Hutan
Labirin
Jaka Indi kemudian mengamati
Arimbi lekat-lekat, yang saat ini sedang duduk sesegukan dengan kepala
tertunduk dan meluruskan kedua kaki rampingnya yang halus, tercium aroma wangi
yang keluar dari tubuhnya, sungguh gadis cantik yang sangat mempesona dan menakjubkan.
Jaka Indi pernah menemui beberapa
mahluk astral baik dari jenis siluman, jin maupun peri, dari yang memiliki bau
harum bunga kamboja, bau busuk, bau bacin, bau tinja, sampai yang berbau harum
kembang melati dan bunga kenanga juga pernah dijumpainya.
Tapi seumur-umur baru kali ini ia
dapati ada mahluk yang dari kelenjar hormonnya bisa mengeluarkan berbagai aroma
harum yang berbeda-beda, dan semua aroma yang dikeluarkan merupakan aroma yang
harum wangi.
Tiba-tiba suara pintu diketuk
seseorang,
Tuk...tuk...tuk...
" Kakak...aku pulang
..."
Bersamaan suara pintu dibuka
masuklah seorang bocah cilik bermantel kulit coklat, bercelana pendek, berusia
sekitar tujuh tahun yang tubuh, dan wajahnya ditumbuhi rambut dan bulu lebat
berwarna kuning keemasan semirip dengan kera kecil, hanya saja tak ada ekornya,
sangat mirip, hanya saja bocah ini lebih tampan dan bulu keemassannya yang
berkilauan membuat bocah ini terlihat lebih menarik.
Melihat bocah cilik ini
mengingatkan Jaka indi akan pangeran Abhinaya. Bocah cilik itu membawa
keranjang bambu yang berisi buah-buahan dan sayuran.
" Hai... paman ini siapa…? “
“ mengapa bisa ada disini…? “
“ Pasti paman kesasar ya...? "
" Paman berasal darimana…? "
" Wuah...! kenapa paman
makan makananku…? “ ujar bocak cilik itu, yang terus nyerocos sambil mendelik
kearah Jaka indi.
" Gochan,..."
" Paman itu tamu kita,
namanya Jaka Indi, aku yang menyuruhnya makan, dan ini adikku gochan, “ terang
Arimbi yang tampak sudah tenang.
Yaa... begitulah wanita... kadang
suasana hatinya seperti cuaca, .... ada
saatnya mendung, cerah, tiba-tiba hujan....
lalu hangat seketika....
" kak... ini aku bawakan
madu hitam, Sambil menyerahkan sebotol kecil madu hitam.”
Arimbi hanya tersenyum menerima
memberian bocah cilik itu.
“ Kamu makan dulu, ngobrolnya
nanti saja, biar kakak temani, “ sambil menarik tangan bocah cilik itu untuk
duduk dihadapannya.
Kemudian Arimbi menyiapkan sayur
dan buah-buahan yang masih tersisa, sementara Gochan langsung menyantap
makanan, tanpa menggubris lagi keberadaan Jaka indi, sedang arimbi sendiri
hanya mengambil dua butir mutiara yang dihancurkan dengan kedua jarinya lalu
bubuk mutiara itu dimakannya, dilanjutkan dengan meminum beberapa tetes madu.
Jaka Indi hanya diam mengamati
tanpa bersuara apapun.
" Nona Arimbi, sekarang
bolehkah kupergi…? " tiba-tiba ia bertanya.
" Tidak boleh…! "
" Tidak bisa ! " jawab
Arimbi tegas,
" Nona, hari telah mulai
gelap, aku harus sesegera mungkin kembali, memangnya apa lagi yang harus
kulakukan….? "
" Siapa yang sudah masuk
ketempat ini tidak akan ada yang bisa keluar lagi dari tempat ini ! " Celetuk
gochan, tiba-tiba.
" memangnya ada apa….? "
" Paman coba saja kalau
tidak percaya " kata goc han sambil tangannya menjumput buah pisang.
" Apa....! "
" gak bisa keluar…? “
" Maksutnya bagaimana…?
" tanya Jaka Indi dengan terperanjat.
" Sinona menoleh dan
mendeliki Jaka indi ..."
" Maksutnya kamu tidak akan
mungkin bisa keluar dari tempat ini, tidak akan bisa menembus hutan, tidak akan
ingat arah kembali. "
“ Jadi kamu sebaiknya sementara
waktu menunggu disini. "
" Aku bisa sampai sini tentu
aku ingat arah datangku, biarlah kupamit sekalian, dan maaf atas kesalahanku,
serta terima kasih atas makanan dan keramah tamahan nona."
" Terserah kamu saja
..." Arimbi hanya angkat bahu dengan sikap masabodoh.
" Paman kalau kesasar, aku
gak nanggung lho, " kata gochan
sambil merebahkan tubuhnya dan mengelus-ngelus perutnya yang kembung
kekenyangan.
