Ahlussunah wal Jamaah dalam
bidang fikih mengikuti salah satu empat madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I,
dan Hanbali. Dalam akidah pengikut Aswaja mengikuti Syekh Abul Hasan Al-Asy’ari
dan Abu Manshur Al-Maturidi serta yang sejalan dengan keduanya. Dalam tasawuf
mereka mengikuti Imam Al-Ghazali, Abul Hasan As-Syadzili, Junaid Al-Baghdadi,
dan yang sejalan dengan mereka.
Ahlussunah wal Jamaah
mengedepankan sikap tawassuth ( moderat ), tawazun ( seimbang ), i’tidal ( tegak
lurus ) dan tasammuh ( toleran ) dalam segala hal, termasuk dalam hal berdakwah
atau berceramah. Tidak terlalu ekstrem kanan yang cenderung radikal, tidak pula
ekstrem kiri yang cenderung liberal. Oleh karenanya, penceramah yang berhaluan
Ahlussunah wal Jamaah adalah orang yang berpegang pada empat prinsip di atas.
Untuk lebih memperjelas,
setidaknya ada beberapa contoh kriteria pendakwah Ahlussunah wal Jamaah sebagai
berikut :
Pertama, Tidak Mudah Memvonis Kafir Dan Munafik.
Prinsip yang sejak dulu dipegang
oleh ulama’ Aswaja adalah tidak mudah memvonis orang lain dengan tuduhan miring
seperti kafir atau munafik. Al-Imam Al-Ghazali mengatakan :
وَالَّذِيْ يَنْبَغِي أَنْ يَمِيْلَ الْمُحَصَّلُ إِلَيْهِ الْاِحْتِرَازُ مِنَ التَّكْفِيْرِ مَا وَجَدَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. فَإِنَّ اسْتِبَاحَةَ الدِّمَاءِ وَالْأَمْوَالِ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ إِلَى الْقِبْلَةِ الْمُصَرِّحِيْنَ بِقَوْلِ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ خَطَأٌ، وَالْخَطَأُ فِي تَرْكِ أَلْفِ كَافِرٍ فِي الْحَيَاةِ أَهْوَنُ مِنَ الْخَطَأِ فِي سَفْكِ مَحْجَمَةٍ مِنْ دَمِ مُسْلِمٍ.
Artinya : “ Yang seyogianya
dibuat simpulan adalah, menjaga diri dari mengafirkan orang lain sepanjang
menemukan jalan ( takwil ) karena sungguh penghalalan darah dan harta Muslim
yang shalat menghadap kiblat, yang jelas-jelas mengucapkan dua kalimat
syahadat, merupakan kesalahan. Padahal kekeliruan membiarkan hidup seribu orang
kafir lebih ringan daripada kekeliruan dalam membunuh satu nyawa Muslim,” ( Lihat
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Iqtishad fil I’tiqad, halaman 81 ).
Syekh Ibnu Najim al-Hanafi
mengatakan :
وَفِي الْخُلَاصَةِ وَغَيْرِهَا إِذَا كَانَ فِي الْمَسْأَلَةِ وُجُوْهٌ تُوْجِبُ التَّكْفِيْرَ وَوَجْهٌ وَاحِدٌ يَمْنَعُ التَّكْفِيْرَ فَعَلَى الْمُفْتِيْ أَنْ يَمِيْلَ إِلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ يَمْنَعُ التَّكْفِيْرَ تَحْسِيْنًا لِلظَّنِّ بِالْمُسْلِمِ.
Artinya : “ Dalam kitab
al-Khulashah dan lainnya, apabila dalam satu persoalan, terdapat banyak
pertimbangan yang menetapkan kekufuran dan satu pertimbangan yang mencegah
kekufuran, maka wajib bagi mufti untuk condong kepada pertimbangan yang
mencegah kekufuran, untuk berperasangka baik kepada sesama muslim”. ( Syekh
Ibnu Najim Al-Hanafi, Al-Bahrur Raiq, juz V, halaman 134 ).
