Photo

Photo

Monday 18 June 2018

NOGOSOSRO SABUK INTEN, Seri 9



Kelima orang itu memandang Ki Asem Gede dengan pandangan kosong, dan sikap yang acuh tak acuh, sehingga Ki Asem Gede semakin marah.

“Kalian menculik anakku!” teriaknya. Sikap Ki Asem yang sudah tua itu tampak garang dan sama sekali berobah dari sifat keramah-tamahannya.

“Kami sudah mengira kalau kau akan datang ke pondokku yang jelek ini,” jawab salah satu dari kelima orang itu, yang rupanya adalah pemimpinnya, Samparan.

“Tetapi adalah kurang bijaksana kalau seorang tamu mesti merusak pintu,” sambung orang itu. Lalu terdengarlah suara mereka berlima tertawa berderai-derai.

Ki Asem Gede semakin marah, direndahkan sedemikian. Cepat ia membungkuk mengambil palang pintu yang telah dipatahkannya tadi, dan dilemparkan sekuat tenaga ke arah meja kecil di atas bale-bale di antara kelima orang itu. Begitu hebatnya lemparan Ki Asem Gede sehingga meja kecil yang tertimpa palang pintu itu pecah berserak-serakan. Suara tertawa kelima orang itu jadi terputus karena terkejut bukab kepalang, dan cepat-cepat meloncat menjauhi dan turun dari balai-balai itu. Mereka sama sekali tidak mengira kalau orang tua itu masih memiliki tenaga yang sedemikian kuatnya. Tetapi, sebentar kemudian terdengar Samparan tertawa terbahak-bahak. “Bagus …, bagus” katanya, “ Alangkah hebatnya”.

Ki Asem Gede sudah tidak mau mendengarkan lagi. Kembali ia berteriak. “Aku datang untuk mengambil anakku.”

Lagi, Samparan tertawa, tapi kali ini tawanya dingin. “Kami telah berbuat suatu kebaikan bagi penduduk di sekitar daerah ini, dengan menyimpan anakmu.”

“Apa kau bilang?” potong Ki Asem Gede.

“Anakmu telah melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk dengan mengganggu ketentraman rumah tangga orang, meskipun ia sudah bersuami.”

“Omong kosong!” teriak Ki Asem Gede semakin marah.

Kembali Samparan tertawa tertawa dingin, “Sudah seharusnya kau tidak percaya,” sambungnya, “sebab kau ayahnya. Tetapi ketahuilah bahwa di daerah ini telah timbul keributan karena pokal anakmu. Bahkan lebih dari itu, di daerah barat daya telah timbul wabah penyakit. Kau tahu sebabnya? Ketahuilah, bahwa itu disebabkan karena salah istrimu itu pula, sehingga danyang-danyang menjadi marah.”

Ki Asem Gede sudah sampai pada puncak kemarahannya sehingga seluruh tubuhnya bergetar. Ia tahu benar betapa liciknya orang-orang itu, dan betapa pandainya mereka memutar balik kenyataan.

“Samparan…” jawab Ki Asem Gede dengan suara menggigil. “Aku tahu siapakah kau. Jadi kau tak usah banyak bicara di hadapanku. Aku tahu bahwa anakku menolak menuruti kehendakmu dan kawan-kawanmu, gerombolan iblis ini, sehingga kau terpaksa menculiknya dan menyimpannya. Sekarang aku minta anakku itu kau serahkan kepadaku.”

Samparan mendengus lewat hidungnya, lalu berkata lagi, “Aku tetap pada keteranganku. Dan kami berlima atas persetujuan rakyat di daerah ini, telah mengambil keputusan untuk menjatuhkan hukuman atas anakmu itu. Aku hanya meniru apakah hukuman yang dijatuhkan pada orang demikian pada jaman dahulu, yaitu dilempari batu sampai mati.”

