“ Bib, keistimewaannya ziarah
walisongo apa…? ”,
Kulo njih semaur : “ Isin ( malu.)
! ”
“ Lho, bukannya istimewanya ada pada berkah ( mencari
berkah..) ”.
Kulo semaur maleh “ Bukan.
Terlalu tinggi itu buat saya.” Tandas saya.
Njenengan tingali, Kanjeng Sunan
Ampel misale, sampun pirang ratus tiyang ingkang berdzikir di makam beliau
saban dintene…?
Makam Kanjeng Sunan Kalijaga,
pirang ratus tiyang ingkang menyebut Asmane Gusti Allah teng mriko saban
wengine….?
Kanjeng Sunan Muria, pirang ewu
tiyang ingkang nderes Quran dan maos shalawat teng mriko ( Muria )…?
Kulo piyambak mawon taseh
kangelan mengajak anak-anak bakda maghrib untuk berkumpul dan memperkenalkan
ajdad ( leluhur ), berdoa, berdzikir, dan membaca Quran.
Pripun carane supoyo saget
seramai di makam para auliya` Allah Walisongo…? Padahal mereka sudah wafat
ratusan tahun yang lalu, dan kulo taseh urip.
Berziarah, selain melahirkan
budaya malu seperti tadi, seharusnya berfungsi memperkenalkan siapa yang ada di
makam tersebut kepada anak-anak kita.
Seharusnya bukan Walisongo saja,
tapi perkenalkan juga siapa Kiai Sentot Prawirodirjo, siapa Kiai Diponegoro,
siapa Jenderal Sudirman, karena kita semakin lupa dengan para pahlawan negeri
ini.
Lihatlah bendera kita, merah
putih, ia berdiri tegak bukan secara gratis…! Ada darah dan nyawa para pahlawan
yang harus dibayar untuk “ membeli ” bendera itu. Coba kita kenalkan para
pahwalan itu setiap habis maghrib.
Ibarat kita sudah merdeka ini,
seperti ada hidangan di meja di depan kita dan kita tinggal melahapnya saja.
Tapi bukannya melahap, eh malah sibuk ribut sendiri, saling sikut, mau diadu
domba.
Makam Sunan Ampel saja, yang
sudah wafat ratusan lalu, masih sanggup mempersatukan masyarakat sekarang yang
masih hidup. Pintu makam selalu dibuka, semua orang dapat menziarahi, apapun
warna kulitnya, apapun partainya, dan di kanan-kiri banyak orang berjualan,
pendapatan mereka bertambah, ada pekerjaan yang dapat menyambung hidup mereka. Muka kita mau
ditaruh dimana, wong orang yang sudah mati saja masih bisa begini, tapi kita
yang masih hidup tidak bisa apa-apa…?
- Habib
Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya, Pekalongan -
No comments:
Post a Comment