Mau Tahu Akhlak Sebenarnya seseorang….? Tanyalah Istrinya Atau
Ajaklah Ia Bersafar
Tak jarang kita mendengar seseorang sangat care dengan teman
kantor atau baik pergaulannya dengan sahabatnya, akan tetapi ia bisa saja jelek
pergaulan bahkan kejam dengan istrinya. Perlu diketahui bahwa bagaimana akhlak
laki-laki dengan istrinya itu adalah akhlaknya sebenarnya. Jadi jika ingin
mencari testimony akhlak seseorang tanyalah kepada istrinya. Kemudian cara
lainnya yaitu dengan mengajaknya bersafar atau bertanya kepada teman yang
sering bersafar dengannya.
Akhlak laki-laki sesungguhnya adalah akhlak dengan istri di rumahnya.
Akhlak dirumah dan keluarga menjadi barometer karena seseorang bergaul lebih
banyak di rumahnya, bisa jadi orang lain melihat bagus akhlaknya karena hanya
bergaul sebentar. Khusus bagi suami yang punya “kekuasaan” atas istri dalam
rumah tangga, terkadang ia bisa berbuat semena-mena dengan istri dan keluarganya
karena punya kemampuan untuk melampiaskan akhlak jeleknya dan hal ini jarang
diketahui oleh orang banyak. Sebaliknya jika di luar rumah mungkin ia tidak
punya tidak punya kemampuan melampiaskan akhlak jeleknya baik karena statusnya
yang rendah ( misalnya ia hanya jadi karyawan rendahan ) atau takut dikomentari
oleh orang lain.
Wanita adalah mahkluk yang lemah di hadapan laki-laki, jika
seseorang bisa mengusai dirinya dalam bermuamalah dengan orang yang lemah maka
itu penampakan akhlaknya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh
Al-Mubarakfuriy,
لأن كمال الإیمان یوجب حسن الخلق والإحسان إلى كافة الانسان (وخیاركم خیاركم لنسائھ) لأنھن محل الرحمة لضعفھن
“ Karena
kesempurnaan iman akan mengantarkan kepada kebaikan akhlak dan berbuat baik
kepada seluruh manusia. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada
istrinya, karena mereka para wanita adalah tempat meletakkan kasih sayang
disebabkan kelemahan mereka.”[1]
Hal ini sesuai dengan bimbingan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِیْنَ إِیْمَانًا أَحْسَنُھُمْ خُلُقًا وَخِیَارُكُمْ خِیَارُكُمْ لِنِسَائِھِمْ خُلُقًا
“Orang
yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling
bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik
akhlaknya terhadap istri-istrinya”[2]
خَیْرُكُمْ خَیْرُكُمْ لِأَھْلِھِ وَأَنَا خَیْرُكُمْ لِأَھْلِي
“Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling
baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.”[3]
Muhammad bin Ali Asy-Syaukanirahimahullah menjelaskan hadits,
في ذلك تنبیھ على أعلى الناس رتبة في الخیر وأحقھم بالاتصاف بھ ھو من كان خیر الناس لأھلھ، فإن الأھل ھم الأحقاء بالبشر وحسن الخلق والإحسان وجلب
النفع ودفع الضر، فإذا كان الرجل كذلك فھو خیر الناس وإن كان على العكس من ذلك فھو في الجانب الآخر من الشر، وكثیرا ما یقع الناس في ھذه الورطة،
فترى الرجل إذا لقي أھلھ كان أسوأ الناس أخلاقا وأشجعھم نفسا وأقلھم خیرا، وإذا لقي غیر الأھل من الأجانب لانت عریكتھ وانبسطت أخلاقھ وجادت نفسھ
وكثر خیره، ولا شك أن من كان كذلك فھو محروم التوفیق زائغ عن سواء الطریق، نسأل لله السلامة
“Pada
hadits ini terdapat peringatan bahwa orang yang paling tinggi kebaikannya
tertinggi dan yang paling berhak untuk disifati dengan kebaikan adalah orang
yang terbaik bagi istrinya. Karena istri adalah orang yang berhak untuk
mendapatkan perlakuan mulia, akhlak yang baik, perbuatan baik, pemberian
manfaat dan penolakan mudharat. Jika seorang lelaki bersikap demikian maka dia
adalah orang yang terbaik, namun jika keadaannya adalah sebaliknya maka dia
telah berada di sisi yang lain yaitu sisi keburukan.
Banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini, engkau melihat
seorang pria jika bertemu dengan istrinya maka ia adalah orang yang terburuk
akhlaknya, paling pelit, dan yang paling sedikit kebaikannya. Namun jika ia bertemu
dengan orang lain, maka ia akan bersikap lemah lembut, berakhlak mulia, hilang
rasa pelitnya, dan banyak kebaikan yang dilakukannya. Tidak diragukan lagi
barang siapa yang demikian kondisinya maka ia telah terhalang dari taufik
(petunjuk) Allah dan telah menyimpang dari jalan yang lurus. Kita memohon
keselamatan kepada Allah.”[4]
Bagaimana kalau ia belum punya istri…..?
Ajaklah ia bersafar / berpergian atau tanyalah kepada teman
yang pernah bersafar denganya. Ini juga salah satu cara agar mengetahui hakikat
akhlak seseorang.
