Demang itu berhenti bercerita.
Pandangan matanya yang suram itu dilemparkan kepada Ki Asem Gede. Lalu katanya,
“Selanjutnya Ki Asem Gede-lah yang lebih mengetahuinya.”
Mahesa Jenar mendengarkan cerita Demang
tua itu dengan penuh perhatian. Terbayang betapa Demang tua itu telah berusaha
mati-matian untuk melindungi rakyatnya, sampai ia tidak memikirkan nasibnya
sendiri. Tetapi rupa-rupanya lawannya adalah orang yang perkasa.
Ki Asem Gede yang diminta melanjutkan
cerita itu, berkisar sedikit. Dipandangnya pelita yang nyalanya bergerak-gerak
oleh angin yang berhembus ke pendapa. Ia batuk-batuk sedikit, lalu mulailah ia
bercerita. “Anakmas,” katanya, “sebenarnya bukanlah pertolongan yang aku
berikan, tetapi semata-mata hanyalah karena kebetulan saja dan terutama atas
kehendak Tuhan. Aku bukanlah orang yang mempunyai kepandaian yang cukup untuk
bertanding. Kalau pada masa mudaku, sekali dua kali aku pernah terlibat dalam
suatu pertarungan, itu sama sekali bukan karena aku mampu melakukannya, tetapi
itu hanyalah karena kebodohan dan kesombonganku yang kosong saja.”
Diam-diam Mahesa Jenar mengamati
tubuh Ki Asem Gede yang sudah tua itu. Kulitnya sudah melipat-lipat dan hampir
seluruh rambutnya, bahkan alisnya pun telah memutih seluruhnya. Namun
gerak-geriknya masih tampak tanda-tanda kelincahan. Ini menandakan bahwa pada
masa mudanya ia adalah seorang yang kuat. Bahkan mungkin sampai saat ini pun ia
masih memiliki kekuatan itu.
“Pada masa mudaku,” sambung Ki Asem
Gede, “memang aku pernah berguru kepada seseorang yang dikenal dengan nama Ki
Tambak Manyar.”
Mendengar nama itu disebut-sebut,
Mahesa Jenar terhenyak, sebab ia pernah mendengar nama itu dari almarhum
gurunya bahwa almarhum Ki Tambak Manyar adalah seorang prajurit Majapahit yang
tangguh. Karena itu, mau tidak mau ia harus memandang Ki Asem Gede sebagai
seorang yang berilmu, baik dalam obat-obatan maupun ilmu tata berkelahi. Bahkan
rupa-rupanya ia memiliki kecerdasan otak yang tidak mengecewakan pula.
“Tetapi,” lanjut Ki Asem Gede,
“sebagai aku katakan tadi, aku tidak banyak mendapat kemajuan. Barangkali
tubuhku terlalu ringkih untuk melakukan hal-hal yang berat dan keras. Karena
itu Ki Tambak Manyar melatih aku dalam hal mempergunakan senjata sebaik-baiknya.
Baik jarak pendek maupun jarak jauh. Dan ini adalah suatu keuntungan. Sebab
ilmu ini dapat aku berikan kepada banyak orang sekaligus meskipun tidak
sedalam-dalamnya, kecuali hanya kepada satu-dua orang saja. Terutama dalam hal
mempergunakan bandil, panah, supit dan sebagainya.” Orang tua itu berhenti
sebentar dan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia melanjutkan, “Kepandaian
yang tak berarti itu ternyata berguna juga dalam suatu waktu, dimana Adi
Pananggalan hampir menjadi korban keganasan orang-orang berkuda itu. Ketika aku
datang, penduduk kademangan ini telah kehilangan semangat dan hampir putus-asa.
