mengepulkan asap! Kepala jerangkongnya tertunduk
sementara tubuhnya sebatas pinggang terlihat melesak kedalam tanah! Namun yang
paling parah dari semuanya adalah Arwah Ketua! Sosoknya sudah kembali mengecil
dan tersandar di satu lamping candi yang turut hancur sebagian akibat kekuatan
pukulan, jubah birunya hancur berantakan kedua bola matanya yang kecil tak
tampak dikedua matanya yang membeliak! Darah mengucur dari mulut, hidung,
telinga dan sudut matanya. Hal ini terjadi karena kakek satu ini nekat memapaki
datangnya serangan dengan tangan kosong! Sementara itu hanya Resi Kali Jagat
yang tidak kurang suatu apapun karena dilindungi oleh Arwah Ketua. Sementara
itu diseberang sana kedua belas makhluk berapi yang tadi melancarkan serangan
dan kemudian terpental akibat serangan balik yang dilakukan oleh Lor Pengging
Jumena dan Ning Rakanini kini tampak bangkit dan kini hampir semua makhluk
berapi yang berjumlahnya ratusan itu terlihat bergerak mendekati Resi Kali
Jagat dan lainnya sembari bersiap menlancarkan serangan susulan!
“Celaka…matilah kita kali ini…”keluh Nenek Katai Ning Rakanini sembari menyeka
darah dibibirnya.
Sang
nenek yang terluka parah dibagian dalam akibat bentrok hawa pukulan sakti ini
tampak pasrah kala melihat ratusan makhluk api bergerak kearah mereka.
sementara itu tubuh Jerangkong Mbah buyut juga bergerak perlahan berusaha
membebaskan diri dari dalam tanah, namun saat melihat ratusan makhluk api yang
mendekat, kakek jerangkong ini juga hanya bisa keluarkan desahan. Ratusan
makhluk api mulai mengangkat kedua tangannya hendak melancarkan satu pukulan
secara serentak, Resi Kali Jagat yang melihat hal itu hanya bisa memeluk guci
berisi bayi dengan sepenuh tenaga, matanya terpejam pasrah.
Disat
genting itulah tiba-tiba dari hutan jati sebelah barat terdengar satu alunan
suara alat musik Saluang yang mendayu membawakan satu gending lagu yang tidak
dikenali oleh semua yang ada disitu. Resi Kali Jagat membuka kedua matanya
untuk melihat apa yang terjadi. dirinya heran kala mendapati ratusan makhluk
yang sedianya hendak menyerang mereka secara bersamaan terlihat terdiam di
tempat. Resi Kali Jagat dan yang lainnya tampak saling pandang seakan-akan saling
bertanya dalam hati mengenai apa yang terjadi. Sementara itu Ratusan Makhluk
yang tubuhnya dipenuhi kobaran api tampak perlahan-lahan beringsut mundur dari
kepungannya terhadap Resi Kali Jagat dan yang lainnya. ada rasa jerih bercampur
takut kala mendengar bunyi suara Saluang (alat musik tradisional Minangkabau)
yang mendayu perlahan dari arah barat Pohon Jati dimana Resi Kali Jagat beserta
kawan-kawannya terkepung. Lain halnya dengan Resi Kali Jagat dan
kawan-kawannya, bunyi saluang yang mengalun terasa begitu menyejukkan kalbu dan
jiwa sehingga tanpa sadar ucap puji dan syukur atas Rahmat Dewata berkumandang
dari bibir ketiganya.
Tak
sampai sepeminuman teh kemudian dari arah barat menyeruak kabut tipis beserta
hawa dingin yang menggigit, hawa dingin ini tidak begitu terasa bagi Resi Kali
Jagat dan yang lain, namun tidaklah demikian bagi Kawanan Makhluk yang dikobari
Api! jeritan dan lolongan panjang keluar dari mulut mereka! Tubuh mereka mulai
bergelimpangan satu persatu disertai dengan padamnya api di tubuh mereka kala
satu sosok yang berjalan diantara kabut tipis melewati tubuh mereka! Seekor
Menjangan Bertanduk dan berbulu keemasan terlihat berjalan diantara kabut
putih, dipunggungnya duduk seorang kakek berjubah putih.berambut panjang.
