Kali ini Kiai Tua dan Kiai Muda
berjalan menuju masjid untuk tarawih bersama penduduk kampung yang kebetulan
mereka lewati dalam perjalanan mereka. Sambil berjalan, Kiai Tua bercerita : “ Dulu
aku ngaji kitab ihya dan merasa sudah paham ketika Imam al-Ghazali membagi
tingkatan puasa ke dalam 3 tingkat. Ternyata hingga kini aku masih berusaha
memahaminya. ”
Kiai Muda menyimak penjelasan
Kiai Tua yang nadanya datar namun seringkali berbelok menohok di ujung
penjelasannya - persis emak-emak yang kasih sen kiri, tapi malah membelokkan
motornya ke arah kanan -.
Kiai Tua melanjutkan : “ Tingkatan
puasa awam, puasa orang khawas, dan puasa orang yang khawasul khawas. Kalau
yang awam itu cuma puasa menahan lapar dan dahaga saja. Kayak kamu kali yah…? ”
Sergah Kiai Tua kepada Kiai Muda.
“ Duh, mulai deh nih, ” kata Kiai
Muda membatin dalam hatinya.
“ Hahahaha…, jangan tersinggung
dulu ,” Kiai Tua tertawa kecil menahan geli melihat perubahan wajah Kiai Muda.
“ Aku cuma mau ingetin kamu aja.
Kalau kamu kuat puasa menahan lapar dan dahaga, tahukah kamu kalau unta itu
lebih kuat lagi gak makan dan gak minum berbulan-bulan di padang pasir sambil
mengangkat beban berat. Jadi jangan bangga kalau puasamu itu cuma menahan lapar
dan dahaga saja. Unta juga bisa, malah lebih hebat lagi…! ”
Kiai Muda semakin merah mukanya.
“ Masak kamu mau disamakan dengan
unta. ”
“ Ah Pak Yai ini ada-ada saja.
Saya manusia kok disamakan dengan unta..”
“ Lho…, kamu gak paham bahwa
banyak manusia yang seperti binatang, nanti aku tunjukkan…”
Kiai Muda garuk-garuk kepala. “ Terus
puasa yang orang khawasul khawas itu kayak apa sih…? ”
“ Puasa yang mempuasakan panca
inderanya. Ini puasa yang membawa kita kepada takwa, bukan sekedar jadi unta, ”
jawab Kiai Tua sambil melangkah mengarah ke tempat air wudhu di samping masjid.
Kiai Muda membatin, “ Duh, balik
ke unta lagi…! ”
Di dalam masjid, selepas shalat
Isya dan Tarawih, kedua Kiai ini duduk mendengarkan taushiyah. Kiai Muda berbisik
: “ Kalau sudah bisa puasa yang mempuasakan seluruh panca indera, apa yang Pak
Yai lihat…? Apa Pak Yai…? ”
Kiai Tua menjawab pelan, “ Saya
bisa melihat unta dimana-mana…”
Kiai Muda geleng-geleng kepala. “
Ini orang tua sibuk bermain kata-kata saja dari tadi, lagi jatuh cinta sama
unta kayaknya nih, ” sekali lagi ia membatin.
Tiba-tiba Kiai Tua usapkan
tangannya ke wajah Kiai Muda. Dalam hitungan detik, tubuh Kiai Muda bergetar
dan keringat menetes, lantas matanya melihat sekeliling. Yang ia lihat jamaah
masjid berubah menjadi sejumlah unta, ular, tikus, bahkan ketika ia melihat ke
mimbar masjid, yang ia lihat bukan lagi penceramah tapi monyet.
Belum sepenuhnya sadar apa yang
tengah terjadi, sekali lagi Kiai Tua usapkan tangannya ke muka Kiai Muda, dan
penglihatan Kiai Muda kembali menjadi normal. Tak ada binatang apapun di
masjid. Semuanya kembali terlihat normal.
“ Pak Yai, apa yang terjadi…? ”
“ Ssst…! Sudah diam, kita
dengarkan taushiyah sampai selesai. ”
**
Selesai ibadah di masjid, jamaah
masing-masing bubar. Yang tersisa hanya Kiai Tua dan Kiai Muda. Mereka i’tikaf.
“ Bagaimana…? Sudah melihat unta…?
Bahkan kamu lihat binatang lainnya kan…? ”
“ Iya, Pak Yai….”
“ Kamu mau melihat lagi…? ”
“ Mau, Pak Yai. Saya belum paham
tadi. Tapi jamaah sudah bubar, tinggal kita berdua di sini. Apa masih ada unta
di sini…? ” Jawab Kiai Muda sambil senyum.
“ Buka bajumu, dan ambil sikap
semadi. Ingat,
semadi itu dari ash-Shamad. Allahu ash-Shamad. Allah tempat meminta. Heninglah, dan pegang ini spidol warna merah dan hitam. Setiap
melihat binatang, kamu coret binatang itu dengan spidol yang ada di kedua
tanganmu ini. ”
Kiai Muda mematuhi dan duduk
bersila sambil berkonsentrasi. Sekali lagi, Kiai Tua mengusap muka Kiai Muda.
Terjadilah kembali hal yang aneh; tubuh yang bergetar dan udara seolah sangat
panas menyengat, hingga keringat menetes di kening Kiai Muda.
Tiba-tiba Kiai Muda melihat
Srigala, Ular Kobra, bahkan Harimau, dan berbagai binatang buas lainnya
berkeliling disekitarnya. Sesuai pesan Pak Yai, sedapat mungkin ia gunakan
spidol menandai anggota tubuh binatang buas itu.
Kiai Tua mengusap wajah Kiai Muda
sekali lagi. Maka situasi kembali normal.
“ Apa yang kamu lihat…? ”
“ Pak Yai, saya melihat banyak
sekali binatang buas di sini. Padahal tidak ada jamaah, cuma kita berdua di
sini. ”
“ Sudah kamu tandai dengan spidol…?
”
“ Sudah Pak Yai…”
Kiai Tua lantas menjelaskan, “ Kalau
tadi sebelumnya kamu lihat jamaah masjid yang berubah menjadi binatang, itu
karena aku tunjukkan padamu bagaimana nafsu kebinatangan mereka tidak hilang di
bulan puasa, bahkan mereka bawa sampai ke masjid…”
Kiai Muda mengangguk-angguk.
“ Kalau binatang buas yang tadi
saya lihat…? ” tanya Kiai Muda.
“ Itu justru nafsu binatang buas
dari tubuhmu sendiri yang kamu lihat…! ”
“ Hah…? Kok bisa gitu…? ” Kiai
Muda terlonjak kaget.
“ Lihat ke cermin, wajah dan
tubuh serta tangan dan kakimu penuh dengan coretan spidol. Yang tadi kau tandai
itu adalah binatang buas dalam dirimu sendiri. ”
Baru sadarlah Kiai Muda melihat
tangan dan tubuhnya yang penuh coretan spidol.
“ Puasa kok bawa binatang buas
kemana-mana. Puasamu masih puasa awam…! ” Ujar Kiai Tua sambil tersenyum
lembut.
Kiai Muda tak sanggup menahan air
matanya dan tubuhnya bersujud, terdengar suaranya tercekat, “ Ampuni hamba, Ya
Allah….. ampuni hamba yang masih belum sanggup mempuasakan nafsu diri hamba. ”
Hanya cinta Mu yang sanggup
menjinakkan kebuasan nafsu binatang di diri kami
No comments:
Post a Comment