Photo

Photo

Tuesday 19 June 2018

NOGOSOSRO SABUK INTEN, Seri 12



ORANG-ORANG yang menyaksikan pertarungan itu, darahnya sudah tersirat sampai ke kepala. Tetapi Mahesa Jenar yang sudah bersiaga, cepat menarik kaki kirinya ke belakang dan memutar sedikit tubuhnya, sehingga pukulan itu tak mengenai sasarannya. Gagal dari serangan pertama ini Watu Gunung menyerang pula dengan kakinya ke arah perut Mahesa Jenar, tetapi juga seperti serangannya yang pertama. Serangan ini pun dengan mudahnya dapat dihindarkan.

Melihat kedua serangannya itu menyentuh pakaian lawan pun tidak, Watu Gunung menjadi semakin marah. Kembali ia membuka serangan dengan tangannya ke arah dada, dan sekaligus mempersiapkan tangan yang lain untuk menutup jalan menghindar. Rupa-rupanya serangan ini hampir berhasil mengenai lawannya. Tetapi pada saat terakhir ketika tangannya sudah berjarak setebal jari dari dada, Mahesa Jenar segera menarik tubuhnya ke belakang dengan satu loncatan yang cepat, ia menghindar ke arah sebelah dari tangan yang lain. Watu Gunung menjadi semakin uring-uringan.

Dan meluncurlah kemudian serangan-serangan yang cukup dahsyat. Tetapi beberapa orang telah menjadi cemas. Sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar selalu terdesak. Pada saat terakhir, Mahesa Jenar merasa betul-betul terdesak. Memang lawannya pada saat itu tidaklah dapat dianggap ringan, meskipun belum sekuat Mantingan, tetapi Watu Gunung mempunyai keistimewaan juga. Ia begitu percaya kepada kekuatan jarinya, sehingga berkali-kali ia menyerang dengan menyodok perut, kening dan mata.

Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk menguji kekuatan daya tahan lawannya. Ketika pada suatu saat pertahanan dada Watu Gunung terbuka, cepat-cepat Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini. Seperti seekor burung menyambar belalang, ia pergunakan sisi telapak tangannya untuk menghantam dada lawannya. Serangan itu begitu mendadak dan cepat sehingga lawannya tak sempat menghindarinya.

Merasa kena hantaman di dadanya, cepat-cepat Watu Gunung mundur selangkah. Mulutnya meringis sebentar menahan sakit. Tetapi oleh daya tahan badannya, segera rasa sakit itu hilang.

Mengalami hal ini, Watu Gunung malahan sekali lagi meloncat mundur, dan aneh sekali, ia tidak bersiap-siap untuk menyerang atau bertahan, malahan ia berdiri di atas kedua kakinya yang direnggangkan dan kedua tangannya bertolak pinggang.

Melihat sikap yang demikian, Mahesa Jenar pun menjadi tertegun heran. Tetapi menghadapi sikap ini ia tidak berani gegabah, sebab siapa tahu bahwa sikap ini adalah suatu sikap untuk mengelabuinya dan memancingnya dalam suatu keadaan yang tak menguntungkan.

Mahesa Jenar semakin heran ketika tiba-tiba Watu Gunung tertawa keras dengan suaranya yang nyaring. Begitu kerasnya ia tertawa sampai menimbulkan getaran-getaran di dada orang yang mendengarnya.

Sebaliknya para penonton yang melihat Watu Gunung bersikap demikian, seketika tubuhnya menjadi gemetar. Sebab dengan demikian Watu Gunung sudah menemukan suatu kepastian bahwa dalam waktu singkat ia pasti akan dapat menghancurkan lawannya. Dan, biasanya dipegangnya kedua kaki lawannya itu, diputar di udara, dan dengan sekali tetak dihantamkan pada pohon sawo di tepi arena itu sehingga kepalanya menjadi pecah berserakan.

Melihat hal itu, Ki Asem Gede ikut menjadi cemas. Ia melihat nyata-nyata bahwa pukulan Mahesa Jenar tepat mengenai dada, tetapi pukulan itu tak mengakibatkan apa-apa.

Tetapi melihat ketenangan Mahesa Jenar, Ki Asem Gedepun menjadi agak tenang pula. Satu kesalahan dari Watu Gunung dan para penonton pertarungan itu adalah bahwa mereka tidak menyadari kalau pukulan Mahesa Jenar itu hanya mempergunakan sebagian kecil dari seluruh kekuatannya. Dengan melihat akibat dari pukulan percobaan itu, Mahesa Jenar dapat mengukur bahwa kalau ia mempergunakan tigaperempat saja dari kekuatannya, dada Watu Gunung itu sudah pasti akan rontok.

