Photo

Photo

Saturday 18 May 2019

Jaka Indi Dan Dunia Astral, Bagian 10


Hutan Labirin

Jaka Indi kemudian mengamati Arimbi lekat-lekat, yang saat ini sedang duduk sesegukan dengan kepala tertunduk dan meluruskan kedua kaki rampingnya yang halus, tercium aroma wangi yang keluar dari tubuhnya, sungguh gadis cantik yang sangat mempesona dan menakjubkan.

Jaka Indi pernah menemui beberapa mahluk astral baik dari jenis siluman, jin maupun peri, dari yang memiliki bau harum bunga kamboja, bau busuk, bau bacin, bau tinja, sampai yang berbau harum kembang melati dan bunga kenanga juga pernah dijumpainya.

Tapi seumur-umur baru kali ini ia dapati ada mahluk yang dari kelenjar hormonnya bisa mengeluarkan berbagai aroma harum yang berbeda-beda, dan semua aroma yang dikeluarkan merupakan aroma yang harum wangi.

Tiba-tiba suara pintu diketuk seseorang,
Tuk...tuk...tuk...

" Kakak...aku pulang ..."

Bersamaan suara pintu dibuka masuklah seorang bocah cilik bermantel kulit coklat, bercelana pendek, berusia sekitar tujuh tahun yang tubuh, dan wajahnya ditumbuhi rambut dan bulu lebat berwarna kuning keemasan semirip dengan kera kecil, hanya saja tak ada ekornya, sangat mirip, hanya saja bocah ini lebih tampan dan bulu keemassannya yang berkilauan membuat bocah ini terlihat lebih menarik.

Melihat bocah cilik ini mengingatkan Jaka indi akan pangeran Abhinaya. Bocah cilik itu membawa keranjang bambu yang berisi buah-buahan dan sayuran.

" Hai... paman ini siapa…?  
“ mengapa bisa ada disini…? “
“ Pasti paman kesasar ya...? "
" Paman berasal darimana…? "
" Wuah...! kenapa paman makan makananku…? “ ujar bocak cilik itu, yang terus nyerocos sambil mendelik kearah Jaka indi.

" Gochan,..."
" Paman itu tamu kita, namanya Jaka Indi, aku yang menyuruhnya makan, dan ini adikku gochan, “ terang Arimbi yang tampak sudah tenang.

Yaa... begitulah wanita... kadang suasana hatinya seperti cuaca, ....  ada saatnya mendung, cerah, tiba-tiba hujan....  lalu hangat seketika....

" kak... ini aku bawakan madu hitam, Sambil menyerahkan sebotol kecil madu hitam.”

Arimbi hanya tersenyum menerima memberian bocah cilik itu.

“ Kamu makan dulu, ngobrolnya nanti saja, biar kakak temani, “ sambil menarik tangan bocah cilik itu untuk duduk dihadapannya.

Kemudian Arimbi menyiapkan sayur dan buah-buahan yang masih tersisa, sementara Gochan langsung menyantap makanan, tanpa menggubris lagi keberadaan Jaka indi, sedang arimbi sendiri hanya mengambil dua butir mutiara yang dihancurkan dengan kedua jarinya lalu bubuk mutiara itu dimakannya, dilanjutkan dengan meminum beberapa tetes madu.

Jaka Indi hanya diam mengamati tanpa bersuara apapun.

" Nona Arimbi, sekarang bolehkah kupergi…? " tiba-tiba ia bertanya.
" Tidak boleh…! "
" Tidak bisa ! " jawab Arimbi tegas,

" Nona, hari telah mulai gelap, aku harus sesegera mungkin kembali, memangnya apa lagi yang harus kulakukan….? "

" Siapa yang sudah masuk ketempat ini tidak akan ada yang bisa keluar lagi dari tempat ini ! " Celetuk gochan, tiba-tiba.

" memangnya ada apa….? "

" Paman coba saja kalau tidak percaya " kata goc han sambil tangannya menjumput buah pisang.

" Apa....! "
" gak bisa keluar…? “
" Maksutnya bagaimana…? " tanya Jaka Indi dengan terperanjat.

" Sinona menoleh dan mendeliki Jaka indi ..."
" Maksutnya kamu tidak akan mungkin bisa keluar dari tempat ini, tidak akan bisa menembus hutan, tidak akan ingat arah kembali. "
“ Jadi kamu sebaiknya sementara waktu menunggu disini. "

" Aku bisa sampai sini tentu aku ingat arah datangku, biarlah kupamit sekalian, dan maaf atas kesalahanku, serta terima kasih atas makanan dan keramah tamahan nona."

" Terserah kamu saja ..." Arimbi hanya angkat bahu dengan sikap masabodoh.

" Paman kalau kesasar, aku gak nanggung lho, "  kata gochan sambil merebahkan tubuhnya dan mengelus-ngelus perutnya yang kembung kekenyangan.

Kemudian Jaka Indi pamit dan mulai keluar pondok, terlihat malam sudah mulai menjelang, tapi ada cahaya sinar bulan yang menyinari kegelapan malam, Jaka Indi berlari menembus hutan, dengan mengingat arah kedatangannya, namun setengah jam berlari ia merasa seperti kembali ketempat awal, kemudian Jaka Indi mencoba mengulang kembali arah yang ditempuhnya dengan memberi tanda silang dengan keris kyai sengkelatnya pada pohon-pohon yang dilaluinya, anehnya tetap saja ia kembali lagi ketempat semula, bahkan beberapa pohon yang diberi tanda silang olehnya sebahagiannya sudah tidak tampak.

" Sungguh sangat aneh...! " Renung Jaka indi.

Jaka indi jadi teringat kisah sunan kalijaga saat mencari pohon Jati yang berada di lereng bukit gombel, yang secara ajaib pohon jati yang dicari tidak ada dan berpindah tempat, hingga daerah tersebut dinamai " Jati ngaleh ".

" masak sih..." hutan ini ada jin isengnya fikir Jaka indi

Tapi setelah berulang kali mencoba Jaka indi tetap kembali lagi ketempat semula. Jaka Indi mulai menyadari kalau tumbuh-tumbuhan yang ada dihutan ini, disusun dengan suatu formasi yang bisa menyesatkan,  yaa... semacam HITAN LABIRIN.

