Photo

Photo

Thursday 28 December 2023

Jejak Dakwah Susuhunan Ampeldenta Sejarah Awal Perkembangan Islam


Sedari dulu pribadi-pribadi Trah Jawa secara turun temurun bahkan berlangsung sejak masih menganut keyakinan Kapitayan ( agama tertua ) dalam kesehariannya, Trah Jawa dalam tatanan interaksi sosial selalu identik dengan perilaku yang bertata krama, memiliki unggah ungguh, mengedepankan sopan santun, teramat beradab dan mpan papan panggonan ( cerdas dalam menempatkan diri ).

 

Maka tak heran jika saja Wali Songo ( pendakwah Islam di abad ke 14 / 15 Masehi ) kala itu sangat betah tinggal di Jawa bahkan lebih memilih menikah dengan wanita-wanita Trah Jawa dan menginginkan keturunan dari Trah Jawa pula. Karena memang Wali Songo pada mulanya bukan asli pribumi Jawa, sebagaimana hal ini literasi sejarahnya bisa di akses dalam naskah Purwaka Caruban Nagari, Walisana, Kropak Ferara, Had Boek Van Bonang, Babat Tanah Jawa dan dalam beberapa manuskrip yang saya miliki.

 

Adapun salah satu pendakwah Wali Songo yang memutuskan betah tinggal di Jawa termasuk memilih menikah dengan wanita Jawa adalah Syekh Ali Rahmat anak dari Syekh Ibrahim Samarkand ( Jatiswara ) asal Champa ( Vietnam Selatan ) yang silsilahnya bersambung hingga Syekh Abdullah bin Abdul Malik ( Naserabad – India ) literasi sejarahnya bisa di akses dalam naskah Babat Ampeldenta.

 

Syekh Ali Rahmat tiba di Jawa ( Tuban ) diperkirakan pada paruh kedua abad ke 14 Masehi. Kedatangannya di Jawa bersama ayahnya dan ditemani kakak kandungnya ( Syekh Ali Murtadho ). Walau sebelumnya sempat singgah di Kerajaan Palembang selama beberapa bulan, yang saat itu tampuk kekuasaan di Palembang di duduki oleh Pangeran Arya Damar.

 

Setelah ayahnya wafat, Syekh Ali Rahmat bersama Syekh Ali Murtadho ( kakaknya ) meninggalkan Tuban hijrah ke Majapahit. Hidup dan tinggal bersama Dewi Dwarawati ( bibinya ) yang tak lain adalah istri selir dari Brawijaya V penguasa Kerajaan Majapahit. Hal itu dilakukan oleh keduanya semata-mata demi menjalankan estafet dakwah Islam yang diwasiatkan ayahandanya. Literasi sejarahnya ini pun bisa di akses dalam serat Walisana bab Babadipun Parawali.

 

Dan di Majapahit, keduanya dikenal sebagai Raden Rahmat dan Raden Murtadho. Kala itu istilah Raden adalah gelar bangsawan yang diperuntukkan bagi keluarga Kerajaan atau secara gampang gelar darah ningrat ( para Gusti ). Diperkirakan gelar tersebut diterima pada awal dasawarsa ke empat abad ke 15 Masehi.

 

Di dalam lingkup kehidupan kerajaan Majapahit, melihat keseharian Raden Rahmat dan Raden Murtadho yang meninggalkan makan dan minum dari fajar hingga terbenamnya matahari ( apuwasa ), ditambah keduanya sering melaksanakan lelaku ditengah malam ( Qiyamul lail dan Dzikir ) kemudian Raden Rahmat dan Raden Murtadho dipercaya oleh Brawijaya V agar mengajarkan ilmu-ilmu rohani dilingkup Kerajaan ( Keluarga Raja dan orang-orang pilihan ). Meskipun demikian kala itu tidak serta merta keduanya langsung mengajarkan agama Islam.