Kemudian Jaka Indi pamit dan
mulai keluar pondok, terlihat malam sudah mulai menjelang, tapi ada cahaya
sinar bulan yang menyinari kegelapan malam, Jaka Indi berlari menembus hutan,
dengan mengingat arah kedatangannya, namun setengah jam berlari ia merasa
seperti kembali ketempat awal, kemudian Jaka Indi mencoba mengulang kembali
arah yang ditempuhnya dengan memberi tanda silang dengan keris kyai
sengkelatnya pada pohon-pohon yang dilaluinya, anehnya tetap saja ia kembali
lagi ketempat semula, bahkan beberapa pohon yang diberi tanda silang olehnya
sebahagiannya sudah tidak tampak.
" Sungguh sangat aneh...! "
Renung Jaka indi.
Jaka indi jadi teringat kisah
sunan kalijaga saat mencari pohon Jati yang berada di lereng bukit gombel, yang
secara ajaib pohon jati yang dicari tidak ada dan berpindah tempat, hingga
daerah tersebut dinamai " Jati ngaleh ".
" masak sih..." hutan
ini ada jin isengnya fikir Jaka indi
Tapi setelah berulang kali
mencoba Jaka indi tetap kembali lagi ketempat semula. Jaka Indi mulai menyadari
kalau tumbuh-tumbuhan yang ada dihutan ini, disusun dengan suatu formasi yang
bisa menyesatkan, yaa... semacam HITAN
LABIRIN.
Labirin adalah merupakan sebuah
sistem jalur yang rumit, berliku-liku, serta memiliki banyak jalan buntu.
Kalau hutan biasa dialam manusia,
tentu Jaka Indi bisa naik keatas puncak pohon lalu berjalan lurus diatas puncak
dahan pohon yang satu kepohon yang lain, permasalahannya pohon di hutan
pegunungan kapila ini, tidak hanya lebat, bahkan tingginya rata-rata mencapai
ratusan meter, besar batang pohon bisa mencapai empat atau lima lingkar tangan
orang dewasa.
Lalu dicobanya lagi oleh jaka
Indi dengan mulai berlari dari sisi yang berbeda, namun tetap saja Jaka Indi
hanya berputar-putar dan pada akhirnya kembali ketempat yang sama. Mengapa tadi
menuju rumah podok bambu begitu mudahnya, tapi saat akan keluar aku tidak bisa…?
" Mungkinkah karena aku
kesini, mengikuti arah indra pendengaran dan penciumanku "
" Hadeuuuwh.... Kumaha euy….?
" Renung Jaka Indi.
Kemudian Jaka Indi mulai mencoba
duduk bersila dan meditasi untuk fokus memasang indra pendengarannya, namun
hanya suara gemercik air, beberapa suara hewan hutan dan uap panas beraroma
belerang dari tempat kolam pemandian Arimbi. yang dapat ditangkap indranya, mungkinkah
karena hutan ini terlalu luas hingga aku tak bisa mendengar suara lainnya…? renungnya
dalam hatinya
Setelah menghimpun semangatnya,
Jaka Indi kembali berlari, hanya saja, arahnya berbalik menuju tempat rumah
pondok bambu mengikuti arah sumber gemericik air dan uap air belerang berasal.
" Tok...tok...tok...tok...
nona...nona...Arimbi, aku kembali..."
" apa aku boleh masuk dan
istirahat semalam disini….? "
Yang membukakan pintu ternyata
gochan, Jaka Indi dapat melihat kedalam ruang, kalau Arimbi sudah tidur diatas
tali sutra kecil yang terbentang antara dua dinding. Sedang gochan memberikan
kain selimut dan katanya,
" Paman tidur diteras saja, di
dalam pondok hanya untuk perempuan dan anak kecil … "
" Wuaah... dingin dong…! "
" Ok...Siip ..."
" makasih ya..."
Diambilnya kain selimut bergaris
biru putih pemberian gochan. lalu diletakkannya disudut teras. Melihat
kegelapan malam dan posisi bulan, sepertinya saat ini sudah kisaran jam 11
malam. Namun dikarenakan sudah beberapa hari tidak mandi Jaka Indi tidak
langsung tidur tapi justru mulai membuka bajunya satu per satu. hingga
meninggalkan celana boxer, semacam celana dalam pendek warna hitam, kemudian ia
berjingkat perlahan menuju kolam pemandian air panas.
Sambil berendam, menggosok
seluruh badannya dengan kedua telapak tangannya, Jaka Indi mulai bernyanyi...
" Karena ku selow, sungguh
selow
Sangat selow, tetap selow
Santai, santai, ...
yang penting selalu happy...
Sik...asyiiik...."
Ya... begitulah... walau suara
Jaka Indi tidak terhitung bagus, tapi Jaka Indi juga gemar bernyanyi. Sudah
kebiasaannya saat mandi... Jaka Indi ... bernyanyi.... masalahnya lagu slow
yang sering ia dendangkan ini, ia tidak terlalu hafal, jadi hanya bait itu yang
suka diulang-ulang, itupun sudah versi asal ucap dan asal ingat saja yang
penting ia merasa senang....