Sedangkan kalau sampai terjadi penduduk daerah ini melarikan diri, akibatnya
akan hebat sekali. Orang-orang berkuda itu pasti akan melakukan tindakan-tindakan
yang ganas dan kotor lainnya. Karena itu, segala usaha untuk mengusir mereka
itu harus dijalankan. Pada saat itulah, maka aku mengumpulkan orang-orang yang
sudah ketakutan itu dan berusaha untuk membangkitkan semangatnya kembali. Aku
peringatkan kepada mereka bahwa sebaiknya kita melawan orang-orang berkuda itu
dari jarak jauh, sebab dengan mengadu kekuatan sudah jelas bahwa kepandaian dan
keperkasaan mereka jauh di atas kita. Dengan jumlah yang banyak dan
serangan-serangan jarak jauh, mungkin kita akan berhasil mengacaukan mereka.
Maka, dengan mempergunakan
senjata ini, lanjut Ki Asem Gede, rupa-rupanya semangat mereka bangkit kembali.
Dan sebentar kemudian, setelah segala siasat ditentukan, mulailah kami
menyerang orang-orang berkuda itu dari jarak jauh dan dari segala jurusan.
Orang-orang kami mempergunakan panah, supit dan bandil. Sedang rupa-rupanya
orang-orang berkuda itu tidak bersiap untuk melakukan pertempuran jarak jauh,
sehingga berhasilah siasat kami untuk mengacaukan perhatian mereka. Apalagi
kami mempergunakan panah yang ujungnya kami balut dengan kain berminyak serta
kami nyalakan. Akhirnya pemimpin mereka suami isteri itu terpaksa keluar dari
Banjar dan akhirnya merekapun dapat kami usir pergi.
“Tetapi yang menyedihkan kami
adalah, Adi Demang Pananggalan, Baureksa dan Gagak Ijo, mengalami luka-luka
yang cukup berat, serta tidak sadarkan diri. Apalagi gadis yang ditangkapnya
itu. Ia mengalami ketakutan yang sangat sehingga akhirnya ia memerlukan waktu
yang cukup lama untuk mengembalikan kesadarannya.” Kembali Ki Asem Gede
berhenti. Ia membetulkan duduknya dan seolah-olah menunggu Mahesa Jenar
meresapi kata-katanya.
Bagi Mahesa Jenar, persoalannya
menjadi semakin jelas. Bahwa pernah terjadi percobaan untuk menculik gadis di
daerah ini. Untunglah bahwa usaha itu dapat digagalkan. Tetapi meskipun
demikian, rupanya, di daerah ini rombongan itu berhasil mendapatkan gadis-gadis
untuk korban upacaranya yang aneh itu.
“Kemudian sesudah itu…” Ki Asem
Gede melanjutkan lagi, “di atas salah satu puncak pegunungan Baka, yaitu puncak
Gunung Ijo, hampir tiap malam terlihat api yang menyala-nyala. Kami kemudian
hampir memastikan bahwa rombongan orang-orang berkuda itu pergi ke sana. Kami
merasa bahwa rombongan itu adalah rombongan yang berbahaya, tetapi kami tidak
segera dapat memburunya sebab kami mengetahui kekuatannya. Meskipun demikian
kami memutuskan untuk pada suatu saat akan menyusul mereka. Mengusir mereka
atau kalau mungkin menghancurkan mereka sama sekali. Akan tetapi beberapa waktu
kemudian tidak lagi pernah nampak nyala api di puncak Gunung Ijo. Dan sekarang
Anakmas datang dengan membawa penjelasan tentang apa yang kira-kira pernah
terjadi di atas puncak Gunung Ijo itu.” Cerita Ki Asem Gede diakhiri dengan
suatu tarikan nafas yang panjang. Suatu tarikan nafas penjelasan.
Mahesa Jenar sekarang sudah
pasti, bahwa orang-orang berkuda itu adalah orang orang yang mempunyai
kepercayaan sesat. Memang pernah terdengar adanya suatu aliran kepercayaan yang
dalam upacaranya menggunakan gadis-gadis sebagai korban, disamping pemanjaan
nafsu-nafsu lahirlah yang lain. Minuman keras, makan dengan suatu cara yang
hampir dapat disebut buas, dan sebagainya.
Suasana kemudian menjadi sepi.
Sedang malam semakin lama semakin dalam. Mereka dihanyutkan oleh pikiran
masing-masing serta gambaran-gambaran yang mengerikan tentang apa yang terjadi
atas gadis-gadis yang dijadikan korban kepercayaan sesat semacam itu.
