Mereka yang tidak suka NU
melakukan berbagai cara untuk mengajak umat Islam agar semakin membenci NU.
Padahal negara muslim di seluruh dunia saat ini banyak yang belajar kepada
Nahdlatul Ulama tentang bagaimana membina dan mengelola Islam yang damai,
ramah, dan santun.
Banyak orang mengaku-ngaku
sebagai NU Garis Lurus, NU Garis Suci, atau pecinta NU yang justru
menghancurkan NU dengan membuat opini-opini yang menebar kebencian dan
memunculkan perpecahan. Tragisnya, bahkan orang NU sendiri yang notabene punya
pengaruh besar di mata publik ikut terhanyut dalam hasutan dan hinaan oleh
mereka para pembenci NU.
Tidak dipungkiri gagasan “ Islam
Nusantara ” bisa menjadi magnet besar dalam membangun besarnya kekuatan Islam
di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan oleh media-media pembenci NU,
itu dijadikan lahan untuk menghancurkan NU dari dalam seolah-olah NU telah
diboncengi oleh Liberal, Syiah, dan Wahabi. Padahal telah jelas dan disepakati
oleh ribuan ulama dan kyai pengasuh pondok pesantren serta majelis ta’lim di
seluruh Indonesia bahwa tema Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang adalah “
Meneguhkan Islam Nusantara untuk Membangun Peradaban Indonesia dan Dunia ”.
Tema tersebut dipilih untuk menunjukkan
posisi strategis NU di Indonesia dan dunia sebagai pengusung Islam rahmatan lil
‘alamin.
Cukup menjadi pelajaran berharga
dari Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, Yaman, Tunisia, Mesir, Somalia dan
negara-negara muslim yang menjadi sasaran konflik antar umat Islam karena tidak
adanya persatuan diantara mereka.
Kita tidak menginginkan Indonesia
seperti mereka, berapa juta umat Islam yang mati mengenaskan akibat konflik di
negara-negara tersebut…?
Ide Islam Nusantara datang bukan
untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan
Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Islam nusantara bukan
sebuah upaya sinkretisme yang memadukan Islam dengan “ agama Jawa ”, melainkan
kesadaran budaya dalam berdakwah sebagaimana yang telah dilakukan oleh
pendahulu kita walisongo. Islam nusantara tidak anti arab, karena bagaimanapun
juga dasar-dasar Islam dan semua referensi pokok dalam ber-islam berbahasa
Arab.
Saat ini istilah Islam Nusantara
telah menimbulkan polemik pro dan kontra. Bagi NU sebagai ormas Islam terbesar,
Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah
Nusantara dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan
keras. Bahwa Islam di Nusantara didakwahkan dengan cara merangkul budaya,
menyelaraskan budaya, menghormati budaya, dan tidak memberangus budaya.
Dari pijakan sejarah itulah, NU
akan bertekad mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu Islam yang ramah,
damai, terbuka dan toleran.
Menyimak wajah Islam di dunia saat
ini, Islam Nusantara sangat dibutuhkan, karena ciri khasnya mengedepankan jalan
tengah karena bersifat tawasuth (moderat), tidak ekstrim kanan dan kiri, selalu
seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan
penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik.
Oleh karena itu, sudah selayaknya
Islam Nusantara dijadikan alternatif untuk membangun peradaban dunia Islam yang
damai dan penuh harmoni di negeri mana pun.
Menurut Maulana Habib Muhammad
Luthfi bin Ali bin Yahya, Rais Syuriah PBNU Pusat menjelaskan, “ Sebenarnya
maksudnya Islam di Nusantara, bukan merupakan ajaran atau aliran sendiri. Jadi
bagaimana mewarisi Islam yang telah digagas atau dikembangkan para wali-wali
dulu. ”
Beliau melanjutkan, “ Islam di belahan
bumi Indonesia itu punya karakteristik sendiri yang unik,. Kalau saja wali
songo itu tidak coba beradaptasi dengan lingkungan sekitar ketika Hindu dan
Budha masih menjadi agama mayoritas, mungkin kita tidak bisa menyaksikan Islam
yang tumbuh subur seperti sekarang ini, ”
Beliau berpesan bahwa inti
Indonesia adalah terletak pada rasa persatuan dan kesatuan. Rasa inilah yang
agaknya menjadi barang mahal dan sulit sekarang ini. Rasa itu sesungguhnya yang
membingkai keberadaan NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ). Karenanya
tugas kita bagaimana terus menjaga NKRI ini, itulah mengapa dalam setiap
ceramah beliau akhir-akhir ini sering membahas tentang upaya mengukuhkan
Persatuan Bangsa dan Negara.
