Mahesa Jenar yang sudah mengambil
keputusan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan,
menuruti perintah itu dengan patuh. Orang yang tinggi besar itu berjalan di
depan bersama-sama dengan pemimpin rombongan, kemudian berjalanlah di
belakangnya Mahesa Jenar diiringi oleh para pengawal.
Rombongan itu berjalan menyusur
jalan desa menuju ke sebuah rumah yang agak lebih besar dari rumah-rumah yang
lain, berpagar batu agak tinggi dan berhalaman luas. Mereka memasuki halaman
itu dengan melewati sebuah gerbang yang dikawal orang di kiri-kanannya,
sedangkan di halaman itu pun telah pula menanti beberapa orang laki-laki yang
juga bersenjata. Diantara mereka berdirilah seorang laki-laki yang sudah agak
lanjut usianya.
Pemimpin rombongan serta orang
yang tinggi besar langsung mendatangi orang tua itu. Mahesa Jenar masih saja
mengikuti di belakangnya.
“ Kakang Demang, ” lapor pemimpin
rombongan itu, “ orang ini terpaksa kami curigai. Selanjutnya terserah
kebijaksanaan kakang. ”
Orang tua yang ternyata demang
dari daerah itu, mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa garis umur telah
tergores di wajahnya, tetapi ia masih nampak segar dan kuat. Wajahnya terang
dan bersih. Giginya masih utuh, putih berkilat diantara bibir-bibirnya yang
tersenyum ramah.
“ Ia sedang menyelidiki daerah
kami, Kakang. Mungkin ia menemukan seorang gadis untuk korbannya, ” tiba-tiba
laki-laki yang tinggi besar itu menyambung dengan suaranya yang bergerat. Sesudah
itu ia memandang berkeliling dan tampaklah setiap laki-laki yang kena sambaran
matanya mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa.
Pikiran yang terang dari Mahesa
Jenar segera dapat menghubungkan ucapan ini dengan kerangka-kerangka yang
ditemuinya di Gunung Ijo. Mungkin ucapan orang itu bertalian dengan peristiwa
yang sedang menjadi tanda tanya di dalam hatinya.
Demang tua itu memandang Mahesa
Jenar dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Umurnya yang telah lanjut,
menolongnya untuk mengenal sedikit tentang watak-watak orang yang baru saja
dijumpainya. Dan terhadap Mahesa Jenar, ia tidak menduga adanya maksud-maksud
buruk.
“ Bolehkah aku bertanya…? ” kata
Demang tua itu dengan nada yang berat tetapi sopan dan rumah. “ Siapakah nama
Ki Sanak dan dari manakah asal Ki Sanak…? Sebab menurut pengamatan kami, Ki
Sanak bukanlah orang dari daerah kami. ”
Mula-mula Mahesa Jenar ragu.
Haruskah ia mengatakan keadaan yang sebenarnya, ataukah lebih baik menyembunyikan
keadaan yang sebenarnya…? Ia masih belum tahu, sampai di mana jauh akibat
tindakan-tindakan pemerintah Kerajaan Demak terhadap para pengikut Syeh Siti
Jenar. Kalau ia tidak berkata yang sebenarnya, maka ada suatu kemungkinan bahwa
kecurigaan orang terhadapnya semakin besar. Mungkin pula ia ditangkap, ditahan
atau semacamnya itu. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk mengatakan
sebagian saja dari keadaannya. Oleh keragu-raguannya inilah maka sampai
beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab, sehingga ketika baru saja ia akan
berkata, terdengarlah orang yang tinggi besar itu membentak, “ Ayo bilang…! ”
Mahesa Jenar sebenarnya sama
sekali tidak senang diperlakukan sedemikian, tetapi ia tidak ingin ribut-ribut.
