Perkataan Mahesa Jenar ini
rupa-rupanya telah berhasil menyentuh harga diri Samparan serta kawan-kawannya,
apalagi mereka telah merasa bahwa kehebatan mereka sukar mendapat tandingan.
Dalam pada itu salah seorang
kawan Samparan segera melangkah setindak maju, dan dengan suaranya yang nyaring
berkata, “Kakang Samparan, apa yang sudah terucapkan sebaiknya dilaksanakan.
Aku belum kenal orang ini, dan orang ini pun rupa-rupanya belum kenal kami.
Baiklah kini kami saling berkenalan. Aku usulkan sebagai pelaksanaan dari
peraturan itu, pertandingan diadakan di halaman rumah ini secara terbuka. Siapa
saja boleh menyaksikan. Dan satu soal lagi, pertarungan dilaksanakan sampai
selesai. Maksudku, sampai salah satu pihak tak mampu melawan. Jadi tidak boleh
menarik diri. Siapa yang menang mempunyai hak untuk berbuat apapun atas yang
kalah, dan atas barang taruhan.” Kata-kata itu diucapkan dengan penuh
keyakinan, bahwa Mahesa Jenar merupakan sebuah umpan yang sangat lunak.
Mahesa Jenar menarik nafas
panjang. Sedang Ki Asem Gede yang semula sangat girang, kini menjadi agak cemas
juga. “Kalau… seandainya… Mahesa Jenar kalah…? Akh tak mungkin,” pikirnya.
Sementara itu Samparan tak
mengangguk meskipun ia tidak seyakin Watu Gunung, kawannya yang telah
melengkapi peraturan tadi. Ia menduga bahwa orang itu pun sedikit-banyak
mempunyai pegangan sehingga berani menyatakan dirinya sebagai pembela. Belum
lagi ia berkata apa-apa kembali Watu Gunung menyambung, “Nah sekarang siapakah
diantara kami yang pantas melayani kawan itu?”
Dari nada pertanyaan ini,
Samparan tahu bahwa Watu Gunung bernafsu untuk menjadi jago yang harus
bertanding dengan Mahesa Jenar. Watu Gunung adalah seorang yang termasuk paling
kuat di antara mereka. Kalau Samparan yang terpilih menjadi pemimpin, adalah
karena dialah yang tertua dan terbanyak mempunyai pengalaman, baik dalam tata
perkelahian maupun dalam lika-liku pembicaraan dan tipu muslihat. Agar tidak
mengalami kegagalan, Samparan pun sependapat dengan Watu Gunung, bahwa
sebaiknya orang yang terkuatlah yang harus melayani orang asing ini, sehingga
tidak ada kemungkinan mengalami kekalahan.
“Baiklah kawan-kawan,” katanya,
“aku memilih Adi Watu Gunung untuk melayani tamu kita nanti”.
Watu Gunung menjadi gembira
mendengar putusan ini. Sebaliknya kawan-kawannya yang lain merasa kecewa karena
tidak dapat bermain-main dengan seorang yang sama sekali tak bernama tetapi
sudah berbesar kepala untuk mencoba-coba menghalang-halangi kemauan mereka.
Tetapi bagaimana pun mereka akan turut merasakan hasil kemenangan Watu Gunung
nanti. Memang, sebenarnya Watu Gununglah yang paling berkepentingan pada saat
itu. Sebagai seorang pemuda, sebelum meninggalkan kampung halamannya, dahulu ia
pernah berangan-angan untuk dapat mengawini anak Ki Asem Gede. Tetapi ia kalah
beruntung dengan Wirasaba, sehingga ia terpaksa mengalami patah hati. Sekarang,
ia ingin membalas sakit hatinya dengan menculik Nyi Wirasaba itu.
Watu Gunung berperawakan tinggi
gagah, bertubuh kekar, dan sebenarnya ia agak tampan juga. Kalau ia sejak
semula menjadi orang baik-baik, mungkin ia juga akan mendapatkan istri yang
cantik. Tetapi sekarang, hampir semua perempuan menjadi pingsan kalau mendengar
nama Watu Gunung disebut orang.
“Sekarang,” kata Samparan kemudian,
“ sambil menunggu siang, sebaiknya tamu-tamu ini kami persilahkan beristirahat
di gandok sebelah timur. Adi Wisuda, tolong antarkanlah tamu kita ke sana,”
Maka, orang yang dipanggil
Wisuda, salah seorang dari lima orang itu, segera mempersilahkan Ki Asem Gede
dan Mahesa Jenar untuk mengikutinya ke gandok sebelah timur. Di sana, mereka
berdua ditinggalkan untuk beristirahat.