 

Raden Rahmat dan Raden Murtadho terlebih dahulu mengajarkan nilai-nilai Ketuhanan dengan sangat rapi dan apik, tanpa sedikitpun memunculkan dalil-dalil Islam agar tidak terjadi kesalahpahaman ataupun konflik beda agama. Sebagaimana asma Allah SWT diganti dengan istilah Sang Hyang Agung ( Penguasa Semesta Jagad Raya Yang Maha Besar ) dimana Dia tidak bisa diserupakan dengan makhluk manapun.

 

Tentunya Bagi Trah Jawa khususnya para Raden / Gusti tentang istilah tersebut tidak terlalu mengagetkan bagi mereka, karena leluhur Trah Jawa sebelumnya sudah memiliki keyakinan bahwa dunia ini sesungguhnya dikuasai oleh Sang Hyang Taya yang memiliki sifat Tan Kena Kinaya Apa ( Mustahil serupa dengan ciptaan-Nya ) tentu tidak ketersinggungan dan berjalan sebagaimana mestinya lazimnya Rohaniawan.

 

Ajaran ilmu Rohani yang disampaikan oleh Raden Rahmat dan Raden Murtadho senada dengan ajaran Sufi Kuno yang terangkum dalam kitab-kitab Tarekat. Ibarat menangkap ikan tanpa membuat air keruh. Sehingga Raden Rahmat dan Raden Murtadho hubungannya dengan para Raden / Gusti baik laki-laki ataupun perempuan teramat harmonis. Literasi sejarah ajaran kedua keponakan Dewi Dwarawati tersebut bisa di akses dalam serat Babad Tanah Djawi dan Serat Kandha juga dalam Babad Demak.

 

Melihat kenyataan tersebut, lalu Brawijaya V sangat simpati dan meyakini bahwa Raden Rahmat dan Raden Murtadho ternyata memiliki pengetahuan ilmu rohani yang terbilang mumpuni, dapat disimpulkan bukan manusia sembarangan. Singkat cerita keduanya kemudian diberi wewengkon ( wilayah khusus ) untuk menyebarkan ilmu-ilmu rohani. Yang kemudian Brawijaya V memilih dua bumi panjimatan ( daerah istimewa ) yakni Ampeldenta diserahkan kepada Raden Rahmat dengan gelar Susuhunan Ampeldenta dan Gresik diserahkan kepada Raden Murtadho dengan gelar Susuhunan Pandhitagama.

 

Akar kata Susuhunan adalah Sinuhun yang dalam bahasa Jawa memiliki arti Ingkang Minulya, sepadan artinya dengan Yang Dimuliakan. Begitulah kedua putra Syekh Ibrahim Samarkand, berkat luasnya ilmu pengetahuan rohani ( tarekat ), juga atas kecerdasan, kecerdikan dan kehati-hatiannya dalam mendakwahkan ajaran Rohani dilingkup Kerajaan, akhirnya Raja Majapahit, para Raden / Gusti serta para Trah Jawa memuliakan keduanya dengan sebutan Susuhunan ( Ingkang Sinuhun ). Sebagaimana filosofi Jawa : Sopo Nandur Bakal Ngunduh ( siapa menanam akan menuai ) menanam kemuliaan tentu akan mendapat kemuliaan pula. Literasinya bisa di akses dalam serat Babad Ngempeldenta.

 

Maka sejak itulah Susuhunan Ngampeldenta yang tak lain adalah Raden Rahmat atau Syekh Ali Rahmat bin Syekh Ibrahim Samarkand menjadi Guru Rohani sekaligus sosok Bupati pertama di Ampeldenta. Sebagaimana hal ini juga tertulis dalam Sedjarah Regency Soerabaja.

 

Berkat kepribadiannya yang menurut Trah Jawa istimewa, akhirnya tidak sedikit para Trah Jawa datang untuk Wulang Reh ( belajar ilmu rohani ) yang kemudian Trah Jawa berbondong-bondong masuk agama Islam dengan sukarela. Tidak dengan paksaan, ancaman apalagi cacian. Lagi-lagi sopo nandur bakal ngunduh. Menanam padi tumbuh batu itu mustahil. Tentu benih padi yang ditanam akan tumbuh padi pula.

