Photo

Photo

Monday 18 June 2018

NOGOSOSRO SABUK INTEN, Seri 10



Perkataan Mahesa Jenar ini rupa-rupanya telah berhasil menyentuh harga diri Samparan serta kawan-kawannya, apalagi mereka telah merasa bahwa kehebatan mereka sukar mendapat tandingan.

Dalam pada itu salah seorang kawan Samparan segera melangkah setindak maju, dan dengan suaranya yang nyaring berkata, “Kakang Samparan, apa yang sudah terucapkan sebaiknya dilaksanakan. Aku belum kenal orang ini, dan orang ini pun rupa-rupanya belum kenal kami. Baiklah kini kami saling berkenalan. Aku usulkan sebagai pelaksanaan dari peraturan itu, pertandingan diadakan di halaman rumah ini secara terbuka. Siapa saja boleh menyaksikan. Dan satu soal lagi, pertarungan dilaksanakan sampai selesai. Maksudku, sampai salah satu pihak tak mampu melawan. Jadi tidak boleh menarik diri. Siapa yang menang mempunyai hak untuk berbuat apapun atas yang kalah, dan atas barang taruhan.” Kata-kata itu diucapkan dengan penuh keyakinan, bahwa Mahesa Jenar merupakan sebuah umpan yang sangat lunak.

Mahesa Jenar menarik nafas panjang. Sedang Ki Asem Gede yang semula sangat girang, kini menjadi agak cemas juga. “Kalau… seandainya… Mahesa Jenar kalah…? Akh tak mungkin,” pikirnya.

Sementara itu Samparan tak mengangguk meskipun ia tidak seyakin Watu Gunung, kawannya yang telah melengkapi peraturan tadi. Ia menduga bahwa orang itu pun sedikit-banyak mempunyai pegangan sehingga berani menyatakan dirinya sebagai pembela. Belum lagi ia berkata apa-apa kembali Watu Gunung menyambung, “Nah sekarang siapakah diantara kami yang pantas melayani kawan itu?”

Dari nada pertanyaan ini, Samparan tahu bahwa Watu Gunung bernafsu untuk menjadi jago yang harus bertanding dengan Mahesa Jenar. Watu Gunung adalah seorang yang termasuk paling kuat di antara mereka. Kalau Samparan yang terpilih menjadi pemimpin, adalah karena dialah yang tertua dan terbanyak mempunyai pengalaman, baik dalam tata perkelahian maupun dalam lika-liku pembicaraan dan tipu muslihat. Agar tidak mengalami kegagalan, Samparan pun sependapat dengan Watu Gunung, bahwa sebaiknya orang yang terkuatlah yang harus melayani orang asing ini, sehingga tidak ada kemungkinan mengalami kekalahan.

“Baiklah kawan-kawan,” katanya, “aku memilih Adi Watu Gunung untuk melayani tamu kita nanti”.

Watu Gunung menjadi gembira mendengar putusan ini. Sebaliknya kawan-kawannya yang lain merasa kecewa karena tidak dapat bermain-main dengan seorang yang sama sekali tak bernama tetapi sudah berbesar kepala untuk mencoba-coba menghalang-halangi kemauan mereka. Tetapi bagaimana pun mereka akan turut merasakan hasil kemenangan Watu Gunung nanti. Memang, sebenarnya Watu Gununglah yang paling berkepentingan pada saat itu. Sebagai seorang pemuda, sebelum meninggalkan kampung halamannya, dahulu ia pernah berangan-angan untuk dapat mengawini anak Ki Asem Gede. Tetapi ia kalah beruntung dengan Wirasaba, sehingga ia terpaksa mengalami patah hati. Sekarang, ia ingin membalas sakit hatinya dengan menculik Nyi Wirasaba itu.

Watu Gunung berperawakan tinggi gagah, bertubuh kekar, dan sebenarnya ia agak tampan juga. Kalau ia sejak semula menjadi orang baik-baik, mungkin ia juga akan mendapatkan istri yang cantik. Tetapi sekarang, hampir semua perempuan menjadi pingsan kalau mendengar nama Watu Gunung disebut orang.

“Sekarang,” kata Samparan kemudian, “ sambil menunggu siang, sebaiknya tamu-tamu ini kami persilahkan beristirahat di gandok sebelah timur. Adi Wisuda, tolong antarkanlah tamu kita ke sana,”

Maka, orang yang dipanggil Wisuda, salah seorang dari lima orang itu, segera mempersilahkan Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar untuk mengikutinya ke gandok sebelah timur. Di sana, mereka berdua ditinggalkan untuk beristirahat.

