Bayangan itu kemudian berdiri dan
terdengarlah suatu suitan nyaring. Setelah itu ia berdiri tegak sambil
memandang ke arah sudut pagar halaman. Tiba-tiba muncullah berturut-turut,
hampir seperti seekor merpati yang terbang dan hinggap di atas dinding pagar
yang tingginya satu setengah kali tinggi orang. Dan kemudian terdengarlah tawa
itu.
Bayangan di atas balai
perbendaharaan itu memperdengarkan suara tertawa yang walaupun tidak keras
tetapi memancarkan suatu pengaruh yang luar biasa, sehingga seseorang yang
mendengarnya hatinya menjadi begitu pedih seperti mendengar rintihan hantu
kubur. Bukan itu saja.
KEEMPAT bayangan yang muncul
kemudian itu memperdengarkan suara tertawa yang sama, sehingga terpaksa Mahesa
Jenar harus segera dengan kekuatan batinnya menutupi lubang-lubang pendengaran
hatinya untuk tidak menerima pengaruh jahat dari suara itu. Kemudian keempat
orang itu meloncat dengan gaya seperti seekor burung, turun ke halaman. Seperti
terapung di udara, mereka berlari ke arah bayangan di atas atap itu.
Sementara itu dari arah lain
Mahesa Jenar melihat bayangan seorang yang pendek bulat berlari seperti batu
berguling-guling masuk jurang begitu cepatnya ke arah empat bayangan itu. Belum
lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu, bayangan itu sudah langsung menyerang. Hati
Mahesa Jenar berdebar bertambah cepat.
Bayangan yang gemuk pendek dan
menggelinding cepat sekali tadi sudah pasti adalah Gajah Alit. Rupanya ketika
Gajah Alit mendengar suitan bayangan di atas atap itu, ia mengira kalau Mahesa
Jenarlah yang memberi tanda kepadanya untuk membantunya. Maka ketika ia dengan
hati-hati sekali pergi ke arah suara itu, ia mendengar suara tertawa
bersahut-sahutan. Dan ia melihat keempat bayangan itu seperti terbang mengarah ke
balai perbendaharaan. Maka dengan tidak banyak pertimbangan lagi ia langsung
menyerang keempat bayangan itu.
Keempat bayangan itu rupa-rupanya
sama sekali tidak menduga kalau ia akan mendapat serangan demikian hebatnya.
Sehingga dalam beberapa saat rupa-rupanya Gajah Alit telah berhasil melukai
satu di antaranya. Tetapi ketiga yang lain menjadi sangat marah dan segeralah
terjadi pertempuran yang hebat sekali.
Sementara itu Mahesa Jenar belum
memperlihatkan diri. Kecuali keadaan masih belum memerlukan, rupanya Gajah Alit
tidak begitu banyak mengalami kesulitan. Meskipun ia harus bekerja mati-matian
melawan tiga orang yang mempunyai tenaga tempur yang cukup, ia sendiri
memandang perlu untuk tetap mengawasi gerak-gerik bayangan di atas atap balai
perbendaharaan itu. Dan apa yang diduganya ternyata benar. Bayangan di atas
atap itu ternyata adalah pemimpinnya, yaitu Lawa Ijo sendiri.
Melihat keempat orangnya itu tak
segera dapat mengatasi lawannya, Lawa Ijo tampaknya tidak sabar lagi. Tiba-tiba
ia mengeluarkan suatu suitan nyaring dan seperti seekor elang menyambar ia
terjun dari atap. Kedua tangannya dikembangkan dan tampaklah jari-jari
tangannya yang kokoh kuat itu siap menerkam Gajah Alit. Mahesa Jenar yang
memang sudah siap, tidak membiarkan Gajah Alit dilukai, segera ia pun meloncat
dari persembunyiannya. Geraknya tampak kuat, tangkas dan teguh seperti seekor
banteng yang terluka menyerang lawannya.
Mendengar suitan dari atas atap
itu, Gajah Alit segera sadar bahwa suitan itu seperti yang didengarnya tadi,
ternyata bukanlah suara Mahesa Jenar. Maka segera ia melontarkan diri jauh ke
belakang sampai empat lima depa, dan segera bersiap menghadapi kemungkinan dari
musuhnya yang baru itu. Melihat gerak yang demikian cepatnya ketiga musuhnya
jadi terkejut, demikian juga Lawa Ijo yang terpaksa membuat satu gerakan di
udara untuk mengubah arah terjunnya.