" Karena ku selow, sungguh
selow...
Sangat selow, tetap selow
Santai, santai, yang penting
selalu happy...
Sik...asyiiik...."
Berendam dipemandian air panas
alami membuat segala kepenatan badan Jaka Indi ikut sirna.
" Hmmmm.... rasanya nyaman
sekali....
" Karena ku selow, sungguh
selow...
Sangat selow, tetap selow
Santai, santai, yang penting...
" Hadeeeuhhh...! lagu apa
itu paman...? Pakai santai – santai " kata gochan, yang tiba-tiba muncul ditepi
kolam tempat Jaka Indi mandi dengan rada kesal.
" Ini lagu orang ganteng
yang lagi santai, “ ujar Jaka Indi sekenanya
" Lho anak kecil "
" kenapa belum tidur…? “ tegur
Jaka Indi balik.
" Tadinya aku menganggap
paman ini hanya rada bodoh dan ketolol-tololan, tapi sekarang aku baru sadar
ternyata paman juga gak tahu aturan...!”
" masa suara sember begitu
nyanyi keras-keras, mana sudah tengah malam begini, aku dan kak Arimbi jadi gak
bisa tidur tauk. " Kata gochan kesal
sambil mendeliki Jaka Indi, maklum saja, gochan selama ini hanya mendengar
suara nyanyian Arimbi yang suaranya bening dan merdu, tiba-tiba mendengar suara
Jaka Indi, rasanya jadi sangat mengganggu telinganya.
Jaka Indi hanya tertawa dan
nyengir. Kecuali tertawa nyengir, rasanya dia tidak bisa berbuat lain, menghadapi
bocah cilik yang gampang sewot dan pinter bicara ini.
" Upps...! "
" maaf ya... Sudah…. Bobo sana...
Paman gak akan nyanyi lagi " kata Jaka Indi kalem.
Jaka Indi lalu menenggelamkan
seluruh kepala dan badannya kedalam air, dengan tehnik bernafas melalui
permukaan kulit, sekarang Jaka Indi sudah mulai bisa berada dibawah air selama
dua puluh menitan.
Hening sesaat tanpa reaksi
apapun. Gohan kembali melangkah kedalam pondok.
Jaka indi tahu bahwa lawan bicara
yang paling sulit dihadapi adalah perempuan yang sedang kesal hati dan bocah
cilik yang bawel, terkadang sikap pura-pura bodoh dan berdiam diri adalah hal
yang paling efektif.
Setelah satu jam mandi berendam, Jaka
Indi kemdian keluar dari kolam pemandian dan mengeringkan badannya, dengan
jalan berjingkat keteras pondok bambu, mengenakan pakaiannya lalu sholat malam,
meditasi sekitar limabelas menit, berikutnya diputuskannya untuk memikirkan
jalan pulangnya besok saja. Saat ini hal yang penting baginya adalah pergi tidur,
guna memulihkan seluruh tenaganya.
zzzZzZzzz....
ZzzzzZzZZzz....
zzzZZZzzzzz ....
Matahari bersinar terang,
menyinari jagad raya. Jaka Indi baru mendusin setelah terkena sorot sinar
mentari. Ia bangun dari tidurnya, terasa semangat dan tenaganya telah pulih, lamat-lamat
terdengar lagu kesukaannya...
" Karena ku selow, sungguh
selow...
Sangat selow....
Santai....santai... "
Ketika Jaka Indi menengok kearah
sumber suara.... Astaga ternyata gochan yang lagi mandi sambil menyanyi, mengikuti
lagu yang semalam ia dendangkan. Yaa... umumnya anak kecil memang suka meniru
kebiasaan orang dewasa.
Sejenak Jaka indi mengolet dengan
meluruskan kaki dan tangannya, lalu diregangkannya seluruh tubuhnya ....
“ ehmmm... Eeenaknya.... ngolet dipagi hari.... “ setelah itu Jaka Indi bangkit berdiri,
mengambil air wudhu dan segera melaksanakan kewajiban ibadah, tapi kali ini
seusai melaksanakan sholat, Jaka Indi tidak melakukan meditasi pagi, melainkan
menatap halaman berumput hijau yang terbentang luas, dengan banyak bunga-bunga
yang bermekaran.
Indah sekali pagi ini, berada
diteras pondok bambu dikelilingi taman bungga, dengan rerumputan hijau, membuatnya
merasa betah berlama-lama
Sekarang ia mengerti, mengapa
muda-mudi yang sedang berkasih mesra menyukai taman bunga, mengawasi
bunga-bunga yang bermekaran, kembang warna-warni yang serempak meliuk gemulai
kala diterpa angin, sungguh pemandangan yang mempesona, ditambah harum semerbak
seribu bunga, desir lembut spoi spoi angin, laksana bisikan kekasih, sungguh
sesuatu yang menyejukkan dan menggembirakan hati.