Labirin adalah merupakan sebuah sistem jalur yang rumit, berliku-liku, serta memiliki banyak jalan buntu.

Kalau hutan biasa dialam manusia, tentu Jaka Indi bisa naik keatas puncak pohon lalu berjalan lurus diatas puncak dahan pohon yang satu kepohon yang lain, permasalahannya pohon di hutan pegunungan kapila ini, tidak hanya lebat, bahkan tingginya rata-rata mencapai ratusan meter, besar batang pohon bisa mencapai empat atau lima lingkar tangan orang dewasa.

Lalu dicobanya lagi oleh jaka Indi dengan mulai berlari dari sisi yang berbeda, namun tetap saja Jaka Indi hanya berputar-putar dan pada akhirnya kembali ketempat yang sama. Mengapa tadi menuju rumah podok bambu begitu mudahnya, tapi saat akan keluar aku tidak bisa…?

" Mungkinkah karena aku kesini, mengikuti arah indra pendengaran dan penciumanku "

" Hadeuuuwh.... Kumaha euy….? " Renung Jaka Indi.

Kemudian Jaka Indi mulai mencoba duduk bersila dan meditasi untuk fokus memasang indra pendengarannya, namun hanya suara gemercik air, beberapa suara hewan hutan dan uap panas beraroma belerang dari tempat kolam pemandian Arimbi. yang dapat ditangkap indranya, mungkinkah karena hutan ini terlalu luas hingga aku tak bisa mendengar suara lainnya…? renungnya dalam hatinya

Setelah menghimpun semangatnya, Jaka Indi kembali berlari, hanya saja, arahnya berbalik menuju tempat rumah pondok bambu mengikuti arah sumber gemericik air dan uap air belerang berasal.

" Tok...tok...tok...tok... nona...nona...Arimbi, aku kembali..."

" apa aku boleh masuk dan istirahat semalam disini….? "

Yang membukakan pintu ternyata gochan, Jaka Indi dapat melihat kedalam ruang, kalau Arimbi sudah tidur diatas tali sutra kecil yang terbentang antara dua dinding. Sedang gochan memberikan kain selimut dan katanya,

" Paman tidur diteras saja, di dalam pondok hanya untuk perempuan dan anak kecil … "

" Wuaah... dingin dong…! "
" Ok...Siip ..."
" makasih ya..."

Diambilnya kain selimut bergaris biru putih pemberian gochan. lalu diletakkannya disudut teras. Melihat kegelapan malam dan posisi bulan, sepertinya saat ini sudah kisaran jam 11 malam. Namun dikarenakan sudah beberapa hari tidak mandi Jaka Indi tidak langsung tidur tapi justru mulai membuka bajunya satu per satu. hingga meninggalkan celana boxer, semacam celana dalam pendek warna hitam, kemudian ia berjingkat perlahan menuju kolam pemandian air panas.

Sambil berendam, menggosok seluruh badannya dengan kedua telapak tangannya, Jaka Indi mulai bernyanyi...

" Karena ku selow, sungguh selow
Sangat selow, tetap selow
Santai, santai, ...
yang penting selalu happy...

Sik...asyiiik...."

Ya... begitulah... walau suara Jaka Indi tidak terhitung bagus, tapi Jaka Indi juga gemar bernyanyi. Sudah kebiasaannya saat mandi... Jaka Indi ... bernyanyi.... masalahnya lagu slow yang sering ia dendangkan ini, ia tidak terlalu hafal, jadi hanya bait itu yang suka diulang-ulang, itupun sudah versi asal ucap dan asal ingat saja yang penting ia merasa senang....

" Karena ku selow, sungguh selow...
Sangat selow, tetap selow
Santai, santai, yang penting selalu happy...

Sik...asyiiik...."

Berendam dipemandian air panas alami membuat segala kepenatan badan Jaka Indi ikut sirna.

" Hmmmm.... rasanya nyaman sekali....

" Karena ku selow, sungguh selow...
Sangat selow, tetap selow
Santai, santai, yang penting...

" Hadeeeuhhh...! lagu apa itu paman...?  Pakai santai – santai "  kata gochan, yang tiba-tiba muncul ditepi kolam tempat Jaka Indi mandi dengan rada kesal.

" Ini lagu orang ganteng yang lagi santai, “ ujar Jaka Indi sekenanya

" Lho anak kecil "
" kenapa belum tidur…? “ tegur Jaka Indi balik.

" Tadinya aku menganggap paman ini hanya rada bodoh dan ketolol-tololan, tapi sekarang aku baru sadar ternyata paman juga gak tahu aturan...!”

" masa suara sember begitu nyanyi keras-keras, mana sudah tengah malam begini, aku dan kak Arimbi jadi gak bisa tidur tauk. "  Kata gochan kesal sambil mendeliki Jaka Indi, maklum saja, gochan selama ini hanya mendengar suara nyanyian Arimbi yang suaranya bening dan merdu, tiba-tiba mendengar suara Jaka Indi, rasanya jadi sangat mengganggu telinganya.

Jaka Indi hanya tertawa dan nyengir. Kecuali tertawa nyengir, rasanya dia tidak bisa berbuat lain, menghadapi bocah cilik yang gampang sewot dan pinter bicara ini.

" Upps...! "
" maaf ya... Sudah…. Bobo sana... Paman gak akan nyanyi lagi " kata Jaka Indi kalem.

Jaka Indi lalu menenggelamkan seluruh kepala dan badannya kedalam air, dengan tehnik bernafas melalui permukaan kulit, sekarang Jaka Indi sudah mulai bisa berada dibawah air selama dua puluh menitan.

Hening sesaat tanpa reaksi apapun. Gohan kembali melangkah kedalam pondok.

Jaka indi tahu bahwa lawan bicara yang paling sulit dihadapi adalah perempuan yang sedang kesal hati dan bocah cilik yang bawel, terkadang sikap pura-pura bodoh dan berdiam diri adalah hal yang paling efektif.

Setelah satu jam mandi berendam, Jaka Indi kemdian keluar dari kolam pemandian dan mengeringkan badannya, dengan jalan berjingkat keteras pondok bambu, mengenakan pakaiannya lalu sholat malam, meditasi sekitar limabelas menit, berikutnya diputuskannya untuk memikirkan jalan pulangnya besok saja. Saat ini hal yang penting baginya adalah pergi tidur, guna memulihkan seluruh tenaganya.

zzzZzZzzz....
ZzzzzZzZZzz....
zzzZZZzzzzz ....

