Tetapi dugaan itu ternyata
meleset sama sekali. Ketika kaki Baureksa yang sudah mengerahkan seluruh
tenaganya itu menyentuh siku tangan Mahesa Jenar, Baureksa merasa bahwa kakinya
seolah-olah menghantam dinding batu yang keras sekali. Dan kini tulang-tulang
kakinyalah yang bergemeretakan, sedangkan ia terpental oleh kekuatannya sendiri
dan dengan kerasnya terbanting di tanah, sehingga tidak sadarkan diri.
Orang-orang yang menyaksikan
peristiwa itu, serentak hatinya bergetar, sampai beberapa orang menggigil
karena tegang. Beberapa orang tidak dapat mengikuti dengan pandangan matanya
tentang apa yang terjadi. Yang mereka ketahui hanyalah Baureksa terbanting di
tanah hingga pingsan.
Demang Pananggalan, demikian nama
Demang tua itu, hatinya menjadi cemas menyaksikan pertempuran itu. Sebab kalau
sampai terjadi sesuatu hal, dia lah yang harus bertanggung jawab.
Cepat-cepat ia mendekati Baureksa
yang sedang pingsan. Dirabanya seluruh tubuhnya. Ia menjadi terkejut sekali
ketika tangannya meraba kaki Baureksa yang membentur siku Mahesa Jenar. Kaki
itu terasa dingin sekali dan di beberapa bagian terasa adanya luka dalam yang
berbahaya bila tidak lekas-lekas mendapat pertolongan. Orang-orang yang
berkerumun menjadi terdiam seperti patung. Mereka tidak tahu lagi bagaimana
harus menilai kehebatan orang asing itu, yang dengan bermain-main saja telah
dapat mengalahkan Gagak Ijo dan kemudian sekaligus Baureksa.
Demang Penanggalan yang cemas
atas keadaan Baurekso segera memanggil orang untuk memanggil Ki Asem Gede,
seorang tua yang pandai mengobati segala macam penyakit, termasuk luka-luka
dalam yang timbul karena benturan-benturan semacam itu. Di dalam hati ia
mengagumi kehebatan orang asing itu yang dapat melukai lawannya, sedemikian
hebatnya hanya dengan pertahanan. Bagaimana kalau ia sengaja menyerang dan
sengaja menghantam lawannya.
Adapun Mahesa Jenar sendiri
ketika melihat akibat dari benturan yang terjadi, menjadi agak menyesal juga,
bahwa ia telah mempergunakan terlalu banyak tenaganya sehingga Baurekso menjadi
pingsan. Perlahan-lahan ia memandangi
orang-orang yang berdiri di sekelilingnya dengan sikap waspada. Sebab,
bermacam-macam kemungkinan dapat terjadi dengan jatuhnya Baurekso.
SEMENTARA itu Baureksa dan Gagak
Ijo telah diangkat orang ke dalam sambil menunggu Ki Asem Gede. Kini perhatian
orang seluruhnya tertumpah kepada Mahesa Jenar yang masih belum bergeser dari
tempatnya. Hanya sebentar mereka melirik juga kepada Demang Pananggalan, sambil
bertanya-tanya di dalam hati, apakah seterusnya yang akan diperbuat oleh demang
tua itu…? Sebenarnya pada saat itu Demang Pananggalan telah mengambil keputusan
untuk mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke rumah kademangan dan memberikan
keterangan-keterangan. Tetapi segera keadaan menjadi tegang kembali ketika
seseorang dengan langkah yang tegap dan tenang memasuki gelanggang.
“ Kakang Demang, ” kata orang itu
dengan nada yang berat berwibawa, “ perkenankanlah aku memperkenalkan diri
terhadap orang asing ini. ”
Alangkah terkejutnya Demang
Pananggalan melihat orang itu memasuki gelanggang. Ia menjadi kebingungan,
sebab sama sekali ia tidak menduga bahwa persoalannya akan berlarut-larut.
Orang itu adalah pemimpin pasukan yang menangkap Mahesa Jenar tadi, dan ia
adalah adik kandung demang tua itu. Beberapa kali adik kandungnya yang bernama
Mantingan itu menyatakan ketidaksenangannya atas sikap Baureksa yang sering
adigang-adigung-adiguna. Dan mendadak ia ingin membelanya.
