Kena tendangan ini, hati Mahesa
Jenar menjadi agak panas juga. Karena itu ia berketetapan hati untuk melayani
Ki Demang Mantingan dengan lebih bersungguh-sungguh lagi. Maka segera geraknya
berubah menjadi semakin cepat dan keras. Ia membalas setiap serangan dengan
serangan pula. Dan ia sama sekali tidak mau tubuhnya disakiti oleh lawannya
lagi.
Ki Dalang Mantingan terkejut
melihat perubahan tendangan lawannya. Maka segera ia sadar bahwa orang yang dilawannya
itu berilmu tinggi. Tetapi segala sesuatunya telah terlanjur. Satu-satunya
kemungkinan baginya adalah, lawannya menghendaki pertempuran itu akan
berlangsung mati-matian.
Dan memang sebenarnyalah
demikian.
Serangan-serangan Mahesa Jenar
berikutnya datang bertubi-tubi seperti ombak yang bergulung-gulung menghantam
pantai. Bagaimanapun kukuhnya batu-batu karang tebing, namun akhirnya segumpal
demi segumpal berguguran jatuh juga ke laut.
Dalang Mantingan mengeluh di
dalam hati.
Sebagai seorang yang telah banyak
mempunyai pengalaman, ia merasa bahwa lawannya memiliki kepandaian yang lebih
tinggi.
Dan yang kemudian terjadi adalah,
Ki Dalang Mantingan mulai tampak terdesak. Bagaimanapun ia berusaha, kini ia
terpaksa untuk bertahan saja. Ia sama sekali tidak berkesempatan untuk
menyerang. Bahkan beberapa kali ia telah dapat dikenai oleh lawannya, meskipun
tidak di tempat-tempat yang berbahaya. Tubuh Mantingan terasa nyeri sekali.
Tetapi, meskipun demikian ia
bukanlah Mantingan kalau sampai ia menyerah.
Sementara itu, Demang Pananggalan
semakin kebingungan. Ia segera melihat kesulitan adiknya. Bagaimanapun, ia
mempunyai perasaan tidak rela melihat hal yang demikian itu berlangsung.
Mantingan yang dibangga-banggakan seluruh penduduk Kademangan, sekarang akan
dikalahkan oleh orang asing di hadapan penduduknya sendiri. Karena itu hampir
di luar sadarnya ia meloncat maju. Meskipun umurnya sudah lanjut dan tidak
sekuat Mantingan, namun karena pengalamannya maka Demang tua ini nampaknya
berbahaya juga. Langsung ia menyerang Mahesa Jenar dengan gerakan-gerakan yang
tak terduga-duga untuk mengurangi tekanannya pada Mantingan.
Maka segera Mahesa Jenar menjadi
sibuk berpikir, apakah maksud yang sebenarnya dari Demang tua ini.
Penduduk yang mengitari
pertarungan itu dengan asyiknya menyaksikan gerak masing-masing dengan
keheran-heranan, sebagai suatu hal yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Mendadak mereka terkejut sekali melihat Demang terjun langsung ke arena. Mereka
serentak merasa bangun dari sebuah mimpi yang dahsyat. Dalam hal yang demikian,
bagaimanapun hebatnya lawan, mereka merasa wajib membela pemimpin mereka
meskipun harus menyerahkan nyawanya.
Serentak mereka menggenggam
senjata masing-masing makin erat. Sedangkan beberapa orang yang berdiri di
baris paling depan sudah mulai bergerak.
Mahesa Jenar segera melihat
kesulitan yang bakal datang. Karena itu ia semakin waspada. Ia mulai menghimpun
kekuatan-kekuatannya untuk membuat gempuran-gempuran terakhir, meskipun hal itu
dilakukan dengan berat hati. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa ia harus
terlibat dalam masalah yang sama sekali tak diketahui sebab-sebabnya. Tetapi
bagaimanapun, ia tidak mau dijadikan bulan-bulanan dari peristiwa-peristiwa
yang tak diketahui ujung- pangkalnya itu.
Tiba-tiba ketika keadaan sudah
sedemikian memuncaknya, halaman itu digetarkan oleh sebuah teriakan nyaring.