Ketika suara tertawa dari Watu Gunung makin menurun, para penonton pun menjadi semakin gelisah. Sebab, demikian suara itu berhenti, demikian Watu Gunung akan menyerang dengan dahsyatnya tanpa menghiraukan hantaman lawan. Dan biasanya pada waktu yang singkat ia telah berhasil meringkus kaki lawan itu dan membenturkan kepalanya di pohon sawo.

Berbeda dengan semua pikiran-pikiran itu, tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat kesan yang aneh dari suara tertawa itu. Ia jadi terkenang pada suatu peristiwa yang sangat memalukan dan hampir-hampir menjatuhkan namanya. Peristiwa itu terjadi beberapa waktu yang lalu ketika ia masih menjabat sebagai perwira pasukan pengawal raja.

Pada saat Demak sedang membentuk dirinya dan memperkokoh kedudukannya, di mana dibutuhkan kekuatan yang sebesar-besarnya, maka di daerah pantai selatan berdirilah suatu himpunan dari beberapa tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam yang ingin mempergunakan kesempatan untuk kepentingan diri sendiri serta golongannya. Gerombolan ini diketuai oleh seorang yang sakti dan berkekuatan luar biasa, yang menamakan dirinya Lawa Ijo. Sehingga gerombolan itu pun kemudian lazim disebut gerombolan Lawa Ijo.

Pada masa jayanya, Lawa Ijo mempunyai daerah pengaruh yang luas di daerah selatan sepanjang pantai sampai ke daerah Bagelen dan Banyumas. Menurut kabar, gerombolan ini bersarang di hutan Mentaok.

Demikian merasa dirinya begitu kuat, sampai Lawa Ijo sendiri beserta beberapa orang kepercayaannya berani melakukan pengacauan di ibukota kerajaan Demak. Meskipun pasukan keamanan sudah dikerahkan namun Lawa Ijo tak pernah bisa dijumpai, kecuali hanya bekas-bekas perbuatannya yang kadang-kadang tak mengenal perikemanusiaan, dan tanda-tanda pengenal yang sengaja ditinggalkan, yaitu secarik kain yang bergambar seekor kelelawar berwarna hijau dan berkepala serigala diikatkan pada sebilah pisau, yang agak panjang.

Bahkan kekurangajarannya memuncak lagi dengan usahanya memasuki kamar perbendaharaan istana, dimana disimpan harta kekayaan istana beserta benda-benda untuk upacara yang terbuat dari emas, berlian dan permata-permata lainnya. Adalah suatu aib yang tercoret di muka para pengawal istana, kalau pada saat itu tak seorang pun yang mengetahui bahwa lima orang gerombolan Lawa Ijo yang dipimpin oleh Lawa Ijo sendiri sampai dapat memasuki halaman istana bagian dalam.

Untunglah bahwa pada saat-saat dimana gerombolan Lawa Ijo sedang mengganas, pasukan pengawal istana telah mengambil langkah-langkah seperlunya untuk menghadapi segala kemungkinan. Sehingga tiap malam tidak hanya para prajurit yang bertugas ronda keliling, tetapi juga para perwira.

MALAM itu adalah malam dimana Mahesa Jenar sedang mendapat giliran bertanggungjawab pada keselamatan raja serta istana seisinya. Dan justru pada malam itu pulalah gerombolan Lawa Ijo bertindak.

Pada malam itu kira-kira hampir tengah malam, Mahesa Jenar di ruang penjagaannya merasakan angin aneh bertiup perlahan-lahan. Begitu nyamannya sampai para perajurit merasa kantuk dengan tiba-tiba dan bahkan menjadi tak kuat lagi menahan matanya. Mahesa Jenar sendiri merasa bahwa ia pun tak luput dari serangan itu. Tetapi ia adalah seorang perajurit yang berpengalaman. Begitu ia merasakan suatu ketidakwajaran, hatinya menjadi curiga. Meskipun demikian ia tidak segera bertindak.

Mula-mula ia pusatkan kekuatan batinnya untuk melawan akibat angin yang aneh itu, sehingga lambat laun ia berhasil mengatasinya. Kemudian ia sendiri pun berpura-pura merebahkan diri di samping seorang perwira bawahannya yang sudah hampir tak kuat lagi menahan kantuknya. Tetapi begitu Mahesa Jenar berbaring, lalu berbisiklah ia perlahan-lahan sekali kepada perwira bawahannya itu.

“Adi Gadjah Alit, rupa-rupanya dirimu telah terkena sirep. Sadarlah dan cobalah melawan.”