 

Sampailah nanti tiba saatnya salah satu putra Brawijaya V hasil pernikahannya dengan Putri Wandan Sari Bandanaira yang memiliki nama Bondan Kejawanan yang sebelumnya tinggal di Madura ( sejak kecil tinggal diluar kerajaan Majapahit ) penasaran terhadap sosok Ingkang Minulya Susuhunan Ampeldenta Raden Rahmat. Singkat cerita Bondan Kejawan pun menyamar menjadi Santri ( murid ) untuk belajar Wulang Reh.

 

Karena luasnya ilmu rohani yang dimiliki Ingkang Minulya, hingga kemudian Bondan Kejawan bersedia masuk Islam. Bondan Kejawan melihat Ingkang Minulya bukan hanya sekedar Pandhita Wulang Reh saja, tapi juga melihat Sang Susuhunan sebagai sosok manusia sakti mandraguna tepatnya dianggap Waskita / Kasyaf ( memiliki kelebihan bisa mengetahui sesuatu sebelum terjadi ). Terbukti ketika hendak menguji kesaktian Ingkang Minulya, suatu hari disaat pagi-pagi buta, Bondan Kejawan berniat hendak melempar senjata ke arah Ingkang Minulya. Sebelum dilempar Ingkang Minulya sudah tahu duluan, dengan tersenyum Ingkang Minulya menjelaskan bahwa membunuh atau menyakiti manusia adalah perilaku Wulu Cumbu ( hasrat bengis yang selalu membujuk hati manusia berbuat kejahatan ).

 

Setelah mantab nilai-nilai Keislamannya, sampailah pada suatu hari Bondan Kejawanan disarankan Ingkang Minulya Susuhunan Ampeldenta berguru lebih dalam lagi tentang ajaran Islam kepada Pandhitagama Petaruban ( Ki Ageng Tarub ). Kemudian oleh Ki Ageng Tarub atas inisiatifnya merubah nama Bondan Kejawan menjadi Raden Arya Lembu Peteng, sekaligus diangkat menantu oleh Ki Ageng Tarub, menikah dengan putrinya hasil pernikahannya dengan Dewi Nawangwulan yang bernama Dewi Nawangsih. Sebagaimana kita tahu bahwa Raden Arya Bondan Kejawan dalam literasi sejarah Babad Tanah Djawa adalah sosok penting yang nantinya menjadi leluhur Mataram Islam.

 

Betapa dahsyatnya ilmu, kepribadian, kecerdasan dan kecerdikan Ingkang Minulya Susuhunan Ampeldenta Raden Rahmat. Waktu berjalan, semakin hari semakin bertambah banyaklah muridnya, sampai kemudian Ingkang Minulya mengadakan dakwah Islam secara terbuka disaat anaknya yang bernama Raden Mahdum Ibrahim ( Susuhunan Bonang ) sudah menginjak dewasa.

 

Begitulah Islam, sebagai agama Rahmatan Lil'alamin atau dalam istilah Jawa bisa dimaknai sebagai perwujudan Hamemayu Hayuning Bawono, pada masa hidup Ingkang Minulya Susuhunan Ampeldenta Raden Rahmat dihadirkan ditengah-tengah kehidupan Trah Jawa tidak dengan cara gegabah. Didakwahkan diwaktu yang tepat untuk mengarahkan, mencerahkan, meluruskan, mengayomi dan disertai dengan perilaku yang  penuh kearifan. Perannya sebatas menyampaikan tidak memaksakan, menerangkan tidak pula mengancam-ngancam.

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4340 - 4345

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4340-4345 "Kalau begitu kamu bisa meminta bantuan Pangeran Xiao. Agaknya, Keluarga Qi tidak bisa lebih kuat ...