Indonesia itu menurut beliau,
tidak disukai kalau ekonominya maju. Karenanya selalu ada upaya eksternal ( asing
) untuk memperlemah ekonomi Indonesia. Sekaligus terus mengancam NKRI. Ketika
gagal melemahkan dari sisi ekonomi, dilemparlah isu Sunni-Syiah. Begitu merasa
gagal dengan isu itu kemudian konflik antar umat beragama seperti insiden di
Tolikara Papua. Intinya cuma satu : memecah belah NKRI.
Maulana Habib Luthfi bin Yahya
memberikan sebuah analogi tentang bagaimana menjadi muslim yang baik di bumi
Indonesia, “
Laut itu punya jati diri, pendirian, dan harga diri. Sehingga betapapun zat
yang masuk ke dalam laut melalui sungai-sungai yang mengalir kepadanya,
keasinan air laut tidak akan terkontaminasi. Karena laut itu bisa
mengantisipasi limbah-limbah yang masuk ”.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan,
ikan yang berada di dalam laut pun juga demikian. Ia tetap tawar dan tidak
terkontaminasi oleh asinnya air laut. Sedangkan air laut sendiri tidak
mengintervensi ikan yang ada di laut. Keduanya mempunyai jati diri yang luar
biasa dan bisa hidup bersama, serta saling menghargai dalam “ ideologinya ”
masing-masing.
“ Dalam hidup berbangsa dan bernegara, laut adalah contoh
konkrit. Jati diri bangsa, harga diri bangsa, kehormatan bangsa tetep punya
kepribadian yang luar biasa, dan kedua-duanya dapat hidup bareng dengan
harmoni. Kalau kita bisa meniru kehidupan yang ada di laut, maka bangsa ini
akan aman dan enggak bakal ruwet, ” begitulah penjelasan Maulana
Habib Luthfi bin Yahya.
Perlu ditegaskan disini bahwa
Islam Nusantara tidaklah anti budaya Arab, akan tetapi untuk melindungi Islam
dari Arabisasi dengan memahaminya secara kontekstual. Islam Nusantara tetaplah
berpijak pada akidah tauhid sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi
Muhammad.
Arabisasi bukanlah esensi ajaran
Islam. Karenanya, kehadiran karakteristik Islam Nusantara bukanlah respon dari
upaya Arabisasi atau percampuran budaya arab dengan ajaran Islam, akan tetapi
menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya
lokal sepanjang tidak melanggar esensi ajaran Islam.
Rais Am Syuriah PBNU Pusat Dr.
HC. KH. Ahmad Musthofa Bisri menjelaskan, “ Kalau Islam diidentikkan dengan
Arab, Abu Jahal juga orang Arab, dia memakai sorban dan jubah. tentu ketika
kita memakai jubah dan sorban semata mengikuti Sunnah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam, bukan mengikuti budaya Arab. ”
Lebih lanjut Mustasyar PBNU Pusat
Syaikhuna wa Murobbi Rukhina KH. Maimun Zubair menjelaskan. “ Bangsa Arab
itu mulia karena adanya Islam, maka Indonesia pun akan mulia dengan adanya
Islam ”.
Saat ini negara-negara Muslim di
dunia sedang melirik Islam di Indonesia, mereka manyatakan diri perlu belajar
banyak dari Indonesia, bagaimana bisa negara besar dengan berbagai suku, agama,
ras, adat istiadat bisa damai dan tentram tanpa ada konflik horizontal
berkepanjangan…?
Pesan : rahmatan lil alamin
menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah Islam yang moderat,
toleran, cinta damai dan menghargai keberagaman
No comments:
Post a Comment