AWAN yang hitam pekat bergulung-gulung di langit seperti lumpur yang
diaduk dan kemudian dihanyutkan oleh banjir, sehingga malam gelap itu menjadi
semakin hitam. Sehitam suasana Kerajaan Demak pada waktu itu, dimana terjadi
perebutan pengaruh antara Wali pendukung kerajaan Demak dengan Syeh Siti Jenar.
Pertentangan itu sedemikian
meruncingnya sehingga terpaksa diselesaikan dengan pertumpahan darah.
Syeh Siti Jenar dilenyapkan.
Disusul dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga yang juga disebut Ki Ageng Pengging.
Ki Kebo Kenanga ini meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet. Karena
dibesarkan oleh Nyai Ageng Tingkir, kemudian Mas Karebet juga disebut Jaka
Tingkir.
Jaka Tingkir inilah yang kemudian
akan menjadi raja, menggantikan Sultan Trenggana. Jaka Tingkir pula yang
memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang.
Pada masa yang demikian,
tersebutlah seorang saudara muda seperguruan dari Ki Ageng Pengging yang
bernama Mahesa Jenar. Karena keadaan sangat memaksa, Maesa Jenar pergi
meninggalkan kampung halaman, sawah, ladang, serta wajah-wajah yang
dicintainya. Ia merantau, untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tak
diinginkan.
Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar
mengabdikan dirinya kepada Negara sebagai seorang prajurit. Tetapi karena
masalah perbedaan ajaran tentang kepercayaan, yang telah menimbulkan beberapa
korban, ia terpaksa mengundurkan diri, meskipun kesetiannya kepada Demak tidak
juga susut.
Maka hanya dengan bekal
kepercayaan kepada diri sendiri serta kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Mahesa Jenar mencari daerah baru yang tidak ada lagi persoalan mereka yang
berbeda pendapat mengenai pelaksanaan ibadah untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Mahesa Jenar adalah bekas seorang
prajurit pilihan, pengawal raja. Ia bertubuh tegap kekar, berdada bidang.
Sepasang tangannya amat kokoh, begitu mahir mempermainkan segala macam senjata,
bahkan benda apapun yang dipegangnya. Sepasang matanya yang dalam memancar
dengan tajam sebagai pernyataan keteguhan hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya
tampak bening dan lembut.
Ia adalah kawan bermain Ki Ageng
Sela pada masa kanak-kanaknya. Ki Ageng Sela inilah yang kemudian menjadi salah
seorang guru dari Mas Karebet, yang juga disebut Jaka Tingkir, sebelum
menduduki tahta kerajaan.
Meskipun mereka bukan berasal
dari satu perguruan, tetapi karena persahabatan mereka yang karib, maka
seringkali mereka berdua tampak berlatih bersama. Saling memberi dan menerima
atas izin guru mereka masing-masing. Gerak Mahesa Jenar sedikit kalah cekatan
dibanding dengan Sela yang menurut cerita adalah cucu seorang bidadari yang
bernama Nawangwulan. Betapa gesitnya tangan Ki Ageng Sela, sampai orang percaya
bahwa ia mampu menangkap petir.
Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh
dan kuat. Dengan gerak yang sederhana, apabila dikehendaki ia mampu membelah
batu sebesar kepala kerbau dengan tangannya. Apalagi kalau ia sengaja
memusatkan tenaganya.
Pada malam yang kelam itu Mahesa
Jenar mulai dengan perjalanannya dari rumah almarhum kakak seperguruannya, Ki
Kebo Kenanga di Pengging. Ia sengaja menghindarkan diri dari pengamatan orang.
Mula-mula Mahesa Jenar berjalan
ke arah selatan dengan menanggalkan pakaian keprajuritan, dan kemudian membelok
ke arah matahari terbenam.
Setelah beberapa hari berjalan,
sampailah Mahesa Jenar di suatu perbukitan yang terkenal sebagai bekas kerajaan
seorang raksasa bernama Prabu Baka, sehingga perbukitan itu kemudian dikenal
dengan nama Pegunungan Baka. Salah satu puncak dari perbukitan ini, yang
bernama Gunung Ijo, adalah daerah yang sering dikunjungi orang untuk menyepi.