Syekh Nawawi bin Umar Al-Bantani
mengatakan :
وَلَا تَقْطَعْ اَيْ لَا تَجْزِمْ بِشَهَادَتِكَ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ اَيِ الْمُسْلِمِيْنَ بِشِرْكٍ اَوْ كُفْرٍ اَوْ نِفَاقٍ فَاِنَّ ذَلِكَ أَمْرٌ صَعْبٌ جِدًّا فَإِنَّ الْمُطَّلِعَ عَلَى السَّرَائِرِ هُوَ اللهُ تَعَالَى فَلَا تَدْخُلُ بَيْنَ الْعِبَادِ وَبَيْنَ اللهِ تَعَالَى. قَالَ صلى الله عليه وسلم مَا شَهِدَ رَجُلٌ عَلَى رَجُلٍ بِالْكُفْرِ اِلَّا بَاءَ بِهِ اَحَدُهُمَا اِنْ كَانَ كَافِرًا فَهُوَ كَمَا قَالَ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ كَافِراً فَقَدْ كَفَرَ بِتَكْفِيْرِهِ اِيَّاهُ
Artinya : “ Janganlah memastikan
kesaksianmu atas orang Islam dengan syirik, kufur atau munafik. Karena
sesungguhnya hal tersebut perkara yang sangat berat. Sesungguhnya yang dapat mengetahui beberapa
isi hati adalah Allah, maka engkau tidak bisa ikut campur urusan pribadi hamba
dan Tuhannya. Nabi Saw bersabda, tidaklah seseorang bersaksi kafir kepada orang
lain, kecuali vonis kafir tersebut kembali kepada salah satunya. Jika yang
dituduh betul kafir, maka benar seperti apa yang dituduhkan. Jika yang dituduh
tidak kafir, maka sungguh yang menuduh telah kafir karena mengkafirkan pihak
yang dituduh kafir, ” ( Syekh Nawawi Al-Bantani, Maraqil Ubudiyyah,
Surabaya, Al-Hidayah, halaman 69 ).
Kedua, Tidak Memberontak Pemerintah.
Berdasarkan ijma’ ( kesepakatan )
ulama, bahwa tindakan makar / pemberontakan terhadap pemerintah yang sah adalah
haram meski pemerintah itu fasik atau zalim.
Al-Imam An-Nawawi menegaskan :
وَأَمَّا الْخُرُوجُ عَلَيْهِمْ وَقِتَالُهُمْ فَحَرَامٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ كَانُوا فَسَقَةً ظَالِمِينَ.
Artinya : “ Adapun keluar dari
ketaatan terhadap penyelenggara negara dan memeranginya maka hukumnya haram
berdasarkan ijma’ ulama, meskipun mereka fasik dan zalim,” ( Lihat An-Nawawi,
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, Beirut, Daru Ihya’it Turats, 1392
H, juz XXII, halaman 229 ).
Sepanjang sejarah, ulama’ Aswaja
tidak pernah ada kamus memberontak kepada pemerintahan yang sah. Saat
pemerintahan dipegang rezim Muktzilah, sikap ulama Aswaja pada waktu itu tetap
menghormati pemimpinnya. Ulama seperti Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim,
At-Tirmidzi, dan beberapa ulama besar Aswaja abad ke-3 hijriyah lainnya tidak
pernah memfatwakan pemberontakan kepada Khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tashim, dan
Al-Watsiq dari kalangan Muktazilah Jahmiyyah yang memegang tampuk pemerintahan.
Dr Abdul Fattah Qudais Al-Yafi’i
menegaskan :
وَلَمْ نَسْمَعْ أَنَّ أَحَدًا مِنْهُمْ حَرَّمَ التَّعَامُلَ مَعَ أُوْلَئِكَ الْقَوْمِ أَوْ مَنَعَ الْاِقْتِدَاءَ بِهِمْ أَوِ الْقِتَالَ تَحْتَ رَايَتِهِمْ فَيَجِبُ أَنْ نَتَأَدَّبَ بِأَدَبِ السَّلَفِ مَعَ الْمُخَالِفِ
Artinya : “ Kami tidak mendengar
salah seorangpun dari mereka ( ulama Aswaja ) mengharamkan berinteraksi dengan
pemimpin-pemimpin yang bermadzhab Muktazilah itu atau mencegah umat untuk
mengikuti mereka atau mencegah berperang di bawah komando mereka. Maka, wajib
bagi kita beretika seperti etika ulama salaf dengan pemimpin yang berbeda
pandangan,” ( Lihat Syekh Dr Abdul Fattah Qudais Al-Yafi’i , Al-Manhajiyyah
Al-‘Ammah fil Aqidah, Shan’a, Maktabah al-Jaylu al-Jadid, Shan’a, cetakan
pertama, 2007 M, halaman 32-33 ).
Andaikan ditemukan kekeliruan dari kebijakan pemerintah, maka
hendaknya memberi nasihat dengan cara yang santun, bijak dan sesuai konstitusi.
Tidak dengan caci maki, mengumbar aib di media sosial atau cara-cara yang
inkonstitusional.
Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ نَصِيْحَةٌ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلَا يُكَلِّمْهُ بِهَا عَلَانِيَّةً، وَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَلْيَخْلُ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَهَا وَإِلَّا قَدْ كَانَ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ وَالَّذِيْ لَهُ
Artinya : “ Barangsiapa hendak menasehati pemerintah,
maka janganlah dengan terang-terangan di tempat terbuka. Namun jabatlah
tangannya, ajaklah bicara di tempat tertutup. Bila nasihatnya diterima,
bersyukurlah. Bila tidak diterima, maka tidak mengapa, sebab sungguh ia telah
memenuhi kewajibannya dan memenuhi haknya, ”
( HR Al-Hakim, shahih ).
