Telaga
Emas Berdarah
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
Karya:
Bastian Tito
******************
1
SAAT ITU
masih pagi. Embun yang turun malam tadi masih belum pupus dari permukaan
dedaunan. Di sebuah tikungan sungai berair dangkal dan berwarna kuning seorang
kakek tampak menarik jalanya dari dalam air. Kosong. Tak seekor ikanpun
terjaring dalam jala itu.
"Nasib
sial! Tak akan makan ikan perut tua ini hari ini!" si kakek mengomel. Dari
balik dinding bambu sebuah rakit yang tertambat di tepi sungai keluar seorang
nenek bertubuh gemuk, berpipi merah dan berambut keputihputihan digulung ke
atas.
"Sudah
kubilang Anom! Sejak sungai menjadi dangkal seminggu lalu, jangan harap kau
bakal dapat menjaring ikan!"
Si kakek
berpaling pada nenek gemuk yang adalah istrinya. Sambil merengut dia menyahuti
ucapan istrinya itu.
"Kau
orang perempuan diam-diam sajalah! Kalau dapat ikan tugasmu adalah memasaknya!
Eh, sudahkah kau teliti lagi peta itu …?"
"Peti
celaka!" kata si nenek seraya duduk di tepi rakit dan cemplungkan kedua
kakinya ke air.
"Coba
kau hitung Anom! Sudah berapa lama kita menghabiskan waktu untuk memecahkan
teka-teki peta itu? Dan sampai hari ini masih juga belum berhasil!"
"Seingatku
. . . mungkin lebih dari tiga tahun!" menjawab si kakek setelah menghitung-hitung
sesaat.
"Tiga
tahun! Bukan waktu sedikit! Coba dulu kau ikuti nasihatku! Jika kau ambil
pemuda cakap itu jadi muridmu, tentu dia kini sudah menguasai banyak kepandaian
…"
"Ah,
soal pemuda itu lagi yang kau sebut-sebut. Dia tidak berjodoh jadi murid kita.
Tidak mendapat redho Gusti Allah untuk menjadi murid Ratu dan Raja Bengawan
Sala! Kenapa masih saja kau memikirkan dia?!"
"Karena
aku belum pernah melihat seorang pemuda melihat potongan tubuh serta ruas-ruas
tulang yang begitu meyakinkan seperti dia! Apalagi sampal saat ini kita berdua
masih belum punya murid seorangpun. Kalau kita sudah jadi bangkai, siapa yang
akan mewarisi segala kepandaian kita…"
"Ada
kalanya kepandaian memang harus dibawa mati kalau memang sudah begitu takdir
…."
Kakek
Anom campakkan jalanya ke atas rakit bambu lalu duduk di samping istrinya.
Sesaat kemudian dia bertanya, "Mana peta itu. Biar kucoba
memecahkannya…"
Dari
dalam sebuah kantong kain yang tergantung di pinggangnya sang istri keluarkan
sehelai kain lusuh yang tadinya berwarna putih tapi kini telah berubah
kekuningan dan dekil kotor. Ketika kain itu dikembangkan, lebarnya hanya seluas
telapak tangan. Di situ tertera gambar puncak gunung, lalu gambar sungai
berliku-liku serta sebuah rumah kecil.
"Selama
satu tahun kita menghabiskan waktu untuk mencari gunung yang puncaknya sama
dengan yang deism gambar itu. Tak satupun kits temui seperti itu. Lalu gambar
sungai …. Sudah berapa banyak kita arungi, tak ada yang memiliki rumah kecil
seperti dalam gambar. Jangan-jangan peti ini palsu. Berarti tiga tahun kita
ditipu kepalsuan…"
Kakek
Anom gelengkan kepala. "Peta ini asli. Paling tidak merupakan turunan dari
peta asli.
Bagaimana
kalau aku mencoba bersamadi. Siapa tahu mendapat wangsit … mendapat
petunjuk."
Si nenek
tertawa cekikikan.
"Kenapa
kau ketawa?" suaminya bertanya penuh rasa tidak senang.
"Yang
beginian harus dipecahkan dengan otak, bukan samadi-samadian!"
"Yang
akan bersamadi adalah aku! Kenapa kau yang tidak suka musti mengejek
seolah-olah aku ini seorang kakek tolol!"
"Suamiku
Anom, terserah padamulah. Aku merencanakan mengayuh rakit ke hilir. Sudah
terlalu lama kita berada di tikungan sungai ini. Siapa tahu di sekitar muara
kita bisa menemukan ikan."
Lalu
nenek gemuk itu mengambil sebuah galah bambu. Setelah melepas ikatan rakit, dia
mulai mendorong rakit ke arah hilir sungai dengan mempergunakan galah bambu
tadi. Suaminya tetap saja duduk di tepi rakit, memperhatikan peta kain hampir
tidak berkesip. Sampai menjelang tengah hari lelaki tua itu masih saja tidak
beranjak dari tempat duduknya di pinggiran rakit sampai suatu ketika dia
mendengar suara istrinya berseru.
"Ada
perahu besar datang dari jurusan muara! Anom! Ada orang memapasi kita …!"
Kakek
Anom angkat kepalanya sedikit, berpaling ke arah hilir. Sebuah perahu besar
nampak meluncur ke jurusan rakitnya. Selama ini belum pernah dia melihat sebuah
perahu sebesar itu mengarungi Bengawan Saia. Di sebelah depan perahu tampak
berdiri lima orang lelaki berbadan tegap. Di atas anjungan tegak orang keenam,
bertubuh tinggi besar. Dadanya yang terbuka penuh bulu. Orang ini mengenakan
penutup kepala sehelai kain berwarna merah. Kakek Anom mendongak memperhatikan
bendera yang melambai di tiang tertinggi perahu. Berubahlah paras orang tua
ini. Tanpa berpaling dia berkata pada istrinya.
"Amini.
Agaknya kita kedatangan tamu yang bakal membawa runyam. Kau lihat bendera di
tiang perahu.. . . ?"
Si nenek
yang dipanggil dengan nama Amini letakkan tangan kirinya di atas kening guna
menghindari silaunya sinar matahari. Dia melihat bendera itu dengan jelas. Lalu
menghela nafas panjang. "Gaok Srenggi! Raja Lanun Pantai Selatan…! Apakah
akan jatuh lagi korban hari ini Anom… ?"
"Kurasa
begitu. Firasatku mengatakan demikian. Hanya sekali ini kita harus berhati-hati
Amini. Setahuku Gaok Srenggi pernah menjadi pengawal Ratu Pantai Selatan."
Perahu
besar mendatangi dengan cepat. Sengaja memepet rakit bambu hingga rakit ini
terjepit ke tebing sungai dan tak bisa bergerak lagi. Lima orang lelaki yang
berdiri di bagian depan perahu, dengan gerakan cepat serta ringan melompat ke
atas rakit bambu. Kakek Anom saat itu telah bangkit dari duduknya sementara
nenek Amini masih berada di bagian belakang rakit dan masih memegang galah
bambu pendorong rakit.
"Tetamu
dari mana yang datang dan memperlihatkan kepandaian melompat yang mengagumkan
…?" Si kakek menegur dan sekaligus memuji kehebatan orang.
Lima
orang itu tampakkan wajah sangar. Sama sekali tidak perdulikan pertanyaan kakek
Anom. Yang berpakaian biru gelap maju selangkah, bertolak pinggang dan membuka
mulut.
"Orang
tua, apakah kau yang bernama Anom dan itu istrimu yang bernama Amini. Apakah
kalian yang menyandang gelar Ratu dan Raja Bengawan Sala?!"
Si kakek
tersenyum. Matanya yang tua cepat sekali meneliti orang yang bertanya. Sambil
tersenyum dia menjawab. "Tetamuku, matamu sungguh tajam dan pendengaranmu
sungguh luas.
Pengetahuanmu
tentu tinggi pula. Namaku memang Anom dan yang gemuk itu benar istriku, bernama
Amini. Saal gelar itu… ah! Hanya orang-orang tolol yang memberikannya pada
kami…."
"Hemm
… jadi kalian memang Ratu dan Raja Bengawan Sala …." ujar orang berpakaian
biru gelap. Dia berpaling ke arah anjungan perahu lalu mengangkat tangan
memberi tanda pada orang tinggi besar dengan dada penuh bulu yang tegak di
sana.
Melihat
tanda ini, orang di atas anjungan membuat dua kali lompatan. Pertama dari
anjungan ke atas buritan, lalu dari atas buritan ke bawah menuju rakit.
Gerakannya enteng sekali. Tubuhnya membal seperti bola karet. Begitu mendarat
di atas rakit dia berpaling pada si baju biru untuk memastikan. Begitu si baju
biru anggukkan kepala, si dada berbulu menghampiri kakek Anom.
"Orang
tua, aku Gaok Srenggi, bergelar Raja Lanun Pantai Selatan."
"Ah…
ah… ah!" Kakek Anom berseru menunjukkan wajah kagum. Dia membungkuk
memberikan kan penghormatan lalu berkata, "Sungguh tidak diduga, aku si
tua buruk yang tidak berumah tidak berhuma, hari ini kedatangan tamu seorang
besar. Dari timur sampai ke barat, dari utara sampai selatan, seluruh pesisir
dan pantai Laut Selatan, siapa yang tidak kenal atau tidak pernah mendengar
nama dan gelarmu yang hebat, Raja Lanun Pantai Selatan, harap maafkan kalau aku
dan istriku tidak bisa menjamumu minum apalagi makan…!"
"Aku
datang mencarimu memang bukan untuk makan minum!" sahut Gaok Srenggi.
"Kalau
begitu ceritakanlah maksudmu…"
"Serahkan
Peta Telaga Emas padaku…!"
"Hai!"
si kakek berseru. Wajahnya menunjukkan rasa heran. Padahal mimiknya sebenarnya
sengaja dibuat demikian rupa untuk menutupi rasa keterkejutannya. "Peta
Telaga Emas! Peta apa itu?"
"Jangan
berpura-pura orang tua! Jangan berani menipu mendustaiku!"
"Walah!
Mana aku berani berpura-pura padamu. Mana aku berani menipu dan berdusta. Aku
hanya heran dan tak mengerti atas pertanyaanmu tadi!"
"Orang
tua! Aku sengaja mencarimu karena aku tahu kau memiliki sehelai peta rahasia
tentang sebuah telaga penuh emas, milik Kerajaan yang diselundupkan dari
Keraton!"
"Benar-benar
luar biasa! Benar-benar tak dapat kupercaya. Mendengar nama peta itupun baru
sekali ini. Bagaimana mungkin memilikinya?!" ujar kakek Anom pula sambil
geleng-geleng kepala.
"Jangan
coba mempermainkan aku orang tua! Kalau aku meninggalkan tempat ini tidak
membawa peta itu berarti aku akan membawa nyawamu!" mengancam Gaok Srenggi
alias Raja Lanun Pantai Selatan.
"Aku
sudah tua, masakan berani mempermainkan orang besar sepertimu…"
"Jadi
kau menolak memberikan peta itu?!"
"Aku
tidak menolak kalau memang punya. Tapi apa yang harus kuberikan kalau memang
tidak memiiikinya?!"
"Hemm…
begitu…?!" Gaok Srenggi usap-usap dadanya yang berbulu. Dia menggoyangkan
kepalanya.
Empat
orapg anak buah Gaok Srenggi berkelebat, langsung menyerang kakek Anom. Yang
kelima bergerak belakangan, dia bertugas untuk meringkus orang tua itu setelah
kena dihantam kawan-kawannya. Orang tua yang diserang hanya tegak tertegun,
seperti tidak menyangka kalau dirinya akan mendapat serangan dikeroyok begitu
rupa!
Tiba-tiba
dari arah rakit sebelah kanan terdengar suara menderu. Dua orang anak buah Gaok
Srenggi menjerit keras. Tubuhnya terlempar dan jatuh ke dalam air sungai. Satu
orang lagi menggeletak di atas rakit, menjerit-jerit karena patah tulang
punggungnya. Dua penyerang lainnya dengan terkejut hentikan serangan!
******************
2
NENEK
AMINI tegak di ujung rakit tanpa bergerak tanpa berkesip. Tubuhnya yang gemuk
laksana sebuah patung batu. Kedua tangannya memegang galah bambu pendorong
rakit. Benda inilah tadi yang dihantamkannya pada tiga anak buah Gaok Srenggi
yang menyerang suaminya!
"Ratu
dan Raja Bengawan Sala! Tahukah kalian apa akibatnya berani menciderai anak
buah Raja Lanun Pantai Selatan?!" membentak Gaok Srenggi.
"Kami
hanya dua orang tua tidak berguna. Kami hanya terpaksa mempertahankan diri.
Mohon dimaafkan kalau tindakan kami kau anggap salah…."
"Kau
pandai memutar lidah Anom! Biar sekalian kucabut lidahmu!" hardik Gaok
Srenggi. Dia mendorong dua orang anak buahnya ke samping lalu melangkah dengan
sepasang tangan terpentang mendekati kakek Anom. Setengah jalan langkahnya
tertahan karena ujung galah bambu yang dipegang nenek Amini tahu-tahu sudah
tertunding tepat di depan hidungnya!
"Tua
bangka kurang ajar!"
Praak!
Sekali
menghantam dengan tangan kirinya Gaok Srenggi memukul patah galah bambu itu.
Begitu patahan bambu melayang, kakek Anom melompat ke atas, di lain kejap
patahan bambu itu sudah berada di tangan kanannya!
"Hemm…!
Kalian berdua nyata-nyata memang berani melawanku! Lihat tendangan!"
Begitu
teriakannya lenyap, tubuh Raja Lamun itu ikut lenyap dan tahu-tahu kaki kiri
kanannya sudah berdesing ke arah kepala kakek Anom dan nenek Amini. Gerakan
orang ini bukan saja sangat enteng tapi juga cepat sekali. Hanya saja yang
dihadapinya saat itu bukan dua lawan yang bisa dibuat mainan atau dipecundangi
dengan sekali gebrakan atau satu dua jurus saja. Ratu dan Raja Bengawan Sala
adalah sepasang kakek nanek yang kepandaian silatnya disegani orang-orang dunia
persilatan di pesisir selatan.
"Jaga
barangmu Gaok Srenggi!" terdengar teriakan nenek Amini.
"Awas
buta matamu Raja Lanun!" berteriak pula kakek Anom.
Dua
batang galah bambu melesat ke atas. Yang di tangan si nenek menusuk ke arah
selangkangan Gaok Srenggi sedang yang di tangan si kakek malesat ke arah salah
satu mata Raja Lanun ini!
Seluruh
perkelahian itu terjadi di atas rakit bambu yang tidak seberapa besarnya. Namun
karena ketiga orang yang berkelahi sama memiliki ilmu tinggi, rakit bambu itu
sedikitpun tidak bergeming!
Gaok
Srenggi membentak garang.
Tubuhnya
membuat gerakan luar biasa seraya tangan kanannya memapas ke samping. Ujung
bambu di tangan kakek Anom hancur dan terlepas dari tanyan orang tua itu.
Sedang ujung bambu di tangan si nenek dipergunakan untuk tempat jajakan kaki
kirinya. Tubuh Raja Lanun mencelat ke atas lalu jungkir balik berputar
bergulung-gulung ke bawah. Sebelum dua orang tua sempat melakukan sesuatu, dari
kedua tangan Gaok Srenggi melayang dua buah golok kecil!
Trang …
trang!
Dua golok
terbang mencelat mental dihantam galah bambu nenek Amini. Kaget Gaok Srenggi
yang saat itu melayang turun bukan kepalang. Tidak disangkanya kalau dua orang
tua itu, terutama seperti yang disaksikannya sendiri, si nenek, ternyata
memiliki kepandaian begitu tinggi. Maka dari mengandalkan silat luar dan
senjata kini Raja Lanun kerahkan tenaga dalam. Sasarannya adalah si nenek Amini
karena dia menganggap nenek gemuk inilah yang paling berbahaya di antara kedua
lawannya.
Nenek
Amini merasakan ada angin keras imenyambar membuat tubuhnya tergontai-gontai.