Tetapi kembali di luar dugaannya
bahwa dari arah lain datanglah dengan garangnya suatu serangan yang dahsyat.
Kembali Lawa Ijo mengubah gaya tubuhnya. Meskipun demikian ia tak mempunyai
kekuatan lagi untuk menyerang ke arah yang berlawanan, sehingga segera ia
melipat tangan kanannya untuk melindungi dada, sedangkan tangan kirinya
disiapkan untuk menyerang.
Pada saat kaki Lawa Ijo baru saja
menyentuh tanah, datanglah serangan Mahesa Jenar dengan dahsyatnya, sehingga
terjadilah suatu benturan yang sangat hebat dari dua tenaga raksasa. Tetapi
rupanya Mahesa Jenar menang perhitungan, sehingga Lawa Ijo terdorong ke
belakang dan kehilangan keseimbangan. Ia berguling dua kali ke belakang dan
barulah ia dapat tegak kembali.
Lawa Ijo merasakan dadanya sangat
nyeri, nafasnya agak sesak. Pukulan Mahesa Jenar yang dilontarkan sepenuh
tenaga itu rupanya telah melukai bagian dalam tubuh Lawa Ijo. Meskipun
demikian, pada saat benturan itu terjadi, tangan kiri Lawa Ijo ternyata telah
dapat mengenai pundak Mahesa Jenar, sehingga tangan kanan Mahesa Jenar pun
menjadi sakit dan geraknya menjadi terbatas.
Gajah Alit yang melihat munculnya
Mahesa Jenar dengan tiba-tiba itu menjadi girang, dan geraknya bertambah
mantap. Sambil menyerang kembali ia sempat berkata, “Ee.., kakang Rangga,
rupa-rupanya kau mau mengajak main sembunyi-sembunyian.”
Tetapi Mahesa Jenar diam saja,
sebab ia sedang berhadapan dengan lawan yang sangat tangguh.
Segera terjadi dua kancah
pertarungan yang dahsyat. Mahesa Jenar melawan Lawa Ijo, dan Gajah Alit melawan
tiga orang pengikut Lawa Ijo. Mungkin karena Lawa Ijo telah berhasil dilukainya
lebih dahulu, maka pertempuran antara Mahesa Jenar dan Lawa ijo yang namanya
terkenal ke segala pelosok dan ditakuti oleh siapapun, berhadapan dengan Mahesa
Jenar tak dapat berbuat banyak. Sekali dua kali memang ia bisa mengenai tubuh
Mahesa Jenar, tetapi sebaliknya Mahesa Jenar telah mengenainya dua kali lipat.
Karena tangan kanannya terluka,
Mahesa Jenar memusatkan serangannya pada kecepatan gerak kakinya. Dan ternyata
ini berbahaya sekali bagi Lawa Ijo. Pada suatu kali Lawa Ijo dengan dahsyatnya
menyerang arah tenggorokan Mahesa Jenar dengan dua buah jarinya yang dirapatkan.
Cepat-cepat Mahesa Jenar menghindar dengan menarik tubuhnya sedikit ke samping.
Tetapi secepat kilat Lawa Ijo mengubah serangannya dengan suatu tendangan ke
arah ulu hati Mahesa Jenar.
Serangan itu datangnya cepat
sekali, sehingga hanya dengan gerakan yang kecepatannya tak dapat dilihat,
Mahesa Jenar berhasil menangkis serangan itu dan dengan tangannya mendorong
kaki itu ke dalam. Dorongan itu begitu kuatnya sehingga Lawa Ijo terputar
setengah lingkaran. Maka kembali Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan ini.
Belum lagi kaki Lawa Ijo itu menjejak tanah, Mahesa Jenar telah memberikan
suatu tendangan dan dengan tumitnya ia mengenai lambung lawannya. Kembali Lawa
Ijo terlompat beberapa langkah.
Karena dada Lawa Ijo memang sudah
terluka, maka pukulan ini rasanya jauh lebih hebat dari serangan yang pertama,
sehingga Lawa Ijo terlompat ke belakang. Mahesa Jenar yang akan memburunya,
terpaksa segera menghentikan geraknya.
