Tahlilan / Kenduri Arwah, Mana Dalilnya…..? ( Part 2 )
Sampainya Hadiah Bacaan Al-qur’an untuk mayyit ( Orang Mati )
A. Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah
aqidah Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar
diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat al-baqarah dan
akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat al-baqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padahal imam Ahmad ini
sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup
kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari orang-orang
kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya
itu. ( mukhtasar tadzkirah qurtubi halaman 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hanbal
bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan
karena ada nash-nash yang datang padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman
tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca
al-qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal,
maka jadilah ia ijma . ( Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad
syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca keatas pekuburan
sesudah pemakaman awal surat al-baqarah dan akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang
pertama itu adalah wasiat sedangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai
hal tersebut.
3. Hadits Riwayat darulqutni
“Barangsiapa masuk kepekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad
(surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang
yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang
yang mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-salafi
“ Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu
ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada
orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak
orang yang mati disitu”. (Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Jika mati
salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke
kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda:
“Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati diantara kamu”.
B. Fatwa Ulama Tentang Sampainya Hadiah
Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu
masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan
an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala
itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa
sesudah selesai dengan: “Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca
ini kepada si fulan…” (Hujjatu Ahlis sunnah wal jamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh ali bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada
orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai
kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji ”. (Syarah aqidah
Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu taymiyah :
“sesungguhnya mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan
ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan seumpamanya”. (yas alunka fiddin
wal hayat jilid I/442).
Di atas adalah kitab ibnu taimiah berjudul majmuk fatawa jilid
24 pada hal. 324. Ibnu taimiah ditanya mengenai seseorang yang bertahlil, bertasbih,
bertahmid, bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut kepada simayat muslim
lantas ibnu taimiah menjawab amalan tersebut sampai kepada si mayat dan juga
tasbih, takbir dan lain lain dzikir sekiranya disampaikan pahalanya kepada si
mayat maka ianya sampai dan bagus serta baik.
Mengapa Wahhabi menolak dan menyesatkan
amalan ini
Di atas adalah kitab ibnu tamiah berjudul majmuk fatawa juz 24
hal. 324. ibnu taimiah di tanya mengenai seorang yang bertahlil 70000 kali dan
menghadiahkan kepada si mayat muslim lantas ibnu taimiah mengatakan amalan itu
adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah:
“sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah
sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca
al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa
imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga
sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid I/442)
Berkata Ibnu qayyim al-jauziyah dalam kitabnya Ar-ruh : “Al
Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-qur’an disamping
kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri, menceritakan
kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami Mubassyar al-halabi,
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-lajlaj dari bapaku : “
Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan ucapkanlah
bismillah dan baca permulaan surat al-baqarah disamping kepalaku karena
seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama :
“Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al warraq, menceritakan kepadaku
Ali-Musa Al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata :
“Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah
al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang lelaki
kurus duduk disamping kubur (sambil membaca al-qur’an). Melihat ini berkatalah
imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-qur’an disamping kubur
adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad
bin qudamah kepada imam ahmad bin Hanbal : “Wahai abu abdillah, bagaimana
pendapatmu tentang Mubassyar al-halabi?. Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah
orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya..?.
Muhammad bin qodamah berkata : Ya, mengabarkan kepadaku
Mubasyar dari Abdurahman bin a’la bin al-laj-laj dari bapaknya bahwa dia
berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan disamping kepalanya permulaan
surat al-baqarah dan akhirnya dan dia berkata : “aku telah mendengar Ibnu Umar
berwasiat yang demikian itu”.
Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah
dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab ar-ruh, ibnul
qayyim al jauziyah).
5. Berkata Sayaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti
negeri mesir : “ Tokoh-tokoh madzab hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang
yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-qur’an atau selain demikian
daripada macam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada
orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6. Imam sya’bi ; “Orang-orang anshar jika ada diantara mereka
yang meninggal, maka mereka berbondong bonding ke kuburnya sambil membaca
al-qur’an disampingnya”. (ucapan imam sya’bi ini juga dikutip oleh ibnu qayyim
al jauziyah dalam kitab ar-ruh hal. 13).