Taman bunga sering mengingatkan
seseorang akan kenangan paling manis dan mesra yang tak terlupakan. Jaka Indi
merasa kehidupan ini benar-benar menyenangkan, kicau burung yang merdu,
hembusan angin yang lembut, bahkan bentangan rumput liar sepanjang mata memandang,
semua terlihat indah dan menyenangkan.
" Karena ku selow, sungguh
selow...
Sangat selow....
Santai....santai..."
Kembali terdengar suara gochan
bernyanyi, dengan suara anak-anak yang lucu dan rada-rada cadel....
" Gochan...!!
" Paman temani mandi,
" kata Jaka Indi yang sudah mulai
melepaskan pakaian dan langsung berlari dan melompat menceburkan diri dalam
kolam, hingga permukaan air kolam muncrat dan menciprat kemana-mana.
Gochan... hanya tertawa gembira
saja... melihat ulah Jaka Indi.
Sepuluh menit berendam dan
bermain air, jaka indi lantas teringat sesuatu,
" Gochan...! "
" Kemanakah kak Arimbi…? "
" aku belum melihatnya
keluar dari dalam pondok….? "
" Kak Arimbi sudah keluar
pagi-pagi sekali, saat paman masih tidur ngelepus, " Ucap Gochan
seenaknya.
" Gochan mengapa paman tidak
bisa keluar dari hutan ini, apa kamu bisa memberi tahu bagaimana caranya agar
paman bisa keluar dari tempat ini…? "
" Paman..., sekitar enam
bulan yang yang lalu aku juga tersesat dihutan ini, yang kemudian membawaku
bertemu kak Arimbi.
" Sudah berulangkali mencoba
aku juga tidak pernah bisa keluar dari tempat ini. Begitulah paman.... sejak
saat itu aku tinggal bersama kak Arimbi. "
" Apa hanya kamu berdua kak
Arimbi saja yang tinggal di tempat ini….? "
" Dulu sih.... kata kak
Arimbi ada nenek Sasri, yang menemani kak Arimbi, tapi katanya beliau sudah meninggal, sebelum
kedatanganku"
" Jadi sekarang hanya kami
bertiga yang tinggal ditempat ini. "
" Lho dengan siapa lagi….? "
" Aku... kak Arimbi dan
paman.... wkwkwk....”
Jaka Indi hanya menjawab, dengan
senyum mangkel dan sontak mencipratkan air kemuka gochan, lalu pergi keluar
dari pemandian.
Setelah berpakaian Jaka Indi coba
mengelilingi lokasi sekitar pondok, ternyata didapati bahwa pondok tersebut
berada diareal pemukiman yang luas, dan ada pula beberapa pondok bambu kuning
yang sudah tidak berpenghuni. disamping itu juga ada terdapat beberapa perkebunan
kecil dan taman-taman bunga dan disalah satu taman juga ada ayunan kayu.
Jalan lagi kearah barat, terlihat
hutan bambu, yang didekatnya terdapat satu bangunan pondok bambu kuning. Jadi
kalau diperhatikan. sesungguhnya ini dahulunya dusun kecil yang dikelilingi hutan
melingkar, yang merupakan perkampungan penduduk ditengah hutan.
Lantas kemanakah penghuni
perkampungan yang lainnya, dan mengapa pula perkampungan ini dikelilingi oleh
hutan labirin, renung Jaka Indi dalam hatinya.
Jaka Indi kemudian jalan kembali
menuju pondok dewi Arimbi. Dewi Arimbi yang tadi tak terlihat telah berdiri
didepan pintu pondok dan menggapai tangan kanannya kearahnya serta memanggil
gochan.yang masih berendam didalam kolam air panas.
Harum aroma masakan tercium sedap
oleh hidung Jaka Indi saat kakinya masuk melangkah kedalam pondok bambu,
diikuti oleh gochan yang menyusul dibelakangnya. Ada sayur lobak putih dengan
irisan bawang putih dan cabai merah, sayur kangkung dan beberapa lalapan, dan
satu sisir pisang, serta beberapa buah-buahan, tapi tetap tidak ada nasi dan
daging. Mereka duduk bersama dalam satu meja, Arimbi kembali terlihat hanya
makan dua butir mutiara dan dua sendok kecil madu. Sedang sayur mayur dan
buah-buahan hanya Jaka Indi dan gochan yang menyantapnya, gochan sangat
menyukai buah pisang sudah empat buah pisang yang dimakannya.
Jaka Indi mulai membuka
percakapan. " Arimbi... saat berkeliling tempat ini kutemukan beberapa
pondok bambu kuning, apakah dahulunya ini merupakan perkampungan penduduk dan
kemanakah para penghuninya.”
