Akibat wabah virus corona, kurang lebih dua bulan China mengunci diri dari dunia luar.
Bukan hanya karena mereka
khawatir penyebaran virus meluas di dalam negeri, tetapi khawatir dunia
juga terkena.
Saat itu, dunia mentertawakan China.
Sebagian orang Islam mengatakan, bahwa China sedang mendapat
kutukan Tuhan, karena mereka makan hewan liar dan berbuat zolim kepada suku
Uighur.
" Ternyata China tidak
sehebat yang dibayangkan, dengan makhluk kecil saja bisa kalang kabut..."
kata mereka.
Di luar negeri, terjadi aksi rasis berlebihan terhadap orang
China, seakan orang China identik dengan Virus.
AS membayangkan, ekonomi China akan runtuh dan Xijingping akan
jatuh.
Bahkan ada di antara mereka yang China phobia, tidak ada henti
menyebarkan hoax.
Betapa menyedihkan, betapa buruknya nasib China.
Namun setelah tanggal 23 februari 2020, China kembali membuka
diri.
Kehidupan berangsur angsur normal, penyembuhan sudah diatas
50% mendekati 100%..., dan tingkat korban mendekati nol persen.
Bahkan beberapa RS darurat korban Corona sudah ditutup, karena tidak ada lagi pasien yang
datang.
Produksi barang, sudah kembali menggeliat.
Tapi apa yang terjadi kemudian....?
Dunia menyambut dengan penuh suka cita, bukan karena China
sudah recovery, tetapi “ China membantu kami mengatasi dampak dari adanya
virus Corona...”
Mengapa....?
Ketika pada akhirnya penyebaran Virus Corona melanda beberapa
negara, semua negara panik.
Bukan karena kawatir atas virus corona, tetapi lebih pada dampak kerusakan ekonomi
akibat adanya virus corona itu.
Bursa saham jatuh, pabrik menurunkan produksinya, bahkan ada
yang tutup.
PHK, terjadi dimana mana.
Bisnis pusat wisata terancam gulung tikar, karena sepi
wisatawan.
Bandara sepi, suasana mencekam terbentuk akibat pemberitaan hoax
sebelumnya terhadap China, kini berbalik kepada mereka sendiri.
Ternyata dunia sadar, bahwa China adalah bangsa yang tangguh, dan mereka bangsa yang rapuh.
Adalah fakta, bahwa mereka ternyata tidak sekuat China.
Arab kehilangan pendapatan dari wisatawan Haji, ibadah haji
sebagai simbol agama samawi terancam runtuh.
Mereka juga kehilangan pendapatan dari ekspor migas, karena
2/3 pembeli migas Arab adalah China.
Kepanikan ekonomi juga melahirkan krisis politik di Arab.
Di AS juga terjadi kepanikan, banyak distributor yang gulung
tikar karena kurang suplai barang dari China.
Masyarakat AS yang panik memborong kebutuhan sehari-hari,
karena khawatir Pemerintah tidak mampu menyediakan barang-barang tersebut.
Akibat prahara corona, di AS sudah banyak orang terinfeksi
virus.
Demikian juga Eropa, yang
mencekam sejak Itali mengkarantikan 16 juta orang penduduknya.
Dari perang dagang menuju perang harga minyak, seluruh bursa
jatuh.
Kepanikan yang meluas tak bisa dihindari.
Dan China tersenyum, bukan mengejek, tetapi menenangkan mereka
semua.
Memang di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna, tugas
manusia melewati ketidak sempurnaan itu
dengan rendah hati, dan focus kepada pemulihan, bukannya kepada
kepanikan.
Bagaimana menjadikan batu sandungan sebagai batu loncatan, agar
lebih baik dari sebelumnya, karena kepanikan tidak menghasilkan apa-apa.
Lewat virus corona, Tuhan seakan memerintahkan kita semua,
untuk hidup damai dalam semangat kemanusiaan di atas perbedaan agama dan
idiologi.
Mengapa....?
Karena ternyata idiologi dan agama bukan menjadi sumber
kekuatan.
Politik juga menciptakan rasisme, karena politisasi agama yang
primordialistik melahirkan intoleransi, dan semua itu membuat mereka rapuh.
China tangguh, karena agama dan idiologi mempersatukan mereka
dalam semangat kebersamaan, atas dasar cinta bagi sesama.
Kita rapuh, karena agama dan idiologi membuat kita kehilangan
cinta.
Akankah kepanikan ini bisa menyadarkan kita....?
Akankah kita bisa belajar kepada China, bagaimana seharusnya
berpolitik dan beragama...?
Rahayu
No comments:
Post a Comment