Maka dijawabnya pertanyaan itu dengan sopan pula, “ Bapak Demang, kalau Bapak
Demang ingin mengetahui, aku berasal dari Pandanaran. Aku adalah pegawai istana
Demak, yang karena sesuatu hal ingin menjelajahi daerah-daerah wilayah Kerajaan
Demak. ”
Beberapa orang tampak terkejut
mendengar jawaban ini. Seorang pegawai istana adalah orang yang pantas sekali
mendapat kehormatan. Sedang orang ini…? Orang yang mengaku menjadi pegawai
istana itu menjadi orang tangkapan. Apakah kalau hal semacam ini sampai
terdengar oleh kalangan istana, tidak akan menjadikan mereka murka…? Mahesa
Jenar merasakan pengaruh kata-katanya itu atas orang-orang yang mengepungnya.
Demikian juga wajah orang tinggi besar itu tampak berubah. Dahinya berkerinyut
dan alisnya ditariknya tinggi-tinggi.
Demang tua itu sekali lagi
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kemudian ia bertanya lagi dengan nada
yang masih sesopan tadi. “ Menilik sikap Ki Sanak, memang tepatlah kalau ki
sanak seorang pegawai istana, atau setidak-tidaknya orang-orang kota seperti
yang pernah aku kenal. Tetapi kedatangan Ki Sanak seorang diri kemari,
merupakan sebuah pertanyaan bagi kami. ”
Sekali lagi tampak wajah-wajah di
sekitar Mahesa Jenar berubah. Mereka jadi ikut bertanya pula di dalam hati. “ Ya,
kenapa seorang pegawai istana pergi sedemikian jauhnya seorang diri…? ” Tetapi
tak seorangpun yang mengucapkan pertanyaan itu.
“ Orang ini ingin memperbodoh
kita Kakang, ” kembali terdengar suara gemuruh orang yang tinggi besar itu
dengan matanya yang berkilat-kilat. Sekali lagi ia memandang berkeliling,
kepada orang-orang yang berdiri memagari.
Dan sekali lagi orang-orang itu
mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa.
Sikap orang yang tinggi besar itu
semakin tidak menyenangkan hati Mahesa Jenar, tetapi ia masih saja menahan
dirinya dan menjawab dengan ramah pula. “ Bapak Demang, sebenarnya memang aku
mempunyai banyak keterangan mengenai diriku, tetapi sebaiknyalah kalau
keterangan-keterangan itu aku berikan khusus untuk Bapak Demang, tidak di
hadapan orang banyak. Sebab ada hal-hal yang tidak perlu diketahui umum. ”
Mahesa Jenar sama sekali tidak
menduga bahwa perkataannya itu mempunyai akibat yang kurang baik. Orang yang
tinggi besar itu, yang sebenarnya bernama Baureksa, dan bertugas sebagai kepala
penjaga keamanan Kademangan Prambanan, merasa sangat tersinggung. Ia merasa
direndahkan oleh orang asing itu, dengan mengesampingkannya dari pembicaraan.
Karena itu ia membentak dengan suaranya yang lantang. “ Apa perlunya Kakang
Demang meladeni orang semacam kau…? Sekarang saja kau bicara. ”
Perlakuan orang itu sebenarnya
sudah keterlaluan. Tetapi Mahesa Jenar masih berusaha untuk menahan diri, dan
menjawab dengan baik. “ Apa yang perlu kau ketahui telah aku katakan. ”
“ Belum cukup, ” jawab Baureksa
semakin marah. “ Apa yang akan kau katakan kepada kakang Demang…? ”
Mahesa Jenar memandang kepada
orang tua itu. Wajahnya yang bening menjadi agak suram. Sebenarnya ia dapat
menerima permintaan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat menyakiti hati
bawahannya yang merupakan tulang punggung kademangannya. Memang, Demang tua itu
sendiri sering merasa tidak senang akan sikap Baureksa. Tetapi orang ini
terlalu berpengaruh karena kehebatannya. Malahan pernah terpikir olehnya untuk
suatu waktu memberi pelajaran sedikit kepada Baureksa, sebab meskipun usianya
telah lanjut tetapi ia masih merasa mampu untuk melakukannya. Tetapi hal yang
demikian akan tidak baik pengaruhnya terhadap rakyat yang justru sekarang
memerlukan perlindungan dari bahaya yang setiap saat dapat mengancam.