Ketika dia coba membabatkan galah bambu ke arah lawan, serangan angin
menggembor lebih deras dan ada hawa panas menghantamnya. Perempuan gemuk itu
lemparkan galah bambu di tangannya. Benda ini melesat deras ke arah Gaok
Srenggi, tapi begitu membentur arus angin serangan tenaga dalam Gaok Srenggi,
bambu itu hancur berantakan. Kepingan-kepingannya menyambar ke arah nenek
Amini, tidak beda seperti puluhan senjata rahasia!
Selagi si
nenek bersiap untuk menyambut serangan puluhan kepingan bambu, Gaok Srenggi
tidak tinggal diam. Dia meniup ke depan. Kepingan kepingan bambu yang melesat
cepat kini seperti didorong oleh satu tenaga raksasa, menderu dalam kecepatan
berlipat ganda. Kaget nenek Amini bukan kepalang. Kakek Anom berseru tegang. Si
nenek angkat kedua tangannya ke atas dan mendorong kuat-kuat. Serangkum angin
deras menyambar.
Nenek
Amini berteriak kesakitan ketika tiga potongan bambu menancap satu di bahu,
satu di pinggul dan satu lagi di paha kanannya. Melihat kejadian ini kakek Anom
menggembor marah. Tangannya kiri kanan memukul.
Praak….!
Praak…!
Dua anak
buah Gaok Srenggi tersungkur di atas rakit tak bergerak lagi. Nyawa keduanya
lepas, mati dengan kepala pecah. Meski kematian kedua anak buahnya itu cukup
menggidikkan, Gaok Srenggi yang jadi naik pitam langsung menyerbu si kakek.
Dari ukuran badan, kakek Anom hanya sedada Gaok Srenggi tingginya, kurus
ramping sedang lawan besar tegap. Namun hal ini bukan merupakan satu keuntungan
bagi si Raja Lanun. Setelah menggebrak terus-terusan selama tiga jurus tanpa
mampu menyentuh tubuh si kakek apalagi memukulnya, Gaok Srenggi menjadi sibuk
ketika lawan lancarkan serangan balasan. Raja Lanun ini terdesak hebat, mundur
terus dan dalam satu dua jurus di muka dia akan terpaksa keluar dari atas
rakit. Kecebur ke sungai atau melompat ke tebing di sebelah kiri atau kembali
ke atas perahu kayunya!
Kalau hal
itu sampai dilakukannya, tentu saja Gaok Srenggi akan mendapat malu besar
karena anak buahnya yang masih hidup akan sempat menyaksikan. Memikir sampai di
situ akhirnya Raja Lanun ini gerakkan tangannya ke pinggang. Sesaat kemudian
tampak kilauan cahaya hitam memapas serangan kakek Anom, memaksa prang tua ini
menahan serangannya. Ternyata Gaok Srenggi telah menghunus sebilah senjata
berbentuk aneh berwarna hitam. Senjata ini menyerupai klewang tapi salah satu
bagian badannya bergerigi seperti gergaji. Dari warna senjata serta sinarnya
yang hitam kakek Anom segera maklum kalau senjata aneh itu mengandung racun
jahat.
"Orang
tua! Kalau sampai senjata ini menyentuh tubuhmu, putus nyawamu! Apakah kau
masih belum mau menyerahkan peti telaga emas itu padaku!"
Kakek
Anom menyeringai.
"Kau
telah melukai istriku! Kini masih berani mengancam! Seranglah! Aku mau lihat
apakah Raja Lanun mampu berbuat banyak terhadap Raja Bengawan Sala!"
"Tua
bangka sombong! Lihat senjata!" teriak Gaok Srenggi marsh.
Saat itu
salah seorang anak buah sang lanun yang tergeletak di tepi rakit terdengar
keluarkan suitan keras. Sepuluh orang anggota lanun yang berada di atas perahu
melompat turun, langsung mengurung rakit. Mereka tidak berani turun tangan
tanpa mendapat isyarat dari Gaok Srenggi. Mereka tegak memperhatikan
perkelahian antara pimpinan mereka dengan kakek Anom. Sebagian lagi
memperhatikan nenek Amini mencabuti kepingan-kepingan bambu yang menancap di
tubuhnya. Darah mengucur dari tiga luka bekas tancapan bambu. Setelah
mengusut-usut luka-luka itu beberapa kali, darah berhenti mengucur. Si nenek
angkat kepalanya, memperhatikan perkelahian antara suaminya dengan Gaok
Sringgi, lalu memandang berkeliling pada anggota bajak yang tegak mengelilingi
rakit.
"Ada
yang berani bergerak putus nyawanya!" si nenek membentak dengan suara
keras. Lalu kembali perempuan tua gemuk ini memperhatikan perkelahian kakek
Anom dengan Raja Lanun.
"Anom!
Biar aku yang melayani Lanun yang kesasar itu!" berseru nenek Amini.
Si kakek
hanya lambaikan tangan lalu berkelebat beberapa kali, membuat gerakan-gerakan
yang membingungkan Gaok Srenggi. Merasa akan kebobolan, Raja Lanun ini putar
senjatanya laksana titiran. Demikian derasnya putaran senjata itu, jangankan
pukulan manusia, jarumpun tak akan bisa tembus!
Meskipun
kagum melihat kehebatan ilmu klewang Si raja Lanun namun kedua mats kakdk Anom
yang banyak pengalaman serta marts suclah melihat dan mengetahui di mans
kelemahan serangan lawan. Jika Gaok Srenggi diserang dari depan, samping
ataupun belakang dia akan mudah menyapu dan menghantam serangan. Tubuh lawan
bisa terkutung-kutung jika berusaha nekad menyerbu. Klewang di tangannya tidak
ubah seperti sebuah baling-baling. Sesuai dengan keadaan sebuah baling-baling
maka letak daerah berbahaya adalah pada ujung-ujungnya. Tetapi sebaliknya pada
bagian tengah baling-baling, di situ sama sakali tidak ads pertahanan yang
membentengi. Pertengahan baling-baling dalam keadaan seperti saat itu bukan
lain adalah tangan kanan Gaok Srenggi yang menggenggam hulu klewang.
Gempuran
putaran klewang membuat kakek Anom bersurut mundur ke tepi kiri rakit. Di
jurusan ini dia tidak dapat melangkah terlalu jauh karena beberapa orang anak
bush Raja Lanun sudah mengurung. Setelah menghitung jarak untuk terakhir kali,
didahului dengan bentakan keras, kakek Anom jatuhkan diri ke rakit. Bersamaan
dengan itu tangan kirinya menjangkau sekeping potongan bambu bekas galah
pendorong rakit. Kepingan ini perbentuk seperti paku panjang atau seperti
tutukan sate. Si kakek membuat sekali gulingan ketika lawan coba mengejar.
Klewang berkelebat hanya setengah jengkal dari tubuhnya. Saat itulah kakek Anom
lemparkan potongan bambu di tangan kirinya. Karena lemparan disertai tenaga
dalam tinggi maka derasnya angin sapuan klewang tak sanggup menghantamnya. Maka
bobollah lingkaran maut klewang.
Gaok
Srenggi menjerit. Klewang di tangannya terlepas dan jatuh ke atas rakit. Pada
sela-sela jari manis dan jari tengah kanannya menancap potongan bambu, menembus
jauh ke dalam telapak tangan, memutus urat besar. Darah muncrat! Raja Lanun ini
cepat menotok dirinya sendiri di bagian pergelangan tangan. Darah berhenti
mengucur tapi rasa sakit tidak bisa pupus membuat dia mengerang tiada henti.
"Tua
bangka sialan! Hari ini kau boleh merasa menang. Tapi ingat, Ratu Pantai
Selatan tidak akan senang menerima laporanku. Dan kau tahu apa artinya itu. Kau
dan isterimu akan mati perlahan-lahan! Akan tersiksa sebelum mampus!"
"Pemimpin!
Biar kami yang mencincang kadal tua ini!" salah seorang anak buah Gaok
Srenggi berkata seraya hunus golok besarnya. Sembilan kawannya yang lain
melakukan hal yang sama. Tapi Gaok Srenggi hanya lambaikan tangan, melompat ke
atas perahu besar. Para anak buahnya mengikuti. Ketika perahu itu mulai
bergerak tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dan suara kerincingan. Menyusul
suara orang berseru, "Raja dan Ratu Bengawan Sala! Kalian memang hebat!
Pagi-pagi kami sudah disuguhi pemandangan menakjubkan! Salam pertemuan untuk
kalian berdua!"
******************
3
KAKEK
ANOM dan nenek Amini yang baru saja mendorong rakitnya kembali ke dalam air
sungai karena tadi terpepet ke pinggiran sungai akibat serempetan perahu besar
Gaok Srenggi, sama-sama tqrkejut dan pa,lingkan kepala ke arah seberang sungai
dari arah mana datangnya suara seruan, tepuk tangan dan kerincingan itu. Kini
malah ikut terdengar suara gendang ditabuh.
Di
seberang sungai tampak dua orang tua, satu lelaki, satu perempuan. Melihat pada
raut wajah dan potongan tubuh, jelas mereka lebih tua dari pada kakek Anom dan
nenek Amini. Masingmasing memegang sebuah rebana yang pinggirannya dilingkari
lembaran-lembaran kaleng tipis, Setiap rebana ditabuh maka kerincingan ikut
berbunyi. Dua orang tua ini menabuh rebana sambil menari berputar-putar.
Tampaknya mereka begitu gembira tapi jika lebih diperhatikan kemungkinan
keduanya memiliki otak yang kurang waras.
Ada satu
hal yang membuat sepasang orang tua di seberang sungai itu tampak angker, yakni
sepasang mata mereka. Sepasang mata itu berwarna merah, sama sekali tidak ada
bagian putihnya! Sambil menari dan menabuh rebana, kedua orang itu keluarkan
suara menyanyi yang tidak jelas juntrungannya. Sesekali rebana yang mereka
pegang dilemparkan ke udara. Lalu terlihatlah satu kejadian luar biasa.
Rebana-rebana yang dilemparkan itu beberapa lamanya seperti menggantung di
udara sementara dua orang tua itu terus menari dan menyanyi. Ketika keduanya
mengangkat tangan ke atas maka dua rebana turun perlahan-lahan.
Kakek
Anom dan nenek Amini sesaat saling pandang. Si kakek keluarkan suara perlahan.
"Satu keributan baru saja selesai. Agaknya akan muncul lagi keributan
baru. Apa pasal Sepasang Setan Bermata Api datang ke tempat kita ini …?"
"Jangan-jangan
. . . ." Nenek Amini tidak meneruskan ucapannya. Di seberang sungai tampak
kakek neriek yang memegang rebana menceburkan diri ke dalam sungai. Untuk
beberapa saat lamanya keduanya tidak tampak muncul di permukaan. Sengaja
menyelam. Kemudian. Huah! Terdengar teriakan keras. Keduanya tahu-tahu sudah
muncul di pinggiran rakit. Dalam keadaan basah kuyup mereka melompat naik ke
atas rakit sambil goyang-goyangkan rebana.
"Ah,
getekmu masih kotor! Biar kubantu membersihkan!" berkata si nenek Bermata
Api. Lalu kaki kirinya bergerak. Sosok mayat anak buah Gaok Srenggi yang mati
dengan kepala hancur dan masih menggeletak di atas rakit mencelat mental dan
jatuh ke dalam sungai.
"Aku
membantumu!" kakek Bermata Api berkata. Tendangannya membuat mental mayat
anak buah Raja Lanun kedua yang juga masih terkapar di atas rakit.
"Terima
kasih … terima kasih kalian membantu aku berbenah. Aku dan istriku memang belum
sempat membersihkan rakit. Masih ada satu mayat lagi. Biar sekali ini aku yang
turun tangan…"
Yang
berkata adalah kakek Anom. Dia tidak menendang mayat ketiga, tapi hanya
hentakkan kaki kanan ke atas rakit dan sosok mayat itu terpental masuk ke dalam
sungai. Sepasang Setan Bermata Api, demikian julukan kedua kakek nenek itu,
tentu saja menyaksikan jelas apa yang dilakukan kakek Anom, tapi keduanya
berpura-pura tidak melihat. Lalu keduanya mulai menabuh rebana, menggoyang
kerincingan dan menari-nari sambil menyanyikan lagu yang tidak tahu ujung
pangkalnya.
Kakek
Anom dan nenek Amini hanya bisa memandang dengan perasaan tidak enak.
"Apa
yang akan kita lakukan?" berbisik sang isteri. "Kita tunggu saja.
Kalau sudah keletihan mereka tentu akan berhenti …" jawab kakek Anom.
"Bagaimana
kalau orang-orang gila itu tidak berhenti. Terus menyanyi dan menari sampai
besok pagi!" ujar si nenek pula.
"Aku
punya firasat, mereka muncul di sini mencari sesuatu. Berhati-hatilah…"
Untuk
beberapa lamanya Ratu dan Raja Bengawan Sala hanya bisa menunggu dan memandangi
dua orang itu. Dalam keadaan lain mungkin apa yang dilakukan Sepasang Setan
Bermata Api merupakan satu hal yang lucu. Namun saat itu kakek Anom dan nenek
Amini merasakan ketegangan yang tidak enak. Mereka menyadari bahwa dua tetamu
tak diundang itu memiliki kepandaian hampir satu tingkat di atas mereka.
Tiba-tiba
nenek Bermata Api keluarkan suara lengkinaan keras. Si kakek mengikuti. Suara
tabuhan gendang kerincingan berhenti. Keduanya berhenti menyanyi dan menari
lalu cama-sama berpaling menghadapi Ratu dan Raja Bengawan Sala.
"Kalian
berdua benar-benar hebat!" berkata kakek Bermata Api.
"Ah,
kami yang rendah mana berani menerima pujian dari ki sanak orang-orang gagah
dunia persilatan. Lagi pula kami tidak tahu untuk apa pujian itu
diberikan!"
Setan
Bermata Api yang lelaki tertawa lebar, istrinya senyum-senyum kecil.
"Kami
saksikan sendiri kalian mempecundangi Raja Lanun Pantai Selatan! Padahal
manusia satu itu bukan orang sembarangan. Bukankah itu satu hal yang hebat dan
patut dipuji?"
"Ah,
kau terlalu membesar-besarkan," sahut kakek Anom.
Kakek
Bermata Api kembali tertawa lebar lalu angguk-anggukkan kepala. "Memang
benda itu akan selalu menjadi pangkal bahala! Bagaimana kalau kami yang
menyimpannya …. ?"
"Benda
apa maksud orang gagah?" bertanya kakek Anom padahal dalam hati dia dan
juga istrinya sudah bisa meraba apa yang dimaksudkan oleh sang tamu.
"Ah,
kau masih coba berpura-pura. Pada Raja Lanun yang tolol itu bisa saja kau
mendustainya, tapi tidak pada Sepasang Setan Bermata Api. Sepasang mata kami
sangat tajam, dapat melihat menembus air dan tanah, menembus batu dan langit.
Lekas serahkan peta telaga emas padaku!" Habis berkata begitu kakek
Bermata Api ulurkan rebananya, bagian yang berlobang di sebelah atas.
"Aneh
… sungguh aneh," yang bicara kini adalah nenek Amini. "Dari mana
tersiar kabar kalau ada sebuah peta bernama peta telaga emas. Lalu dari mana
pula pangkal cerita bahwa kami memiliki peta itu …. ?"
Nenek
Bermata Api keluarkan tertawa panjang. "Kalau tak ada api, tak mungkin ada
asap.
Kalau tak
ada pangkal tak mungkin ada ujung. Kalau tak ada cerita tak mungkin muncul
berita.
Kami tahu
peti itu ada pada kalian. Kalau tak mau memberikan padanya berikan padaku
…!" Si nenek goyang-goyangkan rebananya, lalu ulurkan benda itu ke hadapan
nenek Amini.
Nenek
Amini geleng-gelengkan kepala lalu membuka mulut membalas ucapan nenek Bermata
Api.
