Photo

Photo

Wednesday 19 July 2017

Hukum Memelihara dan Mencukur Jenggot

Secara umum, para ulama fiqh 4 madzhab sepakat bahwa memelihara jenggot adalah sebuah keutamaan (fadlilah) dan fitrah kaum lelaki (fithrah). Akan tetapi, apakah keutamaan dan fitrah itu hukumnya wajib atau tidak, dan apakah mencukurnya sama dengan mengingkari fitrah atau tidak? Dalam hal ini, ulama fiqh 4 madzhab memiliki pandangan berbeda (akhtilaf). Perbedaan pendapat tersebut dapat diperinci sbb:

1. Hanafiyah
Mayoritas ulama madzhab Hanafi mewajibkan memelihara jenggot dan haram mencukurnya, terutama jenggot yang tumbuh pertama kali. Dalam Kitab Radd al-Muhtar ‘ala Dar al-Mukhtar, Ibnu Abidin menyatakan: یَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ قَطْعُ لِحْیَتِھِ (Haram atas laki-laki memotong jenggotnya).

2. Malikiyah
Ulama Malikiyah berbeda pendapat, ada yang menghukumi wajib dan ada yang menghukumi sunnah memelihara jenggot. Yang menghukumi wajib memelihara jenggot, otomatis mengharamkan mencukurnya. Sedangkan ulama yang menghukumi sunnah memelihara jenggot, memakruhkan mencukurnya. (lihat Hasyiah ad-Dasuqi ‘ala Syarh al- Kabir dan Al-Hafidz al-Iraqi dalam Tharh al-Tatsrib.

3. Hanabilah
Mayoritas ulama Hanabilah menghukumi wajib memelihara jenggot dan haram mencukurnya, seperti dikatakan Ibnu Muflih dalam Kitab al-Furu’: وَیُعْفِي
لِحْیَتَھُ ، وَفِي الْمَذْھَبِ مَا لَمْ یُسْتَھْجَنْ طُولُھَا وَیَحْرُمُ حَلْقُھَا
Dibiarkan jenggotnya, di dalam mazhab (Hanabilah) selama panjangnya jenggot tidak dikhawatirkan menyebabkan buruk dan haram mencukurnya.

4. Syafi’iyah
Sebagaimana ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah juga berbeda pendapat dalam menentukan hukum memelihara dan mencukur jenggot. Namun pendapat yang paling kuat di kalangan Syafi’iyah adalah yang menghukumi sunnah memelihara dan makruh mencukur. Pendapat inilah yang dipegang mayoritas umat Islam Indonesia.

Kemakruhan mencukur jengggot, di antaranya dinyatakan oleh Imam al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Zakariya al-Anshari, Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Khatib as-Syarbini, dan lainnya. Sedangkan keharaman mencukur jengot, dinyatakan oleh Imam as-Syafi’i, Ibnu al-Rifa’ah, al-Hulaimi, al-Qaffal as- Syasyi.

Perbedaan pendapat di atas sebenarnya berpijak pada hadits yang sama, di antaranya:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى للهَُّ عَلَیْھِ وَسَلَّمَ
قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِینَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا
الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ
قَبَضَ عَلَى لِحْیَتِھِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَه صحیح
( البخاري، 5442
Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda, Tampillah kalian berbeda dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun memotong bagian yang melebihi genggamannya” (Shahih al- Bukhari, 5442)

Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah (amar), bukan berarti menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Mayoritas ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah tersebut menunjukkan sunnah, dengan bukti Shahabat Ibnu Umar masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya.

Disamping itu, perintah Nabi Muhammad SAW tersebut tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan telah kita maklumi, jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan tradisi, maka itu tidak menunjukkan kewajiban. Perintah tersebut bisa saja menunjukkan kesunahan atau ke-mubah-an.

Kemudian, hadits di atas juga berbicara dalam konteks perintah untuk berbeda dengan orang-orang musyrik. Artinya, jika orang-orang musyrik sekarang, seperti para rabi Yahudi, suka memelihara jenggot, maka bisa saja kita tidak dianjurkan memelihara jenggot agar berbeda dengan mereka. Oleh karena itu, Imam al-Ramli menyatakan bahwa perintah tersebut bukan karena jenggotnya, melainkan karena tradisi dan tujuan membedakan diri dengan orang-orang musyrik, dalam hal ini kaum Majusi. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz IV hal 162)

Atas dasar pertimbangan ini, mayoritas ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot adalah sunnah, tidak wajib. Sedangkan mencukur jenggot hukumnya makruh, tidak haram atau menyebabkan dosa. Bahkan hukum mecukur jenggot bisa mubah atau bahkan sunnah, bagi orang yang hilang kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Qadli Iyadl menyatakan: “Memangkas kelebihan dan merapikan jenggot adalah perbuatan yang baik. Dan membiarkannya panjang selama satu bulan adalah makruh, seperti makruhnya memotong dan mengguntingnya. (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151).

Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa panjang jenggot yang boleh dipelihara adalah segenggaman tangan. Sebagian lagi memakruhkan memangkas jenggot, kecuali saat haji dan umrah saja. Sebagian ‘ulama tidak menetapkan panjang tertentu, akan tetapi dipotong sepantasnya dan secukupnya.

Kedua, Jenggot dan Kecerdasan

Sejauh pengetahuan saya, tidak ada ulama fiqh yang menghubungkan kecerdasan atau kebodohan dengan jenggot. Artinya, panjang-tidaknya jenggot, dalam fiqh, tidak ada kaitannya dengan kecerdasan dan kebodohan seseorang.

Namun, di luar ulama fiqh, memang ada sebagian ulama ahli hikmah yang mengaitkan jenggot dengan kecerdasan atau kebodohan. Misalnya pernyataan sebagian:

“Tempatnya akal itu di otak, jalan nyawa itu melalui hidung, dan tempat kebodohan itu pada panjangnya jenggot”.

Sa’d bin Manshur berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu Idris,
‘Apakah kamu tahu Sulaim Bin Abi Hafshah?’ Dia (Ibnu Idris) menjawab, ‘Iya, aku melihat jenggotnya panjang dan dia bodoh.’

Ibnu Ziad juga pernah berkata: “Tidaklah seorang lelaki semakin panjang jenggotnya melebihi genggammannya, kecuali hanya bertambah kurang kecerdasannya.”

Inilah maksud dari sebuah syair yang digubah dalam bahar mutaqarib:
إذا عرضت للفتى لحیةٌ # وطالت فصارت إلى
سرتھ
فنقصان عقل الفتى عندنا # بمقدار ما زاد في
لحیتھ
Ibnu al-Jauzy dalam kitab Akhbar Al-Hamqa’ wal Mughaffilin menyatakan:
قال عبد الملك بن مروان : من طالت لحیتھ فھو
،كوسجٌ في عقلھ . وقال غیره: من قصرت قامتھ
وصغرت ھامتھ، وطالت لحیتھ، فحقیقاً على
المسلمین أن یعزوه في عقلھ . وقال أصحاب
الفراسة : إذا كان الرجل طویل القامة واللحیة
فاحكم علیھ بالحمق، …… الى ان قال ……وقال
بعض الحكماء : موضع العقل الدماغ، وطریق
الروح الأنف، وموضع الرعونة طویل اللحیة . وعن
سعد بن منصور أنھ قال: قلت لابن إدریس: أرأیت
سلام بن أبي حفصة؟ قال : نعم، رأیتھ طویل
اللحیة وكان أحمق . …… الى ان قال .…… قال
زیاد ابن أبیھ: ما زادت لحیة رجل على قبضتھ، إلا
. كان ما زاد فیھا نقصاً من عقلھ

Abdul Malik bin marwan berkata: Barang Siapa panjang jenggotnya maka ia sedikit akalnya, Ulama lain berkata: Barang siapa yang pendek perawakannya, kecil kepalanya, dan panjang jenggotnya, maka jelas bagi muslimin untuk menisbatkan pada akalnya. Ashabul firasah berkata: Ketika seseorang tinggi perawakan dan panjang jenggotnya, maka bisa dipastikan ia orang yang bodoh. Ketika pemuda mempunyai jenggot lebar dan panjang sampai pusarnya, maka kecerdasannya berkurang seukuran panjang jenggotnya (semakin panjang semakin kurang).

Kesimpulan
Kesimpulannya, masalah jenggot bukanlah merupakan ijma’ ulama. Masalah jenggot hanya masalah adat dan tradisi yang hukumnya khilafiyah, sehingga sebagian umat Islam tidak boleh menuduh sesat orang lain yang tidak menyetujui pendapatnya.

Sedangkan mengenai ukuran jenggot itu panjangnya sampai seberapa, sebagian mengatakan seukuran genggaman tangan (sesuai riwayat Ibnu Umar). Dan jika melebihi genggaman tangan, maka tidak akan tampak kewibawaannya. Justru yang tampak adalah kebodohannya.


Jadi, tidak usah ribut masalah jenggot. Masih banyak masalah yang lebih penting untuk diselesaikan. Kalaupun kita hendak memelihara jenggot dengan niat mengikuti sunnah Nabi, maka peliharalah tapi jangan panjangpanjang, agar tidak kelihatan bodoh dan culun

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4340 - 4345

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4340-4345 "Kalau begitu kamu bisa meminta bantuan Pangeran Xiao. Agaknya, Keluarga Qi tidak bisa lebih kuat ...