Para wali tetap hidup di alam
kuburnya seperti kehidupan mereka di dunia. Para wali yang ahli tahajjud tetap
tahajjud di alam kuburnya. Yang ahli tadarus Qur'an tetap tadarus Qur'an. Yang
ahli silaturahim tetap silaturahim. Dst. Hal ini sebagai kenikmatan yang mereka
alami di alam kubur.
Jika ada para peziarah berdiri
mengucapkan salam dan do'a-do'a, maka si wali yang diziarahi juga ikut berdiri,
menjawab salam dan mengamini do'a-do'anya. Jika para peziarah membaca Yasin,
tahlil, dsb, maka si wali juga ikut membacanya. Jika para peziarah tawassul,
maka beliau ikut mendo'akan.
Diantara wali ada yang ahli darok
( menolong ), sering keluar dari kuburnya ke alam dunia ini untuk menolong para
pecintanya. Diantara wali yang ahli darok adalah Mbah Hasan Minhajul 'Abidin,
Gabutan, Solo. Banyak cerita nyata dari para pecintanya yang membuktikannya.
Diantara mereka ada yang ditolong dari kecelakaan, perampokan, dll. Sebagian
mereka ada yang ingin sowan ke ndalem beliau sebagai rasa terima kasih dengan
membawa oleh-oleh, layaknya orang yang akan sowan Kyai. Namun, mereka kaget
setelah ditunjukkan oleh penduduk setempat, bahwa Mbah Hasan Minhaj itu sudah
wafat dengan inilah makamnya.
Dalil tentang hal ini diantaranya
adalah ayat yang menjelaskan bahwa para syuhada' ( orang mati syahid ) tetap
hidup di alam kuburnya, yakni ayat :
[ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ( ٢ ) : ﺍﻵﻳﺎﺕ ١٥٤ ]
ﻭَﻻ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻟِﻤَﻦْ ﻳُﻘْﺘَﻞُ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻣْﻮﺍﺕٌ ﺑَﻞْ ﺃَﺣْﻴﺎﺀٌ ﻭَﻟﻜِﻦْ ﻻَّ ﺗَﺸْﻌُﺮُﻭﻥَ ( ١٥٤ )
" Jangan kalian katakan bagi orang yang dibunuh di jalan Allah, ( mereka ) itu orang-orang mati ! Namun, mereka adalah orang-orang yang hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya "
Jika para syuhada' saja mendapat
karunia tetap hidup di alam kuburnya, maka para ulama' dan wali pasti mendapat
karunia lebih besar, mengingat derajat mereka lebih tinggi.
Di Indonesia jumlah makam wali
sangat banyak dengan berbagai tingkatannya, nomor kedua setelah Hadlromaut,
Yaman. Banyak kitab yang menulis biografi para wali di Timur Tengah, seperti
kitab Jami' Karomatil Auliya', Thobaqotul Auliya', dsb.
Sebenarnya, di Indonesia waktu
itu sudah banyak para wali, hanya saja tradisi tulis-menulis di tanah air belum
semarak, jadi tidak sempat terbukukan.
Tingkatan wali tertinggi disebut
Al-Quthbul Ghouts, dan hanya ada 1 orang dalam setiap masa. Beliau dijuluki
Abdullah. Kemudian, di bawahnya ada Al-Imamani ( dua imam ), yang salah satunya
akan menggantikan Al-Ghouts ketika wafat. Kemudian di bawahnya ada Al-Autad,
jumlahnya ada 4 orang. Imam Syafi'i dulu adalah pemimpin wali Autad. Kemudian
di bawahnya ada Al-Abdal, jumlahnya ada 7 orang. Dst. Keterangan tentang
tingkatan para wali bisa di baca diantaranya di kitab Jami' Karomatil Auliya'.
Imam Malik ra juga pernah berkata
:
ﺑﻠﻐﻨﻲ ﺃﻥ ﺍﻷﺭﻭﺍﺡ ﺗﺴﺮﺡ ﺣﻴﺚ ﺷﺎﺀﺕ
" Ada kabar sampai padaku, bahwa para arwah itu dapat bepergian ke mana pun mereka mau "
Tentunya, hanya ruh orang-orang
pilihan saja yang mendapatkan karunia di atas, seperti ruh para wali.
Marilah kita gemar berkunjung
kepada para wali, baik yang masih hidup atau yang telah wafat, dengan niat agar
kita dapat ikut golongan beliau dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Habib Luthfi bin Yahya ( bil
ma'na ), malam Ahad, 9 Romadlon 1438 H. / 3 Juni 2017 M.
No comments:
Post a Comment