Dan tiba-tiba saja ia mendapat
suatu pikiran baik. Menilik tubuh, sikap dan gerak-gerik Mahesa Jenar, orang
tua yang sudah banyak pengalaman itu segera mengenal, bahwa Mahesa Jenar bukan
orang yang pantas direndahkan. Ia tersenyum dalam hati karena pikiran itu.
“ Lalu bagaimanakah sebaiknya
Baureksa…? ” tanya Demang tua itu.
Sikap Baureksa semakin garang. Ia
merasa bahwa demangnya akan menyerahkan segala sesuatu kepadanya.
“ Orang itu harus berkata
sebenarnya, ” katanya.
“ Kalau tidak mau…? ” pancing
Demang itu.
“ Dipaksa…! ” jawab Baureksa
tegas-tegas. Dan jawaban ini memang diharapkan sekali oleh demang tua itu.
“ Bagus… terserah kepadamu. Yang
lain sebagai saksi atas apa yang terjadi, ” katanya.
Keadaan berubah menjadi tegang.
Tak seorangpun mengerti maksud dari kepala daerahnya itu. Sebenarnya
orang-orang itu sama sekali tak menghendaki kejadian-kejadian semacam itu,
sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar adalah orang yang sopan dan baik.
Kalau sekali Baureksa sudah bertindak, biasanya tak dapat dikendalikan lagi.
Dan orang yang diperiksanya biasanya kesehatannya tak dapat pulih kembali.
Tetapi tak seorang pun yang berani menghalang-halanginya sifat-sifatnya yang
mengerikan itu. Apalagi kalau orang itu benar-benar pegawai istana, maka apakah
kiranya yang akan terjadi…?.
Berbeda sekali dengan pikiran
Baureksa. Ia menjadi gembira seperti anak-anak yang mendapat mainan. Meskipun
ia juga mempunyai otak, tetapi tidak dapat bekerja dengan baik. Adatnya keras
dan lekas marah. Apalagi setelah beberapa waktu yang lalu, pada waktu terjadi
huru hara, dan ia tidak mampu untuk mengatasinya. Maka sekarang ia ingin
mengembalikan kepercayaan rakyat atas kehebatannya dengan menumpahkan segala
dendamnya kepada orang asing itu. Tetapi untuk itu ia tidak akan segera turun
tangan sendiri. Ia ingin melihat dahulu sampai dimana kekuatan barang
mainannya. Sebab bagaimana tumpulnya otak Baureksa, namun ia masih juga melihat
suatu kemungkinan yang ada pada calon korbannya.
Sebaliknya Mahesa Jenar mengeluh
dalam hati. Cepat ia dapat menangkap maksud Demang tua yang bijaksana itu
dengan menangkap pandangan matanya.
“ Permainan berbahaya ” pikirnya.
“ Demang tua itu sama sekali
belum mengenal aku, sebaliknya aku pun belum mengenal orang macam Baureksa itu.
”
Tetapi bagaimana pun, Mahesa
Jenar terpaksa melayaninya kalau ia tidak mau menjadi bulan-bulanan celaka.
“ Gagak Ijo…! ” tiba-tiba
terdengar Baureksa berteriak keras-keras.
Dan orang yang dipanggilnya Gagak
Ijo itu dengan gerak yang cekatan meloncat ke hadapan Baureksa.
Gagak Ijo yang nama sebenarnya
adalah Jagareksa adalah seorang pembantu, bahkan tangan kanan Baureksa.
Kedua-duanya mempunyai sifat yang hampir sama. Tubuhnya agak pendek bulat,
sedang otot-ototnya menjorok keluar membuat garis-garis yang sama jeleknya
dengan garis-garis wajahnya.
“ Suruh orang itu bicara, ”
perintah Baureksa.
“ Bicara tentang apa Kakang…? ”
tanya Gagak Ijo.
Mendengar pertanyaan itu,
Baureksa memaki keras-keras, “ Bodoh kau. Suruh dia bicara, di mana rumahnya,
di mana gerombolannya, dan suruh dia katakan kapan gerombolannya akan datang
lagi untuk menculik gadis. "
No comments:
Post a Comment