ORANG-ORANG yang menyaksikan
pertarungan itu, darahnya sudah tersirat sampai ke kepala. Tetapi Mahesa Jenar
yang sudah bersiaga, cepat menarik kaki kirinya ke belakang dan memutar sedikit
tubuhnya, sehingga pukulan itu tak mengenai sasarannya. Gagal dari serangan
pertama ini Watu Gunung menyerang pula dengan kakinya ke arah perut Mahesa
Jenar, tetapi juga seperti serangannya yang pertama. Serangan ini pun dengan
mudahnya dapat dihindarkan.
Melihat kedua serangannya itu
menyentuh pakaian lawan pun tidak, Watu Gunung menjadi semakin marah. Kembali
ia membuka serangan dengan tangannya ke arah dada, dan sekaligus mempersiapkan
tangan yang lain untuk menutup jalan menghindar. Rupa-rupanya serangan ini
hampir berhasil mengenai lawannya. Tetapi pada saat terakhir ketika tangannya
sudah berjarak setebal jari dari dada, Mahesa Jenar segera menarik tubuhnya ke
belakang dengan satu loncatan yang cepat, ia menghindar ke arah sebelah dari
tangan yang lain. Watu Gunung menjadi semakin uring-uringan.
Dan meluncurlah kemudian
serangan-serangan yang cukup dahsyat. Tetapi beberapa orang telah menjadi
cemas. Sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar selalu terdesak. Pada saat
terakhir, Mahesa Jenar merasa betul-betul terdesak. Memang lawannya pada saat
itu tidaklah dapat dianggap ringan, meskipun belum sekuat Mantingan, tetapi
Watu Gunung mempunyai keistimewaan juga. Ia begitu percaya kepada kekuatan
jarinya, sehingga berkali-kali ia menyerang dengan menyodok perut, kening dan mata.
Maka timbullah keinginan Mahesa
Jenar untuk menguji kekuatan daya tahan lawannya. Ketika pada suatu saat
pertahanan dada Watu Gunung terbuka, cepat-cepat Mahesa Jenar mempergunakan
kesempatan ini. Seperti seekor burung menyambar belalang, ia pergunakan sisi
telapak tangannya untuk menghantam dada lawannya. Serangan itu begitu mendadak
dan cepat sehingga lawannya tak sempat menghindarinya.
Merasa kena hantaman di dadanya,
cepat-cepat Watu Gunung mundur selangkah. Mulutnya meringis sebentar menahan
sakit. Tetapi oleh daya tahan badannya, segera rasa sakit itu hilang.
Mengalami hal ini, Watu Gunung
malahan sekali lagi meloncat mundur, dan aneh sekali, ia tidak bersiap-siap
untuk menyerang atau bertahan, malahan ia berdiri di atas kedua kakinya yang
direnggangkan dan kedua tangannya bertolak pinggang.
Melihat sikap yang demikian,
Mahesa Jenar pun menjadi tertegun heran. Tetapi menghadapi sikap ini ia tidak
berani gegabah, sebab siapa tahu bahwa sikap ini adalah suatu sikap untuk
mengelabuinya dan memancingnya dalam suatu keadaan yang tak menguntungkan.
Mahesa Jenar semakin heran ketika
tiba-tiba Watu Gunung tertawa keras dengan suaranya yang nyaring. Begitu
kerasnya ia tertawa sampai menimbulkan getaran-getaran di dada orang yang
mendengarnya.
Sebaliknya para penonton yang
melihat Watu Gunung bersikap demikian, seketika tubuhnya menjadi gemetar. Sebab
dengan demikian Watu Gunung sudah menemukan suatu kepastian bahwa dalam waktu
singkat ia pasti akan dapat menghancurkan lawannya. Dan, biasanya dipegangnya
kedua kaki lawannya itu, diputar di udara, dan dengan sekali tetak dihantamkan
pada pohon sawo di tepi arena itu sehingga kepalanya menjadi pecah berserakan.
Melihat hal itu, Ki Asem Gede
ikut menjadi cemas. Ia melihat nyata-nyata bahwa pukulan Mahesa Jenar tepat
mengenai dada, tetapi pukulan itu tak mengakibatkan apa-apa.
Tetapi melihat ketenangan Mahesa
Jenar, Ki Asem Gedepun menjadi agak tenang pula. Satu kesalahan dari Watu
Gunung dan para penonton pertarungan itu adalah bahwa mereka tidak menyadari kalau
pukulan Mahesa Jenar itu hanya mempergunakan sebagian kecil dari seluruh
kekuatannya. Dengan melihat akibat dari pukulan percobaan itu, Mahesa Jenar
dapat mengukur bahwa kalau ia mempergunakan tigaperempat saja dari kekuatannya,
dada Watu Gunung itu sudah pasti akan rontok.