Seleret sinar putih terbang
menyambar dadanya. Secepat kilat ia miringkan tubuhnya, dan sinar putih itu
lari hanya berjarak setebal daun dari dadanya, mengenai dinding balai
perbendaharaan dan langsung menancap di sana hampir sampai ke tangkainya.
TERNYATA benda itu adalah sebilah
pisau yang pada tangkainyadiikatkan secarik kain yang bergambar seekor
kelelawar hijau dengan kepala serigala. Melihat pisau itu tertancap begitu
dalam, hati Mahesa Jenar tersirap juga. Kalau saja pisau itu menancap di
dadanya, entahlah apa jadinya.
Sementara itu terjadilah suatu
hal di luar dugaan. Setelah melemparkan pisaunya, segera Lawa Ijo meloncat ke
belakang dan secepat kilat ia melarikan diri. Mahesa Jenar tentu saja tak
membiarkan Lawa Ijo lari, sehingga ia segera mengejarnya. Tetapi di luar
dugaannya pula, kedua orang yang turut mengeroyok Gajah Alit segera
meninggalkannya dan menghadangnya.
Mereka sekarang sudah memegang
senjata di tangan masing-masing. Sebuah belati panjang. Mahesa Jenar menjadi
jengkel sekali. Sedianya ia sama sekali tak ingin melayani orang itu, supaya
tidak kehilangan Lawa Ijo. Tetapi kedua orang itu nekad menyerang Mahesa Jenar.
Terpaksa Mahesa Jenar berhenti untuk melayani kedua orang itu. Baik Mahesa
Jenar maupun Gajah Alit mengerti akan maksud kedua pembantu Lawa Ijo itu, yaitu
untuk memberi kesempatan kepada pemimpinnya supaya dapat meloloskan diri.
Karena itu Gajah Alit pun
berusaha untuk menghindari pertarungan dengan lawannya yang tinggal seorang itu
untuk dapat mengejar Lawa Ijo. Tetapi lawannya itu pun sudah seperti orang
kemasukan setan. Maka akhirnya Mahesa Jenar dan Gajah Alit mengambil keputusan
untuk menyelesaikan lawan masing-masing, baru berusaha menangkap Lawa Ijo.
Tetapi belum lagi mereka berhasil
menyelesaikan pertempuran itu, Lawa Ijo telah meloncat ke atas dinding halaman.
Kemudian kembali terdengar suara tertawa itu, suara tertawa yang menusuk-nusuk
hati begitu pedihnya seperti suara rintihan hantu kubur. Dengan cepat
tertawanya itu makin lama makin terdengar jauh dan lemah.
Menyaksikan hilangnya Lawa Ijo di
depan matanya, Mahesa jenar dan Gajah Alit menjadi gusar bukan kepalang. Dan
sekarang kegusarannya itu hanya dapat ditumpahkan kepada lawannya yang ketika
itu juga sudah berusaha untuk melarikan diri. Maka dengan kekuatan penuh,
Mahesa Jenar segera menghantam lawannya. Pisau yang dipegang oleh kedua orang
itu sama sekali tak berarti.
Pukulan Mahesa Jenar melayang
mengenai kepala salah seorang di antaranya, sehingga terdengar suatu jerit
ngeri. Disusul teriakan keras dari yang seorang lagi karena tulang-tulang
rusuknya rontok disambar kaki Mahesa Jenar. Maka seperti batang pisang keduanya
roboh di tanah dan tak bergerak-gerak lagi.
Belum lagi gema teriakan itu
berhenti, terdengarlah suara keluhan yang tertahan. Rupanya Gajah Alit pun
berhasil menyelesaikan pertempurannya. Hanya saja ia mempunyai cara sendiri untuk
menumpahkan kemarahannya. Dengan tangannya yang pendek kukuh itu ia menyambar
leher lawannya. Lalu dengan ibu jarinya yang kokoh ia menekan leher itu sampai
nafas lawannya putus.