Rambut serta janggut dan kumisnya yang putih terlihat menjela tertiup angin
diantara jemari tangannya yang bergerak lincah memainkan sebuah Saluang yang
berwarna keemasan. Dipinggangnya tergantung sebuah kantung kulit tersamak
dimana terselip enam buah Saluang dengan warna yang beragam! kala kakek yang
duduk diatas menjangan ini tiba dihadapan Resi Kali Jagat dan yang lainnya,
tampak tak satu pun makhluk api ada yang masih berdiri tegak. semua makhluk api
bahkan yang bergelayutan di atas pohon tampak terkapar! Tak ada lagi nyala api,
yang ada hanya tumpukan tubuh-tubuh gosong yang menghamburkan asap sangit! Sang
kakek menghentikan tiupan saluangnya dan memandang kearah Resi Kali Jagat dan
tersenyum “kau telah menyelesaikan tugasmu dengan baik Ampusena, sekarang
biarlah aku yang menjaga dan membawa bayi yang dititipkan kepadamu” ucap sang
kakek lembut. Sembari berucap sang kakek kemudian menggambbil sebuah saluang
berwarna putih dari kantung kulit dipinggangnya lalu kemudian ditiupnya
perlahan sungguh ajaib!
Setelah
mendengar irama yang keluar dari saluang putih yang ditiup oleh sang kakek
diatas menjangan, Ning Rakanini merasakan sekujur tubuhnya terasa segar!
Dadanya yang sakit tiba-tiba merasa lega dan longgar, darah yang tadi merembes
dibibirnya juga perlahan berhenti mengucur nenek ini merasakan seluruh
tenaganya pulih dengan cepat!
Hal yang
sama juga dirasakan oleh Lor Pengging Jumena dan Arwah Ketua, Arwah Ketua yang
keadaanya benar-benar mengenaskan tadinya kina sudah bisa tersadar dan bangkit,
tubuhnya yang terluka luar dalam dan mengucurkan darah sudah sembuh seperti
sedia kala.
Disampingnya
Lor Pengging Jumena juga tampak telah keluar dari himpitan tanah yang
menghimpitnya yang menjadi suatu keanehan adalah tubuh nya yang tadi berbentuk
tengkorak telah berubah menjadi seorang kakek berjubah dan bersorban kelabu.
“Tembang Mulih Smaradhana…”desis sang kakek sembari berlutut dihadapan Kakek
Peniup Saluang diikuti oleh Resi Kali Jagat, Ning Rakanini dan Arwah Ketua.
“Bangkitlah kalian, tidak sepatutnya kalian bersujud menyembah kepadaku…”ucap
sang kakek perlahan setelah menghentikan tiupan saluangnya. “waktuku tidak
banyak lagi, hawa kejahatan sudah mulai bergerak sudah saatnya aku harus
membawa bayi itu ke tempat tetirahannya, Ampusena majulah kemari.”lanjut sang
kakek sembari menunjuk kepada Resi Kali Jagat Ampusena. Sang resi perlahan maju
sembari mendekap Guci berisi jabang bayi.
“maafkan
kelancangan hamba yang hina ini, tapi bolehkah hamba tahu apakah hamba saat ini
berhadapan dengan Roh Putih pemberi petunjuk? Hamba tidak bermaksud mencurigai,
namun hamba hanya ingin sekedar memastikan. Harap kelancangan hamba
dimaafkan”ucap Resi Kali Jagat. Kakek peniup saluang tersenyum lalu setelah
mengelus tengkuk Menjangan tunggangannya, sang kakek pun turun dari
tunggangannya tersebut namun yang aneh adalah sepasang kaki kekek yang tidak
berkasut ini berdiri hanya beberapa jengkal dari bumi alias mengambang!
Sementara itu Resi Kali Jagat mendadak sontak terkejut kala tubuhnya perlahan
melayang keatas sementara kasut putih yang dikenakannya tiba-tiba berpendar
lalu lepas dari kakinya dan akhirnya melayang dan memasuki sepasang telapak
kaki kake peniup saluang didepannya. “Bagaimana Ampusena, sudah terjawabkah
pertanyaanmu?” tegur sang kakek lembut. Resi Kali jagat merundukkan kepalanya
lalu menghaturkan Guci yang terbungkus kain hitam ditangannya ke arah Kakek
Peniup Saluang. “hamba meminta maaf atas kekurang ajaran hamba terhadap Roh
Putih, sekarang juga hamba menyerahkan Bayi ini ke tangan Roh Putih.”
Ucap Resi
Kali Jagat seraya mengangsurkan guci berisi bayi yang langsung disambut oleh
kakek peniup Saluang. “kau sudah menjalankan tugasmu dengan baik Resi Kali
Jagat Ampusena, aku akan memberikan sesuatu kepadamu dan juga yang lain, namun
aku harap untuk seterusnya kalian jangan memanggil aku dengan sebutan Roh
Putih, Panggil aku dengan namaku, Datuk Rao Basaluang Pitu!” ucap sang kakek
seraya menggendong Jabang Bayi dalam Guci.
TA M A T
No comments:
Post a Comment