" Iya... dahulu sekali ini
memang perkampungan para peri langit, para peri langit tidak sama dengan peri
umumnya, karena peri langit dapat terbang diudara, dan kami para peri langit
hanya makan sari madu dan bubuk mutiara, tidak makan yang selain itu,
permasalahannya jumlah bangsa peri langit tidaklah banyak, kami banyak diburu
bahkan dibunuh oleh mahluk astral lain, menurut mereka tidak saja daging peri
langit sangat lezat, tapi mereka juga mempercayai memakan daging peri langit
dapat membuat panjang umur dan meningkatkan kecerdasan, serta membuat aroma
tubuh selalu harum dan bisa memberi berbagai khasiat lainnya. "
Gochan sepertinya tidak terlalu
perduli dengan percakapan yang berlangsung justru mulai merebahkan tubuhnya dan
mengelus ngelus perutnya, yang kekenyangan, sesaat kemudian gochan bangkit
berdiri.
“ Kak aku main kehutan dulu ya...
? "
" paman mau ikut tidak…? "
katanya seketika memotong pembicaraan.
" pergilah bermain...."
" Paman masih ada perlu sama
kakakmu..." jelas Jaka Indi.
Gochanpun jalan berlalu keluar
pondok.. .sambil bernyanyi....
Karena ku santai....
Tetap santai ..
Sangat santai....
Selalu santai....
Santai.....santai....
" Gochaaannn.... syairnya
salah....! " kata Jaka Indi
meneriaki gochan yang telah mulai jalan keluar pintu pondok.
Tapi tampaknya gochan tidak
perduli... dan tetap bernyanyi seenaknya...
Selalu santai ....
Santai...santai....
Tetap santai
Arimbi hanya tersenyum melihat
tingkah gochan.
Lalu Arimbi menghela nafas
sesaat, sebelum kembali melanjutkan ceritanya.
Ribuan tahun yang lalu, Leluhur
para peri langit sengaja membangun dan mengatur tumbuh-tumbuhan hutan ini
dengan suatu sistem formatur tertentu.
" Dengan membuat hutan
labirin..." ujar Jaka Indi memastikan.
" Ya....semacam
itu...."
" Tujuan pembangunan hutan
yang luas dengan ditanami tumbuh-tumbuhan tinggi yang dibuat dan ditanam
berdasar komposisi yang rumit, bertujuan untuk melindungi para peri dari
gangguan mahluk lain. "
" Bahkan bangunan pondok
semuanya sengaja dibangun bukan dengan bahan kayu tapi dengan bambu kuning,
untuk melindungi para peri langit dari energi negatif, "
" Banyaknya bunga-bunga yang
ditanam disetiap pondok juga bertujuan menyamarkan bau harum yang keluar dari
tubuh para peri langit. Bau harum yang keluar dari tubuh peri langit dapat
mengundang mahluk lain. "
Jaka Indi teringat saat dirinya
meditasi didalam peti mati yang dikubur, karena mencium aroma harum yang unik,
sampai membawanya kemari
"Lalu kemanakah para peri langit yang
lainnya, apakah kamu tinggal satu-satunya peri langit yang ada!...? “
" Karena tinggal ditengah
hutan labirin ini, dianggap masih dapat membahayakan kehidupan para peri
langit, maka sebahagian besar peri langit memindahkan huniannya kenegeri atas
awan, hanya lima peri saja yang tetap tinggal di tengah hutan labirin ini.
" Negeri atas awan... itu
maksutnya bagaimana….? dan kemanakah empat peri langit yang lainnya. ”
" Negeri atas awan itu,
maksutnya ya.... membuat perkampungan dan tempat tinggal diatas awan. “
Jaka Indi jadi ingat saat
menjelaskan ke putri Kirana, bahwa ia keperjalanan astral melalui portal ghaib,
dan putri Kirana juga bertanya portal ghaib itu apa, saat itu Jaka Indi hanya
menjelaskan portal ghaib ya portal ghaib, yup... sama sulitnya bagi Jaka Indi memahami
adanya negeri diatas awan.
" Prihal keempat peri langit
yang lainnya.... aku juga tidak tahu saat ini berada dimana…”
" Awalnya hanya dua peri
langit yang pergi, untuk mencari istana permata....."
" tapi karena lama tidak
kembali, disusul dua peri langit lainnya untuk mencari....,"
" Namun hingga saat ini
sudah bertahun belalu... belum juga ada yang kembali. "
" Awalnya aku berencana
kembali kenegeri peri langit diatas awan, tapi sebelum ku pergi ada nenek Sasri
yang kesasar kedalam hutan labirin ini, hingga dalam kurun waktu beberapa tahun
aku menemaninya, dan sewaktu nenek Sasri wafat, tak lama giliran gochan yang
kesasar kemari. "
" Mas Jaka...."
" Bila kau telah menemukan
jalan keluar dari hutan labirin ini, dapatkah kau membawa gochan bersamamu…? "
" Baik... itu tidak
masalah..." ujar Jaka Indi.
" Tapi bukankah kamu dapat
terbang dan dengan sendirinya dapat membawa gochan meninggalkan hutan labirin
ini " kata Jaka Indi seraya menatap kedalam mata Arimbi.
" Kalau tubuhku mampu
membawa beban tentu aku sudah menolong nenek Sasri dan gochan sejak dulu-dulu. "
ucapnya dengan nada sedih.
