Maka, seperti digerakkan oleh
satu tenaga penggerak, Dalang Mantingan dan Demang Pananggalan cepat-cepat
melangkah maju ke hadapan Mahesa Jenar, dan bersama-sama membungkuk hormat.
Dengan agak terputus-putus karena berbagai perasaan yang berdesakan di dadanya,
Demang Pananggalan berkata, “ Kami mohon ampun ke hadapan Anakmas Rangga
Tohjaya, bahwa kami telah berbuat suatu kesalahan yang besar sekali. Serta
mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas kemurahan Anakmas yang tidak
sekaligus menghabisi jiwa kami. Dan sekarang kami menjerahkan diri untuk
menerima segala hukuman yang seharusnya kami jalani. ”
Mahesa Jenar terharu juga melihat
Demang tua itu ketakutan. Sejak semula ia sudah menduga bahwa Demang tua itu
sama sekali tak bermaksud jahat kepadanya. Hanya karena perkembangan keadaan
saja maka semuanya itu terjadi. Bahkan mungkin di luar dugaan Demang tua itu
sendiri.
Maka berkatalah Mahesa Jenar, “ Bapak
Demang Pananggalan dan Kakang Mantingan, tak ada sesuatu yang harus aku
maafkan. Yang sudah terjadi tak perlu disesali. Yang perlu, sekarang silahkan
Ki Asem Gede mengobati kedua orang-orangmu yang terluka. Tetapi percayalah, aku
sama sekali tidak bermaksud untuk melukainya benar-benar. ”
Kembali Demang Pananggalan dan
Mantingan mengagguk hormat, lalu mereka mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke
Kademangan.
Orang-orang yang berada di
halaman menyaksikan semuanya itu dengan keheran heranan. Mereka yang pernah
mendengar nama Rangga Tohjaya dan pernah mendengar kesaktiannya, segera
bercerita dengan suara yang berderai derai, seakan akan dengan mengenal nama
itu mereka sudah terhitung orang yang terkemuka dalam kalangan kepahlawanan.
Sementara itu Ki Asem Gede sudah
mulai melakukan kewajibannya. Ternyata luka Gagak Ijo dan Baureksa tidak
ringan. Beberapa kali mereka tak sadarkan diri. Untung Ki Asem Gede segera
turun tangan. Kalau sampai terlambat satu malam saja, mungkin mereka sudah tak
tertolong lagi. Kecuali itu, ternyata Ki Dalang Mantingan juga mengalami
cedera. Beberapa bagian tubuhnya tidak bekerja seperti biasa dan di beberapa
bagian yang terkena serangan Mahesa Jenar tampak membengkak dan
kemerah-merahan. Untunglah, daya tahan tubuh Mantingan cukup kuat sehingga Ki
Asem Gede tidak perlu bekerja terlalu keras untuk menolongnya.
Maka, ketika keadaan sudah agak
reda, dan Ki Asem Gede sudah tidak sibuk lagi, duduklah mereka di atas
bale-bale besar di pendapa Kademangan, mengelilingi lampu minyak yang nyalanya
bergoyang-goyang diayun-ayunkan angin. Di luar, gelap malam mulai turun sebagai
tabir raksasa berwarna hitam kelam. Sedangkan di langit satu demi satu bintang
mulai bercahaya menembus hitamnya malam.
Maka mulailah, mereka mulai
berbicara dan bercerita tentang diri masing-masing. Mahesa Jenar tidak lagi
menyembunyikan sesuatu. Diceritakannya seluruh masalah mengenai dirinya, kenapa
ia sampai meninggalkan Demak.
“ Aku telah menanggalkan pakaian
keprajuritan dan telah menyisihkan segala macam senjata ”, katanya, “ dengan
suatu keinginan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi rupa-rupanya Tuhan
sendiri belum berkenan, sehingga aku masih dikendalikan oleh nafsu, ”.
Semuanya yang mendengarkan
mengangguk-anggukan kepala, dan mereka merasa juga bersalah, sehingga Mahesa
Jenar terpaksa menyesali dirinya.
Sementara itu mulailah hidangan
mengalir. Demang Pananggalan yang merasa telah menyakiti hati Mahesa Jenar,
ingin sedikit mengurangi kesalahannya dengan menghidangkan apa yang mungkin
dihidangkan pada saat itu. Sedangkan Ki Asem Gede, kecuali seorang yang
bijaksana serta mempunyai ilmu obat-obatan, ternyata juga seorang yang jenaka.
Banyak hal yang dapat ia ceritakan tentang dirinya dengan lucu sekali, sehingga
suasana menjadi meriah dan akrab. Diceritakan, bagaimana ia terpaksa sekali
mengobati seorang yang sakit, hanya dengan air saja, tanpa ramu-ramuan obat
yang lain. Sebab, pada saat itu ia sedang berada dalam perjalanan dan tak
membawa obat-obatan yang diperlukan.