Matahari bersinar terang, menyinari jagad raya. Jaka Indi baru mendusin setelah terkena sorot sinar mentari. Ia bangun dari tidurnya, terasa semangat dan tenaganya telah pulih, lamat-lamat terdengar lagu kesukaannya...

" Karena ku selow, sungguh selow...
Sangat selow....
Santai....santai... "

Ketika Jaka Indi menengok kearah sumber suara.... Astaga ternyata gochan yang lagi mandi sambil menyanyi, mengikuti lagu yang semalam ia dendangkan. Yaa... umumnya anak kecil memang suka meniru kebiasaan orang dewasa.

Sejenak Jaka indi mengolet dengan meluruskan kaki dan tangannya, lalu diregangkannya seluruh tubuhnya ....

“ ehmmm... Eeenaknya....  ngolet dipagi hari....  “ setelah itu Jaka Indi bangkit berdiri, mengambil air wudhu dan segera melaksanakan kewajiban ibadah, tapi kali ini seusai melaksanakan sholat, Jaka Indi tidak melakukan meditasi pagi, melainkan menatap halaman berumput hijau yang terbentang luas, dengan banyak bunga-bunga yang bermekaran.

Indah sekali pagi ini, berada diteras pondok bambu dikelilingi taman bungga, dengan rerumputan hijau, membuatnya merasa betah berlama-lama

Sekarang ia mengerti, mengapa muda-mudi yang sedang berkasih mesra menyukai taman bunga, mengawasi bunga-bunga yang bermekaran, kembang warna-warni yang serempak meliuk gemulai kala diterpa angin, sungguh pemandangan yang mempesona, ditambah harum semerbak seribu bunga, desir lembut spoi spoi angin, laksana bisikan kekasih, sungguh sesuatu yang menyejukkan dan menggembirakan hati.

Taman bunga sering mengingatkan seseorang akan kenangan paling manis dan mesra yang tak terlupakan. Jaka Indi merasa kehidupan ini benar-benar menyenangkan, kicau burung yang merdu, hembusan angin yang lembut, bahkan bentangan rumput liar sepanjang mata memandang, semua terlihat indah dan menyenangkan.

" Karena ku selow, sungguh selow...
Sangat selow....
Santai....santai..."

Kembali terdengar suara gochan bernyanyi, dengan suara anak-anak yang lucu dan rada-rada cadel....

" Gochan...!!
" Paman temani mandi, "  kata Jaka Indi yang sudah mulai melepaskan pakaian dan langsung berlari dan melompat menceburkan diri dalam kolam, hingga permukaan air kolam muncrat dan menciprat kemana-mana.

Gochan... hanya tertawa gembira saja... melihat ulah Jaka Indi.

Sepuluh menit berendam dan bermain air, jaka indi lantas teringat sesuatu,
" Gochan...! "
" Kemanakah kak Arimbi…? "
" aku belum melihatnya keluar dari dalam pondok….? "

" Kak Arimbi sudah keluar pagi-pagi sekali, saat paman masih tidur ngelepus, " Ucap Gochan seenaknya.

" Gochan mengapa paman tidak bisa keluar dari hutan ini, apa kamu bisa memberi tahu bagaimana caranya agar paman bisa keluar dari tempat ini…? "

" Paman..., sekitar enam bulan yang yang lalu aku juga tersesat dihutan ini, yang kemudian membawaku bertemu kak Arimbi.
" Sudah berulangkali mencoba aku juga tidak pernah bisa keluar dari tempat ini. Begitulah paman.... sejak saat itu aku tinggal bersama kak Arimbi. "

" Apa hanya kamu berdua kak Arimbi saja yang tinggal di tempat ini….? "

" Dulu sih.... kata kak Arimbi ada nenek Sasri, yang menemani kak Arimbi,  tapi katanya beliau sudah meninggal, sebelum kedatanganku"

" Jadi sekarang hanya kami bertiga yang tinggal ditempat ini. "

" Lho dengan siapa lagi….? "

" Aku... kak Arimbi dan paman.... wkwkwk....”

Jaka Indi hanya menjawab, dengan senyum mangkel dan sontak mencipratkan air kemuka gochan, lalu pergi keluar dari pemandian.

Setelah berpakaian Jaka Indi coba mengelilingi lokasi sekitar pondok, ternyata didapati bahwa pondok tersebut berada diareal pemukiman yang luas, dan ada pula beberapa pondok bambu kuning yang sudah tidak berpenghuni. disamping itu juga ada terdapat beberapa perkebunan kecil dan taman-taman bunga dan disalah satu taman juga ada ayunan kayu.

Jalan lagi kearah barat, terlihat hutan bambu, yang didekatnya terdapat satu bangunan pondok bambu kuning. Jadi kalau diperhatikan. sesungguhnya ini dahulunya dusun kecil yang dikelilingi hutan melingkar, yang merupakan perkampungan penduduk ditengah hutan.

Lantas kemanakah penghuni perkampungan yang lainnya, dan mengapa pula perkampungan ini dikelilingi oleh hutan labirin, renung Jaka Indi dalam hatinya.

Jaka Indi kemudian jalan kembali menuju pondok dewi Arimbi. Dewi Arimbi yang tadi tak terlihat telah berdiri didepan pintu pondok dan menggapai tangan kanannya kearahnya serta memanggil gochan.yang masih berendam didalam kolam air panas.

Harum aroma masakan tercium sedap oleh hidung Jaka Indi saat kakinya masuk melangkah kedalam pondok bambu, diikuti oleh gochan yang menyusul dibelakangnya. Ada sayur lobak putih dengan irisan bawang putih dan cabai merah, sayur kangkung dan beberapa lalapan, dan satu sisir pisang, serta beberapa buah-buahan, tapi tetap tidak ada nasi dan daging. Mereka duduk bersama dalam satu meja, Arimbi kembali terlihat hanya makan dua butir mutiara dan dua sendok kecil madu. Sedang sayur mayur dan buah-buahan hanya Jaka Indi dan gochan yang menyantapnya, gochan sangat menyukai buah pisang sudah empat buah pisang yang dimakannya.