Ki Asem Gede terpaksa
menggeleng-gelengkan kepala, ketika dilihatnya Mahesa Jenar segera merebahkan
dirinya di atas sebuah amben, katanya, “Ki Asem Gede, semalaman aku tidak
tidur, dan pagi-pagi benar aku sudah harus berpacu kuda dengan Ki Asem Gede,
maka sebaiknya aku tidur sebentar agar aku nanti dapat melayani Watu Gunung itu
dengan sedikit ada kegembiraan”
Sesudah berdiam diri sebentar,
terdengarlah segera nafas Mahesa Jenar mengalir secara teratur. Ia sudah
tertidur.
Ki Asem Gede heran bukan main.
Sebentar lagi ia harus mengadu tenaga antara hidup dan mati melawan seorang
yang termasuk mempunyai kehebatan dalam tata pertarungan. Tetapi sekarang,
dengan enaknya ia tidur mendekur. Ketika hal itu direnungkan dalam-dalam,
ternyata Mahesa Jenar sama sekali tak memandang remeh calon lawannya. Dengan
beristirahat, meskipun hanya sebentar, ia akan dapat memulihkan tenaganya,
sehingga dengan demikian ia akan dapat bertanding dengan baik. Mendapat pikiran
yang demikian ia pun merasa bahwa dirinya juga perlu mengaso, siapa tahu
tenaganya nanti diperlukan. Ternyata hatinya tidak setenang Mahesa Jenar. Ia
tetap kuatir akan nasib anak satu-satunya itu, dan ia juga khawatir kalau
Samparan dan kawan-kawannya berbuat curang. Karena itu ia hanya berbaring.
Matanya sama sekali tak dapat dipejamkan.
Pada saat itu sinar mahatari pagi
telah mulai masuk menyusup lubang-lubang dinding meskipun masih condong sekali.
Sekali dua kali telah terdengar suara gerobag lewat di jalan di depan rumah
itu. Dan di halaman telah sibuk beberapa orang mengatur arena untuk bertanding
siang nanti. Beberapa orang yang lewat, ketika melihat beberapa tonggak
ditancapkan dan tali-tali direntangkan, mereka tahu bahwa akan ada pertandingan
lagi di halaman rumah Samparan yang juga dikenal sebagai rumah setan. Sebenarnya
tak seorang pun yang ingin dekat dengan rumah serta penghuninya itu, sebab
mereka takut kalau entah harta kekayaannya, entah ternaknya, dan yang ditakuti
adalah kalau istri atau gadisnya dikehendaki oleh iblis-iblis itu. Tetapi di
samping itu mereka juga ingin melihat tiap-tiap pertarungan yang memang sering
diadakan di halaman itu, dengan mengharap-harap sekali waktu ada orang yang
dapat mengalahkan, syukur mengubur kelima iblis penghuni rumah itu. Tetapi
sampai sekarang, kalau ada orang yang menuntut istri atau anaknya, dan terpaksa
melewati pertandingan di arena itu, tentu dibinasakan dengan kejamnya. Sedang
istri atau anak mereka, malahan menjadi barang taruhan yang makin tak berharga.
Hal ini, Demang Pucangan sendiri
tak dapat mengatasinya. Dan tak seorangpun berani melaporkan kepada atasan yang
berwenang. Sebab dengan perbuatannya itu nyawanya jadi terancam.
Kembali kali ini akan ada sebuah
pertandingan. Orang sudah menduga bahwa hal ini tentu berhubungan dengan
hilangnya Nyi Wirasaba. Tetapi siapakah yang akan memasuki arena?. Ayahnya, Ki
Asem Gedekah? Atau salah seorang muridnya? Atau siapa?
Sementara itu Mahesa Jenar masih
enak-enak tidur. Berbareng matahari semakin tinggi, Ki Asem Gede semakin
gelisah.
Adalah di luar dugaannya kalau
pada saat itu salah seorang pelayan Samparan masuk ke gandok itu dengan membawa
hidangan minuman dan makanan. Rupanya mereka akan menunjukkan bahwa mereka
adalah orang yang baik hati, serta perbuatannya itu betul-betul untuk
kepentingan penduduk setempat.
Dengan ketajaman hidung seorang
ahli obat-obatan, Ki Asem Gede mencium minuman dan makanan itu, kalau-kalau ada
semacam racun atau obat bius di dalamnya, tetapi ketika menurut pendapatnya tak
terdapat apa-apa maka sedikit demi sedikit ia mencoba mencicipinya sebelum
Mahesa Jenar bangun, yang tentu akan minum dan makan juga. Rupanya minuman dan
makanan itu benar-benar bersih.
“Rupanya Watu Gunung begitu yakin
akan memenangkan pertandingan ini seperti yang sudah-sudah,” pikir Ki Asem
Gede.