“ Tetapi ” katanya, “ tiga hari
kemudian orang itu datang kepadaku, dengan membawa empat ikan gurameh sebesar
penampi, sebagai ucapan terima kasih atas obat-obatku yang mujarab,”
“Sebabnya,” sambung Ki Asem Gede,
kenapa obat-obatku banyak yang dapat berhasil, adalah sebagian besar dari
mereka yang aku obati mempunyai kepercayaan kepadaku. Bahwa seseorang yang
menderita sakit merasa berbesar hati, adalah merupakan obat yang banyak
menolongnya. Lebih daripada itu, semuanya adalah berkat kuasa Tuhan Yang Maha
Esa. Tetapi..”, suara Ki Asem Gede terputus, sedang mereka yang mendengarkan
jadi bertanya-tanya dalam hati, kenapa tiba-tiba saja wajah Ki Asem Gede yang
cerah menjadi muram? Beberapa kali ia menelan ludah, seperti ada sesuatu yang
menyumbat kerongkongannya.
“Tetapi…” ulang Mahesa Jenar yang
ingin mendengar kelanjutan ceritera Ki Asem Gede itu.
“Ah tak apalah,” tukasnya.
“Segala sesuatu ada pengecualiannya. Sebagai seorang yang beratus bahkan beribu
kali menyembuhkan orang sakit, maka sekali-kali Tuhan tak memperkenankan juga.
Itu adalah suatu bukti akan kebesaran-Nya”
Mahesa Jenar maklum bahwa ada
sesuatu yang tak mau ia sebutkan. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut.
“Nah… Anakmas…” sambung Ki Asem
Gede kemudian, sambil berusaha untuk mengembalikan suasana, “kenapa tidak saja
Anakmas berceritera tentang apa yang Anakmas jumpai di perjalanan. Tidakkah
Anakmas menjumpai kejadian kejadian yang lucu, misalnya, seperti yang terjadi
di sini? Seorang seperti Adi Pananggalan dan Adi Mantingan berlagak sebagai
seorang sakti.” Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar tersenyum, demikian juga
Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan, meskipun kalau teringat akan hal itu,
hati mereka masih tergetar.
Tetapi kemudian oleh pertanyaan
ini, Mahesa Jenar teringat akan keperluannya datang ke desa itu. Yaitu, ingin
mengetahui jawaban teka-teki tentang adanya kerangka yang dijumpainya di puncak
Gunung Ijo. Karena itu bertanyalah ia, “Ki Asem Gede, Bapak Demang Pananggalan
serta Kakang Mantingan. Memang sebenarnya ada aku jumpai sesuatu dalam
perjalananku yang ingin aku tanyakan. Itulah sebabnya maka aku datang kemari.”
Ketika Mahesa Jenar tampaknya bersungguh-sungguh, maka mereka yang
mendengarkanpun menjadi bersungguh-sungguh pula.
“Di puncak Gunung Ijo,” sambung
Mahesa Jenar, “aku jumpai sesuatu yang mencurigakan. Alat-alat minum yang
berserak-serakan. Bekas unggun api. Dan yang paling mengherankan adalah adanya
batu-batu yang disusun sebagai suatu tempat untuk sesaji, sedangkan di atasnya
terdapat kerangka perempuan. Dan tidak jauh dari tempat itu, aku ketemukan pula
kerangka yang lain. Juga seorang perempuan.”
Mendengar pertanyaan itu Demang
Pananggalan menundukkan muka dalam-dalam. Ki Asem Gede mengerutkan dahinya yang
sudah dipenuhi oleh garis-garis ketuaannya, sedangkan Dalang Mantingan menarik
nafas dalam-dalam. Melihat keadaan itu maka makin nyatalah bagi Mahesa Jenar
bahwa daerah ini pasti langsung mengalami bencana yang bertalian dengan
peristiwa Gunung Ijo.
“Anakmas…” jawab Ki Demang
Pananggalan dengan suara yang dalam. “Akulah orangnya, kalau ada orang tua yang
sama sekali tak berguna.” Ia berhenti sebentar menelan ludah, lalu sambungnya,
“Apalagi aku sebagai seorang Demang, yang seharusnya dapat memberikan
perlindungan kepada rakyatku. Tetapi nyatanya aku sama sekali tak mampu berbuat
demikian.” Kembali Demang tua itu berhenti berbicara. Matanya memandang jauh
menusuk gelapnya malam. Di halaman, beberapa orang masih duduk
berkelompok-kelompok sambil berceritera tentang kehebatan pertarungan siang
tadi.