Jaka Indi mulai membuka percakapan. " Arimbi... saat berkeliling tempat ini kutemukan beberapa pondok bambu kuning, apakah dahulunya ini merupakan perkampungan penduduk dan kemanakah para penghuninya.”

" Iya... dahulu sekali ini memang perkampungan para peri langit, para peri langit tidak sama dengan peri umumnya, karena peri langit dapat terbang diudara, dan kami para peri langit hanya makan sari madu dan bubuk mutiara, tidak makan yang selain itu, permasalahannya jumlah bangsa peri langit tidaklah banyak, kami banyak diburu bahkan dibunuh oleh mahluk astral lain, menurut mereka tidak saja daging peri langit sangat lezat, tapi mereka juga mempercayai memakan daging peri langit dapat membuat panjang umur dan meningkatkan kecerdasan, serta membuat aroma tubuh selalu harum dan bisa memberi berbagai khasiat lainnya. "

Gochan sepertinya tidak terlalu perduli dengan percakapan yang berlangsung justru mulai merebahkan tubuhnya dan mengelus ngelus perutnya, yang kekenyangan, sesaat kemudian gochan bangkit berdiri.

“ Kak aku main kehutan dulu ya... ? "
" paman mau ikut tidak…? " katanya seketika memotong pembicaraan.

" pergilah bermain...."
" Paman masih ada perlu sama kakakmu..." jelas Jaka Indi.

Gochanpun jalan berlalu keluar pondok.. .sambil bernyanyi....

Karena ku santai....
Tetap santai ..
Sangat santai....
Selalu santai....
Santai.....santai....

" Gochaaannn.... syairnya salah....! "  kata Jaka Indi meneriaki gochan yang telah mulai jalan keluar pintu pondok.

Tapi tampaknya gochan tidak perduli... dan tetap bernyanyi seenaknya...

Selalu santai ....
Santai...santai....
Tetap santai

Arimbi hanya tersenyum melihat tingkah gochan.

Lalu Arimbi menghela nafas sesaat, sebelum kembali melanjutkan ceritanya.

Ribuan tahun yang lalu, Leluhur para peri langit sengaja membangun dan mengatur tumbuh-tumbuhan hutan ini dengan suatu sistem formatur tertentu.

" Dengan membuat hutan labirin..." ujar Jaka Indi memastikan.

" Ya....semacam itu...."

" Tujuan pembangunan hutan yang luas dengan ditanami tumbuh-tumbuhan tinggi yang dibuat dan ditanam berdasar komposisi yang rumit, bertujuan untuk melindungi para peri dari gangguan mahluk lain. "

" Bahkan bangunan pondok semuanya sengaja dibangun bukan dengan bahan kayu tapi dengan bambu kuning, untuk melindungi para peri langit dari energi negatif, "

" Banyaknya bunga-bunga yang ditanam disetiap pondok juga bertujuan menyamarkan bau harum yang keluar dari tubuh para peri langit. Bau harum yang keluar dari tubuh peri langit dapat mengundang mahluk lain. "

Jaka Indi teringat saat dirinya meditasi didalam peti mati yang dikubur, karena mencium aroma harum yang unik, sampai membawanya kemari

 "Lalu kemanakah para peri langit yang lainnya, apakah kamu tinggal satu-satunya peri langit yang ada!...? “

" Karena tinggal ditengah hutan labirin ini, dianggap masih dapat membahayakan kehidupan para peri langit, maka sebahagian besar peri langit memindahkan huniannya kenegeri atas awan, hanya lima peri saja yang tetap tinggal di tengah hutan labirin ini.

" Negeri atas awan... itu maksutnya bagaimana….? dan kemanakah empat peri langit yang lainnya. ”

" Negeri atas awan itu, maksutnya ya.... membuat perkampungan dan tempat tinggal diatas awan. “

Jaka Indi jadi ingat saat menjelaskan ke putri Kirana, bahwa ia keperjalanan astral melalui portal ghaib, dan putri Kirana juga bertanya portal ghaib itu apa, saat itu Jaka Indi hanya menjelaskan portal ghaib ya portal ghaib,  yup... sama sulitnya bagi Jaka Indi memahami adanya negeri diatas awan.

" Prihal keempat peri langit yang lainnya.... aku juga tidak tahu saat ini berada dimana…”

" Awalnya hanya dua peri langit yang pergi, untuk mencari istana permata....."

" tapi karena lama tidak kembali, disusul dua peri langit lainnya untuk mencari....,"

" Namun hingga saat ini sudah bertahun belalu... belum juga ada yang kembali. "

" Awalnya aku berencana kembali kenegeri peri langit diatas awan, tapi sebelum ku pergi ada nenek Sasri yang kesasar kedalam hutan labirin ini, hingga dalam kurun waktu beberapa tahun aku menemaninya, dan sewaktu nenek Sasri wafat, tak lama giliran gochan yang kesasar kemari. "

" Mas Jaka...."
" Bila kau telah menemukan jalan keluar dari hutan labirin ini, dapatkah kau membawa gochan bersamamu…? "

" Baik... itu tidak masalah..." ujar Jaka Indi.

" Tapi bukankah kamu dapat terbang dan dengan sendirinya dapat membawa gochan meninggalkan hutan labirin ini " kata Jaka Indi seraya menatap kedalam mata Arimbi.

" Kalau tubuhku mampu membawa beban tentu aku sudah menolong nenek Sasri dan gochan sejak dulu-dulu. " ucapnya dengan nada sedih.

“ Bahkan untuk bisa terbang tinggi aku harus memperkecil tubuhku, agar lebih ringan terbang diudara, semakin besar ukuran tubuhku, semakin sulit aku terbang dengan cepat. "

" Mengecilkan tubuh...? "

" Iya.... seperti ini...."

Sontak tubuh arimbi berdiri terbang melayang dihadapan Jaka Indi, lalu berputar melayang searah jarum jam, dengan kedua tangan diluruskan keatas, layaknya penari balet yang sedang memutar tubuhnya, kemudian putarannya bertambat cepat dan semakin cepat..... Saat tubuh Arimbi berputar hanya terlihat seperti cahaya emas yang membentuk pusaran angin yang semakin kecil dan terus bertambah kecil, hingga putarannya mulai melambat dan bertambah perlahan lalu tertampaklah Arimbi yang hanya setinggi kurang dari sejengkal.