“ Adi Pananggalan dan Adi
Mantingan, apa yang terjadi…? ”
Teriakan yang dilontarkan sepenuh
tenaga itu bergetar memenuhi halaman Kademangan, sehingga semuanya terkejut
karenanya. Dan pertarungan itu pun segera terhenti.
Ternyata yang berteriak itu
adalah Ki Asem Gede, yang datang untuk mengobati Baureksa dan Gagak Ijo.
“ Apa yang terjadi …? ” ulangnya.
Perlahan-lahan matanya memandang berkeliling, ke wajah-wajah yang berdiri di
sekitar halaman itu, kemudian dipandanginya wajah Mantingan dan Demang
Pananggalan dengan matanya yang bening, sehingga membawa pengaruh yang sejuk.
Alangkah damainya hati seorang yang mempunyai wajah dan mata yang begitu lunak.
Umurnya sudah lanjut, dan hampir seluruh rambutnya sudah putih. Ia berjalan
perlahan mendekati Mahesa Jenar. Lalu membungkuk dengan hormatnya. “ Anakmas,
apa yang terjadi…? ” tanyanya, dan kemudian ia menoleh kepada Demang
Pananggalan dan Ki Dalang Mantingan, “ Apa yang terjadi…? ” ulangnya kembali.
Demang Pananggalan merasa sulit
untuk memberi jawaban. Memang ia sendiri bertanya kepada dirinya, kenapa ini
sampai terjadi…? Ketika Pananggalan tidak segera menjawab, Ki Asem Gede kembali
memandang kepada Mahesa Jenar. Matanya hampir tiada berkedip, seakan-akan ia
masih belum yakin kepada penglihatannya.
Ketika ia memasuki halaman itu,
dan melihat pertarungan yang sengit, hatinya tersirap. Ia pernah melihat orang
yang bertempur melawan Demang Pananggalan kakak-beradik.
Ia merasa pernah bertemu dengan
orang itu di Demak, ketika ia bersama-sama dengan kakaknya, yang juga seorang
ahli obat-obatan, memenuhi panggilan Panji Danapati, untuk mengobati anaknya
yang sakit.
“ Anakmas… ” katanya kemudian, “ bolehkah
aku ini, orang tua yang tak berharga menanyakan sesuatu kepada anakmas….? ”
Melihat wajah orang tua itu, hati
Mahesa Jenar menjadi lunak seketika, bahkan ia agak malu kepada diri sendiri
yang masih sedemikian mudahnya terbakar oleh nafsu.
“ Silahkan, Bapak…” jawabnya. “ Apakah
kiranya yang ingin Bapak ketahui…? ”
“ Maafkanlah orang tua ini, ”
kata orang tua itu selanjutnya sambil menatap Mahesa Jenar dengan penuh
perhatian. “ Maafkan aku, kalau aku berani mengatakan bahwa aku pernah bertemu
dengan Anakmas di Demak. ”
Mendengar pertanyaan ini Mahesa
Jenar mengerutkan keningnya. Ia mulai mengingat-ingat, apakah ia benar-benar
pernah bertemu dengan orang itu.
“ Aku pernah datang ke Demak, ”
sambung Ki Asem Gede, “ bersama-sama dengan kakakku, untuk mencoba menyembuhkan
sakit putera Panji Danapati, salah seorang perwira dari perajurit pengawal
raja. ”
Mendengar kata-kata Ki Asem Gede,
tiba-tiba Mahesa Jenar jadi teringat pertemuannya dengan orang tua itu. Pada
saat itu ia sedang berkunjung ke rumah kawan sepasukan yang pada saat yang
bersamaan sedang memanggil dua orang tua untuk mengobati anaknya yang sedang
sakit. Dan ia jadi teringat, bahwa salah seorang dari kedua orang itu, adalah
yang sekarang berdiri di hadapannya.
“ Di sana…” Ki Asem Gede melanjutkan,
“ aku bertemu pula dengan seorang perwira lain, kawan Panji Danapati itu.
Kenalkah Anakmas dengan Panji Danapati…? ”
Mahesa Jenar agak ragu, tetapi
perlahan-lahan ia mengangguk juga.