"Asap
tak selalu bersumber pada api. Ujung tak selalu memiliki pangkal. Berita tak
selalu bersumber pada kebenaran. Masakan kalian orang-orang gagah tidak
mempercayai penjelasan kami bahwa kami tidak tahu menahu tentang peta telaga
emas itu, apalagi memilikinya?!"
Paras
Sepasang Setan Bermata Api tampak berubah menjadi beringas.
"Tahukah
kalian atau pernahkah kalian mendengar ujar-ujar berbunyi begini. Kedustaan ada
kalanya membawa kematian …. !"
"Apa
hubungan ujar-ujar itu dengan persoalan yang kau bawa?" tanya kakek Anom.
"Jika
kalian ingin umur panjang serahkan peti itu. Kalau minta mati cepat… "
"Ah
.., kami berdua sudah tua bangka keropos. Umur hanya tinggal sejengkal. Badan
sudah bau tanah, malu rasanya minta umur panjang!" berkata kakek Anom.
Nenek
Amini yang sejak tadi mulai hilang kesabarannya ikut membuka mulut.
"Setahuku soal panjang pendek umur manusia adalah urusan Tuhan. Masakan
ada manusia yang berani menentukan umur manusia lainnya? Hik… hik… hik…"
Nenek Amini tutup ucapannya dengan tawa cekikikan.
"Kalian
orang-orang tolol telah memilih mati!" kata kakek Bermata Api. Tangan
kanannya diangkat tinggi-tinggi. Rebana digoyang. Suara bergerincing menggema
panjang. Hal yang sama dilakukan pula oleh si nenek Bermata Api. Makin lama
suara gemerincing rebana semakin keras. Kakek Anom dan nenek Amini merasakan
telinganya seperti ditusuk-tusuk, sakit bukan kepalang. Buru-buru keduanya
kerahkan tenaga dalam untuk melindungi telinga. Suara gemerincing masih terus
menggema tapi sakit yang menusuk agak berkurang. Dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba Sepasang Setan Bermata Api lancarkan serangan. Yang perempuan
menyerbu nenek Amini, yang lelaki menyergap kakek Anom. Keduanya pergunakan
rebana sebayai senjata!
Karena
memang sudah memperhitungkan bahwa perkelahian ini bakal terjadi, Ratu dan Raja
Bengawan Sala sebelumnya telah berjaga-jaga. Maka begitu orang menyerang,
merekapun menyambut dengan sigap. Perkelahian seru berkecamuk di atas rakit
bambu yang secara perlahanlahan hanyut ke hilir dibawa arus air sungai.
Seperti
disadari sendiri oleh kakek Anom dan istrinya, Sepasang Setan Bermata Api
memang memiliki kepandaian satu tingkat di atas mereka.
Apalagi
saat itu lawan melancarkan serangan-serangan sangat ganas. Dua buah rebana yang
memiliki kaleng-kaleng tipis berubah menjadi dua senjata sangat berbahaya.
Sambil menyerang, mulut Sepasang Setan Bermata Api tidak henti-hentinya
mengeluarkan berbagai macam suara. Membentak, berteriak, melolong seperti
anjing dan lebih banyak memaki tak karuan. Ratu dan Raja Bengawan Sala
rnenghadapi serangan lawan dengan penuh ketenangan sambil sekali-sekali
kirimkan serangan balasan. Namun setelah baku hantam lebih dari lima belas
jurus jelas kelihatan sang Ratu dan sang Raja tak dapat lagi menahan amukan
lawan. Si nenek Amini terdesak ke ujung rakit sebelah kanan sementara suaminya
dipepet ke arah ujung rakit sebelah kiri. Yang pertama sekali mengalami cidera
adalah kakek Anom. Rebana di tangan kakek Bermata Api menghantam bahu kirinya
hingga tulangnya remuk. Rebana ini kemudian membalik dengan cepat. Walaupun dia
berusaha menghindar namun bagian pinggiran rebana yang dipasangi kalengkaleng
tipis sempat membabat keningnya. Kulit kening robek, darah mengucur!
Nenek
Amini tercekat mendengar jeritan suaminya. Jurus-jurus pertahanannya semakin
rapuh. Ketika rebana di tangan nenek Setan Bermata Api menderu ke dadanya,
nenek Amini hanya bisa terkesiap, berusaha untuk melompat ke dalam sungai tapi
terlambat!
Di saat
yang kritis itu tiba-tiba terdengar suara aneh mencuat. Seperti tiupan seruling
merohek langit. Bukan saja suara ini menindih gemerincing rebana di tangan
Setan Bermata Api, tetapi mencucuk seperti menembus gendang-gendang telinga.
Selagi empat orang tua di atas rakit sesaat tegak tercekat mendadak satu
benturan keras menghantam ujung rakit yang saat itu bergerak ke arah hilir
sungai. Demikian kerasnya benturan itu hingga rakit bambu terangkat hampir
tegak lurus ke atas! Empat orang tua yang berdiri di atasnya sama berseru kaget
ketika tubuh masing-masing terpelanting kian kemari!
******************
4
KAKEK DAN
NENEK pemilik rakit terpetanting dan berguling di tebing sungai sebelah kiri
sementara Sepasang Setan Bermata Api jungkir balik tak jauh dari mereka. Ketika
ke empat orang itu memandang kembali ke arah sungai, semuanya jadi pelototkan
mata. Betapapun tidak. Mereka menyaksikan satu pemandangan seperti tontonan
akrobat!
Rakit
bambu milik Ratu dan Raja Bengawan Sala tertegak lurus di tengah sungai. Sebuah
perahu dalam keadaan setengah hancur menerobos tembus pertengahan rakit,
menunjang rakit itu hingga tetap berdiri tegak lurus. Di ujung rakit yang
berdiri tegak itu duduk berjuntai seorang pemuda berambut gondrong, berpakaian
putih. Dia memegang sebuah benda seperti suling, namun hampir keseluruhan benda
itu tersembunyi di balik dada pakaiannya. Sambil duduk ongkangongkang kaki si
gondrong ini tiup sulingnya. Bukan saja lagu yang dibawakannya tidak menentu,
tiupan yang dilakukannya membuat suling itu mengeluarkan suara seperti merobek
langit!
"Bangsat
kurang ajar!" memaki kakek Bermata Api.
"Berani
mampus!" mendamprat nenek Berrnata Api. Sepasang mata mereka yang berwarna
merah nampak berkilat kilat. Sementara itu Ratu dan Raja Bengawan Sala meskipun
menyaksikan dengan terheran-heran tapi berlaku tenang. Mereka sama sekali tidak
membuka mulut apalagi mengeluarkan caci maki.
Pemuda di
ujung rakit hentikan tiupan sulingnya. Benda yang tadi ditiupnya, entah benar
suling atau bukan, diselipkannya di pinggang pakaiannya. Lalu dia memandang ke
bawah, tertawa lebar dan lambaikan tangannya ke arah empat orang tua di
bawahnya.
"Budak
kurang ajar! Taruhlah biar kubikin mampus detik ini juga!" Berteriak nenek
Bermata Api. Rebana di tangan kanannya di acungkan ke atas.
Pemuda di
atas rakit tampak garuk-garuk kepalanya lalu kembali tertawa lebar, membuat si
nenek menjadi marah sekali.
"Tidak
mau turun! Bagus! Rupanya kau ingin mampus di ujung rakit sana!" kakek
Bermata Api yang kini berteriak.
"Aku
tidak ada silang sengketa dengan kalian yang bermata seperti api! Mengapa
menginginkan nyawaku?!" Tiba-tiba pemuda di ujung rakit bertanya sambil
rangkapkan kedua lengan di depan dada.
"Pemuda
sompret!" rutuk nenek Bermata Api. "Kalau kau tidak datang
mengganggu, dua tua bangka buruk itu pasti sudah mampus di tangan kami!
Sekarang biar kau yang aku bunuh lebih dulu!"
Si nenek
jejakkan kedua kakinya di tanah sungai, siap untuk melesat ke atas.
"Hai!
Tunggu dulu nek!" berseru si pemuda. "Enak saja kau menuduh aku
mengganggu, justru aku sedang pesiar dan rakit ini menabrak perahuku! Lihat,
perahuku hancur!"
"Persetan
dengan perahumu!" bentak nenek Bermata Api.
"Kalian
harus mengganti perahuku yang rusak!"
"Iblis
gendeng!" Nenek Bermata Api tak dapat lagi menahan amarahnya. Rebana di
tangan kanannya dilempar ke atas. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat ke
udara. Tangan kanan menghantam!
Rebana
berputar deras, mengeluarkan suara menderu disertai suara gemerincing. Benda
ini laksana sebuah piring terbang, menyambar ke arah perut pemuda gondrong yang
masih duduk berjuntai di ujung rakit. Belum lagi terlihat pemuda itu sempat
mengelakkan hantaman rebana, dari bawah menderu pula pukulan mengandung tenaga
dalam yang tadi dilepaskan nenek Bermata Api. Yang diarah adalah bagian dada.
"Ah,
mati pemuda konyol itul" ujar kakek Anom sambil pegangi lengan istrinya.
Apalagi saat itu tampak sosok tubuh nenek Bermata Api sudah sampai pula di
ujung rakit dan langsung mencengkeram ke arah selangkangan si pemuda.
"Nenek
gatal!" si pemuda berteriak. "Tidak malu mau memegang anunya
orang!" Habis berteriak begitu si pemuda ayunkan kaki kanannya ke depan,
langsung menyambar ke arah dada nenek Bermata Api. Bersamaan dengan itu dia
miringkan tubuhnya ke kiri, hampir sama rata dengan ujung rakit. Rebana melesat
hanya setengah jengkal dari pinggulnya sedang pukulan tangan kosong yang
mengandung tenaga dalam memapas di atas bahu kirinya. Walaupun tidak mengenai
tubuhnya, tapi sambaran angin itu membuat si pernuda seperti ditabrak batu
besar. Tubuhnya terbanting ke kiri, langsung jatuh ke bawah, tapi jatuh secara
aneh karena tubuhnya melorot sepanjang lantai rakit, di bagian yang berlawanan
dari si nenek Bermata Api berada saat itu. Ketika tubuhnya jatuh pada kelurusan
yang sejajar dengan tubuh si nenek yang masih mengapung di udara, tiba-tiba
pemuda itu hantamkan tangannya ke depan.
Braak!
Rakit
bambu hancur. Tangan si pemuda terus menyelonong ke arah sosok tubuh nenek
Bermata Api yang ada di balik rakit. Sebenarnya pukulan menembus bambu rakit
itu dapat menghantam tubuh si nenek, tetapi si pemuda agaknya menempel ke tubuh
lawan, pemuda ini ulurkan jari telunjuknya, lalu dengan jari ini dia mengorek
menggelitik ketiak nenek Bermata Api hingga perempuan tua ini berteriak kaget
dan geli! Si pemuda tertawa gelak-gelak.
"Kau
penggelian juga rupanya, nek, pasti sayang suami!" si pemuda berkata.
Kakek
Anom tak dapat menahan tawa geli, istrinya cekikikan.
"Pemuda
itu benar-benar konyol!" ujar kakek Anom..
"Heh
… kau tahu Anom … Apa yang dilakukan pemuda itu tadi telah menyelamatkan kita
dari serangan maut sepasang setan gila itu!"
"Aku
tidak buta," menyahuti suaminya. "Aku yakin pemuda itu sengaja
menabrakkan perahunya untuk dapat menyelamatkan kita…"
"Dan
aku melihat sesuatu pada dirinya!" berkata si nenek. "Dia memiliki
ruas tubuh dan tulang yang nyaris sempurna! Lebih bagus dari pemuda yang dulu
kuminta kau ambil jadi murid itu! Ah, hari ini ternyata kita menemui tuan
penolong, sekaligus calon murid!"
Nenek
Bermata Api merasa sangat malu mendengar ejekan yang diucapkan si gondrong
tadi. Di samping malu dia juga menjadi sangat marah karena tubuhnya tadi
dicolek dan dipermainkan. Sepasang matanya monyorot laksana api. Tubuhnya
bergeletar tanda darahnya mendidih. Rahangnya terkatup. Dia ulurkan tangan
kanan ke atas. Saat itu rebana miliknya yang tadi tidak berhasil menghantam
tubuh si pemuda dan terus melayang di udara, kini seperti tersedot, berputar
dan menukik ke arah tangan si nenek. Begitu rebana dipegang, perempuan tua ini
berkelebat ke balik rakit di mans si gondrong berada.
Kakek
Bermata Api sudah lebih dulu memburu ke balik rakit. Dia benar-benar tidak
dapat menerima kawannya dipermalukan begitu rupa oleh si pemuda. Kakek nenek
ini pergunakan rebana masing-masing untuk menghantam!
"Anom,
apakah kau tidak akan menolong pemuda itu dari keroyokan orang-orang gila
itu?!" berbisik Amini.
"Aku
punya firasat, si konyol itu akan sanggup melayani Sepasang Setan . . ."
menyahuti kakek Anom.
Meskipun
hati kecilnya ingin membantu, namun nenek Amini akhirnya hanya tegak berdiam
diri menyaksikan apa yang kemudian terjadi. Kemudian muncul lagi pikiran itu
dalam benak si nenek. Dia berkata, "Pemuda gondrong itu …. Aku akan
mengambilnya jadi murid . . . . "
"Jangan
buta dan tolol Amini! Jika dia mampu menerobos rakit tanpa cidera, jika dia
mampu menghantam bambu dan mempermainkan nenek Bermata Api, jika dia mampu
duduk di ujung rakit dan meniup benda aneh yang menyakitkan telinga, berarti
kepandaiannya tidak berada dibawah kita! Bisa-bisa kau malu sendiri kalau
mengambilnya jadi murid!"
Nenek
Amini hanya terdiam mendengar kata-kata si kakek. Namun dalam hatinya dia tetap
sangat ingin memiliki murid seperti pemuda gondrong yang saat itu tengah
mendapat serbuan Sepasang Setan Bermata Merah.
Dua buah
rebana menderu. Satu menghantam dari kiri, mencari sasaran di pelipis pemuda
gondrong. Satunya lagi menyambar ke arah pinggang. Gerakan menyerang dua orang
tua bermata merah itu bukan saja cepat laksana kilat tapi juga disertai gerakan-gerakan
tangan kiri yang mengganggu perhatian lawan hingga kalau tidak mengetahui
kelicikah ilmu silat mereka, seorang lawan akan mudah terpancing. Dan inilah
yang terjadi dengan diri si pemuda!
Ketika
rebana menghantam ke arah kepalanya, pemuda ini juga melihat bahwa kakek yang
menyerang di bagian itu dorongkan tangannya seperti melancarkan satu pukulan
mengandung tenaga dalam tinggi ke arah ulu hatinya. Dia miringkan kepala untuk
mengelakkan pukulan rebana, ternyata serangan itu hanya tipuan belaka. Serangan
sebenarnya adalah pukulan tangan kosong!
Karena
tidak punya kesempatan untuk mengelak, pemuda itu ambil keputusan untuk adu
kekuatan langsung! Dia sabatkan tangan kirinya ke bawah. Kakek bermata api
ternyata tidak bodoh. Dia sudah dapat mengukur kehebatan lawan maka buru-buru
tarik pulang serangannya. Bersamaan dengan itu rebana di tangan kanannya
kembali menyambar ke arah kepala. Lebih deras dan lebih ganas dari yang tadi.
Di
jurusan lain nenek Bermata Api menghantam ke arah pinggang dengan rebananya.
Setengah jalan serangan ini mendadak menjadi lamban sedang tangan kiri
tiba-tiba kirimkan tusukan jari ke arah mata lawan. Pemuda berambut gondrong
merasa pasti bahwa serangan rebana hanyalah tipuan sedangkan serangan tusukan
jadi adalah serangan sungguhan. Maka dia pun tinjukan tangan kanannya ke atas
guna menggempur lengan si nenek sementara tangan kiri lepaskan pukulan tangan
kosong untuk memusnahkan serangan kakek Bermata Api. Untuk kedua kalinya si
gondrong tertipu. Ternyata tusukan jari ke mata justru serangan purapura
belaka. Maka ketika dia memukul sambil rundukkan kepala tahu-tahu rebana di
tangan kanan si nenek menghantam pinggangnya dengan tepat.
