Kelima orang itu memandang Ki
Asem Gede dengan pandangan kosong, dan sikap yang acuh tak acuh, sehingga Ki
Asem Gede semakin marah.
“Kalian menculik anakku!”
teriaknya. Sikap Ki Asem yang sudah tua itu tampak garang dan sama sekali
berobah dari sifat keramah-tamahannya.
“Kami sudah mengira kalau kau
akan datang ke pondokku yang jelek ini,” jawab salah satu dari kelima orang
itu, yang rupanya adalah pemimpinnya, Samparan.
“Tetapi adalah kurang bijaksana
kalau seorang tamu mesti merusak pintu,” sambung orang itu. Lalu terdengarlah
suara mereka berlima tertawa berderai-derai.
Ki Asem Gede semakin marah,
direndahkan sedemikian. Cepat ia membungkuk mengambil palang pintu yang telah
dipatahkannya tadi, dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah meja kecil di atas
bale-bale di antara kelima orang itu. Begitu hebatnya lemparan Ki Asem Gede
sehingga meja kecil yang tertimpa palang pintu itu pecah berserak-serakan.
Suara tertawa kelima orang itu jadi terputus karena terkejut bukab kepalang,
dan cepat-cepat meloncat menjauhi dan turun dari balai-balai itu. Mereka sama
sekali tidak mengira kalau orang tua itu masih memiliki tenaga yang sedemikian
kuatnya. Tetapi, sebentar kemudian terdengar Samparan tertawa terbahak-bahak.
“Bagus …, bagus” katanya, “ Alangkah hebatnya”.
Ki Asem Gede sudah tidak mau
mendengarkan lagi. Kembali ia berteriak. “Aku datang untuk mengambil anakku.”
Lagi, Samparan tertawa, tapi kali
ini tawanya dingin. “Kami telah berbuat suatu kebaikan bagi penduduk di sekitar
daerah ini, dengan menyimpan anakmu.”
“Apa kau bilang?” potong Ki Asem
Gede.
“Anakmu telah melakukan
perbuatan-perbuatan terkutuk dengan mengganggu ketentraman rumah tangga orang,
meskipun ia sudah bersuami.”
“Omong kosong!” teriak Ki Asem
Gede semakin marah.
Kembali Samparan tertawa tertawa
dingin, “Sudah seharusnya kau tidak percaya,” sambungnya, “sebab kau ayahnya.
Tetapi ketahuilah bahwa di daerah ini telah timbul keributan karena pokal
anakmu. Bahkan lebih dari itu, di daerah barat daya telah timbul wabah
penyakit. Kau tahu sebabnya? Ketahuilah, bahwa itu disebabkan karena salah
istrimu itu pula, sehingga danyang-danyang menjadi marah.”
Ki Asem Gede sudah sampai pada
puncak kemarahannya sehingga seluruh tubuhnya bergetar. Ia tahu benar betapa
liciknya orang-orang itu, dan betapa pandainya mereka memutar balik kenyataan.
“Samparan…” jawab Ki Asem Gede
dengan suara menggigil. “Aku tahu siapakah kau. Jadi kau tak usah banyak bicara
di hadapanku. Aku tahu bahwa anakku menolak menuruti kehendakmu dan
kawan-kawanmu, gerombolan iblis ini, sehingga kau terpaksa menculiknya dan
menyimpannya. Sekarang aku minta anakku itu kau serahkan kepadaku.”
Samparan mendengus lewat
hidungnya, lalu berkata lagi, “Aku tetap pada keteranganku. Dan kami berlima
atas persetujuan rakyat di daerah ini, telah mengambil keputusan untuk
menjatuhkan hukuman atas anakmu itu. Aku hanya meniru apakah hukuman yang
dijatuhkan pada orang demikian pada jaman dahulu, yaitu dilempari batu sampai
mati.”
