Mendengar derap kuda itu, Demang
Pananggalan, Mantingan, Ki Asem Gede dan Mahesa Jenar serentak mengangkat
mukanya untuk mengetahui dari mana arah kedatangan mereka. Sedangkan di halaman
segera terjadi keributan. Perempuan-perempuan berlari-lari kesana-kemari,
anak-anak menangis menjerit-jerit. Mereka masih belum melupakan peristiwa
beberapa waktu yang lalu, ketika ada rombongan orang-orang berkuda yang
mengganggu ketenteraman desa mereka.
Untunglah bahwa Demang
Pananggalan cepat bertindak. Ia segera meloncat ke halaman dan mengatasi
keadaan.
“Perempuan dan anak-anak masuk ke
rumah,” perintah Demang Pananggalan dengan suara nyaring. “Sedangkan semua
laki-laki di halaman ini, segera memencar dan berusaha untuk mendapatkan
senjata apa saja. Kita masih belum tahu siapakah yang datang, tetapi
keselamatan desa ini di tangan kalian,” lanjut Demang.
Laki-laki Kademangan ini bukanlah
bangsa pengecut. Tetapi meskipun demikian, hati mereka berdebar-debar juga mengenangkan
kebuasan orang-orang berkuda yang datang beberapa waktu yang lalu.
Cepat-cepat mereka berpencar
dengan senjata seadanya di tangan masing-masing. Karena mereka sama sekali
tidak bersiaga, maka kecuali yang sedang bertugas ronda, mereka semuanya tidak
bersenjata. Untuk mencukupi kebutuhan, ada yang memegang sabit rumput, kapak
pembelah kayu, kayu penumbuk padi, kayu tajam untuk mengupas kelapa, bahkan ada
yang bersenjata perunggu wilahan gamelan, di tangan kanan dan kiri. Beberapa
orang yang rumahnya berdekatan dengan pendapa kademangan, berloncatan pulang
untuk mengambil tombak, pedang dan apa saja yang ada untuk mempersenjatai
kawan-kawan mereka.
Tetapi getaran hati mereka terasa
jauh berkurang ketika mereka melihat di atas tangga pendapa kademangan berdiri
Ki Asem Gede dan Ki Dalang Mantingan dengan trisulanya di tangan, serta tamu
mereka yang gagah perkasa, Mahesa Jenar, yang juga bergelar Rangga Tohjaya,
dengan sikap yang tenang dan meyakinkan.
Pada saat itu, suara derap kuda
itu sudah demikian dekatnya. Sesaat kemudian mereka melihat empat orang
penunggang kuda berturut-turut menyusup regol memasuki halaman Kademangan.
Tetapi, ketika para penunggang kuda itu melihat kesiap-siagaan orang-orang di
halaman itu, mereka tampak terkejut, dan sekuat tenaga mereka menarik kendali
kuda masing-masing sehingga kuda-kuda itu berdiri dan meringkik-ringkik.
Secepatnya kuda itu menjejak kaki depannya di atas tanah, secepat itu pula para
penunggangnya berloncatan turun.
Bersamaan dengan itu, lega
pulalah hati setiap orang yang berdiri di halaman, karena mereka menyaksikan
bahwa kedua penunggang kuda yang di depan tampak samar-samar oleh cahaya lampu,
memakai sabuk putih, serta segulung tali berjuntai di pinggangnya dan di
pinggang yang lain tergantung kantong yang berisi batu-batu pilihan. Itulah
ciri-ciri murid Ki Asem Gede yang bersenjatakan bandil. Dua orang yang lain pun
tidak menunjukkan tanda-tanda yang berbahaya, meskipun di pinggang mereka
tergantung kapak yang tajamnya putih berkilat-kilat oleh cahaya lampu.
Tetapi, sebaliknya dari
orang-orang yang berdiri di halaman, wajah Ki Asem Gede segera berkerut ketika
menyaksikan orang-orang berkuda yang datang itu. Dijelaskan bahwa ia sedang
berusaha untuk menguasai debar jantungnya.
Begitu kedua murid Ki Asem Gede
menjejakkan kakinya, segera mereka dengan cepat menghadap gurunya, sedangkan
kedua orang yang lain berdiri sambil memegang kendali keempat ekor kuda itu.
Kedua murid Ki Asem Gede itu
segera membungkuk hormat, dan salah seorang diantara mereka berkata, “Ki Asem
Gede, kedua kawan ini adalah murid-murid Ki Wirasaba.”