"Ah,
mati muridku!" berseru nenek Amini. Parasnya tampak berubah.
Braak!
Breet!
Rebana
yang menghantam pinggang si pemuda hancur berantakan. Nenek Bermata Api berseru
kaget, kibas-kibaskan tangannya dan melompat mundur dengan muka pucat.
Rebananya telah menghantam sesuatu yang tersembunyi di balik pakaian lawan. Dan
sesuatu itu tersembul jelas karena pakaian si pemuda kini robek. Sebilah kapak
bermata dua yang berkilauan ditimpa cahaya matahari pagi tampak menyembul di
pinggang si pemuda.
"Kau…!
Kau Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 …!" seru nenek Bermata Api dengan
suara bergetar. Wajahnya yang keriputan masih seputih keras, sama sekali tidak
berdarah ketika melihat senjata apa yang tersisip di pinggang pemuda di
hadapannya.
"Aku
dilahirkan tidak bergelar…." pemuda itu menjawab sambil menyeringai.
Nenek
Bermata Api berpaling pada kawannya. Si kakek berusaha menegaskan dengan
bertanya, "Betul kau Pendekar 212 Wiro Sableng deri Gunung Gede …. ?"
"Sifatnya
manusia … Kecil diberi nama, besar diberi gelar. Tapi apa artinya semua nama
semua gelar?" kembali pemuda itu menjawab. Lalu dia meneruskan,
"Kalian berdua telah mengganggu ketentraman dua orang tua
sahabat-sahabatku. Apakah kalian hendak meneruskannya?!"
Dalam
rimba persilatan masa itu, nama Sepasang Setan Bermata Api adalah suatu nama
angker yang ditakuti keganasannya di delapan penjuru angin. Dengan menyandang
nama begitu besar tentu saja sangat memalukan bagi mereka untuk bertindak
mengalah. Apalagi saat itu Ratu dan Raja Bengawan Sala ikut menyaksikan! Bagi
orang-orang berotak miring seperti mereka tentu saja tidak mengenal rasa takut
terhadap apa atau siapa. Namun kilauan Kapak senjata mustika yang terselip di
pinggang si pemuda membuat mereka merasa jerih. Bukan sekali dua mereka telah
mendengar kedahsyatan senjata itu.
"Pendekar,
kami berdua tidak tahu kalau dua tua bangka itu adalah sahabat-sahabatmu
…" berkata kakek Bermata Api. "Biarlah persoalan kami dengan mereka
dihabisi sampai di sini saja.
Tapi
izinkan aku untuk meminta pelajaran barang satu dua jurus darimu!" Dengan
berkata demikian kakek Bermata Api berusaha menutupi rasa takutnya dan sekaligus
unjukkan niat untuk menjajal sampai di mana sebenarnya kehebatan Pendekar 212
Wiro Sableng.
"Manusia
tolol! Pemuda itu sudah tidak menganggap persoalan lagi! Mengapa masih mencari
lantai terjungkat?!" mendamprat kakek Anom.
"Dasar
otak miring!" terdengar nenek Amini ikut mengomel.
Kakek
Bermata Api menggereng mendengar kata-kata itu. "Hari ini aku membatalkan
niat membunuh kalian berdua, tapi lain kali jangan harapkan ampunan!" Lalu
dia berpaling kembali pada Wiro dan berkata, "Anak muda! Tinggi langit
dapat ditembus! Ilmu manusia ada batasnya! Lihat serangan!
Si kakek
lemparkan rebana di tangan kanannya ke arah Wiro. Benda ini melesat mencari
sasaran di dada murid Sinto Gendeng. Tetapi sebelum pendekar ini membuat
gerakan mengetak, si kakek gerakkan tangan kanannya. Secara aneh rebana itu
keluarkan suara bergemerincing keras lalu melesat ke atas, melabrak ke arah
kepala. Wiro menunggu sosaat. Begitu rebana sampai di depan hidungnya, dia
menghantam dengan tangan kanan. Namun luput. Rebana lagi-lagi melesat ke
jurusan lain. Kali ini menukik ke bawah menghantam ke arah bahu kanan!
Wiro
melompat mundur. Anehnya ternyata rebana itu tidak terus menghantam ke bawah
tapi mengapung di udara seperti tergantung.
Kakek
Bermata Api tertawa mengekeh.
"Gerakanmu
sigap tapi otakmu buntu! Tidak tahu mana serangan betulan mana tipuan! Lihat
tangan!"
Kedua
tangan kakek Bermata Api diulurkan ke depan seperti hendak mencekik batang
leher Pendekar 212. Kali ini Wiro tak mau bertindak terlalu cepat karena bukan
mustahil serangan itu hanya tipuan belaka. Tapi dia kecele. Justru serangan yang
semula tampak lamban itu tiba-tiba berubah cepat. Dan hebatnya sepasang tangan
si kakek seperti mulur dan tahu-tahu leher murid Eyang Sinto Gendeng sudah
berada dalam cengkeramannya!
"Celaka!"
Nenek Amini keluarkan seruan tertahan. Suaminya juga tampak tersentak kaget dan
hendak melangkah mendekati Wiro, maksudnya memberi pertolongan. Apalagi saat
itu dilihatnya si pemuda mulai terjulur keluar lidahnya dan kedua bola matanya
mendelik. Namun langkah kakek Anom jadi tertahan ketika dilihatnya sepasangg mata
Wiro berubah jereng, wajahnya menyeringai, lidahnya masih terjulur tapi
bergerak-gerak sepertr mencibir. Sebaliknya kakek Bermata Api tampak tegak tak
bergerak. Kedua tangan masih memegangi leher Wiro tapi jelas tampak kaku.
Ketika Wiro menguakkan kedua lengan si kakek dengan lengannya kiri kanan, masih
saja kakek bermata merah itu tegak tak bergerak dan tangan mengapung di udara!
Wiro
berpaling pada nenek Bermata Api. "Kakek ini suamimu atau pacarmu atau
kawanmu..?!"
Si nenek
tak sempat menjawab karena dia sendiri merasa heran apa sesungguhnya yang
terjadi dengan kakek kawannya itu. "Nek, lekas kau bawa dia pergi dari
sini. Kau terpaksa harus sedikit susah. Harus menggendongnya karena dia tak
mampu berjalan sampai besok pagi!"
Mendengar
kata-kata Wiro itu si nenek jadi meradang marah. "Apa yang kau lakukan
padanya?!"
"Kau
tanyakan saja besok pagi padanya!" sahut Wiro lalu melangkah mendekati
Ratu dan Raja Bengawan Sala. Ketika dia membelakangi nenek Bermata Api,
tiba-tiba saja perempuan tua itu berkelebat sambil ayunkan tangan kanan ke
batok kepala Wiro.
Kakek
Anom berteriak memberi tahu adanya serangan keji itu. Tapi telinga Wiro sendiri
sudah lebih dulu menangkap suara siuran angin serangan lawan. Wiro jatuhkan
dirinya, membuat gerakan membungkuk. Begitu pukulannya hanya mengenai tempat
kosong tak ampun lagi si nenek terdorong keras ke depan. Karena diganjal oleh
punggung Wiro maka nenek ini langsung terpental jungkir halik dan masuk ke
dalam sungai!
Sambil
memaki panjang pendek nenek Bermata Api berenang ke pinggir sungai. Baru saja
dia menginjakkan kaki di tepi sungai, Wiro menyambar tubuh kakek Bermata Api
lalu melemparkannya ke arah si nenek seraya berteriak, "Bawa kawanmu ini
pergi!" Tertimpa tubuh si kakek, nenek Bermata Api jatuh duduk di tepi
sungai.
"Penghinaan
ini tidak akan kulupakan anak muda! Di lain waktu aku menemuimu, saat itu akan
kukuliti sekujur tubuhmu!" Nenek Bermata Api panggul tubuh kakek kawannya
lalu tinggalkan tempat itu, berlari menyusuri tepian kali.
Apakah
sebenarnya yang telah terjadi tadi dengan kakek Bermata Api? Sewaktu lehernya
dicekik, Wiro tampak megap-megap, lidah terjulur dan kedua tangannya
menggelepar-gelepar. Tapi justru kedua tangan itu secepat kilat, tidak terlihat
oleh siapapun, membuat gerakan menotok pada dua sisi tubuh si kakek. Langsung
saat itu kakek Bermata Api menjadi kaku tegang dengan kedua tangan tetap tampak
seperti mencekik leher Wiro. Dan murid Sinto Gendeng ini lalu berpura-pura
seperti kena dicekik betulan!
Saat itu
Ratu dan Raja Bengawan Sala datang menghampiri Wiro. Sang pendekar cepat
menjura seraya berkata, "Aku yang muda mohon maaf. Aku telah merusak
getekmu hingga bolong!"
Kakek
Anom tertawa lebar sementara istrinya mgmandangi pemuda itu mulai dari ujung
rambut sampai ke kaki tanpa berkesip. "Benar-benar luar biasa,"
membatin si nenek. "Ruas tulang dan otot pemuda ini nyaris sempurna. Ah ….
Kalau saja dia mau jadi muridku…"
"Anak
muda, kami tahu tujuanmu menabrakkan perahu ke rakit adalah untuk menolong
kami. Karena itu aku dan istriku pantas menghaturkan terima kasih padamu.
Selama ini kami hanya mendengar nama besarmu! Sungguh kami sangat bersyukur
bahwa hari ini bisa berjumpa denganmu. Dan lebih dari itu kami berhutang nyawa
padamu…."
Wiro
tertawa dan garuk-garuk kepala. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi jadi
terkejut oleh ucapan nenek Amini.
"Anak
muda, maukah kau jadi muridku …?"
"Nek,
aku …." Wiro tak bisa meneruskan kata-katanya selain tersenyum.
Kakek
Anom cepat menengahi. Seraya memegang lengan istrinya dia berkata, "Jangan
melantur Amini! Kita yang seharusnya berguru pada pemuda ini!"
"Ah
nasib…." si nenek menghela nafas dalam.
"Nek,
aku pemuda luntang-lantung yang banyak ulah. Kalau kau mengambilku jadi murid
tentu kau bakal repot dan makan hati …."
Dari
balik pakaiannya kakek Anom mengeluarkan sesuatu. Benda ini ternyata adalah
peta telaga emas yang selama ini selalu dibawa-bawanya dan tak pernah dapat
dipecahkannya rahasianya.
"Ambillah
ini! Ini sebuah benda sangat berharga. Sebagai balas budi baikmu …."
Wiro
perhatikan benda yang diulurkan kakek Anom. Selembar kain bergambar puncak
gunung dan sungai serta rumah kecil.
"Anak
muda, tampaknya benda ini tidak berharga. Tapi ketahuilah, ini adalah peta
telaga emas! Sebuah telaga penuh dengan emas yang bisa membuatmu menjadi orang
paling kaya di dunia ini!"
"Ah…"
Wiro garuk-garuk kepala. "Aku tak berani menerimanya kek. Aku menolong
tidak mengharapkan balas budi…"
"Pendekar
muda," nenek Amini mendekat. "Jika kau tidak mau menerima barang
sangat berharga itu, mungkin kau bisa memberi tahu di mana kira-kira letak
gunung dan sungai dalam peta itu. Atau mungkin kau pernah melihat sebuah gunung
dengan puncak seperti dalam gambar ….?"
Wiro
perhatikan peta kain itu. Dia hendak menggeleng. Namun dia ingat sesuatu.
"Mungkin…"
"Mungkin
apa pendekar?!" nenek Amini bertanya.
"Mungkin
sekali itu gambar puncak Gunung Perahu di barat daya Temanggung. Bukankah
bentuknya seperti badan perahu…. ?! "
"Aih!
Kau benar! Kau benar pendekar!" seru si nenek. Lalu berpaling pada
suaminya.
"Tiga
tahun memutar otak, hari ini baru terpecahkan!" berkata kakek Anom.
"Pendekar 212, kau benaran tidak mau menerima peta ini …?"
Wiro
gelengkan kepala.
"Kalau
begitu kami pamit! Kami akan menuju ke sana sekarang juga!" Kakek Anom
pegang lengan istrinya. Kedua orang tua ini lalu berkelebat pergi tinggalkan
tempat itu.
******************
5
NENEK
AMINI pegang lengan suaminya.
Sambil
lari dia berbisik, "Anom aku mempunyai perasaan ada orang yang mengikuti
kita sejak dari Martoyudan. Sebelum bergerak lebih jauh baiknya kita berhenti
dan menyelidiki situasi."
"Perasaanmu
sama dengan perasaanku Amini. Agaknya bukan hanya satu dua orang yang mengikuti
kita. Tapi lebih dari empat. Dan bukan sejak dari Martoyudan. Mungkin sekali
mulai dari Muntilan sudah ada yang rnembayangi kita. …"
"Siapapun
adanya mereka pasti punya maksud jahat. Ingin merampas peta itu!"
"Atau
sengaja menguntit sampai akhirnya kita tiba di telaga emas!" menyahuti
kakek Anom.
"Kalau
begitu mengapa tidak segera berhenti dan menyelidik?"
"Cari
tempat yang baik. Lihat bukit jati di depan sana. Kita baru berhenti begitu
sampai di lereng bukit. Itu tempat paling baik untuk memeriksa siapa-siapa yang
mengikuti kita!"
Sepasang
kakek nenek itu lari menuju bukit jati. Begitu sampai di lereng keduanya
berhenti di bawah sebatang pohon jati besar lalu memandang berkeliling. Tampak
dua bayangan berkelebat dan cepat bersembunyi di balik pohon-pohon jati di
bawah sana. Lalu satu sosok tubuh lagi mendekam di balik semak belukar. Tidak
kelihatan bayangan orang keempat dan kelima. Mungkin hanya tiga orang yang
bersembunyi itu saja yang mengikuti mereka?
"Apa
yang kita lakukan sekarang Anom?" bertanya si nenek.
"Kita
harus mengelabui mereka. Aku akan lari secepatnya ke arah timur bukit, kau lari
ke jurusan barat. Para penguntit mau tak mau akan lari berpencar dan mengejar.
Sampai di lereng bukit sebelah barat kau harus berputar-putar sejauh hitungan
tiga ratus. Lalu cepat kau kembali kemari. Aku juga akan berbuat seperti itu
sesampainya di lereng sebelah timur. Jika mereka masih sanggup mengejar sampai
ke sini lagi, maka aku akan menipu mereka!"
"Menipu
bagaimana?" bertanya nenek Amini.
"Kau
lihat saja nanti. Tapi ingat! Jangan kau membuka mulut mengatakan sesuatu atau
bertanya! Nah, sekarang kau larilah ke barat!"
Tanpa
menunggu istrinya lari ke barat, kakek Anom sudah lebih dulu berkelebat ke
jurusan timur.
Dari
balik pohon-pohon jati, dari belakang semak belukar serta dari balik sebuah
gundukan tanah, lima sosok tubuh berkelebat cepat. Dua langsung mengejar ke
jurusan timur yakni arah larinya kakek Anom sedang tiga lagi berlari ke jurusan
barat, arah lenyapnya nenek Amini.
Begitu
sampai di lereng barat bukit, si nenek berlari berputar-putar membuat para
pengejarnya jadi kelabakan dan bingung hendak mengejar ke mana. Setelah
menghitung sampai tiga ratus si nenek berputar lagi satu kali lalu lari
secepat-cepatnya kembali ke arah di mana tadi dia berpisah dengan kakek Anom.
Ternyata dua kakek nenek itu sampai di situ dalam waktu yang hampir bersamaan.
"Pengejarku
kehilangan jejak…" berkata kakek Anom dengan nafas mengengah.
"Aku
sial. Agaknya masih ada dua orang yang terus mengikuti…" berkata nenek
Amini.
"Aku
sudah melihat bayangan mereka. Saatnya untuk membuat tipuan! Ingat, jangan
sekali-kali bertanya atau membuka mulut! Lihat saja apa yang aku lakukan!"
