Sedari dulu pribadi-pribadi Trah Jawa secara turun temurun
bahkan berlangsung sejak masih menganut keyakinan Kapitayan ( agama tertua )
dalam kesehariannya, Trah Jawa dalam tatanan interaksi sosial selalu identik
dengan perilaku yang bertata krama, memiliki unggah ungguh, mengedepankan sopan
santun, teramat beradab dan mpan papan panggonan ( cerdas dalam menempatkan
diri ).
Maka tak heran jika saja Wali Songo ( pendakwah Islam di abad
ke 14 / 15 Masehi ) kala itu sangat betah tinggal di Jawa bahkan lebih memilih
menikah dengan wanita-wanita Trah Jawa dan menginginkan keturunan dari Trah
Jawa pula. Karena memang Wali Songo pada mulanya bukan asli pribumi Jawa,
sebagaimana hal ini literasi sejarahnya bisa di akses dalam naskah Purwaka
Caruban Nagari, Walisana, Kropak Ferara, Had Boek Van Bonang, Babat Tanah Jawa
dan dalam beberapa manuskrip yang saya miliki.
Adapun salah satu pendakwah Wali Songo yang memutuskan betah
tinggal di Jawa termasuk memilih menikah dengan wanita Jawa adalah Syekh Ali
Rahmat anak dari Syekh Ibrahim Samarkand ( Jatiswara ) asal Champa ( Vietnam
Selatan ) yang silsilahnya bersambung hingga Syekh Abdullah bin Abdul Malik ( Naserabad
– India ) literasi sejarahnya bisa di akses dalam naskah Babat Ampeldenta.
Syekh Ali Rahmat tiba di Jawa ( Tuban ) diperkirakan pada
paruh kedua abad ke 14 Masehi. Kedatangannya di Jawa bersama ayahnya dan
ditemani kakak kandungnya ( Syekh Ali Murtadho ). Walau sebelumnya sempat
singgah di Kerajaan Palembang selama beberapa bulan, yang saat itu tampuk
kekuasaan di Palembang di duduki oleh Pangeran Arya Damar.
Setelah ayahnya wafat, Syekh Ali Rahmat bersama Syekh Ali
Murtadho ( kakaknya ) meninggalkan Tuban hijrah ke Majapahit. Hidup dan tinggal
bersama Dewi Dwarawati ( bibinya ) yang tak lain adalah istri selir dari
Brawijaya V penguasa Kerajaan Majapahit. Hal itu dilakukan oleh keduanya
semata-mata demi menjalankan estafet dakwah Islam yang diwasiatkan ayahandanya.
Literasi sejarahnya ini pun bisa di akses dalam serat Walisana bab Babadipun
Parawali.
Dan di Majapahit, keduanya dikenal sebagai Raden Rahmat dan
Raden Murtadho. Kala itu istilah Raden adalah gelar bangsawan yang
diperuntukkan bagi keluarga Kerajaan atau secara gampang gelar darah ningrat ( para
Gusti ). Diperkirakan gelar tersebut diterima pada awal dasawarsa ke empat abad
ke 15 Masehi.
Di dalam lingkup kehidupan kerajaan Majapahit, melihat
keseharian Raden Rahmat dan Raden Murtadho yang meninggalkan makan dan minum
dari fajar hingga terbenamnya matahari ( apuwasa ), ditambah keduanya sering
melaksanakan lelaku ditengah malam ( Qiyamul lail dan Dzikir ) kemudian Raden
Rahmat dan Raden Murtadho dipercaya oleh Brawijaya V agar mengajarkan ilmu-ilmu
rohani dilingkup Kerajaan ( Keluarga Raja dan orang-orang pilihan ). Meskipun
demikian kala itu tidak serta merta keduanya langsung mengajarkan agama Islam.