Ketiga, Menghargai Perbedaan.
Dalam setiap perbedaan yang
bersifat furu’iyyah, pendakwah Aswaja tidak mengklaim sesat atau fasik kepada
pihak lain. Syekh Abdul Qahir Al-Baghdadi mengatakan tentang ciri khas Aswaja
sebagai berikut :
وَاِنَّمَا يَخْتَلِفُوْنَ فِي الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مِنْ فُرُوْعِ الْأَحْكَامِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمْ فِيَما اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنْهَا تَضْلِيْلٌ وَلَا تَفْسِيْقٌ وَهُمُ الْفِرْقَةُ النَّاجِيَةُ
Artinya : “ Dan mereka hanya
berbeda dalam halal dan haram dari beberapa cabangan hukum. Tidak ditemukan
dalam perbedaan di antara mereka vonis penyesatan dan tuduhan fasiq. Mereka
adalah kelompok yang selamat,” ( Lihat Syekh Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farqu
Bainal Firaq, Beirut, Darul Afaq Al-Jadiddah, 1977 M, halaman 20 ).
Keempat, Berdakwah Dengan Ramah
Ulama Aswaja berdakwah dengan
penuh kasih sayang dan kelembutan. Mereka berdakwah dengan cara bertahap.
Sedikit demi sedikit menuntun masyarakat, tidak secara frontal mengharamkan di
sana sini. Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith mengatakan :
وَقَالَ سَيِّدُنَا الْإِمَامُ عَبْدُ اللهِ بْنِ حُسَيْنِ بْنِ طَاهِرٍ نَفَعَ اللهُ بِهِ يَنْبَغِيْ لِمَنْ أَمَرَ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ نَهَى عَنْ مُنْكَرٍ أَنْ يَكُوْنَ بِرِفْقٍ وَشَفَقَةٍ عَلَى الْخَلْقِ يَأْخُذُهُمْ بِالتَّدْرِيْجِ. فَإِذَا رَآهُمْ تَارِكِيْنَ لِأَشْيَاءَ مِنَ الْوَاجِبَاتِ فَلْيَأْمُرْهُمْ بِالْأَهَمِّ فَالْأَهَمِّ. فَإِذَا فَعَلُوْا مَا أَمَرَهُمْ بِهِ انْتَقَلَ إِلَى غَيْرِهِ وَأَمَرَهُمْ وَخَوَّفَهُمْ بِرِفْقٍ وَشَفَقَةٍ مَعَ عَدَمِ النَّظَرِ مِنْهُ لِمَدْحِهِمْ وَذَمِّهِمْ وَعَطَاهُمْ وَمَنْعِهِمْ، وِإِلَّا وَقَعَتِ الْمُدَاهَنَةُ. وَكَذاَ إِذاَ ارْتَكَبُوْا مَنْهِيَّاتٍ كَثِيْرَةً وَلَمْ يَنْتَهُوْا بِنَهْيِهِ عَنْهَا كُلِّهَا، فَلْيُكَلِّمْهُمْ فِيْ بَعْضِهَا حَتَّى يَنْتَهُوْا، ثُمَّ يَتَكَلَّمُ فِيْ بَعْضِهَا حَتَّى يَنْتَهُوْا، ثُمَّ يَتَكَلَّمُ فِيْ غَيْرِهَا وَهَكَذَا
Artinya : “ Habib Abdullah bin
Husain bin Tahir mengatakan bahwa sebaiknya orang yang menyeru kebaikan dan
mencegah kemunkaran melakukannya dengan halus dan penuh kasih sayang kepada
makhluk. Mereka menuntunnya dengan bertahap. Apabila masyarakat meninggalkan
banyak kewajiban, maka prioritaskanlah mereka dengan kewajiban yang paling
urgen. Jika mereka sudah mampu menjalankan satu kewajiban, maka baru berpindah
kepada kewajiban yang lain dan memerintahkan serta memberinya peringatan dengan
lembut dan kasih sayang dengan tidak mempedulikan sanjungan, cacian dan
pemberian mereka. Bila tidak demikian, maka akan terjadi mudahanah ( penipuan / mengambil muka ). Demikian
pula jika masyarakat melakukan banyak kemunkaran dan tidak dapat meninggalkan
keseluruhannya, maka cegahlah sebagiannya sampai mereka mampu meninggalkan.
Kemudian beralih pada persoalan lain sehingga mereka meninggalkannya, dan
demikian seterusnya. ” ( Lihat Habib Zain bin Smith, Al-Manhajus Sawi, Jakarta,
Darul Ulum Al-Islamiyyah, cetakan ketiga, 2008 M, halaman 311-312. )
Wallahu a'lam
Taqobbalallahu minna waminkum
taqobbal yaa kariim
Wassalamu'alaikum warohmatullah
wabarokatuh
No comments:
Post a Comment