Secara umum, para ulama fiqh 4 madzhab sepakat bahwa memelihara
jenggot adalah sebuah keutamaan (fadlilah) dan fitrah kaum lelaki (fithrah).
Akan tetapi, apakah keutamaan dan fitrah itu hukumnya wajib atau tidak, dan apakah
mencukurnya sama dengan mengingkari fitrah atau tidak? Dalam hal ini, ulama
fiqh 4 madzhab memiliki pandangan berbeda (akhtilaf). Perbedaan pendapat tersebut
dapat diperinci sbb:
1. Hanafiyah
Mayoritas ulama madzhab Hanafi mewajibkan memelihara jenggot
dan haram mencukurnya, terutama jenggot yang tumbuh pertama kali. Dalam Kitab
Radd al-Muhtar ‘ala Dar al-Mukhtar, Ibnu Abidin menyatakan: یَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ قَطْعُ لِحْیَتِھِ (Haram
atas laki-laki memotong jenggotnya).
2. Malikiyah
Ulama Malikiyah berbeda pendapat, ada yang menghukumi wajib
dan ada yang menghukumi sunnah memelihara jenggot. Yang menghukumi wajib memelihara
jenggot, otomatis mengharamkan mencukurnya. Sedangkan ulama yang menghukumi sunnah
memelihara jenggot, memakruhkan mencukurnya. (lihat Hasyiah ad-Dasuqi ‘ala
Syarh al- Kabir dan Al-Hafidz al-Iraqi dalam Tharh al-Tatsrib.
3. Hanabilah
Mayoritas ulama Hanabilah menghukumi wajib memelihara jenggot
dan haram mencukurnya, seperti dikatakan Ibnu Muflih dalam Kitab al-Furu’: وَیُعْفِي
لِحْیَتَھُ ، وَفِي الْمَذْھَبِ مَا لَمْ یُسْتَھْجَنْ طُولُھَا وَیَحْرُمُ حَلْقُھَا
Dibiarkan jenggotnya, di dalam mazhab (Hanabilah) selama
panjangnya jenggot tidak dikhawatirkan menyebabkan buruk dan haram mencukurnya.
4. Syafi’iyah
Sebagaimana ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah juga berbeda pendapat
dalam menentukan hukum memelihara dan mencukur jenggot. Namun pendapat yang
paling kuat di kalangan Syafi’iyah adalah yang menghukumi sunnah memelihara dan
makruh mencukur. Pendapat inilah yang dipegang mayoritas umat Islam Indonesia.
Kemakruhan mencukur jengggot, di antaranya dinyatakan oleh
Imam al-Ghazali, al-Nawawi, al-Rafi’i, Zakariya al-Anshari, Ibnu Hajar
al-Haitamy, al-Ramli, al-Khatib as-Syarbini, dan lainnya. Sedangkan keharaman
mencukur jengot, dinyatakan oleh Imam as-Syafi’i, Ibnu al-Rifa’ah, al-Hulaimi,
al-Qaffal as- Syasyi.
Perbedaan pendapat di atas sebenarnya berpijak pada hadits
yang sama, di antaranya:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى للهَُّ عَلَیْھِ وَسَلَّمَ
قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِینَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا
الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ
قَبَضَ عَلَى لِحْیَتِھِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَه صحیح
( البخاري، 5442
Dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda,“ Tampillah kalian berbeda dengan
orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn
Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun
memotong bagian yang melebihi genggamannya” (Shahih al- Bukhari, 5442)
Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah (amar), bukan
berarti menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis.
Mayoritas ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah tersebut menunjukkan
sunnah, dengan bukti Shahabat Ibnu Umar masih memotong jenggot yang melebihi
genggamannya.
Disamping itu, perintah Nabi Muhammad SAW tersebut tidak murni
urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan telah
kita maklumi, jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan tradisi, maka itu
tidak menunjukkan kewajiban. Perintah tersebut bisa saja menunjukkan kesunahan
atau ke-mubah-an.
Kemudian, hadits di atas juga berbicara dalam konteks perintah
untuk berbeda dengan orang-orang musyrik. Artinya, jika orang-orang musyrik
sekarang, seperti para rabi Yahudi, suka memelihara jenggot, maka bisa saja
kita tidak dianjurkan memelihara jenggot agar berbeda dengan mereka. Oleh
karena itu, Imam al-Ramli menyatakan bahwa perintah tersebut bukan karena jenggotnya,
melainkan karena tradisi dan tujuan membedakan diri dengan orang-orang musyrik,
dalam hal ini kaum Majusi. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz IV hal 162)
Atas dasar pertimbangan ini, mayoritas ulama Syafi’iyyah berpendapat
bahwa memelihara jenggot adalah sunnah, tidak wajib. Sedangkan mencukur jenggot
hukumnya makruh, tidak haram atau menyebabkan dosa. Bahkan hukum mecukur
jenggot bisa mubah atau bahkan sunnah, bagi orang yang hilang kewibawaannya
ketika ada jenggot di wajahnya. Qadli Iyadl menyatakan: “Memangkas kelebihan
dan merapikan jenggot adalah perbuatan yang baik. Dan membiarkannya panjang
selama satu bulan adalah makruh, seperti makruhnya memotong dan mengguntingnya.
(Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 3, hal. 151).
Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa panjang jenggot yang boleh
dipelihara adalah segenggaman tangan. Sebagian lagi memakruhkan memangkas
jenggot, kecuali saat haji dan umrah saja. Sebagian ‘ulama tidak menetapkan
panjang tertentu, akan tetapi dipotong sepantasnya dan secukupnya.
Kedua, Jenggot dan Kecerdasan
Sejauh pengetahuan saya, tidak ada ulama fiqh yang menghubungkan
kecerdasan atau kebodohan dengan jenggot. Artinya, panjang-tidaknya jenggot,
dalam fiqh, tidak ada kaitannya dengan kecerdasan dan kebodohan seseorang.
Namun, di luar ulama fiqh, memang ada sebagian ulama ahli
hikmah yang mengaitkan jenggot dengan kecerdasan atau kebodohan. Misalnya
pernyataan sebagian:
“Tempatnya akal itu di otak, jalan nyawa itu melalui hidung,
dan tempat kebodohan itu pada panjangnya jenggot”.
Sa’d bin Manshur berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu Idris,
‘Apakah kamu tahu Sulaim Bin Abi Hafshah?’ Dia (Ibnu Idris)
menjawab, ‘Iya, aku melihat jenggotnya panjang dan dia bodoh.’
Ibnu Ziad juga pernah berkata: “Tidaklah seorang lelaki semakin
panjang jenggotnya melebihi genggammannya, kecuali hanya bertambah kurang
kecerdasannya.”
Inilah maksud dari sebuah syair yang digubah dalam bahar mutaqarib:
إذا عرضت للفتى لحیةٌ # وطالت فصارت إلى
سرتھ
فنقصان عقل الفتى عندنا # بمقدار ما زاد في
لحیتھ
Ibnu al-Jauzy dalam kitab Akhbar Al-Hamqa’ wal Mughaffilin
menyatakan:
قال عبد الملك بن مروان : من طالت لحیتھ فھو
،كوسجٌ في عقلھ . وقال غیره: من قصرت قامتھ
وصغرت ھامتھ، وطالت لحیتھ، فحقیقاً على
المسلمین أن یعزوه في عقلھ . وقال أصحاب
الفراسة : إذا كان الرجل طویل القامة واللحیة
فاحكم علیھ بالحمق، …… الى ان قال ……وقال
بعض الحكماء : موضع العقل الدماغ، وطریق
الروح الأنف، وموضع الرعونة طویل اللحیة . وعن
سعد بن منصور أنھ قال: قلت لابن إدریس: أرأیت
سلام بن أبي حفصة؟ قال : نعم، رأیتھ طویل
اللحیة وكان أحمق . …… الى ان قال .…… قال
زیاد ابن أبیھ: ما زادت لحیة رجل على قبضتھ، إلا
. كان ما زاد فیھا نقصاً من عقلھ
Abdul Malik bin marwan berkata: Barang Siapa panjang jenggotnya
maka ia sedikit akalnya, Ulama lain berkata: Barang siapa yang pendek
perawakannya, kecil kepalanya, dan panjang jenggotnya, maka jelas bagi muslimin
untuk menisbatkan pada akalnya. Ashabul firasah berkata: Ketika seseorang
tinggi perawakan dan panjang jenggotnya, maka bisa dipastikan ia orang yang
bodoh. Ketika pemuda mempunyai jenggot lebar dan panjang sampai pusarnya, maka
kecerdasannya berkurang seukuran panjang jenggotnya (semakin panjang semakin
kurang).
Kesimpulan
Kesimpulannya, masalah jenggot bukanlah merupakan ijma’ ulama.
Masalah jenggot hanya masalah adat dan tradisi yang hukumnya khilafiyah,
sehingga sebagian umat Islam tidak boleh menuduh sesat orang lain yang tidak menyetujui
pendapatnya.
Sedangkan mengenai ukuran jenggot itu panjangnya sampai
seberapa, sebagian mengatakan seukuran genggaman tangan (sesuai riwayat Ibnu
Umar). Dan jika melebihi genggaman tangan, maka tidak akan tampak kewibawaannya.
Justru yang tampak adalah kebodohannya.
Jadi, tidak usah ribut masalah jenggot. Masih banyak masalah
yang lebih penting untuk diselesaikan. Kalaupun kita hendak memelihara jenggot
dengan niat mengikuti sunnah Nabi, maka peliharalah tapi jangan panjangpanjang,
agar tidak kelihatan bodoh dan culun
No comments:
Post a Comment