Sementara itu Mahesa Jenar telah
menggeliat bangun. Dengan tangannya ia menggosok-gosok matanya yang nampak
merah kurang tidur. Ketika ia melihat adanya beberapa macam hidangan, ia
memandang Ki Asem Gede dengan penuh pertanyaan. KI Asem Gede tahu bahwa Mahesa
Jenar ragu-ragu, sehingga ia segera menjelaskan, “Anakmas, kita telah mendapat
kehormatan untuk menikmati masakan dari Pucangan. Aku, sebagai orang yang mendalami masalah
obat-obatan, telah meyakinkan bahwa
makanan ini bersih dari racun maupun obat bius dan malahan aku pun telah
mencicipinya.”
Mendengar keterangan itu Mahesa
Jenar menjadi tak ragu-ragu lagi. Cepat tangannya menyambar mangkuk minuman dan
segera minum beberapa teguk teh hangat, disusul beberapa potong makanan. Segera
setelah itu, tenaganya terasa telah pulih kembali, setelah semalam tidak tidur
dan berkuda sekian jauhnya.
Berita akan adanya pertarungan di
halaman rumah Samparan itu segera meluas. Beberapa orang yang pergi ke pasar
bergegas untuk segera pulang, supaya dapat menyaksikan pertandingan itu. Sedang
beberapa orang yang merasa mempunyai sedikit kekuatan, mencibirkan bibir, bahwa
orang yang berani mencoba melawan rombongan Samparan adalah orang yang telah
jemu hidup. Padahal orang-orang itu sendiri pun tidak mampu melawannya.
Sedang orang yang diributkan,
pada saat itu sama sekali tak menghiraukan kesibukan orang-orang di halaman.
Pada saat-saat semacam itu, ia merasa perlu menenangkan pikiran dan memusatkan
tenaga. Seperti biasa, Mahesa Jenar sama sekali tak pernah meremehkan lawannya.
Sebab sikap yang demikian akan menghilangkan kehati-hatiannya.
Ketika matahari sudah agak
tinggi, selesailah segala persiapan. Para penonton telah banyak, mengelilingi
arena. Sebentar kemudian terdengar kentongan dipukul orang lima kali – lima
kali berturut-turut. Suaranya memencar menghantam dinding-dinding jurang dan
tebing pegunungan, yang kemudian dilemparkan kembali. Menggema seperti aum
harimau kelaparan mencari makan.
Demikianlah suara kentongan itu
lima kali-lima kali berutrrut-turut bagi orang-orang Pucangan, seolah seperti
suara malaikat pencabut nyawa yang memanggil-manggil korbannya.
Kemudian keluarlah dari pendapa
rumah itu, Samparan beserta empat orang kawannya. Masing-masing dengan pakaian
yang hampir sama. Celana hitam sampai lutut, kain lurik merah soga, sabuk kulit
ular bertimang emas, dan berikat kepala merah soga pula, tanpa baju.
Kelima orang itu langsung menuju
ke arena. Orang-orang yang berkerumun bersibak memberi jalan.
Sementara itu Mahesa Jenar juga
sudah dipanggil. Seperti orang yang segan-segan, ia berjalan bersama Ki Asem
Gede menuju ke arena. Pakaiannya adalah pakaian kusut, dan habis dipakai tidur
tadi. Meskipun ia bernama Mahesa Jenar, anehnya ia suka warna-warna hijau.
Kainnya lurik berwarna hijau gadung. Ikat kepala dan bajunya juga.
Mahesa Jenar dengan acuh tak acuh
menjawab, “Selamat pagi Watu Gunung, aku sengaja tidak mandi, sebab aku takut
kalau airmu memperlemah semangatku, sehingga aku tak dapat melayani permainanmu
dengan baik.”
Melihat Mahesa Jenar, beberapa
orang mulai menilai-nilai. Memang agak aneh bagi mereka. Begitu tenang dan sama
sekali tidak gugup. Dipandang dari segi ketegapan tubuhnya, ternyata Watu
Gunung lebih tinggi sedikit dari lawannya, serta otot-ototnya tampak lebih
kuat. Umurnya pun tampaknya tak terpaut banyak. Tetapi, orang-orang yang sedang
sibuk menilai itu menjadi bingung. Mereka sama sekali tak menemukan satu hal
pun dari Mahesa Jenar yang dapat melebihi lawannya. Tingginya, besarnya,
otot-ototnya dan segalanya. Tetapi ketika mereka memandang matanya seakan-akan
mereka menjadi yakin kalau Mahesa Jenar akan memenangkan pertarungan ini.
No comments:
Post a Comment