Kemudian arimbi mulai terbang melesat dalam berbagai penjuru ruangan lalu hinggap dibahu Jaka Indi. Sampai Jaka Indi melongo dan takjub keheranan melihat fenomena perubahan tubuh Arimbi yang diluar nalar ini.

Arimbi lalu berjingkat diatas bahu jaka Indi dan bicara didekat telinga Jaka Indi.....

" Apa sekarang sudah percaya...? "

" Ya... percaya.... aku benar-benar percaya... "

Kemudian Arimbi terbang didepan Jaka Indi dan berputar kembali, kali ini dengan arah berlawanan dari jarum jam. Dari awalnya membentuk pusaran angin yang kecil, lambat laun membesar dan membesar, lalu berhenti berputar, tahu...tahu... didepan Jaka Indi telah berdiri Arimbi yang setinggi 165 cm, bukan lagi Arimbi yang sebelumnya hanya setinggi 140 cm.

" Wow....amazing...."
" Sungguh menakjubkan...”
" kamu ternyata bisa seukuran manusia dewasa... dan kamu sangat cantik sekali...

" Arimbi tertawa manis..." Lalu katanya " Kalau tubuhku seukuran ini aku tidak bisa terbang dan tidak bisa tidur diatas tali ranjangku, " sambil menunjuk tali sutra sebesar kelingking yang membentang antar dinding.

Kemudian Arimbi kembali memutar tubuhnya searah jarum jam, dalam sebentar saja ia telah kembali keukuran tubuhnya semula setinggi 140 cm. Jaka hanya diam mendelong terpesona, dan matanya terus menatap Arimbi dengan penuh rasa takjub.

" Masya Allah... "

" Sungguh Tuhan maha kuasa atas segala sesuatu…”

***
Sementara itu  ditempat lain,  diwaktu yang lain. Hujan dan angin kencang malam ini membasahi bumi Suralaya secara merata, banyak air bergenang ditanah hutan alas purwa, membuat tanah merah menjadi becek dan licin serta sulit dilewati. Jauh di dalam hutan alas purwa, di bawah hujan yang rintik, tertampak seekor kuda unicorn berjalan dengan perlahan diatas permukaan tanah berlumpur, penunggang kudanya adalah seseorang yang duduk tegak diatas kuda mengenakan mantel warna merah berbulu tebal, kedua tangannya tersembunyi di dalam lengan baju.  Kudanya tinggi gagah tapi penunggangnya justru nona muda bertubuh langsing dan mungil,  pada bagian kepalanya mengenakan tudung merah yang menyatu dengan jaketnya, tudung jaketnya ditarik rendah guna melindungi kepalanya dari rintik hujan, hingga tidak jelas raut mukanya.

Sedang dibelakang sinona muda terdapat seseorang yang mendekam melintang di punggung kuda,  kiranya sesosok mayat yang telah kaku, namun wajahnya masih segar dan kelihatan seperti masih hidup, pakaiannya perlente, berupa baju warna perak menyolok, sekujur tubuhnya dipenuhi rambut lebat, namun pada tubuhnya tidak kelihatan ada bekas luka, wajahnya masih mengulum senyum puas, agaknya dia mati dengan tenteram seolah-olah mati dengan enak.

Entah dari mana datangnya penunggang kuda ini, tapi arah tujuannya adalah sebuah bangunan rumah kayu yang terdapat ditengah hutan alas purwa. Kini penunggang kuda sudah dapat melihat bangunan rumah kayu yang bebentuk rumah joglo. Pada bagian atas gapura terdapat sebuah papan nama melintang, yang bertuliskan KEDAI ARWAH.

Rumah kayu joglo tersebut sesungguhnya berada jauh dan tersembunyi dipedalaman hutan alas purwa. Sehingga tak banyak yang tahu keberadaannya.

Namun pada saat ini, tanah berlumpur di depan gapura tampak bekas terlihat jekak tapal kuda dan jejak kaki manusia, sepertinya malam jum'at kliwon ini, meski cuaca dalam keadaan hujan, ada beberapa tamu yang datang ke kedai arwah. Nona muda itu terus lewat pintu gerbang dan masuk ke halaman rumah, kemudian masuk kedalam pendopo yang terang benderang oleh banyaknya pelita yang menyala, dipendopo terdapat sebuah papan tulis yang penuh bertempelan gambar wajah dan maklumat besar-kecil dengan gaya tulisan yang berbeda, kertasnya ada yang sudah kuning dan tulisan pun luntur karena dimakan waktu.

Pada bagian belakang pendopo rumah joglo, memasuki pintu kecil di sebelah kiri, terdapat ruang yang kosong tanpa pajangan dan perabot apapun, kecuali deretan peti-peti mati,  ada belasan peti mati, semuanya masih baru dan belum dipelitur. Padahal hawa sedang amat dingin, tapi tidak kelihatan ada perapian untuk menghangatkan badan, di dalam ruang tempat berjajarnya peti mati, hanya ada beberapa pelita. Serta dua orang wanita peri berwajah kaku dingin, berpakaian serba hitam.

Tampak kedua peri duduk di atas peti mati di deretan paling depan, kedua peri ini duduk berhadapan sambil berbincang dengan kudapan sepiring bunga kantil. Selintas pandang tampang kedua peri ini hampir mirip satu dengan yang lain, layaknya pinang dibelah dua, sama-sama berkulit putih pucat, berambut panjang sepinggang, dan mengenakan pakaian gaun panjang serba hitam, serta sama-sama tidak mengenakan alas kaki, dan sama-sama memiliki kuku merah yang panjang pada kesemua jari jari tangannya.

Sedang di pendopo, tampak perapian yang berkobar yang membuat ruang pendopo terasa hangat di dalam pendopo, terdapat meja kasir yang berada didekat pintu utama ruang dalam, tampak seorang kakek bertubuh kerdil setinggi satu meter, berkepala plontos, dengan dua benjolan kecil pada dua sisi kepalanya, hingga menyerupai tanduk kecil, dan yang juga menarik adalah tangan dan jari mahluk kerdil itu, karena tangannya saat dijulurkan kebawah, memanjang melebihi lututnya, lalu jari-jari tangannya dan jari-jari kakinya ada 6 buah dan setiap jari hampir sama panjangnya. kulit mahluk kerdil itu berwarna kebiruan seperti nyala api posfor, ia memiliki daun telinga yang caplang dan mengenakan baju mantel warna biru menyentuh lantai. Pria kerdil ini adalah penunggu kedai arwah, yang merupakan mahluk astral jenis Jin, yang juga kepercayaan dari pengelola dan pemilik kedai arwah.

