Itulah Gagak Bangah. Anggota
termuda dari kawanan iblis itu. Rupa-rupanya ia tidak dapat lagi mengendalikan
dirinya melihat Watu Gunung dihinakan sedemikian. Meskipun ia merasa bahwa ia
sendiri tidak akan mampu melawan Mahesa Jenar, tetapi berdua dengan Watu Gunung
adalah lain soalnya.
Gagak Bangah sendiri tidak sekuat
Watu Gunung, tetapi ia mempunyai kelebihan dalam hal kecepatan bergerak. Dan
kecepatannya itu apabila digabungkan dengan kekuatan tenaga Watu Gunung mungkin
akan dapat merobohkan lawan yang bagaimanapun tangguhnya. Melihat seorang
kawannya memasuki arena, hati Watu Gunung yang sudah tipis sekali itu menjadi
tergugah kembali. Ia sudah tidak peduli lagi kepada peraturan yang ditentukan
dalam pertarungan itu.
Melihat seorang lagi masuk dalam
arena, Mahesa Jenar terkejut. Ia surut beberapa langkah ke belakang, dan
pandangannya mengandung pertanyaan. Tetapi dengan tak banyak cakap, Gagak
Bangah sudah memutar pedang pendeknya dan dengan kecepatan yang luar biasa ia
menyerang Mahesa Jenar.
“Tunggu… apakah kau ingin
menggantikan Watu Gunung?”
Terpaksa Mahesa Jenar ingin
mendapat penjelasan sambil meloncat menghindari serangan itu. Tetapi, ia tidak
mendapat jawaban, bahkan kini Gagak Bangah dan Watu Gunung menyerang
bersama-sama.
“Kalian melanggar peraturan,”
sambung Mahesa Jenar sambil meloncat menghindari sambaran pedang pendek dan
kemudian cepat sekali ia meloncat dua depa ke belakang sebelum kaki Watu Gunung
mengenai tungkaknya.
“Tidak ada suatu peraturanpun
yang dapat mengikat kami,” teriak Gagak Bangah dengan garangnya. “Kami berdiri
di atas segala peraturan. Kalau kami berhak menentukan peraturan, kami pun
berhak mengubah atau menghapus peraturan itu.”
Mahesa Jenar jadi sadar bahwa ia
berhadapan dengan orang-orang yang licik dan tidak bersikap jantan. Ia paling
benci pada sifat-sifat yang demikian. Ia lebih menghargai seseorang yang
mengakui kekalahannya daripada orang yang licik dan curang. Itulah sebabnya
kemarahan Mahesa Jenar tergugah.
Tetapi ia sekarang berhadapan
dengan dua orang yang mempunyai keistimewaan masing-masing dan tergolong dalam
tingkatan yang cukup tinggi. Karena itu ia harus mengerahkan sebagian besar
kepandaiannya.
Ki Asem Gede yang menyaksikan
kecurangan itu pun menjadi gusar. Untuk melawan dua orang, belum tentu Mahesa
Jenar dapat menang. Karena itu ia sudah membulatkan tekad untuk melibatkan diri
dalam pertempuran itu. Tetapi baru saja ia akan meloncat, tiba-tiba
terdengarlah sebuah bisikan.
“Jangan berbuat sesuatu Ki Asem
Gede.”
Ki Asem Gede terkejut bukan
kepalang. Dan terasa di kedua belah lambungnya melekat ujung senjata tajam.
Ketika ia menoleh, dilihatnya Wisuda dan Palian, yakni anggota ke-3 dan ke-4
dari kawanan iblis itu berdiri di belakangnya dan mengancamnya dengan keris.
Maka terpaksa Ki Asem Gede mengurungkan niatnya, meskipun hatinya bergelora
hebat, sambil menanti suatu kesempatan.
Sementara itu, pertempuran di
arena bertambah hebat. Gagak Bangah dengan gesitnya menyambar-nyambar sambil
mempermainkan pedang pendeknya, seperti seekor Sikatan menyambar belalang.
Sedangkan Watu Gunung pun dengan mengandalkan kekuatannya menyerang dengan
garangnya. Apalagi kini ia telah memegang pula sebuah belati panjang yang
dicabutnya dari bawah kainnya, seperti yang dilemparkan tadi.
Mahesa Jenar ternyata tidak
mengecewakan. Diam-diam ia merasa bersyukur bahwa dengan tidak sengaja Watu
Gunung telah memberinya sebilah pisau belati panjang. Dan dengan senjata itu ia
melayani kedua lawannya. Ia pernah mendengar bahwa belati kawanan Lawa Ijo
terkenal keampuhannya serta terbuat dari baja pilihan. Apalagi kini senjata itu
ada di tangan Mahesa Jenar yang mempunyai kepandaian dalam mempergunakan segala
macam senjata. Maka dalam waktu yang singkat ujung belati itu dengan dahsyatnya
menyerang lawannya dan seolah-olah berubah menjadi beribu-ribu mata pisau yang
mematuk-matuk dengan garangnya.
Keadaan yang seimbang dari
pertempuran itu tidak berlangsung lama. Sebab segera Mahesa Jenar berhasil
mendesak lawannya ke dalam keadaan yang sulit. Selagi Watu Gunung merangsek
dari sisi kirinya, Gagak Bangah maju dengan marahnya dari sisi kanannya,
melompatlah Mahesa Jenar setengah lingkaran sambil menendang tengkuk Watu
Gunung dengan kecepatan yang luar biasa, maka terdengarlah gemeretak kepala
beradu.
No comments:
Post a Comment