Namun meskipun pada pagi harinya
terjadi kegemparan dalam istana, serta hampir tiap-tiap mulut menyatakan pujian
terhadap Mahesa Jenar dan Gajah Alit, yang telah berhasil menggagalkan usaha
Lawa Ijo, bahkan dapat pula membinasakan empat orang anggotanya, tetapi Mahesa
Jenar tetap merasa kagum akan kekuatan tenaga batin lawannya. Meskipun terjadi
perkelahian begitu hebatnya, serta beberapa kali terdengar teriakan dan suitan,
namun tak seorang pun dari mereka yang tertidur karena pengaruh sirep itu
terbangun.
Apalagi suara tertawa itu.
Alangkah tajamnya, sehingga mempunyai pengaruh yang luar biasa. Orang yang
tidak mempunyai daya tahan yang kuat tentu akan terpengaruh karenanya, akhirnya
menggigil ngeri dan kehilangan tenaga.
Sekarang, pada saat ia bertanding
melawan Watu Gunung untuk kepentingan Ki Asem Gede, kembali ia mendengar
tertawa yang demikian. Mirip sekali dengan suara tertawa Lawa Ijo. Orang-orang
yang tak berkepentingan serta tak terlibat dalam perkelahian itu pun menjadi
menggigil karenanya. Bahkan beberapa orang telah terduduk lemah tanpa kekuatan
lagi untuk dapat berdiri.
Mengingat pengalaman berhadapan
dengan Lawa Ijo, kegusaran hati Mahesa Jenar seperti tergugah. Dalam sejarah
hidupnya belum pernah ada seseorang penjahat yang sudah berada di bawah
hidungnya terluput dari tangannya. Meskipun ia sekarang bukan lagi seorang
prajurit Demak, ia tetap memiliki jiwa pengabdian untuk kedamaian hati rakyat.
Karena itu sekali lagi ia ingin bertemu dengan Lawa Ijo, yang sejak peristiwa
itu namanya tak pernah terdengar lagi.
Mahesa Jenar yakin, bahwa apabila
tak terbinasakan, pada suatu saat pasti Lawa Ijo akan muncul kembali. Watu
Gunung yang memiliki ciri-ciri khas sama dengan Lawa Ijo, tentu mempunyai
hubungan erat. Mungkin Watu Gunung adalah bekas gerombolan Lawa Ijo, atau
mungkin juga muridnya. Maka timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk
mempermainkan orang ini sebagai undangan buat kehadiran Lawa Ijo.
Kenangan dan pikiran-pikiran itu
hanya sebentar saja melintas di otak Mahesa Jenar. Sementara itu suara tertawa
Watu Gunung sudah kian lemah, kian lemah. Para penonton pun menjadi kian ngeri
dan ketakutan. Beberapa orang diantaranya terjatuh lemas seperti dicopoti
tulang-tulangnya. Saat yang mengerikan tentu segera tiba. Para penonton yang
mengharap segera berakhir riwayat kelima iblis itu, meratap dalam hati.
Tepat pada saat mulut Watu Ganung
terkatup, matanya segera berubah jadi merah dan liar. Wajahnya tampak bertambah
bengis. Ia memandang Mahesa Jenar dengan tajam. Tangannya direntangkan ke
samping, sedangkan jari-jarinya yang kuat itu dikembangkan, siap untuk menerkam
dan merobek lawannya. Setapak demi setapak ia maju mendekati umpannya.
Sementara Mahesa Jenar pun telah
siap, dan telah mendapat keputusan untuk mempermainkan lawannya. Tetapi ia tetap
waspada dan hati-hati, sebab ia tahu betapa kuatnya Lawa Ijo. Kalau saja orang
ini dapat mewarisi segala kehebatan Lawa Ijo, pertarungan tentu akan menjadi
sangat sengit.
Ketika jarak mereka tinggal
kira-kira dua depa, Watu Gunung menggeram hebat. Lalu dengan gerak yang cepat
sekali ia melompat menerkam Mahesa Jenar. Serangan yang dilontarkan dengan
sepenuh tenaga, serta dari jarak yang begitu dekat dengan kecepatan yang
tinggi, menjadikan darah para penonton berdesir. Apalagi ketika mereka melihat
Mahesa Jenar tidak sempat menghindari serangan itu. Ia hanya dapat melindungi
dirinya dengan tangannya, yang disilangkan di muka dadanya untuk menahan
terkaman jari-jari Watu Gunung.