Di sinilah dahulu Prabu Baka bertapa sampai diketemukan seorang gadis yang
tersesat ke puncak Gunung Ijo itu. Mula-mula gadis itu akan dimakannya, tetapi
niat itu diurungkan karena pesona kecantikannya. Bahkan gadis itu kemudian
diambilnya menjadi permaisuri, ketika ia kemudian dapat menguasai kerajaan
Prambanan. Gadis cantik itulah yang kemudian dikenal dengan nama Roro
Jonggrang. Dan karena kecantikannya pula Roro Jonggrang oleh Bandung Bandawasa,
yang juga ingin memperistrinya setelah berhasil membunuh Prabu Baka, disumpah
menjadi patung batu.
Candi tempat patung itu lah yang kemudian terkenal dengan
nama Candi Jonggrang.
Tetapi pada saat Mahesa Jenar
menginjakkan kakinya di puncak bukit itu terasalah sesuatu yang tak wajar.
Beberapa waktu yang lalu ia pernah mengunjungi daerah ini. Tetapi sekarang
alangkah bedanya. Tempat ini tidak lagi sebersih beberapa waktu berselang.
Rumput-rumput liar tumbuh di sana-sini.
Dan yang lebih mengejutkannya
lagi, adalah ketika dilihatnya kerangka manusia.
Melihat kerangka manusia itu hati
Mahesa Jenar menjadi tidak enak. Ia menjadi sangat berhati-hati karenanya.
Tetapi ia menjadi tertarik untuk mengetahui keadaan di sekitar tempat itu. Ia
menjadi semakin tertarik lagi ketika dilihatnya tidak jauh dari tempat itu
terdapat beberapa macam benda alat minum dan batu-batu yang diatur sebagai
sebuah tempat pemujaan. Dan di atasnya terdapat pula sebuah kerangka manusia.
Mahesa Jenar pernah belajar dalam pelajaran tata berkelahi mengenai beberapa
hal tentang tubuh manusia. Itulah sebabnya maka ia dapat menduga bahwa
rangka-rangka itu adalah rangka perempuan yang tidak tampak adanya tanda-tanda
penganiayaan.
Cepat ia dapat menebak, bahwa
beberapa waktu berselang telah terjadi suatu upacara aneh di atas bukit ini.
Tetapi ia tidak tahu macam upacara itu.
Untuk mengetahui hal itu, ia
mengharap mendapat keterangan dari penduduk sekitarnya. Tetapi Mahesa Jenar
menjadi kecewa ketika ia melayangkan pandangannya ke sekitar bukit itu. Tadi ia
sama sekali tidak memperhatikan bahwa tanah-tanah pategalan telah berubah
menjadi belukar.Agaknya sudah beberapa waktu tanah-tanah itu tidak lagi
digarap.
Maka ketika ia sudah tidak
mungkin lagi untuk mendapatkan keterangan lebih banyak lagi tentang
kerangka-kerangka tersebut, maka dengan pertanyaan-pertanyaan yang
berputar-putar dikepalanya, Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya ke barat, menuruni lembah dan mendaki
tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di atas puncak pusat kerajaan
Prabu Baka. Dari atas bukit itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di
dataran sekitarnya. Di sebelah utara tampaklah kumpulan candi yang terkenal
itu, yaitu Candi Jonggrang. Sempat juga Mahesa Jenar mengagumi karya yang telah
menghasilkan candi-candi itu. Menurut cerita, candi-candi yang berjumlah 1.000
itu adalah hasil kerja Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam saja, untuk
memenuhi permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung Bandawasa akan
dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat curang. Maka marahlah
Bandung Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga menjadi candi yang ke 1.000.
Candi itu dikitari oleh
persawahan yang ditumbuhi batang-batang padi yang sedang menghijau. Daun-daunnya
mengombak seperti mengalirnya gelombang-gelombang kecil di pantai karena
permainan angin.
TIBA-TIBA Mahesa Jenar teringat
akan kerangka-kerangka yang ditemukannya di atas Gunung Ijo. Di dekat
persawahan yang sedang menghijau itu pasti ada penduduknya. Di sana, mungkin ia
akan mendapat beberapa keterangan tentang kerangka-kerangka itu.
