Bagi Trah Jawa yang benar-benar konsisten mempelajari sejarah
apalagi ahli dibidang sastra Jawa, pasti tahu apa itu Kolobendu…! Maaf, jangan
serta merta kemudian kata Kolobendu dikebiri substasinya sebagai bentuk kalimat
ramalan, karena munculnya istilah Kolobendu sebelumnya dirumuskan terlebih
dahulu oleh ahlinya.
Tentang Kolobendu…! Kolo adalah waktu, Bendu adalah
peringatan. Jadi sederhananya, pengertian lebih luas perihal Kolobendu adalah
masa atau waktu dimana para Trah Jawa akan berhadapan dengan hal-hal yang
sekiranya bisa dimengerti atau bisa dipahami sebagai bentuk zaman peringatan.
Adapun bentuk peringatan yang dimaksud disini bisa dalam wujud
tragedi, musibah, bencana, dsb hingga kemudian melahirkan beberapa kondisi
memprihatinkan, yang salah satunya kondisi tersebut oleh Trah Jawa disebut sebagai
Pagebluk. Ya, Pagebluk….!
Pagebluk adalah masa-masa sulit, masa-masa yang
memprihatinkan, masa-masa yang mengkhawatirkan, masa-masa yang menegangkan,
masa-masa yang penuh misteri, masa-masa yang seharusnya para Trah Jawa harus
Tansah Eling Lan Waspodo. Karena dampak dari Pagebluk yang disimpulkan terlahir
disaat datangnya Kolobendu, semua aspek keberkahan yang sebelumnya menunggal di
tanah, di air, di udara, dibeberapa akses pendukung kehidupan manusia tiba-tiba
sebagian besar hilang, walau tidak secara keseluruhan, keberkahan yang pergi
itu membuat tanah yang dipijak, air yang diminum dan udara yang dihirup seakan
tidak lagi memberi kenyamanan, seperti muksa.
Ketenangan demi ketenangan berangsur-angsur hilang,
kebahagiaan demi kebahagiaan tidak lagi bersahabat. Rizki sulit dicari, tanaman
diserang hama, hasil persawahan merosot tajam panennya, ekonomi kacau balau,
sirkulasi kehidupan alam dengan manusia tidak seimbang, yang berilmu gegabah
mengambil sikap, yang bodoh tidak tahu diri, rumit dan kian berantakan.
Yang paling menyedihkan, soal benar dan salah hampir sulit
dipilah, yang salah bisa benar dan yang benar bisa salah. Ini adalah Pagebluk,
ini adalah peringatan yang dimaksudkan oleh Kolobendu.
Kolobendu hadir ketika manusia telah melampui batas
kenakalannya. Mereka telah terjebak disudut kegelapan jiwa, memberhalakan keserakahan,
meluapkan kemarahan, menyebar kebencian, meneriakkan peperangan dan menindas
yang tak berdosa. Semua itu adalah muara dari munculnya Kolobendu.
Maka tidak ada pilihan lain, kita semua sebagai Trah Jawa
harus saling bersinergi, bersama menciptakan Kolosirna. Kolo adalah waktu,
Sirna adalah hilang. Yakni menyirnakan semua kepentingan Cumbu ( hasrat sesat )
yang dibumbui oleh kesombongan, oleh kerakusan, oleh kekejian dan merampas hak
merdeka.
Dari ruang terendah, titik zero, hong wilaheng, kosong, istigroq,
suwung, amukas, gung lewang lewung, bersatu padu Fafirru, kembali, manembah,
ngulat sariro, atunggal kajiwan, tobat, sareh, tanpa tendensi, membangum
kehidupan kang amukti. Mukti dalam kedaulatan manusia yang asah, asih, asuh.
Lalu wening, hening, sunyi, diam menunggu dawuh Ulama,
Brahmana, Pandhita, Karuhun, Begawan dan manusia-manusia pilihan lainnya demi
sirnanya Kolobendu, sirnanya Pagebluk dan sirnanya kebengisaan yang bertengger
dihati kita masing-masing.
Daulat Dawuh Ingkang Jumeneng Sinuhun Gusti Sultan Sepuh
Cirebon : " Hanggayuwa Sira Maring Kaluhuran... Sebo…! " Sendiko
Dawuh Gusti.
" Rahmatan Lil 'Alamin, Hamemayu Hayuning Bawono "
#Trahjawa
No comments:
Post a Comment