Melihat kebingungan dan
keragu-raguan Demang Pananggalan, Mantingan menyambung, “ Aku tidak akan
membela seseorang, Kakang. Tetapi aku tidak mau orang lain menyangka betapa
lemahnya kademangan ini. Kami tidak tahu siapakah orang asing itu. Syukurlah
kalau ia bermaksud baik, tetapi kalau orang itu ingin menjajaki kekuatan kita,
alangkah berbahayanya. Sedangkan keterangan yang diberikan bukanlah berarti
suatu kebenaran yang harus kita percaya demikian saja. ”
“ Tetapi maksudku bukan kau,
Mantingan, ” kata demang itu tergagap. Sebab ia tahu bahwa adiknya adalah orang
yang berilmu. Ia adalah orang yang lebih hebat daripada dirinya sendiri. Ia
adalah murid kedua Ki Ageng Supit di Wanakerta.
Mantingan adalah seorang dalang
yang secara kebetulan sedang mengunjungi kampung halamannya, yang baru saja
didatangi oleh gerombolan yang menculik gadis-gadis. Dan Mantingan diminta
untuk sementara tetap tinggal, kalau ada kemungkinan gerombolan penculik itu
datang kembali.
Tetapi saat itu Mantingan seperti
tidak mendengar kata-kata kakaknya. Ia segera menyerahkan trisulanya kepada
orang terdekat yang dengan gugup menerima senjata itu tanpa kesadaran.
“ Ki Sanak, ” kata Mantingan
kepada Mahesa Jenar dengan sopan, “ aku belum pernah bertemu dengan kau
sebelumnya dan juga belum pernah mempunyai suatu persoalan apapun. Tetapi tadi
kau telah mempertunjukkan ketangkasan dan ketangguhanmu. Maka perkenankanlah
aku sekarang mencoba untuk melayanimu dengan sedikit pengetahuan yang aku
miliki. ”
Mahesa Jenar sibuk menduga-duga
dalam hati. Orang ini sikapnya agak berbeda dengan orang lain yang berada di
situ. Menilik sikapnya, sudah seharusnya kalau Mahesa Jenar lebih berhati-hati
melawannya.
“ Dan sekarang, ” sambung
Mantingan, “ awaslah… aku mulai….”
Dan sesudah itu, benar-benar ia
mulai menyerang. Langkahnya tetap ringan. Ia membuka serangannya dengan kaki,
sedangkan kedua tangannya bersilang melindungi dada.
Melihat serangan ini, Mahesa
Jenar terkejut. Ia kenal gerakan pembukaan ini. Ketika orang itu dipanggil
namanya, sama sekali ia tidak menduga bahwa orang itu pulalah yang berdiri di
hadapannya. Bahkan sedang mengadu tenaga dengan dirinya. Ia adalah Dalang
Mantingan dari Wanakerta, murid Ki Ageng Supit. Ia sering mendengar nama itu.
Bahkan pernah tersebar khabar di Demak bahwa Dalang Mantingan seorang diri
dapat menangkap tiga saudara perampok dari Jarakah, di kaki Gunung Merapi, yang
dikenal dengan satu nama : Samber Nyawa. Gerak pembukaan ini jelas berasal dari
Ki Ageng Supit, yang meskipun belum setaraf dengan gurunya tetapi Ki Ageng
Supit juga mempunyai nama yang dikagumi pula.
Tetapi Mahesa Jenar tidak sempat
berpikir banyak. Sebab ia segera sibuk melayani lawannya, yang bergerak
menyambar-nyambar dengan gerakan-gerakan yang cukup tangguh. Akhirnya Mahesa
Jenar tidak dapat hanya bersikap mengelak dan menghindar saja. Ia tidak bisa
hanya bersikap mempertahankan diri saja. Untuk mengurangi kebebasan gerak
lawannya, ia harus ganti menyerang.
Serangan Ki Dalang Mantingan
semakin lama menjadi semakin hebat pula. Tangannya bergerak-gerak dengan cepat
dibarengi gerak kakinya yang ringan cekatan. Sekali tangan Mantingan itu sudah
berubah menyambar kening. Tetapi Mahesa Jenar adalah bekas prajurit pengawal
raja, dan ia adalah murid Pangeran Handayaningrat yang juga disebut Ki Ageng
Pengging Seuh.