Ki Asem Gede terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, ketika dilihatnya Mahesa Jenar segera merebahkan dirinya di atas sebuah amben, katanya, “Ki Asem Gede, semalaman aku tidak tidur, dan pagi-pagi benar aku sudah harus berpacu kuda dengan Ki Asem Gede, maka sebaiknya aku tidur sebentar agar aku nanti dapat melayani Watu Gunung itu dengan sedikit ada kegembiraan”

Sesudah berdiam diri sebentar, terdengarlah segera nafas Mahesa Jenar mengalir secara teratur. Ia sudah tertidur.

Ki Asem Gede heran bukan main. Sebentar lagi ia harus mengadu tenaga antara hidup dan mati melawan seorang yang termasuk mempunyai kehebatan dalam tata pertarungan. Tetapi sekarang, dengan enaknya ia tidur mendekur. Ketika hal itu direnungkan dalam-dalam, ternyata Mahesa Jenar sama sekali tak memandang remeh calon lawannya. Dengan beristirahat, meskipun hanya sebentar, ia akan dapat memulihkan tenaganya, sehingga dengan demikian ia akan dapat bertanding dengan baik. Mendapat pikiran yang demikian ia pun merasa bahwa dirinya juga perlu mengaso, siapa tahu tenaganya nanti diperlukan. Ternyata hatinya tidak setenang Mahesa Jenar. Ia tetap kuatir akan nasib anak satu-satunya itu, dan ia juga khawatir kalau Samparan dan kawan-kawannya berbuat curang. Karena itu ia hanya berbaring. Matanya sama sekali tak dapat dipejamkan.

Pada saat itu sinar mahatari pagi telah mulai masuk menyusup lubang-lubang dinding meskipun masih condong sekali. Sekali dua kali telah terdengar suara gerobag lewat di jalan di depan rumah itu. Dan di halaman telah sibuk beberapa orang mengatur arena untuk bertanding siang nanti. Beberapa orang yang lewat, ketika melihat beberapa tonggak ditancapkan dan tali-tali direntangkan, mereka tahu bahwa akan ada pertandingan lagi di halaman rumah Samparan yang juga dikenal sebagai rumah setan. Sebenarnya tak seorang pun yang ingin dekat dengan rumah serta penghuninya itu, sebab mereka takut kalau entah harta kekayaannya, entah ternaknya, dan yang ditakuti adalah kalau istri atau gadisnya dikehendaki oleh iblis-iblis itu. Tetapi di samping itu mereka juga ingin melihat tiap-tiap pertarungan yang memang sering diadakan di halaman itu, dengan mengharap-harap sekali waktu ada orang yang dapat mengalahkan, syukur mengubur kelima iblis penghuni rumah itu. Tetapi sampai sekarang, kalau ada orang yang menuntut istri atau anaknya, dan terpaksa melewati pertandingan di arena itu, tentu dibinasakan dengan kejamnya. Sedang istri atau anak mereka, malahan menjadi barang taruhan yang makin tak berharga.

Hal ini, Demang Pucangan sendiri tak dapat mengatasinya. Dan tak seorangpun berani melaporkan kepada atasan yang berwenang. Sebab dengan perbuatannya itu nyawanya jadi terancam.

Kembali kali ini akan ada sebuah pertandingan. Orang sudah menduga bahwa hal ini tentu berhubungan dengan hilangnya Nyi Wirasaba. Tetapi siapakah yang akan memasuki arena?. Ayahnya, Ki Asem Gedekah? Atau salah seorang muridnya? Atau siapa?

Sementara itu Mahesa Jenar masih enak-enak tidur. Berbareng matahari semakin tinggi, Ki Asem Gede semakin gelisah.

Adalah di luar dugaannya kalau pada saat itu salah seorang pelayan Samparan masuk ke gandok itu dengan membawa hidangan minuman dan makanan. Rupanya mereka akan menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang baik hati, serta perbuatannya itu betul-betul untuk kepentingan penduduk setempat.

Dengan ketajaman hidung seorang ahli obat-obatan, Ki Asem Gede mencium minuman dan makanan itu, kalau-kalau ada semacam racun atau obat bius di dalamnya, tetapi ketika menurut pendapatnya tak terdapat apa-apa maka sedikit demi sedikit ia mencoba mencicipinya sebelum Mahesa Jenar bangun, yang tentu akan minum dan makan juga. Rupanya minuman dan makanan itu benar-benar bersih.

“Rupanya Watu Gunung begitu yakin akan memenangkan pertandingan ini seperti yang sudah-sudah,” pikir Ki Asem Gede.