Mendengar jawaban itu, tubuh Ki Asem Gede semakin menggigil dan giginya gemertak menahan marah yang hampir meledak. “Hanya Sultan di Demak yang berhak menjatuhkan hukuman mati, atau orang yang telah mendapat kuasanya. Orang-orang Pucangan ini pun tak berhak melakukan itu, apalagi iblis-iblis macam kau ini.” teriak Ki Asem Gede.

Samparan mengangguk-angguk, lalu kembali terdengar tawa iblisnya. “Betul…, betul Ki Asem Gede, tetapi di daerah terpencil sejauh ini, jari-jari kekuasaan Demak tak begitu terasa. Maka sudah sewajarnyalah kalau kami yang merasa sedikit ada kemampuan, membantu berlakunya undang-undang di daerah ini, menghapuskan kekhianatan.”

Hampir Ki Asem Gede tak dapat menahan dirinya. Untunglah bahwa pikirannya masih dapat bekerja. Ia merasa tak akan mampu melawan kelima orang itu.

“Di Demak,” kata Ki Asem Gede kemudian, “untuk tiap-tiap keputusan ada hak pembelaan. Berlaku jugakah peraturan ini?”

Mendengar pertanyaan ini kelima orang itu tampak berpikir. Tetapi sebentar kemudian terdengar kembali tawa iblis keluar dari mulut Samparan.

“Kau cerdik sekali Ki Asem Gede. Kau ingin menjadikan persoalan ini menjadi persoalan umum.”

“Bukankah telah kau katakan bahwa putusanmu itu atas persetujuan penduduk di daerah ini? Bukankah dengan demikian hal itu sudah menjadi persoalan umum?”

Kembali Samparan merenung. Tampak ia berpikir untuk mengatasi usul Ki Asem Gede itu. Kalau sampai terjadi ada semacam pengadilan bagi persoalan ini, dimana dapat hadir saksi-saksi, maka terang hal ini tidak menguntungkan pihaknya. Tetapi akhirnya ia ketemukan juga suatu cara untuk mengatasinya.

“Ki Asem Gede,” katanya, “kami adalah bangsa yang mengenal keadilan. Kenapa kami keberatan kalau diadakan pembelaan? Tetapi karena kekuasaan tertinggi dalam persoalan ini adalah di tangan kami, maka kamilah yang menentukan cara pembelaan itu.”

“Bagaimana caranya?” Dalam kesulitan ini Ki Asem Gede hanya dapat mengharap suatu perkembangan persoalan yang dapat menguntungkan dirinya.

Samparan menarik alisnya tinggi-tinggi, kemudian menjawab, “Keadilan yang tertinggi terletak di tangan takdir. Karena itu pembelaan dalam persoalan ini pun sudah seharusnya kalau didasarkan atas hal itu. Tegasnya, pembelaan itu hanya dapat dilakukan dengan sebuah pertarungan. Kau boleh memilih seorang pembela, atau barangkali kau sendiri? Sedang di pihak kami pun akan ada seorang yang harus mempertahankan keputusan kami itu. Nah, kemudian segala sesuatu terserah pada kehendak takdir.” Kemudian Samparan menarik nafas panjang-panjang. Ia yakin kalau pihaknya pasti akan menang. Sebab bagaimana hebatnya Ki Asem Gede, tetapi karena umurnya yang sudah lanjut itu, tentu tidak akan berbahaya lagi.

“Setan…,” dengus Ki Asem Gede. Tetapi meskipun demikian ia masih berusaha untuk mendapat suatu kesempatan.

“Bagus…” katanya kemudian, “aku terima cara itu. Sekarang aku minta ditetapkan waktu. Minggu depan barangkali?”

Samparan jadi tertawa terbahak-bahak. Ia menangkap maksud Ki Asem Gede. “Kau memang licik sekali. Kau mengharap bahwa kau dapat mencari bantuan orang lain. Atau dalam kesempatan itu kau dapat membebaskan anakmu. Nah Ki Asem Gede… supaya persoalan ini tidak berlarut-larut, aku tetapkan hari pertarungan ini adalah hari ini. Bukankah fajar sudah datang?”