Habis
berkata begitu kakek Anom keluarkan sebuah benda dari balik pakaiannya. Begitu
memperhatikan nenek Amini segera tahu kalau benda itu adalah peta rahasia
telaga emas. Mulutnya terbuka tapi cepat dikatupkan kembali begitu ingat pesan
suaminya yaitu jangan berkata apa-apa ataupun bertanya.
"Peta
rahasia telaga emas ini hanya akan membawa bencana bagi kita berdua. Sebaiknya
disembunyikan dulu sampai keadaan aman. Amini, berikan padaku golok kecil yang
selalu kau bawa…"
Tanpa
berkata apa-apa nenek Amini keluarkan sebilah golok dan menyerahkan senjata ini
pada kakek Anom. Si kakek lalu mendekati sebatang pohon jati. Dengan ujung
golok dia menoreh batang pohon jati membuat tanda XXX. Dengan senjata itu juga
dia kemudian mencungkil kulit jati berbentuk empat segi kecil. Begitu kulit
kayu terkelupas, peta rahasia telaga emas ya.ng dilipatnya kecil-kecil
dimasukkannya ke dalam batang yang terkulas lalu potongan kulit kayu
ditutupkannya kembali ke batang pohon. Dengan mengerahkan tenaga dalam potongan
kulit kayu menempel sama rata seolah-olah tak pernah dipotong atau dicungkil.
Mata awam pasti tak akan mampu melihat batasan cungkilan.
"Istriku,
mari kita tinggalkan bukit ini! Kalau memang ada yang berjodoh dengan peta itu,
biar itu menjadi rezeki mereka. Aku tak ingin melibatkan diri lagi dengan
segala macam harta itu!"
"Anom…"
"Tua
bangka tolol! Ingat pesanku!" bentak kakek Anom ketika istrinya membuka
mulut. Lalu lengan si nenek ditariknya. Keduanya segera lari menuruni bukit jati.
Belum
lagi sepasang kakek nenek ini lenyap di kejauhan, dari balik dua pohon jati
besar berkelebat keluar dua sosok tubuh. Yang berpakaian tanpa kancing dan
berikat kepala merah ternyata bukan lain adalah Gaok Srenggi, Raja Lanun Pantai
Selatan. Tangan kanannya tampak dibalut kain putih. Yang muncul bersamanya saat
itu adalah seorang kakek berpakaian kotor compang camping berambut panjang tapi
sangat jarang hingga kepalanya nyaris botak. Gaok Srenggi langsung memukul
batang pohon jati di mana tadi kakek Anom menyembunyikan peta kain. Kepingan
kulit kayu mencelat mental. Lembaran kain tampak melekat di batang pohon.
Raja
Lanun tertawa lebar. Dia berpaling pada kakek kumal. "Mana mungkin dua tua
bangka itu bisa menipu kita! Akhirnya peta telaga emas menjadi milik kita juga!
Ha . . ha . . ha ..!"
Kakek
kumal ikut tertawa gembira.
"Kita
menemukannya tanpa aku harus melelahkan diri menghadapi lawan-lawan tangguh
yang kau takutkan itu Gaok!" kata si kakek pula.
"Mungkin
mereka tak berani mengusik dan sudah pada lari ketakutan ketika melihat kau
muncul bersamaku Gembel Cakar Hantu!" ujar Gaok Srenggi pula.
Si kakek
tertawa mengekeh dan angkat kedua tangannya ke atas. Ternyata manusia ini
memiliki sepuluh jari berkuku panjang berwarna hitam pekat!
Gaok
Srenggi ulurkan tangan kanannya untuk mengambil peta kain yang melekat di
batang pohon. Tapi tiba-tiba ada angin deras menyambar.
Wuuuuttt!
Gaok
Srenggi terjajar tiga langkah ke belakang, hampir jatuh karena seseorang
mendorong bahunya. Peta kain di batang pohon direnggut dan lenyap!
"Bangsat
kurang ajar! Berani mati!" teriak Gaok Srenggi. Lalu Raja Lanun ini
melompat mengejar.
Kakek
bergelar Gembel Cakar Hantu juga membentak marah dan berkelebat cepat
menghadang orang yang barusan menyambar peta telaga emas. Karena terkurung
rapat, walaupun tadi gerakannya cepat laksana kilat, si perampas peta kain
tidak sempat melarikan diri lebih jauh.
"Pesolek
Agung!" sew Gembel Cakar Hantu ketika dia mengenali siapa adanya orang
yang tegak antara dia dan Gaok Srenggi. "Tidak sangka kaupun tertarik pada
peta emas itu!"
Gaok
Srenggi alias Raja Lanun Pantai Selatan terkesiap kaget ketika mengetahui siapa
adanya orang yang barusan mendahuluinya merampas peta telaga emas. Nama Pesolek
Agung merupakan satu momok yang sering membuat geger di pesisir selatan, bahkan
sampai jauh ke daratan Jawa Tengah. Kepandaian manusia satu ini tinggi sekali.
Kabarnya malah sukar dijajagi. Diam-diam Gaok Srenggi merasa beruntung bahwa
dia muncul di tempat itu bersama Gembel Cakar Hantu, seorang tokoh silat
golongan hitam yang ikut menyandang nama besar di wilayah selatan.
Orang
yang ditegur tertawa dingin. Pesolek Agung ternyata adalah seorang lelaki
berusia hampir setengah abad. Pakaiannya rapi dan sangat bagus. Gerak geriknya
sepeti kebancian-bancian. Apa yang menarik pada manusia ini ialah, walaupun dia
seorang lelaki tetapi memakai bedak tebal, penebal alis lengkap dengan sipat
mata serta pemerah pipi. Bibirnya dipoles dengan gincu merah mencoreng.
Rambutnya
dicat hitam dan diponi. Telinga sebelah kiri memakai giwang panjang!
"Sama-sama
hidup di kolong langit, masakan tidak tahu menahu apa yang terjadi di dunia
persilatan. Tujuan kita agaknya sama Gembel Cakar Hantu. Hanya saja kau
terlambat. Sayang sekali. Aku lebih cepat darimu!" Kata-kata itu diucapkan
Pesolek Agung sambil sedikit mendongakkan kepala dan usap-usap rambutnya di
sebelah belakang, persis seperti seorang perempuan genit.
"Kami
sejak lima hari lalu menguntit Ratu dan Raja Bengawan Sala untuk mendapatkan
peta itu. Kami harap peta itu diserahkan pada kami!" Gaok Srenggi membuka
mulut.
Kembali
Pesolek Agung tertawa dingin.
"Di
atas dunia ini berlaku hukum siapa cepat dia yang dapat! Peta rahasia ini tidak
berjodoh denganmu! Heh, bukankah kau Raja Lanun Pantai Selatan yang terkenal
itu?"
"Kalau
kau sudah mengenali diriku, berarti kau tahu kita orang satu golongan. Mengapa
tega merampas peta itu?" ujar Gaok Srenggi pula.
"Ini
bukan soal tega atau tidak tega, Gaok Srenggi. Seperti aku bilang tadi …"
Pesolek Agung usap pipinya sebpntar, raba-raba bibirnya yang bergincu lalu
meneruskan: "Seperti aku bilang tadi, ini adalah persoalan siapa cepat
siapa dapat .."
Gembel
Cakar Hantu batuk-batuk beberapa kali.
"Sobatku
Pesolek Agung," kata manusia berpakaian kumal dan compang-camping ini.
"Mengingat
kita sama satu golongan, mengingat pula kita sama-sama bersusah payah dalam
mendapatkan peta itu bagaimana,kalau kita berunding?"
"Hemmm
… Berunding katamu? Boleh saja sobat ku. Tapi putusan tetap padaku. Katakan apa
yang ingin kau rundingkan!"
"Kita
sama-sama memecahkan isi peta rahasia. Sama-sama pergi ke tempat di mana
terletaknya telaga emas lalu membagi hasil. Kau seperdua, kami berdua biarlah
sisanya."
"Hemm…
Usul baik untuk bahan perundingan. Tapi jawabannya adalah tidak!" sahut si
Pesolek Agung pula.
"Kau
dua pertiga, kami yang sepertiga!" berkata Gaok Srenggi.
Pesolek
Agung tertawa panjang lalu lagi-lagi usap-usap bibirnya seolah-olah merapikan
gincunya.
"Banyak
orang menyangka, kalau aku seperti perempuan, hatiku tentu penuh welas asih seperti
perempuan juga.. Sangkaan yang salah! Justru aku lebih tegas dari kaum lelaki.
Sekali aku bilang tidak, sampai matipun tetap tidak!"
Selesai
berkata begitu sepasang mata Pesolek Agung yang memakai sipat mata menatap
tajamtajam pada Gembel Cakar Hantu dan Gaok Srenggi. Ketika dia hendak balikkan
tubuh untuk pergi terdengar seruan Gaok Srenggi.
"Tunggu
dulu!"
Pesolek
Agung hentikan langkahnya. "Hari sudah tinggi. Orang sepertiku tak layak
berada lama-lama di tempat ini!"
"Jika
kau bersikeras tak mgu membagi rezeki, terpaksa kami melakukan hal-hal yang tak
diingini!" Gembel Cakar Hantu mengancam.
"Bagus…
kau berani mengancam Gembel Cakar Hantu! Berani mengancam berani membuktikan
ancaman!"
Kedua
kaki Pesolek Agung bergeser mengembang. Kedua tangannya digosok-gosok tiada
henti sementara peta telaga emas sudah sejak tadi disimpannya di balik
pakaiannya yang bagus.
"Kalian
mau menyerang satu-satu atau mengeroyok sekaligus bagiku tak ada
masalah…!"
Gaok
Srenggani yang tahu urusan bakal jadi kapiran tentu saja tak berani menyerang.
Sebaliknya Gembel Cakar Hantu yang sudah terlanjur mengeluarkan kata-kata
ancaman tentu saja merasa malu besar bilamana dia tidak melayani tantangan
orang.
Tanpa
banyak menunggu lagi Gembel Cakar Hantu membentak, "Lihat serangan!"
Sepuluh
jari tangannya terkembang lurus laksana sepuluh potong besi runcing. Kesepuluh
jari itu bertengger dan tampak ada sinar redup berwarna kehitaman pada ujung
kuku-kukunya yang panjang runcing berwarna hitam itu.
Tangan
kanan menyambar ke depan, ke arah dada. Pesolek Agung menunggu sampai serangan
berupa cakaran ganas iru datang lebih dekat. Begitu sambaran lima kuku hitam
hanya tinggal sejengkal dari dadanya, secepat kilat Pesolek Agung gerakkan
tangan kanannya ke pinggang. Mendadak sontak ada cahaya berkilau berkilat
menyambar ke arah tangan kanan Gembel Cakar Hantu. Orang ini cepat tarik pulang
serangannya, ganti kini tangan kiri yang berkelebat ke arah muka si Pesolek
Agung.
"Aih!
Kau hendak merusak wajahku yang mulus!" seru Pesolek Agung.
Sekali
lagi Pesolek Agung gerakkan tangannya. Kembali ada sinar menyilaukan berkiblat
ke arah tangan tangan kiri Gembel Cakar Hantu. Sinar menyilaukan ini mengantar
hawa oanas luar biasa.
Sekali
ini Gembel Cakar Hantu tidak mau menarik pulang serangannya seperti tadi. Kedua
kakinya dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas. Dari atas dua jari
tangannya menusuk deras ke arah ubun-ubun Pesolek Agung!
"Aih,
hendak kau apakan batok kepalaku!" terdengar seruan Si Pesolek Agung.
Tangan kanannya dikibaskan ke atas. Sinar menyilaukan yang menebar hawa panas
menerpa ke arah Gembel Cakar Hantu. Sekali ini mau tak mau Gembel Cakar Hantu
harus membuat gerakan untuk selamatkan diri. Selagi dia melemparkan diri ke
samping untuk menghindar tebasan lawan, tiba-tiba sinar menyilaukan kembali
berkiblat dan sekali ini menghantam ke arah matanya!
Gembel
Cakar Hantu menjerit kaget. Bukan saja kedua matanya terasa sangat panas, tapi
pemandangannyapun serta merta menjadi gelap, seolah-olah kini kedua matanya
telah menjadi buta! Selagi dia kelagapan mengucak-ucak matanya, satu jotosan
melanda dadanya dengan keras. Gembel Cakar Hantu menjerit kesakitan. Tubuhnya
terpental satu tombak. Ketika jatuh pemandangan matanya mulai jernih. Penuh
amarah orang ini gulingkan tubuh. Tangan kanannya menyambar ke arah kaki
Pesolek Agung. Tapi serangannya luput dan hanya menghantam bagian bawah
sebatang pohon jati. Kulit pohon yang terkena sambaran cakaran kuku hitam
tampak terkelupas dan batang pohon itu kini kelihatan berlubang kehitam
hitaman!
Ketika
Gembel Cakar Hantu berpaling, dilihatnya Pesolek Agung tegak tenang-tenang saja
. Ditangan kanannya dia memegang sebuah kaca hias bertangkai rotan. Dia asyik
melihati wajahnya sendiri di dalam kaca sambil mengusap-usap pipi dan keningnya
seperti layaknya seorang perempuan tengah berhias! Kaca itulah tadi yang
membuat Gembel Cakar Hantu kepanasan dan kesilauan.
Hawa
amarah yang menggelegak membuat bekas pukulan di dada Gembel Cakar Hantu
menjadi tambah sakit. Ketika dia coba berdiri sambil kerahkan tenaga dalam untuk
kembali melancarkan serangan, mendadak dari mulutnya menyembur darah segar.
Gembel Cakar Hantu menjadi lemas melihat darahnya sendiri. Kedua lututnya
goyah. Tubuhnya terkulai lalu jatuh terkapar di depan kaki Gaok Srenggi!
"Kau
juga ingin kubuat seperti itu?!" ujar Pesolek Agung.
Gaok
Srenggi yang sudah lumer nyalinya tak berani menjawab ataupun bergerak. Pesolek
Agung merapikan poni rambutnya lalu sambil tertawa panjang dia tinggalkan
tempat itu. Gembel Cakar Hantu berusaha bangkit sambil pegangi dada. Tapi
tubuhnya lemas dan dadanya sakit sekali. Dia kembali tergeletak di tanah.
"Gaok….
tolong aku. Dudukkan aku di bawah pohon sana, Gaok…" terdengar Gembel
Cakar Hantu merintih.
"Manusia
tak berguna!" mengomel Gaok Srenggi. "Susah payah aku mengajakmu memburu
peti itu. Ternyata kau hanya pantas dimasukkan tong sampah….!"
Setelah
mengucapkan caci maki itu Gaok Srenggi putar tubuhnya.
"Gaok
! Jangan tinggalkan aku di sini…"
Raja
Lanun Pantai Selatan tidak perdulikan ratapan orang itu. Dia melangkah pergi
meneruskan perjalanan menuju puncak bukit jati. Di puncak bukit dia hentikan
langkah dan memandang berkeliling. Walaupun selama ini dia malang melintang di
lautan, tapi sebagai seorang tokoh hitam di pesisir selatan Gaok Srenggi cukup
tahu seluk beluk daerah di mana dia berada saat itu.
Jika Ratu
dan Raja Bengawan Sala mengadakan perjalanan ke jurusan ini, satu-satunya
gunung terdekat adalah Gunung Perahu. Berarti telaga itu berada di sekitar
situ. Aku akan menyelidiki ke sana…" begitu Gaok Srenggi berpikir.
Sementara
itu sambil bernyanyi nyanyi kecil karena sudah memiliki peti telaga emas,
Pesolek Agung berjalan santai saja. Di satu tempat dia berhenti dan keluarkan
peti kain putih kumal polos! Sama sekali tidak ada peti atau gambar apapun di
atas kain itu!
"Kurang
ajar! Aku tertipu!" ujar Pesolek Agung sambil banting-banting kaki. Kain
kecil dalam genggamannya diremas hingga lumat. "Bangsat! Aku akan lihat
apakah dua tua bangka itu masih bisa menipuku kalau nyawa sudah kucabut dari
tubuh merekal Keparat! Jangan kira aku tidak tahu ke mana tujuan kalian!"