Selain meja kasir ada pula berjajar delapan meja penuh hidangan. Ada delapan meja dengan empat kursi pada setiap mejanya dan sudah ada tiga tamu yang hadir, tapi setiap tamu duduk pada satu meja. Semua duduk sendiri dan saling terpisah.

Tiga orang masing-masing menduduki sebuah meja, maklum, rupanya mereka seperti tak mau saling kenal dan tak mau saling ganggu. Kertas-kertas yang ditempel di papan tulis yang merekat didinding itu, ternyata semuanya maklumat tentang orang yang sedang dicari sebagai target pembunuhan, di mana tercantum nama, umur dan asal usulnya, kejahatan atau prestasi yang pernah dilakukan, dan berapa besar upah yang dapat diterima bagi siapa pun yang dapat membunuhnya, semua nama yang tertera pada maklumat tersebut ada yang merupakan kepala pemerintahan, tokoh masyarakat, publik figur bahkan ada pula manusia atau mahluk astral yang bukan dari kalangan orang terpandang, maklumat itu bukan ditandatangani oleh pihak penguasa atas nama kerajaan Suralaya, tapi adalah pemberitahuan dari pemilik atau majikan Kedai Arwah.

Pemilik kedai arwah tidak mencantumkan namanya, hanya memberi cap / stempel gambar mata satu yang dibingkai dengan segitiga sama sisi. Oleh karenanya pemilik kedai arwah ini dikenal juga dengan sebutan tuan mata tunggal.

Didunia astral ini memang banyak hal yang ditandai dengan simbol-simbol dan perlambang, baik berupa aksara, gambar hewan, bunga, lafaz, dan lainnya. Nona bermantel merah itu lalu mengambil dua maklumat yang ada dipapan tulis yang melekat didinding, namun ia berhenti sejenak mengamati satu gambar seorang tokoh nasional yang terkenal santun dan rendah hati, yang ternyata juga menjadi target pembunuhan,

" Aiih.... pasti ini terkait masalah politik. " fikirnya.

Yang juga tak kalah mengagetkan tak jauh dari gambar sang tokoh santun tersebut, terdapat gambar seseorang yang dikenalinya, berikut indentitasnya, yaitu :
Nama : Raden Jaka Indi
Umur : 23 tahun
Alamat : Jakarta, indonesia
Status : menikah dengan Dewi Yuna
Ciri fisik : jenis manusia, tinggi : 173 cm
Berat : 65-67 kg
Rambut : Hitam lurus
Senjata : Keris kyai Sengkelat
Kegemaran : makan bubur sarang burung walet
Jasa Bayaran : 20 batang emas murni, dipotong 10% biaya administrasi kedai arwah, wow...tinggi sekali jasa bayaran atas kematian Jaka Indi.

Nona bermantel merah kemudian balik menuju kuda unicornnya yang ditambatkan diluar pendopo, dan hanya dengan satu tangan mengangkat mayat yang rebah melintang dipunggung kuda, lalu memanggul dibahunya kemudian melemparkannya kedalam lantai pendopo. Dengan perawakan tubuhnya yang mungil, tak ada yang mengira kalau nona tersebut memiliki tenaga yang sangat kuat. Semua tamu terus memandang kearah nona bermantel merah tersebut, namun tak satupun ada yang berkomentar.

Nona baju merah berjalan kedepan pria kerdil berkepala plontos, sambil berkata  " 10 batang emas dan lima batang perak, " ujar nona dengan memberikan dua lembar maklumat yang tadi diambilnya dan memberi sebuah cincin cap kerajaan Bessura.

" devi...., deva...! "
" Periksa mayatnya, pastikan sosok itu Bagastya…" ujar pria kerdil dengan suara cekak.

Kedua peri kembar itu melayang kependopo dan memeriksa mayat yang dipendopo. “ Benar ini mayat Bagastya, yang merupakan pembantu pangeran Abhinaya. “ Ujar Devi, sedang deva langsung membawa mayat tersebut keruang peti mati berjajar dan melemparnya dalam peti mati yang kosong.

Sementara pria kerdil memeriksa maklumat yang tertera nama pangeran corwin dan bagastya, dan memeriksa cincin yang berada dimejanya, terbukti memang milik pangeran corwin. Sesungguhnya sang kasir juga sudah tahu perihal desas desus kematian pangeran corwin hanya ia tidak tahu siapa yang membunuhnya.

" Besar sekali, peruntunganmu kali ini, “ kata manusia kerdil, ujarnya sambil menyerahkan 10 emas batangan 1 kg dan 4 perak batangan 1 kg.

1 perak batangan, adalah komisi untuk Kedai Arwah, jelas Kakek kerdil. Nona mantel merah itu dalam sekejap saja telah memasukkan emas dan perak batangan kedalam tas yang dibawanya. Saat sinona mulai membalikkan badan untuk berlalu, sang kakek bertubuh kerdil memanggilnya, “ nona tunggulah sebentar, duduklah dibangku yang ada, karena akan ada tamu yang sanggup memberi bayaran yang tinggi untuk suatu jasa pembunuhan.”

Nona mantel metah tidak jadi pergi, tapi membuka tutup kepalanya, tiba-tiba ada yang menjerit kecil....

" Achhh... ! nona Anindya duduklah disini..." terdengar suara jernih lembut memanggilnya, saat sinona mantel merah lebih mengamati sumber suara, ternyata yang memanggilnya adalah Kaniya yang merupakan utusan kerajaan Malayapada, yang dikenalnya saat bersama di paviliun kaputren., lalu Anindya menghampiri Kaniya, menyalaminya dan duduk didapannya.

Kaniya sungguh tidak menyangka Anindya yang merupakan putri utusan Kraton Kasepuhan Haryodiningrat yang dikenalnya halus, lembut dan seperti malu-malu, ternyata adalah seorang wanita pembunuh profesional yang tenang, dingin dan penuh percaya diri.