Mendengar laporan itu wajah Ki
Asem Gede makin berkerut. Ia memandang kepada kedua orang itu dengan gelisah,
lalu dengan langkah cepat ia mendekatinya. Rupanya ia ingin berbicara dengan orang-orang
itu tanpa didengar oleh orang lain.
“Bagaimana?” tanya Ki Asem Gede,
setelah orang itu mendekat. Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan,
tetapi karena jaraknya tak begitu jauh, maka suara itu terdengar juga oleh
orang-orang yang berdiri di atas tangga.
Dua orang itu sebelum menjawab,
matanya menyambar beberapa orang yang berdiri di halaman, lalu ke Ki Asem Gede.
“Katakanlah,” desak Ki Asem Gede.
“Mereka telah menculik Nyi
Wirasaba,” jawab salah seorang diantaranya.
“He..?” Ki Asem Gede terkejut
bukan alang-kepalang, tubuhnya yang sudah kisut itu menggigil.
“Kalian tak berbuat apa-apa?”
Kedua orang itu menundukkan
kepala. Mereka tak berani memandang wajah Ki Asem Gede yang sedang menahan
gelora hatinya.
“Kami telah mencoba,” jawabnya,”
tetapi kekuatan kami tak berarti. Dua orang kakak seperguruan kami telah mereka
lukai dengan berat, dan bagi kami satu-satunya adalah melaporkan ini kepada Ki
Asem Gede. Tetapi kebetulan Ki Asem Gede tiada di rumah, sehingga kami tadi
diantar kemari.”
Tampaklah tubuh Ki Asem Gede
semakin menggigil. Dan adalah diluar dugaan mereka yang berada di halaman itu,
tiba-tiba secepat kilat Ki Asem Gede meloncat ke atas salah satu kuda itu.
Sekali tarik kendali, kuda itu telah berputar dan meluncur bagai anak panah.
Mereka yang menyaksikannya
menjadi terpaku diam, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Demikian juga keempat
orang yang datang berkuda tadi, berdiri saja tegak seperti patung.
Belum lagi mereka tersadar,
mendadak mereka melihat sesosok tubuh melayang pula ke atas punggung kuda yang
satu lagi. Dengan kecepatan yang luar biasa pula, kuda ini melompat mengikuti
arah larinya kuda yang dinaiki oleh Ki Asem Gede.
Orang itu tidak lain adalah
Mahesa Jenar. Ketika ia mendengar percakapan Ki Asem Gede dengan keempat orang
berkuda itu, ia sudah mengira kalau terjadi sesuatu. Maka ketika secepat itu Ki
Asem Gede melarikan kudanya, ia makin yakin bahwa tentu ada kesulitan dengan
menantunya. Dan dialah orang yang pertama-tama dapat menguasai dirinya dari pergolakan
perasaannya, sehingga ia mengambil keputusan untuk mengikuti orang tua itu.
Kuda Ki Asem Gede lari dengan
kecepatan penuh di malam yang gelap dengan meninggalkan debu putih yang
berhambur-hamburan, ke arah utara menyusur kali Opak. Jalannya begitu sempit
dan berbahaya. Tapi Ki Asem Gede sama sekali tak menghiraukan. Ia ingin
cepat-cepat sampai ke Pucangan, dimana ia yakin kalau anaknya, Nyi Wirasaba,
ditahan. Ia tahu betul bahwa segerombolan orang-orang ternama di daerah itu,
yang merasa cukup mempunyai kesaktian, menjadi takabur dan berbuat
sewenang-wenang.
Kejahatan-kejahatan seringkali
mereka lakukan. Pemerasan dan penganiayaan. Dan yang paling jahat adalah
pengambilan istri orang. Ini mereka lakukan, karena mereka merasa tak
terkalahkan. Bahkan mereka juga mengambil gadis-gadis untuk dijadikan istri
mereka yang keempat, kelima atau kesekian. Tak seorangpun yang dapat
mencegahnya. Sedang kali ini yang menjadi korban adalah anak Ki Asem Gede.
Mengingat semuanya itu, hati Ki Asem Gede bergolak hebat sekali karena
marahnya. Sejak ia mengasingkan diri di Asem Gede, ia sudah tak pernah lagi
berangan-angan bahwa pada suatu kali ia masih harus bertempur. Ia merasa sudah
masanya menyepi dan mempergunakan sisa hidupnya untuk diabadikan pada
perikemanusiaan. Tetapi menghadapi persoalan seperti sekarang ini? Wajah Ki
Asem Gede yang lunak dan damai itu berubah menjadi merah darah. Mulutnya
terkatub dan giginya gemeretak. Kudanya yang berlari seperti setan itu
rasa-rasanya begitu lambatnya, sehingga berkali-kali Ki Asem Gede terpaksa
menggebraknya.