Syaikh Muhammad bin shalih Al-Ustaimin berkata,
وسمي سفرا لأنھ من الإسفار وھو الخروج والظھور كما یقال أسفر الصبح إذا ظھر وبان وقیل في المعنى سمي السفر سفرا لأنھ یسفر عن أخلاق الرجال یعني
یبین ویوضح أحوالھم فكم من إنسان لا تعرفھ ولا تعرف سیرتھ إلا إذا سافرت معھ وعندئذ تعرف أخلاقھ وسیرتھ وإیثاره
“Diistilahkan
safran [ سَفْرًا l] karena diambil dari makna
al-isfar [ الْإِسْفَارُ ] yaitu: keluar dan terang,
nyata. sebagaimana dikatakandalam ungkapan [ أَسْفَرَ الصُّبْحُ ] yaitu
bersinar atau bercahaya. Secara makna disebut assafaru–safran karena “membuka
perihal akhlak seseorang.” Maksudnya, menjadikan jelas dan nyata keadaannya.
Berapa banyak orang yang belum terkuak jati dirinya, bisa terungkap setelah
melakukan safar/bepergianbersamanya. Ketika dalam safar itulah engkau
mengetahui akhlak,perangai dan wataknya.”[5]
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
وإنما سمى السفر سفراً، أنھ یسفر عن الأخلاق . وفى الجملة فالنفس فى الوطن لا تظھر خبائث أخلاقھم لاستئناسھا بما یوافق طبعھا من المألوفات المعھودة، فإذا
حملت وعثاء السفر، وصرفت عن مألوفاتھا المعتادة، ولامتحنت بمشاق الغربة، انكشفت غوائلھا، ووقع الوقوف على عیوبھا
“Disebut
as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang. Pada umumnya,
seseorang yang tinggal di daerah asalnya tidak menampakkan kejelekan akhlaknya
karena ia terbiasa dengan apa yang seseuai dengan tabiatnya yang biasa ia
hadapi. Jika ia melakukan safar, maka tidak tidak biasa lagi dengan keadaan dan
kebiasaannya. Ia akan diuji dengan kesusahan safar yang berat dan tersingkaplah
kejelekan dan diketahui aib-aibnya.”[6]
Dalam suatu riwayat mengenai Umar bin Khattab radhiallahu
‘anhu,
كان عمر رضي لله عنھ إذا زكى رجل شخصا عنده قال لھ ھل سافرت معھ ھل عاملتھ إن قال نعم قبل ذلك وإن قال لا فقال لا علم لك بھ
“Umar bin
Al-Khatthab radhiallahu ‘anhu ada seseorang yang merekomendasikan temannya,
beliau bertanya,
“Apakah
engkau pernah melakukan safar bersamanya? Apakah engkau telah bergaul
dengannya?” jika jawabannya “Ya.” maka Umar pun menerimanya. Jika jawabannya
“Belum pernah”, maka Umar akan mengatakan, “Engkau belum mengetahui hakikat
senyatanya tentang orang itu.”[7]
Sahabat sejati adalah sahabat di saat kesulitan dan kesusahan.
Salah satu tolak ukurnya dengan safar karena safar identik dengan kesulitan dan
kesusahan. Disaat senang dan tenang semua bisa jadi teman akan tetapi di saat
sulit dan susah tidak semua bisa jadi teman yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ یَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَھُ وَشَرَابَھُ وَنَوْمَھُ، فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَھْمَتَھُ مِنْ سَفَرِهِ فَلْیُعَجِّلْ إِلَى أَھْلِھِ
“Bepergian
itu bagian dari azab. Seseorang akan terhalang (terganggu) makan, minum, dan
tidurnya. Maka, bila seseorang telah menunaikan maksud safarnya, hendaklah ia menyegerakan
diri kembali kepada keluarganya.”[8]
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
ومن كان في السفر آذى ھو مظنة الضجر حِسنَ الخلق، كان في الحضر أحسن خلقاً .وقد قیل : إذا أثنى على الرجل معاملوه بى الحضر ورفقاؤه في السفر فلا
. تشكوا في صلاحھ
“Barangsiapa
yang ketika bersafar mengalami kesusahan dan keletihan ia tetap berakhlak yang
baik, maka ketika tidak bersafar ia akan beraklak lebih baik lagi. Sehingga
dikatakan, jika seseorang dipuji muamalahnya ketika tidak bersafar dan dipuji
muamalahnya oleh para teman safarnya, maka janganlah engkau meragukan kebaikannya.”[9]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
[1] Tuhfatul Ahwazi 4/273, Darul Kutub Al-‘ilmiyah, Beirut,
Syamilah
[2] . HR At-Thirmidzi no 1162,Ibnu Majah no 1987 dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 284
[3] HR At-Thirmidzi no 3895,Ibnu Majah no 1977, dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 285
[4] Nailul Authar 6/245-256, Darul hadits, Mesir, cet. I, 1413
H, Syamilah
[5] Syarh riyadhus shalilhin 3/77, Darul Atsar, Koiro, cet. I
[6] Mukhtashar Minhajul Qashidin 2/57, Syamilah
[7] Syarh riyadhus shalilhin 3/77, Darul Atsar, Koiro, cet. I
[8] Shahih Al-Bukhari no. 1804 dan Shahih Muslim no. 179
[9] Mukhtashar Minhajul Qashidin 1/39, Syamilah
No comments:
Post a Comment