Ketika suara tertawa dari Watu
Gunung makin menurun, para penonton pun menjadi semakin gelisah. Sebab,
demikian suara itu berhenti, demikian Watu Gunung akan menyerang dengan
dahsyatnya tanpa menghiraukan hantaman lawan. Dan biasanya pada waktu yang
singkat ia telah berhasil meringkus kaki lawan itu dan membenturkan kepalanya
di pohon sawo.
Berbeda dengan semua
pikiran-pikiran itu, tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat kesan yang aneh dari suara
tertawa itu. Ia jadi terkenang pada suatu peristiwa yang sangat memalukan dan
hampir-hampir menjatuhkan namanya. Peristiwa itu terjadi beberapa waktu yang
lalu ketika ia masih menjabat sebagai perwira pasukan pengawal raja.
Pada saat Demak sedang membentuk
dirinya dan memperkokoh kedudukannya, di mana dibutuhkan kekuatan yang
sebesar-besarnya, maka di daerah pantai selatan berdirilah suatu himpunan dari
beberapa tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam yang ingin mempergunakan kesempatan
untuk kepentingan diri sendiri serta golongannya. Gerombolan ini diketuai oleh
seorang yang sakti dan berkekuatan luar biasa, yang menamakan dirinya Lawa Ijo.
Sehingga gerombolan itu pun kemudian lazim disebut gerombolan Lawa Ijo.
Pada masa jayanya, Lawa Ijo
mempunyai daerah pengaruh yang luas di daerah selatan sepanjang pantai sampai
ke daerah Bagelen dan Banyumas. Menurut kabar, gerombolan ini bersarang di
hutan Mentaok.
Demikian merasa dirinya begitu
kuat, sampai Lawa Ijo sendiri beserta beberapa orang kepercayaannya berani
melakukan pengacauan di ibukota kerajaan Demak. Meskipun pasukan keamanan sudah
dikerahkan namun Lawa Ijo tak pernah bisa dijumpai, kecuali hanya bekas-bekas
perbuatannya yang kadang-kadang tak mengenal perikemanusiaan, dan tanda-tanda
pengenal yang sengaja ditinggalkan, yaitu secarik kain yang bergambar seekor
kelelawar berwarna hijau dan berkepala serigala diikatkan pada sebilah pisau,
yang agak panjang.
Bahkan kekurangajarannya memuncak
lagi dengan usahanya memasuki kamar perbendaharaan istana, dimana disimpan
harta kekayaan istana beserta benda-benda untuk upacara yang terbuat dari emas,
berlian dan permata-permata lainnya. Adalah suatu aib yang tercoret di muka
para pengawal istana, kalau pada saat itu tak seorang pun yang mengetahui bahwa
lima orang gerombolan Lawa Ijo yang dipimpin oleh Lawa Ijo sendiri sampai dapat
memasuki halaman istana bagian dalam.
Untunglah bahwa pada saat-saat
dimana gerombolan Lawa Ijo sedang mengganas, pasukan pengawal istana telah
mengambil langkah-langkah seperlunya untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sehingga tiap malam tidak hanya para prajurit yang bertugas ronda keliling,
tetapi juga para perwira.
MALAM itu adalah malam dimana
Mahesa Jenar sedang mendapat giliran bertanggungjawab pada keselamatan raja
serta istana seisinya. Dan justru pada malam itu pulalah gerombolan Lawa Ijo
bertindak.
Pada malam itu kira-kira hampir
tengah malam, Mahesa Jenar di ruang penjagaannya merasakan angin aneh bertiup
perlahan-lahan. Begitu nyamannya sampai para perajurit merasa kantuk dengan
tiba-tiba dan bahkan menjadi tak kuat lagi menahan matanya. Mahesa Jenar
sendiri merasa bahwa ia pun tak luput dari serangan itu. Tetapi ia adalah
seorang perajurit yang berpengalaman. Begitu ia merasakan suatu ketidakwajaran,
hatinya menjadi curiga. Meskipun demikian ia tidak segera bertindak.
Mula-mula ia pusatkan kekuatan
batinnya untuk melawan akibat angin yang aneh itu, sehingga lambat laun ia
berhasil mengatasinya. Kemudian ia sendiri pun berpura-pura merebahkan diri di
samping seorang perwira bawahannya yang sudah hampir tak kuat lagi menahan
kantuknya. Tetapi begitu Mahesa Jenar berbaring, lalu berbisiklah ia
perlahan-lahan sekali kepada perwira bawahannya itu.
“Adi Gadjah Alit, rupa-rupanya
dirimu telah terkena sirep. Sadarlah dan cobalah melawan.”