Demang Pananggalan mengeser
duduknya sedikit. Matanya masih menembus gelap, seolah-olah ada yang dicarinya
di kegelapan itu. Tetapi rupa-rupanya ia ingin melanjutkan ceriteranya. Ki
Demang pun meneruskan ceritanya. “Ketika itu, di daerah ini lewat serombongan
orang-orang berkuda. Didesa ini mereka berhenti dan minta untuk menginap barang
semalam. Mereka memasuki desa ini menjelang senja. Karena tak ada tanda-tanda
yang aneh pada mereka, serta sikap pimpinannya yang ramah maka kami tak dapat
menolak permintaan itu. Rombongan itu dipimpin oleh dua orang suami-isteri yang
akan mengadakan ziarah ke Gunung Baka. Tetapi ketika malam pertama telah lewat,
mereka minta untuk diperkenankan bermalam semalam lagi sambil melepaskan lelah
dan mengadakan persiapan-persiapan untuk sesaji. Permintaan ini pun tak dapat
aku tolak.” Sekali lagi ia berhenti. Rupa-rupanya ia sedang mengingat-ingat apa
yang telah terjadi. Kemudian sambungny. “Tetapi terkutuklah mereka. Terkutuklah
rombongan orang-orang berkuda itu. Pada malam kedua mereka menangkap seorang
gadis yang sedang pergi ke sungai. Gadis ini sempat menjerit, dan seorang yang
baru pulang dari mengairi sawahnya dapat menyaksikan peristiwa itu. Pengantar
gadis itu, seorang pemuda tanggung dipukulinya sampai pingsan. Maka ketika hal
itu disampaikan kepada kami, meledaklah amarah kami. Segera Banjar Kademangan
yang kami sediakan sebagai tempat penginapan mereka, kami kepung rapat-rapat.
Mereka segera kami ancam untuk menyerah. Tetapi yang terjadi adalah diluar
dugaan kami. Mereka sama sekali tidak menghiraukan kehadiran kami, orang-orang
hampir seluruh desa ini. Ketika kami mendengar gadis itu menjerit, hati kami
tak tahan lagi. Cepat-cepat kami menyerbu masuk. Tetapi rupa-rupanya mereka
telah siap menanti kedatangan kami. Dan segera terjadilah pertempuran.
Orang-orang kami lebih banyak dikendalikan oleh kemarahan yang meluap-luap,
daripada kesediaan untuk bertempur. Apalagi rombongan berkuda itu ternyata
terdiri dari orang-orang yang tangguh. Maka lenyaplah segala kesan
keramah-tamahan mereka. Bahkan tampaklah betapa dahsyat cara mereka menjatuhkan
lawan. Beberapa saat pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya, tetapi
segera tampak betapa lemahnya kami. Segera orang-orang kami dapat dihantam dan
dicerai-beraikan. Aku tidak lagi dapat berpikir lain daripada bertempur
mati-matian. Dan aku beserta Baureksa dan Gagak Ijo sebagai orang-orang yang
paling dapat dipercaya pada waktu itu, berhasil menerobos masuk ke banjar,
sehingga kami bertiga langsung terlibat dalam perkelahian melawan suami-istri
pemimpin gerombolan itu. Mungkin terdorong oleh kemarahanku maka terasa
seolah-olah tenagaku menjadi berlipat-lipat. Si istri itu pun ternyata
mempunyai ilmu yang tinggi, ditambah lagi betapa kasarnya cara mereka
bertempur. Si Suami menerkam dan mengaum seperti harimau, sedangkan si isteri
menyerang dengan jari-jari yang dikembangkan. Wajah-wajah mereka yang ramah itu
sekarang sudah berubah menjadi wajah-wajah iblis yang menakutkan. Tetapi aku
sama sekali tidak peduli. Mungkin saat itu, akupun berkelahi seperti iblis.
Tetapi kemudian ternyata bahwa kami bertiga bukanlah lawan mereka. Apalagi
tenagaku adalah tenaga orang tua yang sangat terbatas. Ketika nafasku sudah
mulai mengganggu, segera aku merasa terdesak, sedangkan serangan mereka semakin
lama menjadi semakin kasar.”
Demang tua itu menarik nafas
sambil membetulkan duduknya, kemudian ia melanjutkan, “Saat itu aku sudah
berpikir bahwa rupa-rupanya ajalku sudah hampir tiba. Sebab daya tahanku
semakin lama menjadi semakin lemah. Apalagi Baureksa dan Gagak Ijo sama sekali
tak dapat berbuat sesuatu. Tetapi ternyata Tuhan menghendaki lain. Rupa-rupanya
salah seorang telah memberitahukan kesulitan-kesulitan kami ini kepada Ki Asem
Gede, yang pada saat yang tepat datang menolong kami.”
No comments:
Post a Comment