Mendengar bisikan Mahesa Jenar ini, Gadjah Alit menjadi seperti tersadar dari kantuknya. Cepat-cepat ia pun memusatkan seluruh kekuatan batinnya dan dengan sekuat tenaga ia melawannya. Akhirnya ia pun sedikit demi sedikit berhasil menguasai dirinya kembali.

Ketika Mahesa Jenar melihat bahwa Gadjah Alit telah dapat menguasai dirinya, kembali ia berkata, “Adi Gadjah Alit, rupa-rupanya ada sesuatu yang tidak wajar di dalam istana ini. Aku kira sebagian besar penjaga sudah terlibat dalam cengkeraman sirep itu. Tetapi baiklah kita tidak usah ribut. Marilah kita berdua berusaha untuk menguasai keadaan.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan kakang Rangga Tohjaya?” tanya Gadjah Alit.

“Dengan berpura-pura tidur, mereka tentu tidak mengira kalau kita tengah mengadakan penyelidikan. Marilah kita berpencar. Lewat pintu belakang dari ruangan ini. Kau pergi ke utara dan aku ke selatan. Kalau salah satu diantara kita melihat hal yang mencurigakan dan kiranya kita masing-masing seorang diri tak mampu mengatasi, sebaiknya kita memberi tanda dengan sebuah suitan.”

“Baiklah kakang Rangga,” jawab Gadjah Alit.

Dan setelah beberapa saat tak terjadi apa-apa, perlahan-lahan dan berhati-hati sekali mereka berdua menyelinap pintu belakang ruang jaga dengan tidak membangunkan seorang pun, agar orang yang bermaksud jahat itu sama sekali tak menduga bahwa diantara sekian banyak penjaga itu ada yang terluput dari sirepnya.

Dengan berlindung pada bayang-bayang dan batang-batang tanaman mereka berdua menyelidiki keadaan taman itu dengan seksama. Gadjah Alit ke utara, sedangkan Mahesa Jenar atau Rangga Tohjaya ke selatan. Beberapa lama mereka tak menemukan tanda apa-apa. Malahan halaman dalam istana itu rasanya jauh lebih sepi dari biasanya. Tapi Mahesa Jenar dan Gadjah Alit adalah orang-orang yang penuh dengan pengalaman dan mempunyai ketajaman batin yang luar biasa.

Mahesa Jenar yang meskipun pada waktu itu belum melihat adanya sesuatu yang mencurigakan, tetapi ia sudah mendapat firasat bahwa ia telah berdekatan dengan apa yang dicarinya. Itulah sebabnya ia segera diam menenangkan diri di belakang sebuah tanaman yang agak rimbun. Dipusatkannya segala perhatiannya ke suasana di sekelilingnya. Angin aneh yang ternyata adalah mengalirnya kekuatan sirep dari seseorang yang cukup kuat ilmu kebatinannya, masih saja bertiup. Bahkan daya sirep itu demikian kuatnya sehingga baik Mahesa Jenar maupun Gadjah Alit harus tetap menyediakan sebagian perhatianya untuk tetap melawan pengaruhnya.

Dengan mengukur kekuatan angin aneh itu, Mahesa Jenar sedikit banyak dapat menjajaki sampai dimana kehebatan orang yang memasangnya. Dengan demikian Mahesa Jenar harus betul-betul waspada, sebab ia tahu betul bahwa orang yang memasang sirep itu tentulah seorang yang mempunyai kesaktian tinggi. Dari tempat persembunyiannya Mahesa Jenar dapat melihat bahwa tiga orang yang bertugas jaga di sudut dinding halaman itu telah tertidur semuanya.

Tombaknya disandarkan pada dinding halaman, dan mereka bertiga begitu saja menggeletak tidur di atas rumput.

Maka setelah agak lama Mahesa Jenar menanti, datanglah saat yang menyebabkan denyut jantung Mahesa Jenar bertambah cepat. Karena pendengarannya yang sangat tajam itulah maka ia mendengar suara berdesir di atas atap balai perbendaharaan istana. Ketika dengan matanya yang setajam telinganya itu pula ia mengamat-amati arah suara itu, darahnya jadi tersirap. Dilihatnya samar-samar bayangan yang berkerudung hampir seluruh tubuhnya berjalan mengendap-ngendap.

Tiba-tiba bayangan itu berhenti hanya beberapa depa saja di atasnya. Mahesa Jenar segera mengatur jalan nafasnya supaya tidak didengar oleh bayangan itu. Dan memasang rupa-rupanya bayangan itu sama sekali tidak mengerti kalau di bawahnya bersembunyi seseorang.

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4340 - 4345

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4340-4345 "Kalau begitu kamu bisa meminta bantuan Pangeran Xiao. Agaknya, Keluarga Qi tidak bisa lebih kuat ...