“ Bahkan untuk bisa terbang
tinggi aku harus memperkecil tubuhku, agar lebih ringan terbang diudara,
semakin besar ukuran tubuhku, semakin sulit aku terbang dengan cepat. "
" Mengecilkan tubuh...? "
" Iya.... seperti
ini...."
Sontak tubuh arimbi berdiri
terbang melayang dihadapan Jaka Indi, lalu berputar melayang searah jarum jam,
dengan kedua tangan diluruskan keatas, layaknya penari balet yang sedang
memutar tubuhnya, kemudian putarannya bertambat cepat dan semakin cepat..... Saat
tubuh Arimbi berputar hanya terlihat seperti cahaya emas yang membentuk pusaran
angin yang semakin kecil dan terus bertambah kecil, hingga putarannya mulai
melambat dan bertambah perlahan lalu tertampaklah Arimbi yang hanya setinggi
kurang dari sejengkal.
Kemudian arimbi mulai terbang
melesat dalam berbagai penjuru ruangan lalu hinggap dibahu Jaka Indi. Sampai
Jaka Indi melongo dan takjub keheranan melihat fenomena perubahan tubuh Arimbi
yang diluar nalar ini.
Arimbi lalu berjingkat diatas
bahu jaka Indi dan bicara didekat telinga Jaka Indi.....
" Apa sekarang sudah
percaya...? "
" Ya... percaya.... aku
benar-benar percaya... "
Kemudian Arimbi terbang didepan
Jaka Indi dan berputar kembali, kali ini dengan arah berlawanan dari jarum jam.
Dari awalnya membentuk pusaran angin yang kecil, lambat laun membesar dan
membesar, lalu berhenti berputar, tahu...tahu... didepan Jaka Indi telah
berdiri Arimbi yang setinggi 165 cm, bukan lagi Arimbi yang sebelumnya hanya
setinggi 140 cm.
" Wow....amazing...."
" Sungguh menakjubkan...”
" kamu ternyata bisa
seukuran manusia dewasa... dan kamu sangat cantik sekali...
" Arimbi tertawa
manis..." Lalu katanya " Kalau tubuhku seukuran ini aku tidak bisa
terbang dan tidak bisa tidur diatas tali ranjangku, " sambil menunjuk tali
sutra sebesar kelingking yang membentang antar dinding.
Kemudian Arimbi kembali memutar
tubuhnya searah jarum jam, dalam sebentar saja ia telah kembali keukuran tubuhnya
semula setinggi 140 cm. Jaka hanya diam mendelong terpesona, dan matanya terus
menatap Arimbi dengan penuh rasa takjub.
" Masya Allah... "
" Sungguh Tuhan maha kuasa
atas segala sesuatu…”
***
Sementara itu ditempat lain, diwaktu yang lain. Hujan dan angin kencang
malam ini membasahi bumi Suralaya secara merata, banyak air bergenang ditanah
hutan alas purwa, membuat tanah merah menjadi becek dan licin serta sulit
dilewati. Jauh di dalam hutan alas purwa, di bawah hujan yang rintik, tertampak
seekor kuda unicorn berjalan dengan perlahan diatas permukaan tanah berlumpur,
penunggang kudanya adalah seseorang yang duduk tegak diatas kuda mengenakan
mantel warna merah berbulu tebal, kedua tangannya tersembunyi di dalam lengan
baju. Kudanya tinggi gagah tapi
penunggangnya justru nona muda bertubuh langsing dan mungil, pada bagian kepalanya mengenakan tudung merah
yang menyatu dengan jaketnya, tudung jaketnya ditarik rendah guna melindungi
kepalanya dari rintik hujan, hingga tidak jelas raut mukanya.
Sedang dibelakang sinona muda
terdapat seseorang yang mendekam melintang di punggung kuda, kiranya sesosok mayat yang telah kaku, namun
wajahnya masih segar dan kelihatan seperti masih hidup, pakaiannya perlente,
berupa baju warna perak menyolok, sekujur tubuhnya dipenuhi rambut lebat, namun
pada tubuhnya tidak kelihatan ada bekas luka, wajahnya masih mengulum senyum
puas, agaknya dia mati dengan tenteram seolah-olah mati dengan enak.
Entah dari mana datangnya
penunggang kuda ini, tapi arah tujuannya adalah sebuah bangunan rumah kayu yang
terdapat ditengah hutan alas purwa. Kini penunggang kuda sudah dapat melihat
bangunan rumah kayu yang bebentuk rumah joglo. Pada bagian atas gapura terdapat
sebuah papan nama melintang, yang bertuliskan KEDAI ARWAH.
Rumah kayu joglo tersebut sesungguhnya
berada jauh dan tersembunyi dipedalaman hutan alas purwa. Sehingga tak banyak
yang tahu keberadaannya.