Mendengar jawaban itu, tubuh Ki
Asem Gede semakin menggigil dan giginya gemertak menahan marah yang hampir
meledak. “Hanya Sultan di Demak yang berhak menjatuhkan hukuman mati, atau
orang yang telah mendapat kuasanya. Orang-orang Pucangan ini pun tak berhak
melakukan itu, apalagi iblis-iblis macam kau ini.” teriak Ki Asem Gede.
Samparan mengangguk-angguk, lalu
kembali terdengar tawa iblisnya. “Betul…, betul Ki Asem Gede, tetapi di daerah
terpencil sejauh ini, jari-jari kekuasaan Demak tak begitu terasa. Maka sudah
sewajarnyalah kalau kami yang merasa sedikit ada kemampuan, membantu berlakunya
undang-undang di daerah ini, menghapuskan kekhianatan.”
Hampir Ki Asem Gede tak dapat
menahan dirinya. Untunglah bahwa pikirannya masih dapat bekerja. Ia merasa tak
akan mampu melawan kelima orang itu.
“Di Demak,” kata Ki Asem Gede
kemudian, “untuk tiap-tiap keputusan ada hak pembelaan. Berlaku jugakah
peraturan ini?”
Mendengar pertanyaan ini kelima
orang itu tampak berpikir. Tetapi sebentar kemudian terdengar kembali tawa
iblis keluar dari mulut Samparan.
“Kau cerdik sekali Ki Asem Gede.
Kau ingin menjadikan persoalan ini menjadi persoalan umum.”
“Bukankah telah kau katakan bahwa
putusanmu itu atas persetujuan penduduk di daerah ini? Bukankah dengan demikian
hal itu sudah menjadi persoalan umum?”
Kembali Samparan merenung. Tampak
ia berpikir untuk mengatasi usul Ki Asem Gede itu. Kalau sampai terjadi ada
semacam pengadilan bagi persoalan ini, dimana dapat hadir saksi-saksi, maka
terang hal ini tidak menguntungkan pihaknya. Tetapi akhirnya ia ketemukan juga
suatu cara untuk mengatasinya.
“Ki Asem Gede,” katanya, “kami
adalah bangsa yang mengenal keadilan. Kenapa kami keberatan kalau diadakan
pembelaan? Tetapi karena kekuasaan tertinggi dalam persoalan ini adalah di
tangan kami, maka kamilah yang menentukan cara pembelaan itu.”
“Bagaimana caranya?” Dalam
kesulitan ini Ki Asem Gede hanya dapat mengharap suatu perkembangan persoalan
yang dapat menguntungkan dirinya.
Samparan menarik alisnya
tinggi-tinggi, kemudian menjawab, “Keadilan yang tertinggi terletak di tangan
takdir. Karena itu pembelaan dalam persoalan ini pun sudah seharusnya kalau
didasarkan atas hal itu. Tegasnya, pembelaan itu hanya dapat dilakukan dengan
sebuah pertarungan. Kau boleh memilih seorang pembela, atau barangkali kau
sendiri? Sedang di pihak kami pun akan ada seorang yang harus mempertahankan
keputusan kami itu. Nah, kemudian segala sesuatu terserah pada kehendak
takdir.” Kemudian Samparan menarik nafas panjang-panjang. Ia yakin kalau
pihaknya pasti akan menang. Sebab bagaimana hebatnya Ki Asem Gede, tetapi
karena umurnya yang sudah lanjut itu, tentu tidak akan berbahaya lagi.
“Setan…,” dengus Ki Asem Gede.
Tetapi meskipun demikian ia masih berusaha untuk mendapat suatu kesempatan.
“Bagus…” katanya kemudian, “aku
terima cara itu. Sekarang aku minta ditetapkan waktu. Minggu depan barangkali?”
Samparan jadi tertawa
terbahak-bahak. Ia menangkap maksud Ki Asem Gede. “Kau memang licik sekali. Kau
mengharap bahwa kau dapat mencari bantuan orang lain. Atau dalam kesempatan itu
kau dapat membebaskan anakmu. Nah Ki Asem Gede… supaya persoalan ini tidak
berlarut-larut, aku tetapkan hari pertarungan ini adalah hari ini. Bukankah
fajar sudah datang?”
