Negeri ini tidaklah kekurangan
orang pintar, yang kurang dari negeri kita ini adalah orang baik. Untungnya,
dalam momen yang berdekatan dengan hari guru nasional kemarin, orang-orang baik
( dan pintar tentu saja ) yang mulai langka ini menunjukkan contohnya.
Catat dua nama ini : Gus Mustofa
Bisri (Gus Mus) dan Mbah Kiai Maimun Zubair.
Dihina dan dihujat di media
sosial hanya karena hal yang bersifat khilafiyah, dua sesepuh umat Islam ini
menunjukkan respons yang luar biasa. Mereka menunjukkan bagaimana menjadi
menjadi sosok yang bisa digugu dan ditiru.
Uniknya, tidak hanya memaafkan,
keduanya malah sukarela “disowani” oleh orang-orang yang secara terbuka
menghinanya.
Lebih ajaib lagi Gus Mus. Bukan
hanya menerima dan menyambut hangat, beliau malah memberikan nomor
whatsapp-nya. Alasannya pun lucu : supaya si penghujat, kalau mau uring-uringan
dengan pendapat Gus Mus tidak perlu ada orang lain yang tahu.
Ini kan bikin iri betul…! Saya
malah curiga, jangan-jangan orang ini sengaja menghina biar dekat sama Gus Mus.
Sayang sekali, kok ya saya ini tidak rela dan tidak berani jika harus
menggunakan cara yang sama biar bisa dekat dengan idola saya ini.
Apa yang ditunjukkan Gus Mus dan
Mbah Kiai Maimun mengingatkan saya akan hal yang juga pernah dilakukan Zakia
Belkhiri beberapa bulan silam ( pertengahan Mei ) di Belgia. Diawali dari
terpilihnya seorang Muslim bernama Sadiq Khan sebagai walikota London, gerakan
anti-Islam kembali mengemuka di beberapa negara Eropa. Salah satunya Belgia.
Aksi Belkhiri ini sempat jadi buah
bibir di media sosial kalau Anda ingat. Waktu itu, dengan enteng Belkhiri yang
kebetulan lewat di Antwerpen, melihat gerombolan massa gerakan anti-Islam ini.
Bukannya ciut nyali karena dirinya adalah bagian dari “objek” yang sedang
“dilawan”, Belkhiri malah mengambil hapenya, lalu melakukan hal yang tidak akan
dilakukan oleh Ahok di hadapan Habib Rizieq sekalipun, yakni : selfie…!
Yak. Selfie di depan
tulisan-tulisan “no headscarves” atau “stop Islam”. Yakin deh, ini keren betul.
Bukannya terbakar amarah karena merasa didiskriminasi, Bakhiri malah
menunjukkan karamahtamahan yang sejatinya bikin malu peserta demonstran. Dia
menyerang balik dengan cara tak terduka. Serangan yang dengan sangat telak
memukul balik para demonstran.
Hal yang dengan jelas
menunjukkan, siapa sebenarnya “pemenang” dari kejadian tersebut. Yang demo ya
terpaksa ikut senyum-senyum waktu diajak selfie Belkhiri. Yah, meski senyumnya
sedikit kecut sih.
Reaksi-reaksi semacam inilah yang
belakang mulai jadi barang langka di negeri ini. Apa yang ditunjukkan Gus Mus,
Mbah Kiai Maimun, sampai Belkhiri adalah bukti bahwa ada “cara terbaik” untuk
menunjukkan bahwa wajah Islam adalah wajah adab maupun peradaban.
Nah, sebelum jauh membahas soal
Islam dan peradaban ini, perlu saya ceritakan bagaimana santri belajar ngaji di
pesantren untuk memberi sedikit “asbabul nuzul”-nya. Yah, istilahnya sebab
kenapa kita harus mengutamakan adab yang baik dulu sebelum menginjak ke hal-hal
yang lebih rumit - utamanya dalam persoalan syariat. Dan tidak perlu jauh-jauh,
saya akan ambil contoh dari pesantren saya saja.
Begini. Jauh sebelum mempelajari ilmu fiqih, nahwu,
sorof, sampai balaghoh, atau ilmu-ilmu rumit lainnya. Seorang santri angkatan
pertama akan disodori dua kitab yang mesti dikhatamkan terlebih dahulu. Yakni
Akhlaqul lilbanin dan Ta’lim muta’alim.
