Mereka sama sekali tak sampai
pada pikiran bahwa mata yang terang-cemerlang itu memancarkan suatu kebesaran
pribadi yang tak ada bandingnya.
Hal ini rupanya dirasakan juga
oleh Samparan dan kawan-kawannya, sehingga ketika Watu Gunung bertemu pandang
dengan Mahesa Jenar, hatinya berdegup.
Untuk menutupi kerisauan hatinya,
Watu Gunung berteriak, “Kakang Samparan, senjata apa yang pantas aku pakai?”
Samparan yang tak mengira akan
mendapat pertanyaan itu dengan sekenanya saja menjawab, “Apa yang kau pilih!”
Kembali Watu Gunung jadi
kebingungan, dan untuk mengatasinya, ia ingin mencari jawab pada lawannya dan
sekaligus untuk lebih merapati kegelisahannya.
“Mahesa Jenar, senjata apakah
yang kau ingin pakai?”
Mahesa Jenar merenung sebentar,
kemudian jawabannya makin menjadikan Watu Gunung kebingungan. “Watu Gunung…
senjata adalah barang yang berbahaya. Sedang permainan ini hanya sekadar untuk
menentukan pihak manakah yang dibenarkan Tuhan. Karena itu aku menganggap bahwa
aku tak ingin mempergunakan senjata.”
Watu Gunung menjadi semakin
keripuhan, apalagi ketika Mahesa Jenar menyambung,
“Tetapi meskipun demikian, kalau
kau ingin mempergunakan senjata, kalau itu sudah menjadi kebiasaanmu, aku sama
sekali tak keberatan, sedangkan bagiku sendiri senjata itu hanya akan
merepotkan saja.”
Muka Watu Gunung menjadi merah
seperti darah. Malu dan marah bercampur aduk. Belum pernah ia direndahkan
sedemikian. Dan sekarang orang yang tak bernama itu berani berbuat demikian.
Maka dengan suara lantang penuh kesombongan dan kemarahan, ia menjawab,
“Aku bukanlah bangsa pengecut
yang hanya berani bermain dengan senjata. Kalau aku bertanya tentang senjata
itu maksudku sudah tegas, berkelahi sampai salah satu diantara kita mati. Tetapi
kalau kau takut melihat tajamnya senjata, baiklah aku juga tidak akan
bersenjata, sebab dengan tanganku ini aku akan dapat mematahkan lehermu.”
Orang yang mendengar ucapan ini
bulunya berdiri. Watu Gunung sudah terkenal kehebatannya dan kekejamannya.
Apalagi ia sekarang dikendalikan oleh kemarahan yang besar. Tetapi hal itu bagi
Mahesa Jenar adalah suatu keuntungan. Sebab dengan kemarahan itu Watu Gunung
akan kehilangan sebagian dari pengamatan dirinya.
Sementara itu Watu Gunung sudah
berteriak, “Mahesa Jenar marilah kita mulai.”
Mahesa Jenar segera mempersiapkan
diri. Ia tidak mau dikenai oleh serangan yang pertama kali dan digerakkan oleh
hawa kemarahan, yang tentu akan menambah kekuatan lawannya.
Dan apa yang diduga oleh Mahesa
Jenar adalah benar. Belum lagi mulutnya terkatub rapat, Watu Gunung sudah
meloncat maju dan langsung menyerang ulu hati Mahesa Jenar. Serangan itu begitu
garang nampaknya seperti harimau menerkam mangsanya.
No comments:
Post a Comment