Mendengar bisikan Mahesa Jenar
ini, Gadjah Alit menjadi seperti tersadar dari kantuknya. Cepat-cepat ia pun
memusatkan seluruh kekuatan batinnya dan dengan sekuat tenaga ia melawannya.
Akhirnya ia pun sedikit demi sedikit berhasil menguasai dirinya kembali.
Ketika Mahesa Jenar melihat bahwa
Gadjah Alit telah dapat menguasai dirinya, kembali ia berkata, “Adi Gadjah
Alit, rupa-rupanya ada sesuatu yang tidak wajar di dalam istana ini. Aku kira
sebagian besar penjaga sudah terlibat dalam cengkeraman sirep itu. Tetapi
baiklah kita tidak usah ribut. Marilah kita berdua berusaha untuk menguasai
keadaan.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan
kakang Rangga Tohjaya?” tanya Gadjah Alit.
“Dengan berpura-pura tidur,
mereka tentu tidak mengira kalau kita tengah mengadakan penyelidikan. Marilah
kita berpencar. Lewat pintu belakang dari ruangan ini. Kau pergi ke utara dan
aku ke selatan. Kalau salah satu diantara kita melihat hal yang mencurigakan
dan kiranya kita masing-masing seorang diri tak mampu mengatasi, sebaiknya kita
memberi tanda dengan sebuah suitan.”
“Baiklah kakang Rangga,” jawab
Gadjah Alit.
Dan setelah beberapa saat tak
terjadi apa-apa, perlahan-lahan dan berhati-hati sekali mereka berdua
menyelinap pintu belakang ruang jaga dengan tidak membangunkan seorang pun,
agar orang yang bermaksud jahat itu sama sekali tak menduga bahwa diantara
sekian banyak penjaga itu ada yang terluput dari sirepnya.
Dengan berlindung pada
bayang-bayang dan batang-batang tanaman mereka berdua menyelidiki keadaan taman
itu dengan seksama. Gadjah Alit ke utara, sedangkan Mahesa Jenar atau Rangga
Tohjaya ke selatan. Beberapa lama mereka tak menemukan tanda apa-apa. Malahan
halaman dalam istana itu rasanya jauh lebih sepi dari biasanya. Tapi Mahesa
Jenar dan Gadjah Alit adalah orang-orang yang penuh dengan pengalaman dan
mempunyai ketajaman batin yang luar biasa.
Mahesa Jenar yang meskipun pada
waktu itu belum melihat adanya sesuatu yang mencurigakan, tetapi ia sudah
mendapat firasat bahwa ia telah berdekatan dengan apa yang dicarinya. Itulah
sebabnya ia segera diam menenangkan diri di belakang sebuah tanaman yang agak
rimbun. Dipusatkannya segala perhatiannya ke suasana di sekelilingnya. Angin
aneh yang ternyata adalah mengalirnya kekuatan sirep dari seseorang yang cukup
kuat ilmu kebatinannya, masih saja bertiup. Bahkan daya sirep itu demikian
kuatnya sehingga baik Mahesa Jenar maupun Gadjah Alit harus tetap menyediakan
sebagian perhatianya untuk tetap melawan pengaruhnya.
Dengan mengukur kekuatan angin
aneh itu, Mahesa Jenar sedikit banyak dapat menjajaki sampai dimana kehebatan
orang yang memasangnya. Dengan demikian Mahesa Jenar harus betul-betul waspada,
sebab ia tahu betul bahwa orang yang memasang sirep itu tentulah seorang yang
mempunyai kesaktian tinggi. Dari tempat persembunyiannya Mahesa Jenar dapat
melihat bahwa tiga orang yang bertugas jaga di sudut dinding halaman itu telah
tertidur semuanya.
Tombaknya disandarkan pada
dinding halaman, dan mereka bertiga begitu saja menggeletak tidur di atas
rumput.
Maka setelah agak lama Mahesa
Jenar menanti, datanglah saat yang menyebabkan denyut jantung Mahesa Jenar
bertambah cepat. Karena pendengarannya yang sangat tajam itulah maka ia
mendengar suara berdesir di atas atap balai perbendaharaan istana. Ketika
dengan matanya yang setajam telinganya itu pula ia mengamat-amati arah suara
itu, darahnya jadi tersirap. Dilihatnya samar-samar bayangan yang berkerudung
hampir seluruh tubuhnya berjalan mengendap-ngendap.
Tiba-tiba bayangan itu berhenti
hanya beberapa depa saja di atasnya. Mahesa Jenar segera mengatur jalan
nafasnya supaya tidak didengar oleh bayangan itu. Dan memasang rupa-rupanya
bayangan itu sama sekali tidak mengerti kalau di bawahnya bersembunyi
seseorang.
No comments:
Post a Comment