Karena pikiran itu maka segera ia
menuruni bukit dan cepat-cepat pergi ke arah pedesaan di sebelah Candi
Jonggrang di tepi Sungai Opak.
Ketika ia sampai di desa itu,
terasa alangkah asingnya penduduk menerima kedatangannya. Anak-anak yang sedang
bermain di halaman dengan riangnya, segera berlari-larian masuk ke rumah.
Terasa benar bahwa beberapa pasang mata mengintip dari celah-celah dinding
rumahnya.
“Apakah yang aneh padaku?”
pikirnya.
Ia merasa susah untuk menemukan
orang yang dapat diajak berwawancara untuk menjalankan beberapa soal, terutama
mengenai peristiwa Gunung Ijo.
Rumah-rumah di kiri kanan jalan
desa itu serasa tertutup baginya. Beberapa kali ia berjalan hilir mudik
kalau-kalau ia berjumpa dengan seseorang yang dapat ditanyainya atau seseorang
yang menyapanya. Tetapi sudah untuk kesekian kalinya tak seorang pun dijumpainya,
dan tak seorang pun menyapanya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengetuk
salah satu dari sekian banyak pintu-pintu yang tertutup.
Tiba-tiba terasa sesuatu yang
tidak wajar. Dari balik-balik pagar batu di sekitarnya, didengarnya dengus
nafas yang tertahan-tahan. Tidak hanya dari satu-dua orang, tetapi rasa-rasanya
banyak orang yang bersembunyi di balik pagar-pagar itu. Mahesa Jenar tidak
mengerti maksud mereka mengintip dari balik-balik pagar. Karena itu ia
pura-pura tidak mengetahui akan hal itu.
Tetapi ketika ia akan
melangkahkan kakinya menginjak ambang regol sebuah halaman, berloncatanlah
beberapa orang laki-laki dari balik pagar-pagar batu di sekitarnya. Semuanya
membawa senjata. Golok-golok besar, tombak panjang dan pendek, pedang, keris dan
sebagainya.
Mahesa Jenar sebentar terkejut juga, tetapi cepat otaknya
bekerja. Ia segera mengambil kesimpulan bahwa agaknya memang pernah terjadi
sesuatu di daerah ini. Ia juga menduga bahwa orang-orang itu tak bermaksud
jahat. Mereka hanya berjaga-jaga dan waspada. Sebagai orang asing di daerah
berbahaya sudah sepantasnyalah bahwa ia dicurigai. Itulah sebabnya ia mengambil
keputusan untuk tidak berbuat apa-apa, dan hanya akan menurut semua perintah
yang akan diterima.
Orang yang menjadi pemimpin rombongan
itu berperawakan sedang. Badannya tak begitu besar, tetapi otot-ototnya yang
kuat menghias seluruh tubuhnya. Diantara jari-jari tangan kanannya terselip
sebuah trisula, yaitu sebuah tombak bermata tiga. Di sampingnya berdiri seorang
yang berperawakan tinggi besar, berkumis lebat. Pandangannya tajam
berkilat-kilat. Ia tak bersenjata tajam apapun kecuali sebuah cambuk besar yang
ujungnya lebih dari sedepa panjangnya, dan pada juntai cambuk itu diikatkan
beberapa potongan besi, batu dan tulang-tulang.
Rupa-rupanya ia merupakan salah
seorang tokoh terbesar dari para pengawal desa itu, disamping beberapa pengawal
lain yang segera mengepungnya.
“Ikut kami!” Tiba-tiba
terdengarlah sebuah perintah yang menggelegar keluar dari mulut orang yang
tinggi besar itu.
Terasalah oleh Mahesa Jenar
betapa orang yang tinggi besar itu ingin mempengaruhinya dengan suaranya.
Mahesa Jenar yang sudah mengambil
keputusan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan,
menuruti perintah itu dengan patuh. Orang yang tinggi besar itu berjalan di
depan bersama-sama dengan pemimpin rombongan, kemudian berjalanlah di
belakangnya Mahesa Jenar diiringi oleh para pengawal.
No comments:
Post a Comment