Untuk melawan Mantingan, sengaja
Mahesa Jenar mempergunakan tanda-tanda khusus dari perguruannya, sebab jelas
bahwa perguruannya mempunyai beberapa persamaan dengan gerak-gerak yang
dilakukan oleh Mantingan.
Segera Mantingan pun dapat pula
mengenal tata berkelahi Mahesa Jenar yang juga seperti ilmunya sendiri,
mempunyai sumber yang sama. Yaitu peninggalan almarhum Bra Tanjung, yang
diwarisi oleh Raden Alit yang sedikit bercampur dengan gerak-gerak penyerangan
yang mantap dari Lembu Amisani. Tetapi yang ia tidak tahu dari manakah Mahesa
Jenar mempelajari tata berkelahi itu, yang memiliki banyak perubahan dan
penyempurnaan-penyempurnaan dengan gabungan-gabungan yang tepat dan berbahaya.
Itulah sebabnya Mantingan harus
berhati-hati benar dan memeras segala kepandaiannya untuk memenangkan
pertandingan ini.
Maka, ketika Mantingan berhasrat
untuk cepat-cepat mengakhiri pertandingan ini, ia memusatkan segala tenaga dan
pikiran untuk kemudian sebagai angin ribut melanda lawannya.
“ Hebat …! ” pikir Mahesa Jenar
ketika ia menerima serangan bertubi-tubi dari Mantingan. “ Memang perguruan
Wanakerta memiliki keistimewaan yang tak dapat diabaikan. ”
Kemudian terpaksa ia membuat
beberapa langkah surut. Tetapi Ki Dalang Mantingan tidak menyia-nyiakan tiap
kesempatan. Cepat ia maju dengan melancarkan gempuran-gempuran hebat.
Rupa-rupanya Ki Dalang Mantingan
menjadi agak gusar ketika serangan serangannya tidak segera dapat mengenai
lawannya, bahkan lawannya itu dapat pula mendesaknya. Karena itu
gerakan-gerakan serta serangan-serangannya menjadi bersungguh-sungguh. Ia tidak
mau mengorbankan namanya seperti Gagak Ijo dan Baureksa.
Demang Panggalan menjadi semakin
cemas dan bingung. Ia tidak menghendaki orang asing yang belum diketahuinya
benar-benar asal-usulnya itu mendapat cedera, sebab tidak mungkin ia berdiri
sendiri. Apalagi kalau benar-benar ia orang Istana Demak. Tetapi disamping itu,
Demang Pananggalan sangat sayang kepada adiknya, dan ia sama sekali tidak rela
kalau adiknya mengalami hal-hal yang tidak diharapkan, baik tubuhnya maupun
namanya.
Sementara itu pertarungan menjadi
semakin sengit. Serangan-serangan Mantingan menjadi semakin dahsyat dan ia
sudah hampir kehilangan pengamatan diri sehingga geraknya tak terkekang lagi.
Ketika serangannya yang dilancarkan
dengan kedua tangannya sekaligus mengarah ke sasaran yang berbeda dapat
dihindari oleh Mahesa Jenar, cepat ia mengubah serangan itu dengan serangan
berikutnya, dengan kaki yang mengarah ke perut Mahesa Jenar. Melihat perubahan
itu Mahesa Jenar terpaksa meloncat mundur. Tetapi Mantingan rupa-rupanya sudah
bertekad untuk memenangkan pertempuran itu dengan segera. Maka, demikian Mahesa
Jenar meloncat mundur, disusulnya pula dengan kaki yang lain setelah ia
memutarkan tubuhnya setengah lingkaran atas kaki yang pertama. Rupa-rupanya
Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa serangan-serangan Mantingan akan
sedemikian bertubi-tubi datangnya, sehingga terasalah tumit Mantingan mengenai
pinggangnya.
Gempuran ini demikian hebat
sehingga tubuh Mahesa Jenar bergetar dan hampir saja ia kehilangan
keseimbangan. Meskipun tubuh Mahesa Jenar sudah cukup terlatih serta mempunyai
daya tahan yang kuat, namun terasa juga bahwa tumit yang mengenai pinggangnya
itu menimbulkan rasa sakit
No comments:
Post a Comment