******************
6
KARENA
MELAKUKAN perjalanan menyusuri anak Kali Bogowonto, satu hari kemudian akhirnya
kakek Anom dan nenek Amini sampai di kaki Gunung Perahu. Saat itu pagi hari.
Matahari belum tinggi. Puncak gunung tampak gagah disaputi awan putih yang
berarak seperti kapas. "Menurut peta …" kata kakek Anom pula sambil
meneliti peta kain yang dikeluarkannya. "Sungai yang kita ikuti sejak
sehari lalu bentuk dan likunya persis dengan yang tergambar di sini. Namun di
sini ada gambar rumah kecil. Kita sama sekali tidak menemui rumah atau bangunan
apapun di sekitar hulu sungai. . . ."
"Di
keliling kaki Gunung Perahu kurasa terdapat lebih dari selusin hulu sungai.
Belum tentu sungai yang kita ikuti benar-benar seperti yang dimaksudkan dalam
peta. Berarti kita harus mengelilingi kaki gunung ini sampai menemukan tanda
yang lebih jelas …." memberi pendapat nenek Amini.
"Mengelilingi
gunung ini… paling tidak akan menghabiskan waktu lima hari, mungkin seminggu …
"ujar sang suami.
"Apa
boleh buat. Kita sudah sampai disini. Kalau kita tidak meneruskan, orang lain
akan mendapatkan harta itu! Mari!" Si nenek memberi semangat.
Menjelang
tengahari sepasang kakek nenek itu menemukan sebuah lembah kecil. Di dasar
lembah terdapat daerah berbatu-batu dan disitu ada sebuah cegukan dalam tapi
sama sekali tidak ditemukan air atau telaga. Keduanya meneliti batu-batu yang
ada di tempat itu, mencungkil-cungkil bahkan beberapa kali memecah batu-batu
yang ada di situ. Sampai menjelang sore mereka tidak melihat tanda-tanda adanya
emas atau harta terpendam di situ. Dengan tubuh letih tapi masih bersemangat
tinggi kakek Anom dan nenek Amini melanjutkan penyelidikan ke arah timur,
sampai akhirnya mereka menemukan pedataran tinggi yang di sebelah atasnya
tampak sebuah bukit batu kecil.
"Aneh…
Aku yakin di manapun daerah di kaki gunung pasti akan subur dan hijau. Mengapa
bagian kaki gunung disebetah sihi begini tandus, hampir tidak ditumbuhi
pohon…"
"Aku
juga berpikir begitu…" menyahuti nenek Amini. "Dan kau lihat di sana
ada tumpukan batu-batu aneh. Ada yang berbentuk seperti tubuh manusia sebatas
pinggang ke atas. Ada yang seperti kursi. Juga ada yang berbentuk meja …."
Kakek
Anom pegang erat-erat tangan istrinya. "Amini," bisik si kakek agak
bergetar."Aku menaruh firasat kita akan menemukan telaga emas itu. Mari
kita naik ke arah tumpukan batu-batu di puncak bukit tandus itu!"
Ternyata
pendataran tinggi yang mereka daki memiliki tanah lembut sehingga meskipun
sepasang kakek nenek itu memiliki kepandaian dan ilmu meringankan tubuh yang
tinggi tetap saja mereka seperti menginjak tumpukan pasir. Setiap melangkah
kaki mereka pasti tenggelam sedalam setengah sampai satu jengkal.
"Aneh
tanah di tempat ini …" berkata Anom. Sesaat dia berhenti menunggu istrinya
yang agak tertinggal di betakang. Memandang berkeliling kakek Anom melihat
guratan-guratan besar dan panjang di beberapa tempat. Guratan-guratan itu ada
yang mulai dari kaki pedatarah dan menuju ke arah bukit batu. Ada juga yang
membelintang menuju keberbagai arah.
"Apa
yang kau perhatikan Anom…. ?"
Kakek
Anom menuju ke arah guratan-guratan panjang. Nenek Amini ikut ikut
memperhatikan.
"Apa
yang menyebabkan tanah pedataran tinggi ini tergurat-gurat seperti itu.
Kelihatannya bekas dilalui sesuatu. Jelas bukan kaki manusia…"
"Kita
teruskan saja perjalanan ke atas. Mungkin di atas sana kita bisa menemukan
jawabnya …"
ujar
nenek Amini. Kedua orang itu kembali melanjutkan perjalanan. Kakek Anom lebih
dulu, istrinya mengikuti dari belakang. Karena itu si kakek sampai lebih dulu
di puncak pedataran di mana terdapat tumpukan batu-batu berwarna hitam yang
memberikan bentuk berbagai rupa. Ada yang seperti manusia, ada seperti kursi
meja, ada pula seperti binatang mendekam dan sebaginya.
Namun
semua ujud batu-batu itu sama sekali tidak diperhatikan kakek Amon. Matanya
tertancap pada sebuah telaga kecil yang terletak due puluh langkah di depannya,
dikelilingi oleh batu-batu hitam beraneka bentuk itu.
"Amini!"
seru kakek Anom tak dapat lagi menahan gembiranya. "Ini pasti telaga emas
itu!"
Mendengar
teriakan suaminya nenek Amini melesat ke atas bukit. Begitu melihat telaga si
nenek langsung merangkul suaminya.
"Kita
akan jadi kaya raya Anom! Lebih kaya dari Raja! Lebih kaya dari Sultan …!"
Kakek
Anom juga gembira. Namun orang tua satu ini tidak terus terbawa hanyut
kegembiraan. Sambil mengusap bahu istrinya dia berkata. "Nek, mari kita
menyelidik telaga itu. Kulihat airnya berwarna aneh, Tidak biru tidak
kehijauan. Tapi butek hitam… Lagi pula belum kulihat bayangan emas di tempat
ini…"
Nenek
Amini menunjuk ke arah selatan. "Aku merasa pasti emas itu tersembunyi di
sini Anom. Lihat ke arah yang kutunjuk. Di situ ada hulu sebuah sungai. Likunya
sama seperti dalam peta kain. Dan di sebelah sana lagi ada air terjun
kecil."
"Tapi
di mana rumah kecil yang ada dalam peta … ?"
Si nenek
memandang berkeliling.
"Memang
tidak tampak rumah atau gubuk di sekitar sini. Namun bukan mustahil si pembuat
peta melakukan kesalahan. Air terjun itu digambarkannya sebagai rumah kecil.
Atau mungkin juga dia sengaja melakukan itu agar peta itu tidak terlalu mudah
dipecahkan . . . ."
Kakek
Anom angguk-anggukkan kepalanya. Kedua orang tua itu kemudian melangkah menuju
telaga. Telaga ini tidak terlalu luas. Lebih mirip sebuah kolam besar karena
mulai dari bibir telaga sampai ke dinding sebelah bawah terbuat dari batu. Dan
seperti yang dikatakan kakek Anom tadi, air telaga berwarna hitam butak hingga
tidak dapat dilihat dasarnya, padahal tampaknya air telaga itu dangkal-dangkal
saja.
Kakek
Anom memperhatikan dasar telaga dengan teliti. Gelap pekat, tapi… beberapa
kilas dia seperti melihat pantulan-pantulan kecil berwarna keputihan.
Si kakek
berjongkok di tepi telaga. Tangan kanannya diulurkan dalam-dalam. Ketika
sebagian bahunya ikut tenggelam basah dalam air, dia berhasil menyentuh dasar
telaga.
"Telaga
ini dangkal sekali nek. Dasarnya terasa dingin tapi agak lembut. Aku seperti
menyentuh sesuatu yang agak kasap…. Eh, di mana tersembunyinya emas itu?"
Kakek Anom masih meraba-raba beberapa lamanya sambil memandang berkeliling.
"Aneh…" katanya kemudian.
"Apa
yang aneh Anom?" bertanya si nenek.
"Dasar
telaga ini seperti mengeluarkan denyutan-denyutan halus…." Kakek Anom
keluarkan tangannya dari dalam air lalu mencium ujung jari-nya yang tadi
dipakai meraba-raba. "Bau amis…"
katanya.
Setelah berpikir sejenak kakek ini kemudian berkata, "Mari kita coba
pecahkan batu-batu hitam ini. Kita lihat bekas pecahannya apakah mengandung
emas atau tidak…"
Dengan
susah payah mereka mencari beberapa buah balu sebesar kepalan, setelah
menemukan kedua kakek nenek itu pergunakan batu-batu itu untuk menumbuk dan
menghancurkan batu-batu hitam yang ada di situ. Mereka mulai dengan sebuah batu
hitam berbentuk punggung gajah. Dengan mengerahkan tenaga dalam, batu yang
lebih kecil dihantamkan ke punggung batu lebih besar.
Braak…!
Batu
kecil dan sebagian batu besar sama-sama hancur. Sepasang kakek nenek cepat
memeriksa pecahan batu besar. Mereka tidak melihat atau menemukan apa-apa.
Bagian dalam pecahan batu sama saja hitamnya dengan bagian luarnya.
Kakek
Anom tampak kecewa. Tapi si nenek memberi semangat. "Kita coba yang lain
…."
Begitulah,
sementara matahari mulai menggelincir ke tempat tenggelamnya, sepasang kakek
nenek itu sibuk memecah batu-batu hitam yang berada di sekeliling telaga.
Hasilnya nihil. Batu-batu itu tidak ada bedanya dengan yang pertama kali mereka
selidiki. Hitam pekat, tak ada bagian yang menunjukkan terpadunya emas!
Ketika
matahari tenggelam dan tempat itu menjadi gelap, kakek Anom dan nenek Amini
duduk kelelahan di tepi telaga. Telapak tangan dan jari-jari mereka terasa
pedas, ada yang mengelupas dan berdarah.
"Rejeki
kita masih jelek Amini …. Ini bukan telaga yang ada dalam peta. Aku khawatir,
janganjangan telaga itu sebenarnya tak pernah ada …."
Nenek
Amini duduk terdiam. Meskipun semangatnya sedikit mengendur namun dia begitu
yakin bahwa telaga yang ada di hadapan mereka dalam gelap itu adalah
benar-benar telaga emas yang ada dalam peta kain, yang selama puluhan tahun
menjadi rahasia tak terpecahkan dalam dunia persilatan.
Perlahan-lahan
si nenek mengingsut duduknya ke tepi telaga. Di sini, dalam gelapnya malam dia
membuka kembali peti kain itu. Setelah beberapa saat dimasukkannya ke balik
pakaian seraya berkata, "Aku yakin ini memang telaga yang dimaksudkan
dalam peta!"
"Tapi
kau saksikan sendiri nek! Kita sudah menyelidik, memecah seluruh batu yang ada
di tempat ini. Jangankan emas, tembaga pun tidak ada di sini!"
"Kita
belum mencoba batu yang menjadi bagian langsung telaga ini…" berkata nenek
Amini.
Dia
mengambil sebongkah pecahan batu lalu kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan
braak!
Dia
menghantamkan bongkahan batu itu ke pinggiran batu telaga! Batu di tangan si
nenek hancur berantakan sedangkan pecahan pinggiran telaga terpental dekat kaki
si nenek. Parempuan tua ini cepat mengambii kepingan batu tepi telaga,
mendekatkannya ke matanya agar dapat meneliti lebih jelas. Sesaat kemudian
terdengar pekik si nenek.
"Apa
yang kau lihat nek?!" ikut menjerit kakek Anom.
"Emas…!
Anom! Lihat! Sebelah dalam batu telaga berwarna kuning berkilat! Emas Anom…
Emas…!"
Kakek
Anom terlonjak kaget dan rebut kepingan batu dari tangan si nenek lalu
menelitinya. Benar! Bagian dalam kepingan batu, seolah-olah ditutup denqan
suatu lapisan tipis di sebelah luar, tampak berwarna kuning pekat. Si kakek
masih kurang percaya. Dia membungkuk meneliti bekas sumbingan tepi telaga. Dan
batu di situ pun jelas tampak berwarna kuning emas!
Si kakek
langsung peluk istrinya.
Keduanya
berangkulan gembira dan menarinari.
"Tiga
tahun lebih membuang waktu ternyata tidak percuma …. Kita betul-betul akan jadi
kaya raya! Lebih kaya dari Raja seperti katamu tadi!"
Si nenek
peluk suaminya dan berteriak girang tiada henti. Tiba-tiba perempuan ini ingat
sesuatu lalu berkata, "Tapi kita tidak boleh serakah kek…"
"Eh,
apa maksudmu?"
"Emas
yang ada di sini harus kita sisihkan sebagian untuk murid Sinto Gendeng
…."
"Ya…
ya… Aku setuju. Pendekar 212 itu yang membuka jalan menunjukkan letak tempat
rahasia ini! Kita berdua akan mencarinya dan memberikan sebagian emas yang ada
di sini …."
"Kita
harus mengambil semua emas yang ada di sini malam ini juga, Anom!"
"Ya…
malam ini juga. Sebelum ada lagi manusia-manusia biang celaka muncul di sini.
Hanya saja… aku berpikir-pikir bagaimana kita membawa semua emas yang ada di
sini? Kita perlu gerobak besar dengan kuda-kuda yang kuat. Lalu lusinan karung.
Kita harus mencari linggis dan pentungan besi!"
"Kalau
begitu biar malam ini kita tidur di sini. Besok pagi kita mulai kerja keras dan
mengatur semuanya…"
"Aku
kurang setuju!" ujar kakek Anom. "Kau tetap di sini. Aku akan turun
ke desa terdekat, mencari kereta, karung, kuda… semuanya! Menjelang pagi aku
pasti sudah ada di sini. Kau berani kutinggal sendiri di sini Amini …."
"Masakan
tidak berani! Kau pergilah…."
"Ya
. . . ya, aku akan pergi sekarang juga!" kata kakek Anom.
Justru
pada saat itulah sepasang kakek nenek ini mendengar suara air telaga
bergemericik. Menyusul suara mendesis. Bau amis menebar. Nenek Amini yang
kebetulan memeluk suaminya dengan muka menghadap telaga tiba-tiba berteriak
keras.
"Amon.
. . Anom. . . Lihatlah. . . Ada hantu keluar dari telaga itu….!"
******************
7
KAKEK
ANOM tersentak kaget, terlebih karena memang dia juga mendengar suara
menggemuruh keluar dari dalam telaga. Ketika dia berpaling, terloncatlah kakek
irti saking terkejutnya. Dari dalam telaga melesat keluar sesosok mahluk
berkepala dan bertubuh panjang besar luar biasa. Meskipun gelap tapi tubuhnya
kelihatan seperti memiliki bagian-bagian yang berkilauan. Mahluk ini memiliki
sepasang mata berwarna hijau. Mulutnya yang menganga menjulurkan lidah panjang
bercabang dua yang juga berwarna hijau.
"Ul…
ullar … Ular hantu raksasa…!" teriak Kakek Anom gagap dan takut.
Mahluk
yang keluar dari dalam telaga ternyata memang sejenis sanca raksasa yang
mengerikan. Sisik di tubuhnya sangat tebal dan bagian-bagian sisik inilah yang
memantulkan sinar berkilauan. Binatang ini, entah ular benaran entah mahtuk
jejadian, keluarkan suara mendesis. Desisan ini menyebar bau amis dan udara
dingin menegakkan bulu roma. Tiba-tiba mahluk ini melesat ke kiri ke arah nenek
Amini yang tegak dengan tubuh gemetaran.
"Amini,
selamatkan dirimu! Lekas melompat!" teriak Kakek Anom.
Tapi
terlambat. Hanya beberapa kejapan saja, begitu mahluk seperti ular raksasa itu
membuka mulutnya, tubuh nenek Amini seperti tersedot, amblas lenyap masuk ke
dalam mulut itu. Sesaat masih terdengar jerit si nenek, setelah itu lenyap.
Kraak!
Mahluk
dalam telaga katupkan mulutnya. Sepasang kaki nenek Amini laksana dipotong
pisau besar. Buntung den tercampak di tepi telaga. Darah membasahi batu-batu,
tepi telaga dan air telaga. Betapapun takutnya kakek Anom, namun melihat
kematian istrinya mengenaskan seperti itu maka rasa takut berganti dengan
amarah.