Namun pada saat ini, tanah
berlumpur di depan gapura tampak bekas terlihat jekak tapal kuda dan jejak kaki
manusia, sepertinya malam jum'at kliwon ini, meski cuaca dalam keadaan hujan,
ada beberapa tamu yang datang ke kedai arwah. Nona muda itu terus lewat pintu
gerbang dan masuk ke halaman rumah, kemudian masuk kedalam pendopo yang terang
benderang oleh banyaknya pelita yang menyala, dipendopo terdapat sebuah papan
tulis yang penuh bertempelan gambar wajah dan maklumat besar-kecil dengan gaya
tulisan yang berbeda, kertasnya ada yang sudah kuning dan tulisan pun luntur
karena dimakan waktu.
Pada bagian belakang pendopo
rumah joglo, memasuki pintu kecil di sebelah kiri, terdapat ruang yang kosong
tanpa pajangan dan perabot apapun, kecuali deretan peti-peti mati, ada belasan peti mati, semuanya masih baru
dan belum dipelitur. Padahal hawa sedang amat dingin, tapi tidak kelihatan ada
perapian untuk menghangatkan badan, di dalam ruang tempat berjajarnya peti
mati, hanya ada beberapa pelita. Serta dua orang wanita peri berwajah kaku
dingin, berpakaian serba hitam.
Tampak kedua peri duduk di atas
peti mati di deretan paling depan, kedua peri ini duduk berhadapan sambil
berbincang dengan kudapan sepiring bunga kantil. Selintas pandang tampang kedua
peri ini hampir mirip satu dengan yang lain, layaknya pinang dibelah dua,
sama-sama berkulit putih pucat, berambut panjang sepinggang, dan mengenakan pakaian
gaun panjang serba hitam, serta sama-sama tidak mengenakan alas kaki, dan
sama-sama memiliki kuku merah yang panjang pada kesemua jari jari tangannya.
Sedang di pendopo, tampak
perapian yang berkobar yang membuat ruang pendopo terasa hangat di dalam
pendopo, terdapat meja kasir yang berada didekat pintu utama ruang dalam, tampak
seorang kakek bertubuh kerdil setinggi satu meter, berkepala plontos, dengan
dua benjolan kecil pada dua sisi kepalanya, hingga menyerupai tanduk kecil, dan
yang juga menarik adalah tangan dan jari mahluk kerdil itu, karena tangannya
saat dijulurkan kebawah, memanjang melebihi lututnya, lalu jari-jari tangannya
dan jari-jari kakinya ada 6 buah dan setiap jari hampir sama panjangnya. kulit
mahluk kerdil itu berwarna kebiruan seperti nyala api posfor, ia memiliki daun
telinga yang caplang dan mengenakan baju mantel warna biru menyentuh lantai. Pria
kerdil ini adalah penunggu kedai arwah, yang merupakan mahluk astral jenis Jin,
yang juga kepercayaan dari pengelola dan pemilik kedai arwah.
Selain meja kasir ada pula berjajar
delapan meja penuh hidangan. Ada delapan meja dengan empat kursi pada setiap
mejanya dan sudah ada tiga tamu yang hadir, tapi setiap tamu duduk pada satu
meja. Semua duduk sendiri dan saling terpisah.
Tiga orang masing-masing
menduduki sebuah meja, maklum, rupanya mereka seperti tak mau saling kenal dan
tak mau saling ganggu. Kertas-kertas yang ditempel di papan tulis yang merekat
didinding itu, ternyata semuanya maklumat tentang orang yang sedang dicari
sebagai target pembunuhan, di mana tercantum nama, umur dan asal usulnya,
kejahatan atau prestasi yang pernah dilakukan, dan berapa besar upah yang dapat
diterima bagi siapa pun yang dapat membunuhnya, semua nama yang tertera pada
maklumat tersebut ada yang merupakan kepala pemerintahan, tokoh masyarakat,
publik figur bahkan ada pula manusia atau mahluk astral yang bukan dari
kalangan orang terpandang, maklumat itu bukan ditandatangani oleh pihak
penguasa atas nama kerajaan Suralaya, tapi adalah pemberitahuan dari pemilik
atau majikan Kedai Arwah.
Pemilik kedai arwah tidak
mencantumkan namanya, hanya memberi cap / stempel gambar mata satu yang dibingkai
dengan segitiga sama sisi. Oleh karenanya pemilik kedai arwah ini dikenal juga
dengan sebutan tuan mata tunggal.
Didunia astral ini memang banyak
hal yang ditandai dengan simbol-simbol dan perlambang, baik berupa aksara,
gambar hewan, bunga, lafaz, dan lainnya. Nona bermantel merah itu lalu
mengambil dua maklumat yang ada dipapan tulis yang melekat didinding, namun ia
berhenti sejenak mengamati satu gambar seorang tokoh nasional yang terkenal
santun dan rendah hati, yang ternyata juga menjadi target pembunuhan,
" Aiih.... pasti ini terkait
masalah politik. " fikirnya.