Memang saat itu Mahesa Jenar sama
sekali tidak berusaha menghindar. Ia hanya mempergunakan tangannya untuk
melindungi dadanya.
KETIKA serangan itu datang,
terdengarlah beberapa jeritan tertahan, justru dari para penonton. Sedangkan Ki
Asem Gede pun tak sempat mengedipkan matanya. Mereka mengira bahwa akan terjadi
suatu benturan yang dahsyat dan tangan Mahesa Jenar akan dipatahkan.
Tetapi apa yang terjadi adalah
jauh dari itu. Sama sekali tak terjadi benturan yang keras. Sebab waktu tangan
Watu Gunung menyentuh tangannya, Mahesa Jenar surut ke belakang selangkah untuk
memusnahkan tenaga lawan. Sesudah itu ia gunakan enam bagian tenaganya untuk
mendorong lawannya.
Watu Gunung sama sekali tidak
mengira bahwa ia akan mengalami pelayanan yang demikian. Karena itu seperti
bola besi yang dilemparkan ke udara oleh tenaga seekor banteng, ia melayang
sebentar dan terjatuh beberapa depa ke belakang. Hanya karena kelincahan dan
keuletannya saja maka ia tidak terpelanting dan jatuh bergulingan.
Meskipun tubuhnya bergetar, Watu
Gunung berhasil tegak di atas kedua kakinya, bahkan ia telah siap pula dengan
sebuah pertahanan.
“Bagus. Ulet juga orang ini,”
desis Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar tidak mau
memberi kesempatan lagi. Watu Gunung geragapan, cepat-cepat ia rendahkan
tubuhnya dan melindungi lambungnya dengan siku. Tapi rupanya Mahesa Jenar tidak
betul-betul menyerang lambung itu, sebab sebentar kemudian tangan kanannya
sudah berputar mengenai tengkuk Watu Gunung. Kembali Watu Gunung
terhuyung-huyung ke samping. Dikerahkannya semua tenaganya untuk menahan
tubuhnya supaya tidak jatuh, dan dengan susah payah ia berhasil juga.
Perubahan yang terjadi demikian
cepatnya itu, menyebabkan para penonton terkejut bukan kepalang. Malahan
kemudian ada yang tidak percaya pada apa yang terjadi. Setan mana yang telah
membantu Mahesa Jenar mendapat kekuatan itu.
Samparan beserta ketiga kawannya
sampai berdiri. Sebagai orang yang penuh pengalaman, Samparan segera melihat
kekuatan Mahesa Jenar yang luar biasa itu.
Kalau mula-mula Mahesa Jenar
tampak lemah dan tak bertenaga, itu karena ia sedang menjajagi sampai di mana
kekuatan lawannya. Kalau mula-mula ia merasa yakin bahwa Watu Gunung akan
berhasil, sekarang adalah sebaliknya, ia menjadi yakin kalau Watu Gunung akan
binasa, atau setidak-tidaknya namanyalah yang binasa. Rupanya ketiga kawannya
pun berpikir demikian.
Apalagi Mahesa Jenar telah
mendesak demikian hebatnya. Anehnya, serangan serangan Mahesa Jenar tidak
tampak membahayakan. Pada suatu kali, ketika Mahesa Jenar meloncat dengan
dahsyatnya ke udara, kakinya bergerak menyambar kepala Watu Gunung, sehingga
Watu Gunung terpaksa merendahkan diri untuk menghindar. Tetapi segera kaki itu
ditarik, dan sekali menggeliat Mahesa Jenar telah berdiri di belakang Watu
Gunung. Tangannya bergerak cepat sekali ke arah kepala Watu Gunung. Serentak
hati para penonton tergetar. Hampir saja mereka bersorak, karena pasti kepala
Watu Gunung akan terhantam.
Tetapi rupanya Mahesa Jenar
berbuat lain. Ia hanya menyambar saja ikat kepala Watu Gunung yang berwarna
merah soga itu.
Mendapat perlakuan ini, wajah
Watu Gunung menjadi merah, semerah ikat kepalanya yang disambar Mahesa Jenar
itu. Giginya gemeretak menahan marah, dan tubuhnya bergetar secepat getaran
darahnya. Bagi kurang seperti Watu Gunung, lebih baik kepalanya diremukkan
daripada dihina sedemikian.