Sementara Anindya yang telah duduk didepan Kaniya mulai memperhatikan para tamu yang telah hadir, dimeja paling sudut sebelah barat tampak seorang gadis remaja cantik berusia kisaran 14 tahun yang bersenjata busur dan anak panah, yang tatapannya tampak hampa menatap kearah gerbang gapura diluar halaman, sepertinya gadis remaja itu sedang menunggu kedatangan seseorang. Sedang yang duduk pada meja tengah adalah seorang pemuda bertanduk domba dengan bentuk mata yang kecil tapi sorot matanya tajam, pemuda bertanduk domba itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana hitam sampai batas betisnya dan tidak mengenakan alas kaki, pada pinggang pemuda itu terselip senjata seperti kujang yang terbuat dari besi kuningan. Kemudian Anindya beralih menatap wajah Kaniya yang ayu, yang dari sorot matanya memancarkan kebingunan.

" Kakak Kaniya, ada maksut dan keperluan apakah kakak datang kekedai arwah ini…? " Tanya Anindya membuka percakapan.

Kaniya malah balik bertanya, “ Adik Anindya apa benar disini adalah tempat transaksi untuk melakukan pembunuhan, dengan menggunakan jasa pembunuh bayaran. “

" Iya benar sekali... "
" termasuk santet, teluh, sihir, mengirim energi negatif, dan segala hal yang bertujuan mencelakakan manusia atau mahluk astral, dapat dilakukan transaksinya dikedai arwah ini. “ ucap Anindya kalem, seolah bicara pembunuhan merupakan hal yang biasa baginya.

" Berapakah biaya menggunakan jasa pembunuh bayaran…? "

" Tergantung siapa yang akan di bunuh dan siapa yang akan dipakai jasanya..."

" Apakah pembayarannya harus dengan emas dan perak….? "

" Tidak selalu... "

" Baik di kedai Arwah, Kedai Kanuragan dan Kedai Pesugihan, pihak pengelola lebih menyukai pembayaran dengan gadai jiwa.”

" Maksutnya bagaimana dik 'Nindya….? "

" Tuan mata tunggal yang pakai simbol satu mata dibingkai segitiga, memiliki tiga kedai jasa, yaitu :

1. Kedai arwah, menjual jasa pembunuhan, sihir, santet, teluh dan semacamnya.

2. Kedai kanuragan, menjual jasa bagi yang ingin punya ilmu kebal, ilmu pelet, ilmu kesaktian dan sejenisnya

3. Kedai pesugihan, menjual jasa bagi yang ingin kaya raya, berlimpah harta...

Umumnya syarat yang diminta adalah dengan menggadaikan jiwa dari mereka, membuat kontrak perjanjian dengan pengelola kedai ( kelompok jin sesat ). Tetapi syarat perjanjian bisa saja dalam bentuk lainnya, sesuai kesepakatan.

“ Kalau memang tahu mereka kelompok jin sesat, lalu mengapa dik Anindya justru bersekutu dengan pemilik kedai Arwah," ujar Kaniya dengan rasa heran.

" Ehmmm... Bagaimana yaa...."

" Kalaupun ku ceritakan kakak juga tidak akan mengerti…."

" Oh...iya...."

" Memang Kakak Kaniya ke kedai Arwah ingin membunuh siapa….? “

" Tadinya aku kesini ingin menyantet selingkuhan tunanganku, kemudian aku berubah fikiran ingin membunuhnya, berikutnya aku berkeputusan justru ingin membunuh mereka berdua, selingkuhannya dan tunanganku " ujarnya dengan sorot mata penuh kebencian.

“ Apa kak Kaniya tidak bisa mengatasinya sendiri, karena biasanya manusia yang bisa sampai ke negri Suralaya ini, rata rata orang yang berilmu tinggi. ”

" Aku memang punya indra keenam, bisa melihat astral dan berkomunikasi dengannya, namun aku tidak memiliki ilmu bela diri apapun, selebihnya aku hanya perempuan lemah biasa. “

“ Apa kak Kaniya audah mantap untuk membunuh tunangannya dan selingkuhannya, apalagi kalau pakai cara santet, sihir, atau jasa mahluk astral, gak ada yang tahu lho.... dan gak akan kena jerat hukum. “ ucap Anindya meyakinkan.

“ Akupun tadinya berfikir demikian..... namun.... setelah melihat pemuda bertanduk kambing itu datang membawa mayat, kemudian melihat dik Anindya juga datang menghantar mayat. Memikirkan sekalipun tidak akan terjerat hukum, tapi pastinya Tuhan tahu. “

Maka aku kembali berubah fikiran, " bahwa aku tidak akan membunuhnya, tidak juga menyantetnya ataupun mencelakainya, Aku akan membiarkannya saja, dan akan pergi meninggalkannya. “ katanya dengan suara parau.... bergetar....

“ Mendadak.... Aku akan kembali ke Malayapada saja dik..." katanya seraya bangkit berdiri lalu melangkah pergi berlalu meninggalkan kedai arwah.

Anindya hanya menatap Kaniya yang pergi berlalu, dengan pandangan rawan tanpa mengucapkan satu katapun. Hanya dalam batinnya, ia berkata, bahwa ternyata ada sementara orang memang tidak bisa berbuat jahat, sekalipun ia ingin berbuat jahat tapi hatinya tidak sanggup untuk melakukannya.

Beberapa jenak waktu berlalu dalam keheningan, gadis remaja berusia kisaran 14 tahun dirasakan Anindya sering menatap dan mencuri lihat kearahnya, tiba tiba dari luar pintu berjalan masuk dua pria.

Orang pertama adalah seorang pria jenis siluman, yang tinggi kerempeng, wajahnya panjang dan tirus, sorot matanya terlihat licik, dengan bibir tebal dan kakinya berkaki kuda, pada pria tinggi kurus ini terdapat tali pecut yang dililit pada pinggangnya.

Tapi sayang bagaimanapun tampang dan tampilan pria pertama, tetap kurang terperhatikan. Sebab sinar mata semua orang sudah tertarik oleh orang kedua.

Orang kedua itu adalah seorang manusia yang sekujur badannya berwarna hitam, bajunya hitam, celana hitam, sepatu hitam, tangannya memakai sarung tangan hitam, kepala berikut wajahnya dibungkus pula oleh sebuah kain berwarna hitam, bahkan diatas kepalanya masih ditambah caping bambu yang juga berwarna hitam, sehingga menutupi sebahagian wajahnya, tampak hanya sepasang matanya yang berkilat yang lebih tajam dari sembilu.