7. Berkata Syaikh ali ma’sum : “Dalam madzab maliki tidak ada
khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab,
hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutakhirin berpendapat boleh dan dialah yang
diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit
dan ibnu farhun menukil bahwa pendapat inilah yang kuat”. ( hujjatu ahlu sunnah
wal jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad al-arobi: Sesungguhnya membaca
al-qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggal hukumnya boleh (Malaysia :
Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha islam
Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang
tahqiq . (kitab majmu’ tsalatsi rosail).
9. Berkata imam qurtubi : “telah ijma’ ulama atas sampainya
pahala sedekah untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat
ulama dalam hal bacaan al-qur’an, doa dan istighfar karena masing-masingnya termasuk
sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiap kebaikan
adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-qurtubi
halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama ahlussunnah yang menyatakan
sampainya pahala bacaan al-qur’an yang dihadiahkan untuk mayyit (muslim), maka
tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan
terlalu panjang.
C. Dalam Madzab Imam syafii
Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam
Nawawi dalam Al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-qur’an para
ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafii dan sekelompok
ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafii
berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca
menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi
dalam syarah Minhaj: “Dalam Madzab syafii menurut qaul yang masyhur, pahala
bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila
dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan tersebut. Dan seyogyanya
memantapkan
pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa
untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan
berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei
terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qaul yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qaul yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul
wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzhab
syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika al-qur’an itu tidak dibaca dihadapan
mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh
Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika
terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping
kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar
pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim
al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan
kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit
sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah
bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang
membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika
;
1. Pembacaan yang dilakukan dihadapan mayyit diiringi pula
dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar
disamping meniatkan untuk si mayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala
sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama
seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj ( lihat kitab I’anatut Tahlibin
Jilid III/24).
D. Dalil-dalil orang yang membantah
adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan orang
tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat
keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada
orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan :
“inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh
manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”.
Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan
itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya.
Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang
berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan
hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar hutang itu miliknya.
Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh
manfaat (intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab
nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang
tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh
manusia selain dari yang diusahakannya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap digunakannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban
untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun
memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa
isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang
cinta dan suka padanya. Maka banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya.
Merekapun berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala dari
ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari usahanya
sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang
lain didalam ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya
kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik didalam
kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang lain.
Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan
iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari
kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia
sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian
itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya dan kaum mukminin
sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat al-qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk
seseorang dengan sebab usaha orang lain.
Ayat al-qur’an itu hanya menafikan “kepemilikan seseorang
terhadap usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa
sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri).
Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang
mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang lain
dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri.
(jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil
istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianlah dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah
thahawiyah.
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun
ummat islam (umat Nabi Muhammad SAW.), maka mereka bias mendapat pahala dari
usahanya dan juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangkan hukum yang terjadi pada syariat Nabi
Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini
dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab
nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang
tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh
manusia selain dari yang diusahakannya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata
dalam menafsirkan ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam
syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak
mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh
bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai
penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah surat atthur ayat 21 yang lengkapnya
sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti
mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan
tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan
apa yang dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah
terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bisa dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata
: “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min
thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang
itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya
penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan dengan zhahir
ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil
dalil baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits shahih yang ditentang oleh ayat tersebut
sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan
kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan
menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.
Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan).
Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan
apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya
tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini
sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan
ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan memperoleh harta dari pusaka
orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan
para sahabatnya. Lain halnya kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan)
seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang
hanya mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang
mereka kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang
lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi sedikitpun
dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka
kerjakan”
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah
dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan
orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal
kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal. 456).
(ringkasan dari Buku argumentasi Ulama syafi’iyah terhadap
tuduhan bid’ah, Al ustadz haji Mujiburahman, halaman 142-159, mutiara ilmu)
Semoga menjadi asbab hidayah bagi Ummat
No comments:
Post a Comment