Baginda
Raja Harun Al Rasyid mempunyai dua orang putra dari permaisurinya.
Putra
pertama bernama Al Amin dan putra kedua bernama Al Makmun.
Al Amin
ternyata sangat bodoh dan pemalas, sedangkan Al Makmun terkenal rajin dan
pintar dalam ilmu dan sastra.
Raja
sangat menyukai Al Makmun karena kecerdasannya tersebut, dan tentu saja ini
membuat sang permaisuri tidak suka lantaran sang raja dianggap pilih kasih.
Padahal
keduanya kan sama-sama putranya.
"Suamiku,
kenapa Anda tidak begitu menyayangi Al Amin," tanya permaisuri Zubaidah.
"Karena
ia tidak bisa membuat syair dan tidak kenal sastra," jawab baginda raja.
"Suamiku,
sebenarnya kalau mau, Al AMin akan menguasai ilmu sastra daripada saudaranya.
Sebenarnya
ia lebih cerdas, ia hanya malas saja," kata permaisuri.
"Kalau
begitu biar besok aku panggil Abu Nawas untuk menguji syairnya,"
tambahnya.
Pagi buta
Abu Nawas sudah muncul di istana memenuhi panggilan sang permaisuri.
"Abu
Nawas, coba kamu dengarkan karya syair putaku ini," kata sang permaisuri
dengan bangga.
Al Amin
lalu membacakan beberapa bait syair sebagai berikut,
"Kami
adalah keturunan Bani Abbas, kami duduk di atas kursi."
Abu Nawas
hampir tidak kuat menahan tawanya mendengar syair tersebut.
"Bagaimana,"
tanya Al Amin kepada Abu Nawas.
"Syair
macam apa itu," jawab Abu Nawas.
Al Amin
marah sekali mendengar cemooh Abu Nawas tersebut.
Ia lalu
menyuruh seorang pasukan istana untuk menangkap dan memasukkan Abu Nawas ke
dalam penjara.
Selama
beberapa hari Abu Nawas tidak pernah muncul di istana, sehingga Raja Harun Al
Rasyid merasa rindu.
Belakangan,
raja mendengar kabar bahwa Abu Nawas dimasukkan penjara oleh Al Amin.
Ia
kemudian mengajak putranya itu ke penjara untuk menjenguk Abu Nawas.
"Kenapa
kamu memenjarakannya," tanya Baginda kepada Al Amin sambil menceritakan
apa yang terjadi.
"Yang
sangat menyakitkan ia telah bernai mencemooh syair karyaku, ayahanda," kata Al Amin.
"Tentu
saja karena memang karya syairmu jelek.
Dia itu
kan memang seorang penyair hebat, jadi bisa menilai mana karya syair yang bagus
dan yang tidak bagus," kata sang Raja menasehati.
"Baik,
kalau begitu beri lagi aku kesempatan untuk memperbaiki karya syairku,"
kata Al Amin sambil beranjak pergi.
Untuk
kedua kalinya, Al Amin pergi untuk mengasah syairnya.
Esoknya,
pagi-pagi sekali baginda raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas dan beberapa penyair
sudah berada di istana.
Rupanya
pertemuan itu sudah diatur oleh permaisuri Zubaidah.
Ia ingin
mereka mendengarkan karya syair putranya yang baru saja pulang mendalami ilmu
sastra.
Al Amin
pun mulai membaca karya syairnya,
"Hai
binatang yang duduk bersimpuh, rasanya tidak ada yang setolol kamu, kamu
seperti hidangan yang diolesi minyak sapi kental, seperti warna seekor kuda
belang."
Begitu
selesai mendengar syair tersebut, Abu Nawas langsung bangkit dan hendak berlalu
dari tempatnya.
"Kemana
kamu, Abu Nawas?" tanya raja Harun Al Rasyid.
"Aku
lebih suka balik ke penjara saja daripada mendengar syair macam ini.
Toh
sebentar lagi putramu ini pasti akan menyuruh prajurit untuk membawaku ke
sana,"jawab Abu Nawas.
Raja pun
tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban Abu Nawas itu.
Sementara
sang permaisuri Zubaidah hanya bisa duduk bengong.
No comments:
Post a Comment