Debu yang dihambur-hamburkan oleh
kaki kuda Ki Asem Gede itu, telah menolong Mahesa Jenar untuk dapat
mengikutinya dari jarak yang agak jauh. Untunglah bahwa kudanya agak lebih sedikit dari kuda Ki Asem Gede, sehingga
jarak mereka makin lama makin dekat.
Berapa lama mereka berkuda, tak
lagi terasa, karena perasaan mereka masing-masing begitu tegangnya. Ki Asem
Gede ingin segera sampai ke tempat tujuannya, sedangkan Mahesa Jenar sibuk
menduga-duga apa yang sudah terjadi atas anaknya.
Perjalanan mereka kini menyusup
belukar, menjauhi Sungai Opak. Meskipun keadaan di dalam belukar itu gelapnya
bukan main, Mahesa Jenar mempunyai penglihatan dan pendengaran yang sangat
tajam, sehingga dengan mendengarkan derap kuda Ki Asem Gede, ia dapat menyusup
lewat jalan sempit itu ke arah yang benar.
Setelah beberapa lama mereka
menelusur jalan belukar, akhirnya mereka sampai ke mulutnya. Begitu mereka
muncul dari belukar, terasa hawa sejuk menyapu muka. Mahesa Jenar lebih merasakan
segarnya udara, sebab Ki Asem Gede perhatiannya penuh tertumpah kepada
putrinya.
Kini jalan yang mereka lalui
mulai menanjak dan berliku-liku. Rupanya mereka telah sampai di kaki Gunung
Merapi. Lama-lama di sebelah timur telah membayang warna merah.
“Hampir fajar,” dengus Mahesa
Jenar seorang diri.
Kuda-kuda mereka kini telah mulai
menyusur jalan persawahan. Juga di daerah ini padi sedang berbunga.
Batang-batangnya yang berwarna hijau segar itu ditaburi oleh warna kemerahan
fajar menjadi sedemikian bagusnya, sehingga untuk sementara Mahesa Jenar
terpaku perhatiannya. Tetapi ketika diingatnya orang tua yang di depannya itu
semakin melarikan kudanya, ia pun segera mengesampingkan keindahan fajar.
Sekali ia sentakkan kakinya, kudanya berlari semakin cepat seperti terbang.
Tiba-tiba kuda Ki Asem Gede
membelok ke timur, dan sebentar kemudian menyusup masuk ke sebuah desa.
Itulah Pucangan. Mahesa Jenar
tidak mau kehilangan jejak. Dengan ujung kendali, kudanya dicambuk agar melaju
lebih cepat lagi.
Ki Asem Gede tak sedikit pun
mengurangi kecepatan kudanya. Ketika sampai di muka sebuah rumah yang
berhalaman luas dan beregol besar, ia membelokkan kudanya memasuki halaman.
Kuda yang semula lari seperti kuda gila itu, langsung menuju ke pendapa rumah
itu. Baru ketika jaraknya tinggal beberapa langkah, Ki Asem Gede menarik
kendali dan berhenti di muka pendapa. Pendapa itu ternyata tertutup dinding di
empat sisinya. Pintunya masih tertutup rapat, dan lampu di dalamnya hanya
menyala remang-remang. Cepat Ki Asem Gede turun dari kudanya. Sebentar ia
tertegun. Tempat itu tampaknya sunyi. Tetapi ia yakin kalau putrinya berada di
tempat itu. Itulah rumah pemimpin gerombolan orang-orang yang merasa dirinya
tak dapat dirintangi kemauannya, bernama Samparan.
Ki Asem Gede mengetok pintu itu
keras-keras. Sekali, dua kali, tak ada yang menyahut. Akhirnya Ki Asem Gede tak
sabar lagi. Dengan kedua sisi telapak tangannya ia memukul daun pintu itu
sekuat tenaga, hingga berderak-derak. Maka patahlah palang pintu itu, sehingga terbuka
lebar-lebar. Cepat-cepat ia meloncat masuk, dan tampaklah olehnya lima orang
sedang duduk di atas sebuah balai-balai bambu yang besar menghadapi meja kecil
berisi bermacam-macam makanan dan minuman keras.
No comments:
Post a Comment