Tetapi, di bagian belakang rumah
Kademangan itu, tampak adanya suasana yang berbeda sama sekali. Beberapa orang
perempuan sedang sibuk mempersiapkan makan malam yang kali ini berbeda dengan
kebiasaan, karena adanya seorang tamu yang sangat mereka hormati. Mereka telah
menyembelih beberapa ekor ayam yang paling besar yang dapat mereka tangkap.
Mereka juga telah mengundang juru masak yang paling terkenal di Kademangan itu.
Sehingga tiba-tiba saja seolah-olah Demang Pananggalan sedang melangsungkan
suatu perhelatan.
Di pendapa Kademangan, Ki Asem
Gede-lah yang mula-mula mencoba memecahkan kesepian, dan berusaha untuk
mengubah suasana, melenyapkan ketegangan yang mencekam. Katanya, “Adi
Pananggalan, tidakkah Adi berhasrat menjamu Anakmas Mahesa Jenar? Tentang
ceritera orang-orang berkuda itu, baiklah kita simpan lebih dahulu, sampai
kesempatan lain. Aku kira Anakmas Mahesa Jenar perlu melepaskan lelah setelah
menempuh perjalanan yang jauh serta telah meladeni Adi berdua bermain
loncat-loncatan. Nah, Adi Pananggalan, aku ada usul. Adi pasti setuju kalau
gamelan Adi Pananggalan itu dibunyikan.”
Demang Pananggalan tersenyum
mendengar usul itu. Memang ia mempunyai seperangkat gamelan yang bagus, baik
bahannya maupun bunyinya.
Tentu saja Demang Pananggalan
tidak dapat menolak usul itu. Maka, katanya kepada orang-orang yang berada di
halaman, “Siapa yang di luar?”
“Aku, Bapak Demang,” jawab salah
seorang diantaranya. Maka, sebentar kemudian orang itu berdiri dan melangkah
naik ke pendapa.
“Berapa orang seluruhnya?” tanya
Demang tua itu lebih lanjut.
“Enam atau tujuh orang, Bapak
Demang,” jawab orang itu.
“Nah, aku kira telah cukup. Mari
kita bermain-main dengan gamelan. Ki Asem Gede ingin mengenang masa mudanya
sebagai seorang penggemar gending,” ajak Demang Pananggalan.
Ki Asem Gede tertawa
terkekeh-kekeh. Sahutnya, “Lebih dari itu…, aku adalah seorang penari juga.
Tetapi tidak adakah seorang pesinden yang baik di desa ini?”
Kembali Ki Demang Pananggalan
tersenyum, juga Mahesa Jenar dan Mantingan. Rupanya Ki Asem Gede adalah seorang
penggemar uyon-uyon.
“Nah, kalau begitu panggil Nyai
Jae Manis,” kata Demang Pananggalan kepada orang tadi, yang sudah turun ke
halaman.
“Baik Bapak Demang,” jawabnya,
sambil melangkah turun. Sebentar kemudian terdengar suara berbisik-bisik dan
meledaklah tawa yang tertahan dari orang-orang yang berada di halaman.
“Tetapi yang paling gembira
dengan usul ini,” sambung Ki Asem Gede, “adalah Adi Mantingan, yang telah
beberapa lama tidak mendengar suara gamelan.” Kembali terdengar mereka tertawa
riuh.
Sebentar kemudian mulailah segala
sesuatunya berlangsung dengan meriah. Hidangan yang disiapkan oleh Nyai Demang
satu demi satu mengalir keluar. Sementara itu bunyi gamelan yang berpadu dengan
suara Nyai Jae Manis benar-benar dapat membelai hati pendengarnya. Di halaman,
satu demi satu orang berdatangan untuk turut serta menikmati suara pesinden
kenamaan dari daerah ini.
Tetapi, belum lagi mereka puas
menikmati semuanya itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara derap kuda yang
berlari kencang. Makin lama makin dekat dan makin dekat.
No comments:
Post a Comment