Seperti disengat ribuan lebah, Ki
Asem Gede mendengar putusan Samparan itu. Bahwa setan itu betul-betul licik,
kini telah terbukti. Dan ia sesali ketergesa-gesaannya tadi. Kalau saja ia tadi
membicarakan soal ini dengan sahabat-sahabatnya.
Ki Asem Gede sendiri bukan
berarti takut menghadapi persoalan itu, meskipun misalnya ia harus menyerahkan
nyawanya. Tetapi taruhannya terlalu besar. Kalau ia kalah, berarti kekalahan
itu berlipat dua, sedangkan ia sendiri sadar bahwa tenaganya sudah mulai surut.
Apalagi menghadapi iblis-iblis yang segar dan sedang tumbuh.
Kembali Ki Asem Gede menyesali
dirinya. Biasanya ia berlaku tenang. Tetapi menghadapi persoalan satu-satunya
anak yang diharapkan dapat melanjutkan namanya, ia jadi kehilangan ketenangan
itu.
Tetapi pada saat ia sedang
kebingungan, tiba-tiba terdengarlah suatu suara yang berat, dan mengandung
pengaruh yang luar biasa. Katanya, “Ki Asem Gede akan menerima ketetapan hari
itu. Dan Ki Asem Gede akan menunjuk aku sebagai pembelanya.”
Mendengar suara itu, semua yang
berada di dalam ruangan segera memandang ke arah pintu di mana berdiri seorang
dengan sikap yang tenang meyakinkan. Itulah Mahesa Jenar.
Melihat kehadiran Mahesa Jenar
tanpa diduga-duga itu, Ki Asem Gede menjadi girang bukan kepalang, sampai hampir-hampir
ia berteriak. Cepat-cepat ia melangkah mendekati dan menggoyang-goyangkan
tangan sahabatnya yang baru saja dikenalnya itu.
Sementara itu kelima orang
penghuni rumah itu memandang dengan heran dan mencoba menebak-nebak. Siapakah
gerangan orang yang begitu besar kepala sehingga berani menawarkan diri untuk
membela anak Ki Asem Gede itu? Sedang wajah orang itu belum pernah dikenalnya.
“Siapakah dia?” tanya Samparan
kemudian.
Hampir saja Ki Asem Gede menyebut
gelar Rangga Tohjaya untuk sekaligus menakut-nakuti kelima orang itu. Tetapi
melihat gelagat itu, segera Mahesa Jenar mendahului, “Aku adalah Mahesa Jenar,
sahabat Ki Asem Gede.”
“Mahesa Jenar?” ulang Samparan.
Nama itu pun sama sekali tak terkenal di daerah ini. Orang yang paling mereka
takuti adalah Dalang Mantingan, yang beberapa waktu lalu berhasil menangkap
tiga serangkai perampok yang bernama tunggal Samber Nyawa. Dan seandainya
Dalang Mantingan pada saat itu ada di situ pun belum tentu dapat mengalahkan
mereka berlima yang merasa mempunyai kekuatan dua kali lipat dari kekuatan
Samber Nyawa itu. Hanya tentu saja kalau Mantingan ada di situ, ia takkan
berani membuat tantangan pertarungan yang demikian. Tetapi sekarang yang ada
hanya orang yang sama sekali tak ternama.
Melihat keragu-raguan orang-orang
itu, serta takut kalau mereka mengubah peraturannya, segera Mahesa Jenar
menambahkan, “Aku kira tak ada lagi persoalan. Apapun yang akan terjadi atas
diri kami nanti, yang melaksanakan pertandingan itu, bukanlah suatu soal yang
perlu direnungkan. Aku adalah laki-laki seperti kalian juga.”
No comments:
Post a Comment