Bagi yang pernah mondok, atau
punya saudara yang pernah mondok, mungkin familiar dengan dua kitab ini. Kitab-kitab ini
secara garis besar berisi mengenai bagaimana berperilaku, adab, dan akhlak
kepada orang lebih tua, lebih muda, atau orang-orang yang dianggap sebagai
“guru”.
Saya tidak akan menceritakan isi
dua kitab tersebut secara detil di sini, karena memang saya tidak punya
kredibilitas yang cukup untuk memberitahu situ apa saja pelajaran di dalamnya.
Kalau situ penasaran ya saran saya, silakan mondok atau masukkan anak situ ke
pondok.
Yang lebih ingin saya tekankan di
sini adalah - yah, menurut kesimpulan saya bertahun-tahun kemudian - ada alasan
khusus kenapa dua kitab ini jadi “wajib” dipelajari di awal. Begini. Seorang
santri lebih diutamakan jadi orang baik lebih dahulu, bukan jadi orang pintar
dulu. Poinnya tentu saja bukan kemudian menjadi santri itu tidak boleh pintar.
Tidak, bukan itu. Titik tujuan praktik ini sebenarnya adalah mengajarkan
seseorang yang belajar agama diutamakan agar dirinya membiasakan berperilaku
baik pada mulanya. Menolong orang lain, bersabar ketika dihina, membantu
nenek-nenek yang mau menyeberang jalan, yah, pokoknya mirip-miriplah dengan apa
yang ada di buku pelajaran PMP zaman orde baru.
Harapannya, saat kemudian si
santri kemudian diisi dengan pelajaran-pelajaran agama yang lebih rumit.
Penerapan ilmu di masyarakat nantinya tidak hanya soal konsep benar atau salah
saja, namun juga soal cara penanganan yang baik atau buruk juga.
Sebabnya tentu saja didasari
karena agama berisi mengenai ajaran kebaikan. Kan jadi percuma situ mengajarkan
kebaikan tapi menyampaikannya tidak dengan cara baik-baik. Membentak-bentak,
mata merah menyala, otot leher keluar semua kemana-mana sampai tidak
pulang-pulang, misalnya.
Toh, sekalipun yang situ ucapkan
adalah kebenaran dan ada dalilnya - soheh lagi, kebenaran yang situ sampaikan
akan terasa kasar dan bakal terlihat mengerikan. Tuhan tidak semenakutkan itu
kok, jadi tidak usahlah diseram-seramkan begitu. Daripada menunjukkan kebenaran
lewat cara-cara panasnya api neraka, mengapa sih tidak menyampaikan kebenaran
dari perspektif betapa teduh Tuhan pemilik semesta…?
Ini penting, karena menjadi
pintar itu bisa diupayakan semua orang, dan semua orang mau melakukannya. Namun
menjadi orang baik, itu perkara yang berbeda. Alasannya tentu saja karena
kebaikan tidaklah semewah kebenaran. Menjadi orang baik tidak sekeren jadi
orang pintar.
Orang pintar mah enak, cari duit
gampang, mobilnya keren-keren, kalau bicara didengarkan banyak orang, sekali
mengatakan “salah” pada orang lain, semua orang akan mengamini. Banyak yang
mendukung, tidak hanya santri-santrinya saja, namun kadang pejabat-pejabat
pula.
Coba bandingkan dengan orang baik
- terutama golongan orang baik yang tidak merasa dirinya pintar, baru ngomong
perkara bid’ah saja, sudah dicacimaki habis-habisan. Baru menghimbau untuk
mudah memaafkan orang lain saja sudah disesat-sesatkan.
Namun apakah dengan begitu orang
baik akan marah….?
Oh, jelas tidak. Orang baik
memiliki pondasi adab yang lebih baik. Golongan ini punya pondasi akhlak yang
luar biasa. Ya, karena pendidikan golongan orang-orang ini didasari dari
bagaimana membangun peradaban lebih dahulu, bukan bagaimana mencetak dan
membesarkan orang-orang pintar lebih dahulu.
Ingat, keilmuan lebih erat kaitannya dengan peradaban daripada
orang-orang pintar dadakan.
Jadi, situ mau beradab atau cuma
mau jadi pintar…?
No comments:
Post a Comment