“ Nah…” kata orang tua itu pula,
“ kalau begitu aku tidak salah lagi, Anakmaslah yang aku jumpai di ndalem
Danapaten. Benarkah…? ”
Mahesa Jenar masih saja
ragu-ragu. Sebenarnya ia ingin melupakan saja apa yang pernah terjadi. Meskipun
sebenarnya ia masih ingin mengabdikan diri kepada negerinya, tetapi dengan
terbunuhnya Ki Kebo Kenanga, saudara seperguruannya, lebih baik ia
menyingkirkan diri, dan mencari cara pengabdian yang lain.
Juga penegasan tentang dirinya
akan mempermudah setiap usaha untuk menangkapnya, apabila ia dianggap berbahaya
seperti Ki Kebo Kenanga. Ia tidak ingin kalau sampai terjadi bentrokan dengan
orang-orang yang sedang menjalankan kewajibannya, serta,kawan-kawan
seperjuangannya dahulu. Maka lebih baik baginya untuk menjauhkan diri saja dari
setiap kemungkinan itu.
Tetapi sekarang ia tidak dapat
mengingkari pertanyaan orang tua itu. Karena itu, kembali Mahesa Jenar
mengangguk lemah.
Oleh anggukan itu, tiba-tiba Ki
Asem Gede membungkuk lebih hormat lagi dan dengan suaranya yang lembut ia
berkata, “ Kalau begitu Anakmas ini adalah tuanku Rangga Tohjaya. ”
Perkataan Ki Asem Gede itu
seperti petir datang menyambar telinga Ki Dalang Mantingan serta Demang
Pananggalan. Ia pernah mendengar nama itu, bahkan nama itu terlalu besar untuk
disebut-sebut sebagai seorang pahlawan yang sudah mengamankan Demak dari
gangguan-gangguan kejahatan.
Mahesa Jenar sendiri agak
terkejut juga mendengar nama itu disebutkan. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain
daripada mengiyakan. Sebab Ki Asem Gede itu pasti pernah mendengarnya dari
Panji Danapati, bahwa ia sebagai seorang perwira pengawal raja, disamping
namanya sendiri mendapat gelar Rangga Tohjaya.
Demang Pananggalan dan Ki Demang
Mantingan masih berdiri termangu-mangu. Mereka masih belum yakin benar akan
kata-kata Ki Asem Gede, sampai Ki Asem Gede menyapanya. “ Adi Pananggalan dan
Adi Mantingan, belumkah adi berdua pernah mendengar nama itu…? ”
Mereka berdua tersadar oleh sapa
itu. Dengan hati-hati Demang Pananggalan mencoba bertanya, “ Ki Asem Gede, aku
memang pernah mendengar gelar itu serta kebesarannya, tetapi aku belum mengenal
wajahnya, karena aku orang yang picik dan sama sekali tak berarti. Tetapi
perkenankanlah aku bertanya bahwa beliau tadi berkenan menyebut gelarnya dengan
Mahesa Jenar …? ”
Ki Asem Gede tertawa lirih. “ Benar
Adi berdua, Mahesa Jenar adalah namanya, sedang gelarnya sebagai seorang
prajurit adalah Rangga Tohdjaja. ”
Hati Demang Pananggalan dan
Dalang Mantingan berdegup keras. Tetapi pandangan mata mereka masih mengandung
seribu macam pertanyaan, sehingga akhirnya Mahesa Jenar sendiri mengambil
keputusan untuk mengatakan keadaannya yang sebenarnya sebagai suatu hal yang
tak mungkin lagi diingkari. Katanya, “ Bapak Demang dan Kakang Mantingan,
memang sebenarnyalah aku yang bernama Mahesa Jenar, telah menerima anugerah
nama sebagai seorang prajurit, Rangga Tohjaya. ”
Mendengar penjelasan itu detak
jantung Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan serasa akan berhenti. Mereka
sama sekali tidak mengira bahwa mereka telah berhadap-hadapan dengan seorang
yang sakti. Untunglah bahwa segala sesuatunya belum terlanjur. Kalau sampai
terjadi Rangga Tohjaya mengeluarkan segala kesaktiannya maka sulitlah bagi
mereka semua untuk dapat keluar dari halaman itu dengan masih bernafas.
No comments:
Post a Comment