" SEBERAPA cepat kita ingin
sampai tujuan, tergantung seberapa keras kita mengayuh...."
Kalimat yang pasti membanggakan
hati Baron Karls Drais von Sauerbronn, pria Jerman, yang menyempurnakan alat
angkut velocipede atau sepeda, tahun 1817. Kalau saja bangsawan Jerman itu
masih hidup, tentu akan geleng geleng kepala.
Bagaimana bisa bersepeda menjadi
sebuah filisofi oleh orang Indonesia - presiden pula - yang bernama Jokowi...
BERSEPEDA itu mandiri. Kemajuan,
laju dan kecepatan adalah hasil usaha sendiri. Gerak tubuh sendiri. Seberapa cepat
kita ingin sampai tujuan tergantung seberapa keras kita mengayuh.
Demikian kira-kira ujaran lengkap
Jokowi tentang filosofi sepeda. Ini disampaikan menyusul pertanyaan banyak orang
tentang tradisi " kuis berhadiah sepeda ".
Filosofi sepeda mengajarkan
pentingnya kebersamaan. Ada koordinasi dan pembagian tugas serta fungsi masing
masing anggota badan.
Dengan mengayuh sepeda, seluruh
anggota badan bergerak dalam harmoni. Dua tungkai mengayuh pedal seirama, mata
memandang awas ke depan, tangan menggenggam kemudi seraya jari waspada menarik
tuas rem.
Faktor menentukan lain adalah
keseimbangan. Menurut Jokowi, jika menanjak, badan sedikit membungkuk. Jika berbelok
ke kanan atau ke kiri, tubuh ikut menyelaraskan. Satu yang tetap, titik berat
kita yang bersepeda selalu ada di tengah-tengah.
Mandiri, harmoni dan adanya
keseimbangan, adalah pakem Trisakti, wasiat Bung Karno. Yakni, berdaulat dalam politik,
berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan
Oleh Jokowi, Trisakti diwujudkan
dalam Nawacita ( bahasa sangsekerta ) yang berarti nawa adalah 9, cita adalah harapan
, agenda, atau 9 Agenda Kerja Prioritas.
JOKOWI memang gemar bersepeda.
Selain bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran tubuh, Jokowi kecil bersepeda
karena kondisi ekonomi keluarga yang di bawah " pas "
Jadilah sepeda, kendaraan
berbahan bakar keringat yang membawa Jokowi kemana pun pergi.
No comments:
Post a Comment