Raden Rahmat dan Raden Murtadho terlebih dahulu mengajarkan
nilai-nilai Ketuhanan dengan sangat rapi dan apik, tanpa sedikitpun memunculkan
dalil-dalil Islam agar tidak terjadi kesalahpahaman ataupun konflik beda agama.
Sebagaimana asma Allah SWT diganti dengan istilah Sang Hyang Agung ( Penguasa
Semesta Jagad Raya Yang Maha Besar ) dimana Dia tidak bisa diserupakan dengan
makhluk manapun.
Tentunya Bagi Trah Jawa khususnya para Raden / Gusti tentang
istilah tersebut tidak terlalu mengagetkan bagi mereka, karena leluhur Trah
Jawa sebelumnya sudah memiliki keyakinan bahwa dunia ini sesungguhnya dikuasai
oleh Sang Hyang Taya yang memiliki sifat Tan Kena Kinaya Apa ( Mustahil serupa
dengan ciptaan-Nya ) tentu tidak ketersinggungan dan berjalan sebagaimana
mestinya lazimnya Rohaniawan.
Ajaran ilmu Rohani yang disampaikan oleh Raden Rahmat dan
Raden Murtadho senada dengan ajaran Sufi Kuno yang terangkum dalam kitab-kitab
Tarekat. Ibarat menangkap ikan tanpa membuat air keruh. Sehingga Raden Rahmat
dan Raden Murtadho hubungannya dengan para Raden / Gusti baik laki-laki ataupun
perempuan teramat harmonis. Literasi sejarah ajaran kedua keponakan Dewi
Dwarawati tersebut bisa di akses dalam serat Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha
juga dalam Babad Demak.
Melihat kenyataan tersebut, lalu Brawijaya V sangat simpati
dan meyakini bahwa Raden Rahmat dan Raden Murtadho ternyata memiliki pengetahuan
ilmu rohani yang terbilang mumpuni, dapat disimpulkan bukan manusia
sembarangan. Singkat cerita keduanya kemudian diberi wewengkon ( wilayah khusus
) untuk menyebarkan ilmu-ilmu rohani. Yang kemudian Brawijaya V memilih dua
bumi panjimatan ( daerah istimewa ) yakni Ampeldenta diserahkan kepada Raden
Rahmat dengan gelar Susuhunan Ampeldenta dan Gresik diserahkan kepada Raden
Murtadho dengan gelar Susuhunan Pandhitagama.
Akar kata Susuhunan adalah Sinuhun yang dalam bahasa Jawa
memiliki arti Ingkang Minulya, sepadan artinya dengan Yang Dimuliakan.
Begitulah kedua putra Syekh Ibrahim Samarkand, berkat luasnya ilmu pengetahuan
rohani ( tarekat ), juga atas kecerdasan, kecerdikan dan kehati-hatiannya dalam
mendakwahkan ajaran Rohani dilingkup Kerajaan, akhirnya Raja Majapahit, para
Raden / Gusti serta para Trah Jawa memuliakan keduanya dengan sebutan Susuhunan
( Ingkang Sinuhun ). Sebagaimana filosofi Jawa : Sopo Nandur Bakal Ngunduh ( siapa
menanam akan menuai ) menanam kemuliaan tentu akan mendapat kemuliaan pula.
Literasinya bisa di akses dalam serat Babad Ngempeldenta.
Maka sejak itulah Susuhunan Ngampeldenta yang tak lain adalah
Raden Rahmat atau Syekh Ali Rahmat bin Syekh Ibrahim Samarkand menjadi Guru
Rohani sekaligus sosok Bupati pertama di Ampeldenta. Sebagaimana hal ini juga
tertulis dalam Sedjarah Regency Soerabaja.
Berkat kepribadiannya yang menurut Trah Jawa istimewa,
akhirnya tidak sedikit para Trah Jawa datang untuk Wulang Reh ( belajar ilmu
rohani ) yang kemudian Trah Jawa berbondong-bondong masuk agama Islam dengan
sukarela. Tidak dengan paksaan, ancaman apalagi cacian. Lagi-lagi sopo nandur
bakal ngunduh. Menanam padi tumbuh batu itu mustahil. Tentu benih padi yang
ditanam akan tumbuh padi pula.