"Mahluk
biadab! Kupecahkan kepalamu!" Si kakek berteriak lalu melompat. Tangan
kanannya menderu ke arah kepala mahluk berbentuk ular.
Bukkk!
Kakek
Anom seperti memukul tembok besi.
Tangan
kanannya remuk hingga dia menjerit kesakitan sebaliknya mahluk menyerupai sanca
taksasa itu sedikitpun tidak bergeming. Dia mendesis, lalu dari dalam telaga
dangkal melesat keluar bagian tubuhnya yang berbentuk ekor. Ekor ini menyambar
deras ke arah kakek Anom. Dalam keadaan kesakitan setengah mati si kakek masih
sempat melihat datangnya bahaya maut. Dia jatuhkan diri. Ekor mahluk menghantam
batu berbentuk tubuh manusia. Batu hitam ini hancur berkeping-keping. Kembali
mahluk ini mendesis. Bau anyir dan hawa dingin membersit. Sebelum kepala si
mahluk dengan mulutnya yang terbuka datang menyambar, kakek Anom cepat
berguling jauh selamatkan diri.
Mulut
mahluk menghantam tanah berlapis batu.gatu den tanah ambruk, meninggalkan
lobang besar! Begitu berhasil selamatkan diri, kakek Anom cepat berdiri lalu
tanpa tunggu lebih lama lari meninggalkan tempat itu secepat yang bisa
dilakukannya sambil tiada henti meneriakkan nama istrinya.
"Amlni
…. Amini …. !"
Mahluk
dalam telaga sorotkan pandangan mata mengikuti arah larinya kakek Anom. Tapi
dia tak bergerak, agaknya tak hendak mengejar orang tua itu. Perlahan-lahan dia
rundukkan. dan ulurkan kepalanya ke arah tepi telaga dimana tercampak kepingan
batu yang mengandung emas. Kepingan batu ini langsung disedot dan ditelannya.
Kemudian dia merundukan kepalaanya ke bagian tepi telaga yang batunya gompal.
Dengan lidahnya yang hijau mahluk ini mengusap tepi telaga yang pecah dan menonjolkan
emas kuning.
Begitu
terkena usapan lidahnya yang bau yang berwarna kuning berkilat itu berubah
menjadi gelap hitam, tidak beda dengan keadaan sebelumnya!
Lalu
perlahan-lahan mahluk menyerupai ular sanca raksasa itu turunkan tubuh dan
kepalanya, masuk kembali ke dalam telaga. Malam di puncak pedataran tinggi itu
kembali sunyi senyap. Air telaga sebagian telah berubah warna kemerahan,
bercampur dengan darah nenek Amini yang malang.
*********************
Meskipin
Gaok Srenggi berhasil mencapai kaki Gunung Perahu namun sulit baginya untuk
mencari dimana letak telaga emas itu.. Apalagi saat dia tiba di sana hari masih
malam, menjelang dinihari. Udara dingin bukan kepalang. Raja Lanun Pantai
Selatan ini memutuskan untuk menunggu sampai pagi datang. Selagi dia mencari
tempat yang baik untuk tidur, lapat-lapat dia mendengar suara orang berteriak
tiada henti. Gaok Srenggi cepat pasang telinga. Dia mendengarkan sambil
berlindung di balik serumpun pohon-pohon kelapa.
Makin
lama suara teriakan itu semakin jelas.
"Amini
…. Amini…"
"Heh,
itu nama Ratu Bengawan Sala …." membatin Gaok Srenggi."Siapa yang
berteriak terus menerus menyebut nama itu. Orang itu berteriak sambil
berlari…"
Dengan
gerakan cepat tapi sangat hati-hati Gaok Srenggi bergerak dan berpindah dari
balik pepohonan atau semak belukar, menyongsong dan mendekati suara orang yang
berteriak. Tak selang berapa lama dia melihat seseorang berlari dari jurusan
barat. Orang inilah yang meneriakkan nama Amini itu. Dalam jarak beberapa belas
tombak Gaok Srenggi segera dapat mengenali orang itu. Bukan lain adalah kakek
Anom alias Raja Bengawan Sala.
"Apa
yang terjadi dengan tua bangka keparat itu? Dia lari seperti dikejar setan!
Istrinya tidak kelihatan. Dan dia tidak terus menerus meneriakkan nama
istrinya…"
Gaok
Srenggi melompat keluar dari persembunyiannya ketika kakek Anom hanya tinggal
beberapa tombak di hadapannya.
"Hai!
Berhenti!’ seru Gaok Srenggi.
Kakek
Anom tampak kaget, hentikan larinya lalu kembali berteriak: "Amini … Amini
. . ."
"Mana
istrimu?! Mana peta telaga emas?" menghardik Gaok Srenggi. Namun dia tidak
berani datang lebih dekat. Bukan saja karena dia sudah mendapat pelajaran dari
si kakek sewaktu terjadi perkelahian sepuluh hari lalu, tapi si kakek yang
kelihatan aneh itu mungkin jauh lebih berbahaya.
"Mana
peta?!" teriak Gaok Srenggi kembali.
"Amini…
Amini….!" seru kakek Anom berulang kali. Dan kini dia berseru sambil
tangannya menunjuk-nunjuk ke arah barat, dari jurusan mana dia tadi muncul.
"Hai!
Berikan peta telaga emas padaku!" kembali Gaok Srenggi membentak.
Namun
lagi-lagi kakek Anom menjawab dengan menyebut nama istrinya sedang tangannya
menunjuk ke arah barat. Sesaat kemudian orang tua ini lari dari tempat itu
meninggalkan Gaok Srenggi yang tidak habis heran.
"Tua
bangka itu sudah jadi gila agaknya!" pikir Gaok Srenggi. Setelah kakek
Anom lenyap dikegelapan malam dia berpaling ke arah barat, arah yang
terus-terusan ditunjuk si kakek. "Ada apa di jurusan itu…? Aku harus
menyelidik." Sesaat Gaok Srenggi berpikir-pikir sambil urut-urut tangannya
yang dibalut.
Sreett!
Gaok
Srenggi cabut senjatanya. Sebilah golok pendek berwarna hitam tanda mengandung
racun jahat. Sebelumnya Raja Lanun Pantai Selatan ini memiliki sebiah kelewang
bergerigi yang juga megandung racun jahat. Klewang itu terjatuh di Bengawan
Sala sewaktu terjadi perkelahian antara dia dengan Ratu dan Raja Bengawan Sala
beberapa waktu yang lalu. Dengan menggenggam golok di tangan kiri, Gaok Srenngi
melangkah ke jurusan barat. Dia yakin pasti sesuatu yang hebat terjadi di
jurusan itu. Hebat berarti mengandung sesuatu bahaya. Karena itulah dia
melangkah sambil bersiap siaga dengan senjata andalannya.
Ketike
langit di timur mulai tampak kemerahan tanda sebentar lagi siang surya akan
terbit menerangi jagat, Gaok Srenggi sampai di bagian kaki Gunung Perahu di
mana dia dapat melihat pedataran tinggi yang puncaknya terdapat batu-batu hitam
aneka bentuk. Dalam kepekatan malam yang tengah beralih menuju siang ditambah
seputan sinar kemerahan dari arah timur, batu-batu di puncak pedataran tandus
itu tampak angker.
Sesaat
Gaok Srenggi memandang berkeliling. Sepi dan dingin menyungkup daerah itu. Ada
debaran aneh terasa di dadanya, namun Gaik Srenggi dapat menetapkan hati,
dengan langkah tegap dan tabah dia mulai mendaki pedataran tinggi bertanah
gembur. Tetapi ketika sang surya muncul di timur, Gaok Srenggi sampai di puncak
pedataran, langsung dia melihat telaga yang dikelilingi bebatuan itu.
"Telaga…"
desis Gaok Srenggi. Dia melangkah lebih dekat. "Inikah telaga emas itu…
?" Dia memandang berkeliling. Mendadak mukanya jadi pucat, darahnya
tersirap. Sepanjang matanya melotot. Di salah satu tepian telaga batu berair
hitam tampak menggeletak dua potong kaki manusia! Darah yang telah kering
berceceran dimana mana. Ketika memperhatikan air telaga ternyata air yang hitam
aneh itu juga berwarna merah sebagiannya!
"Tempat
apa ini…? Telaga yang mengandung emas? Tapi…" Meskipun ngeri, Gaok Srenggi
kembali perhatikan sepasang kaki itu. Sepasang kaki yang kurus kering dengan
kulit keriputan.
Berdiri
bulu kuduk Gaok Srenggi. "Jangan-jangan kakek gila itu telah membunuh dan
menguntungi tubuh istrinya sendiri!" pikir Gaok Srenggi. "Tapi mana
bagian tubuh yang lain…? Dilemparkan ke dalam telaga?"
Dengan
hati-hati orang itu melangkah mendekati tepi telaga. Diperhatikan air telaga.
Dia tak melihat apa-apa walau air telaga jelas tampak dangkal. Ada sesuatu yang
sesekali berkilauan di dasar telaga.
"Emas…
emas! Di mana emas itu!" Gaok Srenggi memandang berkeliling. Mengawasi setiap
sudut telaga, mengawasi batu-batu hitam berbentuk aneh yang bertebaran di
sekeliling telaga. Gaok Srenggi ayunkan goloknya.
Traang!
Sosok
batu berbentuk sapi kecil somplak berantakan ketika golok Gaok Srenggi
menghantam ujung batu. Raja Lanun ini pungut salah satu kepingan batu. Saat dia
membungkuk itulah dia melihat ada pecahan-pecahan batu sangat kecil, hampir
berbentuk pasir bertebaran di tanah. Bendabenda itu berwarna kuning dan
berkilauan terkena cahaya matahari yang baru terbit.
Gaok
Srenggi meraup tanah dan mendekatkan tanah itu ke matanya.
"Emas…
ini emas…" katanya dengan suara gemetar ketika dia merasa yakin
pasir-pasir sangat halus itu adalah bubuk emas! Gaok Srenggi pegang goloknya
erat-erat di tangan kiri. Lalu seperti orang mengamuk senjata itu
dipergunakannya untuk membacok batu-batu yang bertebaran di tepi telaga. Namun
dia tidak menemukan apa-apa.
"Edan!
Di mana emas itu bersembunyi?" Gaok Srenggi menatap ke arah air telaga.
"Mungkin di dasar telaga…? Aku harus menyelidik…."
Lalu Raja
Lanun yang dadanya penuh bulu ini turun ke dalam telaga. Ketika kedua kakinya
menginjak dasat telaga, ada rasa aneh yang membuat tengkuknya merinding. Golok
di tangan kiri digenggam erat-erat.
"Aneh
…. Dasar telaga ini lembut dan agak membal. Licin seperti ditutupi lumut ….
Astaga, dasar telaga bergerak…!"
Saking
kagetnya Gaok Srenggi melompat ke atas. Tapi dia merasa heran. Sebelum dia
membuat lompatan tiba-tiba saja kedua kakinya seperti dihantam ke atas! Ada
satu gerakan keras di dasar telaga yang membuat tubuhnya bisa mencelat demikian
rupa.
Dalam
keadaan masih terlontar di udara, sebelum mengetahui apa yang terjadi tiba-tiba
Gaok Srenggi mendengar suara air telaga menyibak deras, disusul oleh desisan
keras. Udara serta merta terasa dingin dan bau amis menebar. Saat itulah Gaok
Srenggi melihat kepala sebuah mahluk mengerikan melesat keluar dari dasar
telaga, langsung menyambar tubuhnya. Raja Lanun hanya sempat mengeluarkan
jeritan panjang. Kakinya dilahap mahluk berbentuk ular sanca raksasa. Dia
meronta dan menjerit-jerit tapi tubuhnya semakin dalam tertelan dan masuk ke
dalam mulut mahluk. Tepat ketika tubuh itu masuk sebatas leher, si mahluk
katupkan mulutnya.
Putuslah
leher Gaok Srenggi. Darah muncrat. Kepalanya menggelinding di tepi telaga batu!
******************
8
SEJAK
MEMBERI TAHU kepada Sepasang Ratu dan Raja Bengawan Sala bahwa gunung yang
tergambar dalam peta rahasia adalah berbentuk Gunung Perahu, sejak itu pula
Pendekar 212 Wiro Sableng merasa tidak enak. Dia selalu ingat pada kedua orang
kakek nenek itu yang jelas pasti menuju ke sana untuk menemukan telaga emas.
Karenanya setelah setengah hari berpisah dengan kakek nenek itu Wiro yang
tengah meneruskan perjalanan menuju selatan memutar haluan, kembali menuju
utara. Karena dia tidak menyusuri sungai maka pendekar ini terpisah semakin
jauh dengan kakek Anom dan nenek Amini yaitu sekitar satu hari perjalanan.
Setelah
pertemuan dengan Gaok Srenggi, kakek Anom terus berlari sampai akhirnya kedua
kakinya tidak kuat lagi dilangkahkan dan kakek ini tergelimpang setengah
pingsan di tepi sebuah fiutan kecil. Meskipun dalam keadaan seperti itu namun
istrinya tiada hentinya diucapkan. Dalam keadaan seperti itulah dua sosok tubuh
tiba-tiba muncul di tempat itu. Ternyata mereka adalah Sepasang Setan Bermata
Api.
"Nah…
nah .. nah! Akhirnya kita temui juga tua bangka sialan ini!" Kakek Bermata
Api membuka mulut.
Kawannya
manggut-manggut. Sambil menyepak tubuh kakek Anom dia berkata, "Apa yang
terjadi dengan kambing tua ini! Hai mengapa kau seperti ini?! Mana istrimu yang
besar mulut itu?!"
Kakek
Anom tidak menjawab pertanyaan orang tapi terus saja menyebut-nyebut nama
istrinya seperti orang mengigau.
"Sudah
gila dia rupanya! Biarlah dia mampus dalam kegilaan!" Yang bicara adalah
nenek Bermata Api. Kaki kanannya diangkat tinggi-tinggi, siap dihunjamkan ke
batang leher kakek Anom.
"Mana
kawanmu pemuda keparat bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu? Kali ini
dia tak akan muncul menolongmu!"
Kaki
nenek Bermata Api menghunjam ke bawah. Saat itulah terdengar suara membentak.
"Aku
di sini tua bangka pengecut! Membunuh orang dalam keadaan tak berdaya! Jangan
harap hari ini aku akan mengampunimu!"
Bersamaan
dengan lenyapnya suara bentakan itu satu gelombang angin menerpa tubuh nenek
Bermata Api. Perempuan tua ini terhuyung-huyung dan pasti roboh kalau si kakek
tidak lekas menolong dan menopang bahunya.
"Pemuda
iblis! Aku sudah bersumpah untuk menguliti tubuhmu! Hari ini aku akan
melakukannya!"
"Nenek
edan! Bicara seenaknya. Apa kau kira aku kambing, enak saja hendak mengulitiku!
Apa kau
kira aku tidak bisa menguliti pakaianmu? Mau aku telanjangi ya?!"
"Nama
besar membuat kau sombong dan takabur! Menghina seenaknya! Biar kami yang tua
bangka ini memberi, pelajaran agar kau cepat-cepat menghadap iblis penunggu
neraka!"
Wiro tertawa
gelak-gelak mendengar ucapan kakek Bermata Api itu. Selagi dia tertawa kakek
dan nenek Bermata Api berkelebat menyergap. Satu datang dari kiri, satu dari
kanan.
"Hai!
Kalian menyerang dengan tangan kosong! Mana rebana kalian?! Rupanya sudah
dijual karena tidak laku ngamen!"
Kakek
Bermata Api menggerung marah. Si nenek menjerit keras. Mereka lipat gandakan
tenaga dalam yang ada pada tangan masing-masing. Lalu menghantam. Meskipun
bersikap seperti main-main dan mentertawai dua lawan berkepandaian tinggi itu
namun sejak tadi murid Eyang Sinto Gendeng sudah siapkan pukulan sinar matahari
di tangannya kiri kanan. Begitu sepasang lawan menggebrak dia segera memukul.