Seperti disengat ribuan lebah, Ki Asem Gede mendengar putusan Samparan itu. Bahwa setan itu betul-betul licik, kini telah terbukti. Dan ia sesali ketergesa-gesaannya tadi. Kalau saja ia tadi membicarakan soal ini dengan sahabat-sahabatnya.

Ki Asem Gede sendiri bukan berarti takut menghadapi persoalan itu, meskipun misalnya ia harus menyerahkan nyawanya. Tetapi taruhannya terlalu besar. Kalau ia kalah, berarti kekalahan itu berlipat dua, sedangkan ia sendiri sadar bahwa tenaganya sudah mulai surut. Apalagi menghadapi iblis-iblis yang segar dan sedang tumbuh.

Kembali Ki Asem Gede menyesali dirinya. Biasanya ia berlaku tenang. Tetapi menghadapi persoalan satu-satunya anak yang diharapkan dapat melanjutkan namanya, ia jadi kehilangan ketenangan itu.

Tetapi pada saat ia sedang kebingungan, tiba-tiba terdengarlah suatu suara yang berat, dan mengandung pengaruh yang luar biasa. Katanya, “Ki Asem Gede akan menerima ketetapan hari itu. Dan Ki Asem Gede akan menunjuk aku sebagai pembelanya.”

Mendengar suara itu, semua yang berada di dalam ruangan segera memandang ke arah pintu di mana berdiri seorang dengan sikap yang tenang meyakinkan. Itulah Mahesa Jenar.

Melihat kehadiran Mahesa Jenar tanpa diduga-duga itu, Ki Asem Gede menjadi girang bukan kepalang, sampai hampir-hampir ia berteriak. Cepat-cepat ia melangkah mendekati dan menggoyang-goyangkan tangan sahabatnya yang baru saja dikenalnya itu.

Sementara itu kelima orang penghuni rumah itu memandang dengan heran dan mencoba menebak-nebak. Siapakah gerangan orang yang begitu besar kepala sehingga berani menawarkan diri untuk membela anak Ki Asem Gede itu? Sedang wajah orang itu belum pernah dikenalnya.

“Siapakah dia?” tanya Samparan kemudian.

Hampir saja Ki Asem Gede menyebut gelar Rangga Tohjaya untuk sekaligus menakut-nakuti kelima orang itu. Tetapi melihat gelagat itu, segera Mahesa Jenar mendahului, “Aku adalah Mahesa Jenar, sahabat Ki Asem Gede.”

“Mahesa Jenar?” ulang Samparan. Nama itu pun sama sekali tak terkenal di daerah ini. Orang yang paling mereka takuti adalah Dalang Mantingan, yang beberapa waktu lalu berhasil menangkap tiga serangkai perampok yang bernama tunggal Samber Nyawa. Dan seandainya Dalang Mantingan pada saat itu ada di situ pun belum tentu dapat mengalahkan mereka berlima yang merasa mempunyai kekuatan dua kali lipat dari kekuatan Samber Nyawa itu. Hanya tentu saja kalau Mantingan ada di situ, ia takkan berani membuat tantangan pertarungan yang demikian. Tetapi sekarang yang ada hanya orang yang sama sekali tak ternama.

Melihat keragu-raguan orang-orang itu, serta takut kalau mereka mengubah peraturannya, segera Mahesa Jenar menambahkan, “Aku kira tak ada lagi persoalan. Apapun yang akan terjadi atas diri kami nanti, yang melaksanakan pertandingan itu, bukanlah suatu soal yang perlu direnungkan. Aku adalah laki-laki seperti kalian juga.”

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4340 - 4345

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4340-4345 "Kalau begitu kamu bisa meminta bantuan Pangeran Xiao. Agaknya, Keluarga Qi tidak bisa lebih kuat ...