Sampailah nanti tiba saatnya salah satu putra Brawijaya V
hasil pernikahannya dengan Putri Wandan Sari Bandanaira yang memiliki nama
Bondan Kejawanan yang sebelumnya tinggal di Madura ( sejak kecil tinggal diluar
kerajaan Majapahit ) penasaran terhadap sosok Ingkang Minulya Susuhunan
Ampeldenta Raden Rahmat. Singkat cerita Bondan Kejawan pun menyamar menjadi
Santri ( murid ) untuk belajar Wulang Reh.
Karena luasnya ilmu rohani yang dimiliki Ingkang Minulya,
hingga kemudian Bondan Kejawan bersedia masuk Islam. Bondan Kejawan melihat
Ingkang Minulya bukan hanya sekedar Pandhita Wulang Reh saja, tapi juga melihat
Sang Susuhunan sebagai sosok manusia sakti mandraguna tepatnya dianggap Waskita
/ Kasyaf ( memiliki kelebihan bisa mengetahui sesuatu sebelum terjadi ).
Terbukti ketika hendak menguji kesaktian Ingkang Minulya, suatu hari disaat
pagi-pagi buta, Bondan Kejawan berniat hendak melempar senjata ke arah Ingkang
Minulya. Sebelum dilempar Ingkang Minulya sudah tahu duluan, dengan tersenyum
Ingkang Minulya menjelaskan bahwa membunuh atau menyakiti manusia adalah
perilaku Wulu Cumbu ( hasrat bengis yang selalu membujuk hati manusia berbuat
kejahatan ).
Setelah mantab nilai-nilai Keislamannya, sampailah pada suatu
hari Bondan Kejawanan disarankan Ingkang Minulya Susuhunan Ampeldenta berguru
lebih dalam lagi tentang ajaran Islam kepada Pandhitagama Petaruban ( Ki Ageng
Tarub ). Kemudian oleh Ki Ageng Tarub atas inisiatifnya merubah nama Bondan
Kejawan menjadi Raden Arya Lembu Peteng, sekaligus diangkat menantu oleh Ki
Ageng Tarub, menikah dengan putrinya hasil pernikahannya dengan Dewi
Nawangwulan yang bernama Dewi Nawangsih. Sebagaimana kita tahu bahwa Raden Arya
Bondan Kejawan dalam literasi sejarah Babad Tanah Djawa adalah sosok penting
yang nantinya menjadi leluhur Mataram Islam.
Betapa dahsyatnya ilmu, kepribadian, kecerdasan dan kecerdikan
Ingkang Minulya Susuhunan Ampeldenta Raden Rahmat. Waktu berjalan, semakin hari
semakin bertambah banyaklah muridnya, sampai kemudian Ingkang Minulya
mengadakan dakwah Islam secara terbuka disaat anaknya yang bernama Raden Mahdum
Ibrahim ( Susuhunan Bonang ) sudah menginjak dewasa.
Begitulah Islam, sebagai agama Rahmatan Lil'alamin atau dalam
istilah Jawa bisa dimaknai sebagai perwujudan Hamemayu Hayuning Bawono, pada
masa hidup Ingkang Minulya Susuhunan Ampeldenta Raden Rahmat dihadirkan
ditengah-tengah kehidupan Trah Jawa tidak dengan cara gegabah. Didakwahkan
diwaktu yang tepat untuk mengarahkan, mencerahkan, meluruskan, mengayomi dan
disertai dengan perilaku yang penuh kearifan.
Perannya sebatas menyampaikan tidak memaksakan, menerangkan tidak pula
mengancam-ngancam.
No comments:
Post a Comment