Bagaimanakah tampang mukanya…?

Sebenarnya manusia macam apakah dia…?

Siapapun tidak melihat, siapapun tidak tahu,  dari atas sampai ke bawah, pada hakekatnya tak seinci pun tubuhnya yang bisa dilihat orang. Tapi entah mengapa, ternyata dari sekujur tubuh orang itu, dari tiap inci badannya seakan akan penuh mengandung hawa pembunuhan yang mengerikan.

Yang paling menarik Anindya sudah barang tentu benda yang tersoren melintang di punggungnya. Sekilas melihat orang akan menduga kalau itu sebuah pedang, pedang hitam yang panjangnya empat jengkal tujuh inci. Namun mata tajam Anindya mengenali kalau itu sebenarnya bukan pedang melainkan sebuah tongkat hitam, seperti tongkat kalimasada peninggalan sunan kali jaga, yang terbuat dari kayu Kalimasada yang berasal dari Pulau Karimunjawa, konon tongkat ini dapat menghalau energi negatif, dan bila tongkat ini ditancapkan kebumi dapat mengeluarkan air dari dalam tanah dan tongkat kalimasada ini tidak bisa ditebas putus oleh pusaka atau senjata tajam apapun.


" Aneh sekali mengapa pusaka tongkat kalimasada bisa berada pada pria tersebut. " Renung Anindya.

Kedua orang tersebut dengan bergegas menuju kemeja kasir.  " Apakah pesanan saya sudah ada yang sanggup mengerjakan…? “

" kakek bertubuh kerdil dan berjari enam menghela nafas, “ lalu katanya… “ banyak yang mau menerima pekerjaan itu, tapi belum ada yang sanggup."

" Kenapa tidak sanggup…? " ujar pria serba hitam itu dengan getas

" Kalau targetnya orang alim, orang baik, orang sholeh, pemimpin yang adil memang lebih sulit untuk disantet atau dibunuh secara ghaib, karena banyak juga yang melindunginya dari kalangan mahluk astral termasuk malaikat.”

" Saya tingkatkan bayarannya dua kali lipat,  pokoknya paling lama sebulan lagi, harus sudah beres, “ katanya tegas dan getas. Sambil memutar badannya kearah datangnya,  yang langkahnya diikuti temannya siluman kaki kuda.

Setelah pria busana serba hitam dan kawannya keluar balkon, si kakek kerdil menggapai kearah Anindya, saat Anindya telah mendekat, kakek kerdil itu bertanya lirih, “ Apakah kamu bisa dan mau mengerjakan tugas ini,...”

Belum lagi sikakek menyelesaikan seluruh kalimatnya, Anindya telah menjawab cekak, tidak mau dan tidak bisa.

Lalu malah berkata kepada para tamu yang hadir, “  siapa yang sanggup membunuh pria baju hitam berserta temannya yang baru saja berlalu, akan saya berikan sepuluh batang emas murni dan empat batang perak, sebagai bayarannya. ”

Mendadak pemuda bertanduk kambing bangkit berdiri sambil mengeluarkan senjata kujangnya dan berjalan keluar pendopo, deva dan devi yang menjaga peti mati, juga melesat keluar dengan cepat, saat itu pria berpakaian serba hitam dan siluman kaki kuda telah tiba di penghujung gapura, saat pria bertanduk domba telah semakin dekat dengan kujang terhunus dan sikembar deva... devi... juga telah menjulurkan kesepuluh kuku jarinya yang runcing,

Sekonyong-konyong secara bersamaan melesat dengan sangat cepat, dua anak panah yang terbuat dari bambu kuning yang ujungnya telah diruncingkan, tepat mengenai punggung pria baju hitam dan temannya, dan mengenai jantung serta tembus hingga tubuh bagian depan, yang membuat kedua pria itu seketika jatuh tersungkur.

Sebenarnya pria berbaju serba hitam dan siluman kaki kuda bukanlah orang yang berilmu rendah, tapi karena mereka tidak menyadari akan mendapat serangan, terlebih diserang dari belakang dengan anak panah bambu kuning, tanpa bisa memberi perlawanan mereka langsung jatuh tersungkur.

Pria bertanduk domba juga deva dan devi langsung menghentikan langkahnya, sebaliknya Anaindya melirik sesaat kearah gadis remaja 14 tahunan yang baru saja melepaskan anak panah, lalu melemparkan tas berisi emas perak kearah meja gadis remaja tersebut, kemudian bergegas berlari keluar dengan maksut mengambil pusaka tongkat kalimasada.

Siapa nyana....
Disaat Anindya semakin mendekat....
Ternyata didepan dua pria yang tersungkur telah ada dua pria yang berjongkok memeriksa korban.

" Huah... ini orang yang selama ini aku cari " seru orang yang memakai belangkon dengan terkejut “ Sekalinya ketemu malah sudah modar. “

Sedang pemuda satunya lagi, setelah memeriksa kedua mayat, lalu mengambil tongkat yang ada pada pemuda baju serba hitam, mengamati beberapa saat lalu menyimpannya dipunggungnya

Terlihat manusia bertanduk domba dan sepasang peri kembar telah kembali kekedai arwah.

Sedang Anindya tetap berjalan maju hingga berjarak sepuluh meter dan dalam cahaya sinar bulan dapat melihat dengan jelas kalau pemuda yang memeriksa mayat dan tongkat Kalimasada adalah Raden Jaka Indi.

Mengetahui Raden Jaka Indi masih belum menyadari kedatangannya, Anindya segera berbalik badan, berjalan bergegas kearah Kedai Arwah dan menggunakan ponco pada mantel merahnya untuk menutupi kepalanya.

-----===o0o===----

Bagaimanakah Jaka Indi bisa keluar dari hutan labirin dan bagaimanakah Jaka Indi bersama Indrajid bisa sampai dikedai arwah….?

Penjelasan ada di Eps berikutnya.

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4340 - 4345

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4340-4345 "Kalau begitu kamu bisa meminta bantuan Pangeran Xiao. Agaknya, Keluarga Qi tidak bisa lebih kuat ...