Sementara itu Mahesa Jenar telah menggeliat bangun. Dengan tangannya ia menggosok-gosok matanya yang nampak merah kurang tidur. Ketika ia melihat adanya beberapa macam hidangan, ia memandang Ki Asem Gede dengan penuh pertanyaan. KI Asem Gede tahu bahwa Mahesa Jenar ragu-ragu, sehingga ia segera menjelaskan, “Anakmas, kita telah mendapat kehormatan untuk menikmati masakan dari Pucangan.  Aku, sebagai orang yang mendalami masalah obat-obatan,  telah meyakinkan bahwa makanan ini bersih dari racun maupun obat bius dan malahan aku pun telah mencicipinya.”

Mendengar keterangan itu Mahesa Jenar menjadi tak ragu-ragu lagi. Cepat tangannya menyambar mangkuk minuman dan segera minum beberapa teguk teh hangat, disusul beberapa potong makanan. Segera setelah itu, tenaganya terasa telah pulih kembali, setelah semalam tidak tidur dan berkuda sekian jauhnya.

Berita akan adanya pertarungan di halaman rumah Samparan itu segera meluas. Beberapa orang yang pergi ke pasar bergegas untuk segera pulang, supaya dapat menyaksikan pertandingan itu. Sedang beberapa orang yang merasa mempunyai sedikit kekuatan, mencibirkan bibir, bahwa orang yang berani mencoba melawan rombongan Samparan adalah orang yang telah jemu hidup. Padahal orang-orang itu sendiri pun tidak mampu melawannya.

Sedang orang yang diributkan, pada saat itu sama sekali tak menghiraukan kesibukan orang-orang di halaman. Pada saat-saat semacam itu, ia merasa perlu menenangkan pikiran dan memusatkan tenaga. Seperti biasa, Mahesa Jenar sama sekali tak pernah meremehkan lawannya. Sebab sikap yang demikian akan menghilangkan kehati-hatiannya.

Ketika matahari sudah agak tinggi, selesailah segala persiapan. Para penonton telah banyak, mengelilingi arena. Sebentar kemudian terdengar kentongan dipukul orang lima kali – lima kali berturut-turut. Suaranya memencar menghantam dinding-dinding jurang dan tebing pegunungan, yang kemudian dilemparkan kembali. Menggema seperti aum harimau kelaparan mencari makan.

Demikianlah suara kentongan itu lima kali-lima kali berutrrut-turut bagi orang-orang Pucangan, seolah seperti suara malaikat pencabut nyawa yang memanggil-manggil korbannya.

Kemudian keluarlah dari pendapa rumah itu, Samparan beserta empat orang kawannya. Masing-masing dengan pakaian yang hampir sama. Celana hitam sampai lutut, kain lurik merah soga, sabuk kulit ular bertimang emas, dan berikat kepala merah soga pula, tanpa baju.

Kelima orang itu langsung menuju ke arena. Orang-orang yang berkerumun bersibak memberi jalan.

Sementara itu Mahesa Jenar juga sudah dipanggil. Seperti orang yang segan-segan, ia berjalan bersama Ki Asem Gede menuju ke arena. Pakaiannya adalah pakaian kusut, dan habis dipakai tidur tadi. Meskipun ia bernama Mahesa Jenar, anehnya ia suka warna-warna hijau. Kainnya lurik berwarna hijau gadung. Ikat kepala dan bajunya juga.

Mahesa Jenar dengan acuh tak acuh menjawab, “Selamat pagi Watu Gunung, aku sengaja tidak mandi, sebab aku takut kalau airmu memperlemah semangatku, sehingga aku tak dapat melayani permainanmu dengan baik.”

Melihat Mahesa Jenar, beberapa orang mulai menilai-nilai. Memang agak aneh bagi mereka. Begitu tenang dan sama sekali tidak gugup. Dipandang dari segi ketegapan tubuhnya, ternyata Watu Gunung lebih tinggi sedikit dari lawannya, serta otot-ototnya tampak lebih kuat. Umurnya pun tampaknya tak terpaut banyak. Tetapi, orang-orang yang sedang sibuk menilai itu menjadi bingung. Mereka sama sekali tak menemukan satu hal pun dari Mahesa Jenar yang dapat melebihi lawannya. Tingginya, besarnya, otot-ototnya dan segalanya. Tetapi ketika mereka memandang matanya seakan-akan mereka menjadi yakin kalau Mahesa Jenar akan memenangkan pertarungan ini.

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4340 - 4345

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4340-4345 "Kalau begitu kamu bisa meminta bantuan Pangeran Xiao. Agaknya, Keluarga Qi tidak bisa lebih kuat ...