"Ini
untuk kalian berdua!"
Wuss!
Wusss!
Bummm!
Bummm!
Pukulan
sinar matahari melesat dari tangan kanan dan kiri Pendekar 212. Kakek dan nenek
Bermata Api berseru kaget ketika hawa panas membuat keduanya merasa seperti
dipanggang. Bersamaan dengan itu dua pukulan yang mereka lepaskan seperti
menghantam tembok baja. Ketika keduanya memaksa maka terjadilah benturan yang
hebat. Dua lobang terlihat di tanah. Pendekar 212 Wiro Sableng jatuh terduduk
di tanah. Mukanya pucat. Sebaliknya nenek dan kakek Bermata Api terpental satu
tombak lalu roboh. Mereka berusaha bangun tapi ketika tegak jelas mereka tampak
terhuyung kesakitan. Setelah mengatur jalan darahnya yang terguncang hebat
akibat bentrokan tadi, meskipun dadanya masih mendenyut sakit, Wiro berdiri dan
dekati sosok tubuh kakek Anom. Ternyata orang tua ini sudah tak bernafas lagi.
Kakek ini mati sangat mengenas bukan saja karena akibat kematian istrinya
tetapi juga akibat terkena hantaman angin pukulan. Sebagian tubuhnya tampak
hangus kehitaman.
"Manusia-manusia
keparat! Kubunuh kalian!" teriak Wiro. Namun ketika dia berpaling Sepasang
Setan Bermata Merah sudah tak ada lagi di tempat itu. Wiro memaki panjang
pendek. Dia membungkuk dan memeriksa pakaian kakek Anom. Namun tak ditemukannya
peta rahasia telaga emas. Seperti diketahui peta telaga emas itu berada pada nenek
Amini dan ikut ditelan mahluk berbentuk ular sanca raksasa ketika si nenek-yang
malang dilahap mahluk itu.
Wiro
merenung sambil garuk-garuk kepala.
"Sesuatu,
agaknya telah terjadi dengan si nenek. Ketika aku muncul di sini masih sempat
kulihat dia menunjuk-nunjuk ke arah barat dan menyebut-nyebut nama istrinya.
Kasihan kakek Anom. Aku akan menyelidik ke jurusan barat. Eh… bukankah itu arah
Gunung Perahu? Letak telaga emas itu…?"
*********************
Matahari
bersinar sangat terik walau saat itu masih jauh dari tengah hari. Pendekar 212
Wiro Sableng berdiri di kaki pedataran tinggi bertanah gembur. Banyak sekali
jejak kaki manusia dilihatnya di tanah pedataran yang aneh itu. Namun ada satu
jejak yang tidak dapat diduganya. Jejak itu ialah jejak-jejak yang memanjang
dari kaki pedataran menuju ke puncak dan juga ada yang malang melintang.
Ketika
dia mulai melangkah mendaki pedataran tinggi itu, murid Sinto Gendeng kerahkan
kepandaiannya untuk meringankan tubuh. Tapi tetap saja kedua kakinya tenggelam
sampai sepertiga jengkal ke dalam tanah gembur!
Di puncak
pedataran tinggi yang penuh dengan batu-batu hitam udara terasa agak sejuk
hingga sinar matahari yang panas tidak lagi seperti membakar jagat. Wiro
memperhatikan keadaan sekelilingpya. Pandangannya serta merta tertuju pada
telaga berair hitam. Tapi ada lagi hal lain yang membuat kedua matanya sesaat
terpaku. Ada darah berceceran di mana-mana. Juga darah yang mengambang di atas
permukaan air telaga. Lalu ada potongan kaki manusia. Dan di sebelah sana ….
Wiro
belum sempat memastikan apa yang dilihatnya itu benar-benar kutungan kepala
manusia ketika tiba-tiba sudut matanya melihat sesuatu bergerak di kaki
pedataran sebelah timur. Wiro cepat berkelebat dan mendekam di balik sebuah
batu hitam berbentuk kerbau besar yang sedang duduk. Matanya memperhatikan ke
jurusan timur. Ada seseorang berlari mendaki pedataran dari arah itu. Larinya
cepat sekali, tanda dia memiliki kepandaian luar biasa. Namun tetap saja setiap
menginjak tanah kakinya tenggelam ke dalam tanah yang gembur itu.
Sesaat
kemudian orang itu sampai di puncak pedataran dan tegak di samping sebuah batu
besar. Jaraknya dengan Wiro hanya terpisah beberapa tombak. Murid Sinto Gendeng
menahan nafas hampir tidak dapat menahan senyum.
Orang
yang datang itu berpakaian sangat bagus dan rapi. Tapi gaya dan terutama
wajahnya!
Inilah
yang membuat Pendekar 212 hampir tidak dapat menahan tawa. Orang ini
jelas-jelas lelaki. Tapi sikapnya, dan gerak geriknya seperti perempuan.
Wajahnya dirias mencolok dengan gincu, bedak, pemerah pipi, lengkap pula dengan
penebal alis dan sipat mata! Lalu rambutnya yang diponi di sebelah depan!
"Geblek!
Manusia macam spa pula yang satu ini!"
Baru saja
Wiro berkata begitu dalam hati, orang di sebelah sana keluarkan sebuah cermin
dari balik pakaiannya lalu dia meneliti parasnya di kaca itu sambil merapikan
poni, gincu di bibirnya dan anting-anting di telinga kiri. Tanpa memasukkan
cermin itu ke tempatnya semula orang itu melangkah menuju tepian telaga. Di
sini dia berhenti dan menatap ke dalam telaga berair hitam lama sekali. Setelah
itu barulah dia membagi perhatian pada sepasang kaki yang menggeletak di tepi
telaga. Lalu sebuah benda lainnya tak berapa jauh dari situ. Orang ini
pergunakan kakinya yang memakai kasut hitam untuk menggulingkan benda itu yang
bukan lain adalah potongan kepala manusia.
"Hemmm…
Gaok Srenggi! Mampus juga manusia satu ini akhirnya! Siapa yang
membunuhnya…?" Orang itu bertanya-tanya dalam hati serata usap-usap
pipinya yang merah.
Kemudian
dia permainkan potongan dua buah kaki dengan ujung kasutnya.
"Kepala
dan kaki. Mana bagian tubuh lainnya?" kembali orang ini membatin. Lalu dia
permainkan kaca di tangan kanannya. Sinar matahari yang jatuh di atas kaca itu
dipantulkannya pada setiap batu hitam yang ada di tempat itu. Ketika dia memantulkan
sinar matahari ke arah batu besar berbentuk kerbau duduk, sesaat orang ini
sipitkan kedua matanya, lalu tampak dia tersenyum.
"Kalau
tidak bermaksud jahat mengapa bersembunyi? Apakah mukamu jelek hingga malu
dilihat aku si Pesolek Agung?!" orang yang memegang cermin keluarkan
ucapan.
Menyadari
kalau dirinya yang mendekam di balik batu besar sudah diketahui orang, sambil
menyeringai dan garuk-garuk kepala Pendekar 212 Wiro Sableng keluar dari balik
batu.
"Aih,
ternyata wajahmu tidak buruk. Tampan cuma. . . ."
"Cuma
bagaimana?" Wiro jadi bertanya penasaran.
"Cuma
membersitkan bayangan kekonyolan dan ketololan!" jawab lelaki seperti
banci yang ternyata adalah si Pesolek Agung.
"Kau
benar. Aku memang petani dan penggembala tolol…" jawab Wiro.
"Aku
percaya! Yang aku tidak percaya mana ada petani atau penggembala tolol bisa
datang ke telaga ini!"
"Suatu
ketika orang tolol bisa berbuat lebih baik dari orang pandai…."
Pesolek
Agung tersenyum lebar dan rapikan rambutnya beberapa kali lalu memandang
wajahnya di cermin.
"Kau
sudah cakep, kenapa musti bercermin terus-terusan … ?" ujar Wiro pula.
"Sampean
ini siapa sebenarnya?" bertanya si Pesolek Agung.
"Kukatakan
aku petani dan penggembala kau tidak percaya. Baiklah, anggap saja aku ini
pengemis yang malang melintang mencari rejeki…. "
"Ah…
ah… ah! Kau tentu pengemis istimewa. Pengemis luar biasa. Pengemis yang biasa
tentunya mencari rejeki di pasar-pasar atau di tempat ramai. Kau seorang
pengemis yang mencari rejeki besar. Bukankah begitu…?"
"Maksudmu?"
"Kau
salah seorang dari sekian banyak tokoh dunia persilatan yang mencari telaga
emas ini! Betul kan … ?!"
"Tidak
kan!" sahut Wiro pula.
Si
Pesolek Agung tertawa panjang. "Eh, aku jadi senang bicara dengan orang
konyol tapi lucu seperti sampean. Tapi aku tidak munafik sepertimu. Terus
terang saja aku datang kemari untuk mencari telaga yang katanya mengandung
ratusan kilo emas murni… Dan inilah telaganya!"
"Bagaimana
kau tahu kalau ini telaga emas itu?" bertanya Wiro.
"Ah,
sampean hendak memancing kan? Kau pasti mengira aku yang membunuh nenek bernama
Amini, atau membunuh Gaok Srenggi …."
"Tidak,
aku tidak mengira begitu karena aku tahu bukan kau yang melakukannya!"
"Lalu
apakah situ tahu siapa yang membunuh kedua orang itu? Hingga si nenek hanya
tinggal tersisa sepasang kakinya saja. Sedang si Raja Lanun tersisa kepalanya
saja?"
Wiro
gelengkan kepala.
"Kalau
sampean tidak tahu, aku juga tidak tahu berarti ada yang tidak beres di tempat
ini. Biar kuteruskan penyelidikanku."
"Apa
yang kau setidiki?"
"Tempat
ini! Apa benar mengandung dan menyembunyikan emas atau tidak. Batu sekeliling
sini sudah kuselidiki. Tak satupun mengandung emas. Kini aku akan menyelidiki telaga
berair hitam butek itu!"
Pesolek
Agung melangkah dekat-dekat ke tepi telaga. Cermin di tangan kanannya dipegang
demikian rupa dan digoyang-goyangkan hingga sinar matahari memantul ke beberapa
sudut telaga. Wiro memperhatikan sambil rangkapkan tangan di depan dada. Sesaat
kemudian dia bertanya.
"Bagaimana
hasil penyelidikanmu, Pesolek Agung?"
"Kau
akan terkejut jika kuberi tahu! Dan aku tidak akan memberi tahu padamu!"
"Tidak
apa-apa! Kau beri tahu atau tidak akupun sudah tahu! Kau telah menemukan emas
itu bukan?!"
Pesolek
Agung menyembunyikan rasa terkejutnya dengan tertawa lebar. Dalam hati dia
membatin. "Pemuda konyol ini ternyata tidak tolol! Dia seperti membaca dan
mengetahui apa yang telah aku ketahui!"
Dengan
mempergunakan cermin hiasnya sebenarnya Pesolek Agung memang telah mengetahui
bahwa telaga itu ada emasnya. Ketika pantulan sinar matahari lewat cermin
mengenai batu-batu yang membatasi tepian telaga, mata si Pesolek Agung melihat
batu-batu hitam itu balik memantulkan cahaya. Sebenarnya cahaya yang
dipantulkan adalah putih atau hitam yakni putihnya sinar matahari aiau hitamnya
warna batu. Tapi ada sinar dengan warna lain yang ikut memantul. Warna itu
adalah warna kuning!
Tiba-tiba
ada suara mendesis keluar dari dasar telaga. Bersamaan dengan itu air telaga
tampak bergoyang keras lalu bergemercik. Kemudian jelas tampak ada yang
bergerak.
"Awas!"
Pesolek Agung berteriak. Dia melompat ke balik sebuah batu besar. Wiro masih
berdiri di tepi telaga, memandang terheran-heran ketika dari dalam air mencuat
keluar sebuah kepala ular raksasa dengan mulut ternganga. Sepasang mata mahluk
ini dan juga lidahnya yang terjulur dan bercabang berwarna hijau. Mahluk ini
mendesis lagi. Bau amis dan hawa sangat dingin menebar. Pendekar 212 merasakan
kengerian luar biasa. Sepasang kakinya seperti tidak mampu bergerak. Bahkan
ketika mahluk itu meluncurkan kepalanya ke arahnya, murid Sinto Gendeng ini
masih saja terkesiap dalam rasa kaget dan tidak percaya!
"Manusia
tolol! Apa kau ingin dilalap mahluk raksasa itu?!" teriak Pesolek Agung.
Tangan kirinya yang memegang cermin digerakkan dengan cepat. Sinar matahari
memantul ke arah kedua mata mahluk berbentuk ular raksasa. Mahluk ini
menggeliat dan tarik kepalanya yang tadinya siap untuk melahap tubuh Wiro.
"Lekas
lari!" teriak Pesolek Agung. Sekali ini Wiro seperti disentakkan. Dia
melompat menjauhi telaga. Saat itu mahluk luar biasa di dalam telaga tampak
menarik kepalanya ke belakang, seperti memasang ancang-ancang. Yang hendak
diserangnya kini adalah Pesolek Agung. Orang ini cepat menghantam dengan
cerminnya. Untuk kedua kalinya mahluk berupa ular sanca raksasa itu menggeliat
dan mundur. Tapi tiba-tiba sekali tidak terduga ekornya melesat keluar dari
dalam air.
Wuutt!
Ekor itu
menyambar ke arah Pesolek Agung. Yang diserang putar cerminnya. Pantulan sinar
matahari yang mengandung tenaga dalam tinggi menghantam ekor mahluk raksasa.
Tapi mahluk ini tidak mengalami cidera. Ekornya masih terus menderu ke arah
Pesolek Agung. Ini satu pertanda bahwa hanya bagian mata mahluk itu saja yang
merupakan kelemahan dan tak dapat melawan kerasnya hantaman pantulan sinar
matahari yang bukan saja menyilaukan tetapi mempunyai tenaga membakar!
Pendekar
212 yang segera dapat membaca kelemahan mahluk raksasa itu segera menghantam
dengan pukulan sinar matahari, ditujukan tepat ks arah sepasang mata hijau
mahluk raksasa. Begitu pukulan sinar matahari mengenai kedua matanya, mahluk
ini mendesis keras. Tetapi ekornya tetap saja melesat ke arah Pesolek Agung.
Orang ini berteriak keras. Dengan gugup dia lepaskan pukulan tangan kosong
mengandung tenaga dalam sangat tinggi! Tapi tidak ada gunanya. Satu-satunya
bagian terlemah dari mahluk berupa ular itu adalah dibagian kedua matanya.
Terdengar jeritan Pesolek Agung ketika sambaran ekor menghancurkan tangan
kirinya sampai lengan. Selagi tubuhnya terbungkuk-bungkuk kesakitan, ekor maut
itu kembali berbalik menghantam tubuhnya. Pesolek Agung terpental. Cerminnya
jatuh. Tubuhnya tergelimpang di atas sebuah batu berbentuk meja. Sebagian dari
tubuh itu hancur luluh! Nyawanya tidak tertolong lagi. Mahluk di dalam telaga
yang kini menjadi buta perlahan-lahan rundukkan kepalanya lalu masuk ke dalam
telaga, tidak muncul lagi, tetapi tidak mati.
Wiro
tarik nafas lega. Diambilnya cermin milik Pesolek Agung lalu dipandanginya
wajahnya sendiri dalam kaca itu.
"Wajah
seganteng ini masakan dikatakan konyol dan tolol!" ujar sang pendekar pada
dirinya sendiri sambil senyum-senyum. Dia memandang pada mayat Pesolek Agung,
menatap ke tengah telaga dan memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"Emas!"
katanya perlahan. "Kini aku tak percaya kalau telaga ini menyembunyikan
emas. Siapa yang ingin serakah boleh datang kemari jadi santapan mahluk
mengerikan itu! "
Pendekar
212 tinggalkan tempat itu.
TAMAT
No comments:
Post a Comment