Yang juga tak kalah mengagetkan
tak jauh dari gambar sang tokoh santun tersebut, terdapat gambar seseorang yang
dikenalinya, berikut indentitasnya, yaitu :
Nama : Raden Jaka Indi
Umur : 23 tahun
Alamat : Jakarta, indonesia
Status : menikah dengan Dewi Yuna
Ciri fisik : jenis manusia,
tinggi : 173 cm
Berat : 65-67 kg
Rambut : Hitam lurus
Senjata : Keris kyai Sengkelat
Kegemaran : makan bubur sarang
burung walet
Jasa Bayaran : 20 batang emas
murni, dipotong 10% biaya administrasi kedai arwah, wow...tinggi sekali jasa
bayaran atas kematian Jaka Indi.
Nona bermantel merah kemudian
balik menuju kuda unicornnya yang ditambatkan diluar pendopo, dan hanya dengan
satu tangan mengangkat mayat yang rebah melintang dipunggung kuda, lalu
memanggul dibahunya kemudian melemparkannya kedalam lantai pendopo. Dengan
perawakan tubuhnya yang mungil, tak ada yang mengira kalau nona tersebut memiliki
tenaga yang sangat kuat. Semua tamu terus memandang kearah nona bermantel merah
tersebut, namun tak satupun ada yang berkomentar.
Nona baju merah berjalan kedepan
pria kerdil berkepala plontos, sambil berkata
" 10 batang emas dan lima batang perak, " ujar nona dengan
memberikan dua lembar maklumat yang tadi diambilnya dan memberi sebuah cincin
cap kerajaan Bessura.
" devi...., deva...! "
" Periksa mayatnya, pastikan
sosok itu Bagastya…" ujar pria kerdil dengan suara cekak.
Kedua peri kembar itu melayang
kependopo dan memeriksa mayat yang dipendopo. “ Benar ini mayat Bagastya, yang
merupakan pembantu pangeran Abhinaya. “ Ujar Devi, sedang deva langsung membawa
mayat tersebut keruang peti mati berjajar dan melemparnya dalam peti mati yang
kosong.
Sementara pria kerdil memeriksa
maklumat yang tertera nama pangeran corwin dan bagastya, dan memeriksa cincin
yang berada dimejanya, terbukti memang milik pangeran corwin. Sesungguhnya sang
kasir juga sudah tahu perihal desas desus kematian pangeran corwin hanya ia
tidak tahu siapa yang membunuhnya.
" Besar sekali,
peruntunganmu kali ini, “ kata manusia kerdil, ujarnya sambil menyerahkan 10
emas batangan 1 kg dan 4 perak batangan 1 kg.
1 perak batangan, adalah komisi
untuk Kedai Arwah, jelas Kakek kerdil. Nona mantel merah itu dalam sekejap saja
telah memasukkan emas dan perak batangan kedalam tas yang dibawanya. Saat
sinona mulai membalikkan badan untuk berlalu, sang kakek bertubuh kerdil
memanggilnya, “ nona tunggulah sebentar, duduklah dibangku yang ada, karena
akan ada tamu yang sanggup memberi bayaran yang tinggi untuk suatu jasa
pembunuhan.”
Nona mantel metah tidak jadi
pergi, tapi membuka tutup kepalanya, tiba-tiba ada yang menjerit kecil....
" Achhh... ! nona Anindya
duduklah disini..." terdengar suara jernih lembut memanggilnya, saat
sinona mantel merah lebih mengamati sumber suara, ternyata yang memanggilnya
adalah Kaniya yang merupakan utusan kerajaan Malayapada, yang dikenalnya saat
bersama di paviliun kaputren., lalu Anindya menghampiri Kaniya, menyalaminya
dan duduk didapannya.
Kaniya sungguh tidak menyangka
Anindya yang merupakan putri utusan Kraton Kasepuhan Haryodiningrat yang
dikenalnya halus, lembut dan seperti malu-malu, ternyata adalah seorang wanita
pembunuh profesional yang tenang, dingin dan penuh percaya diri.
Sementara Anindya yang telah
duduk didepan Kaniya mulai memperhatikan para tamu yang telah hadir, dimeja
paling sudut sebelah barat tampak seorang gadis remaja cantik berusia kisaran
14 tahun yang bersenjata busur dan anak panah, yang tatapannya tampak hampa
menatap kearah gerbang gapura diluar halaman, sepertinya gadis remaja itu
sedang menunggu kedatangan seseorang. Sedang yang duduk pada meja tengah adalah
seorang pemuda bertanduk domba dengan bentuk mata yang kecil tapi sorot matanya
tajam, pemuda bertanduk domba itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana
hitam sampai batas betisnya dan tidak mengenakan alas kaki, pada pinggang
pemuda itu terselip senjata seperti kujang yang terbuat dari besi kuningan. Kemudian
Anindya beralih menatap wajah Kaniya yang ayu, yang dari sorot matanya
memancarkan kebingunan.
" Kakak Kaniya, ada maksut
dan keperluan apakah kakak datang kekedai arwah ini…? " Tanya Anindya
membuka percakapan.
Kaniya malah balik bertanya, “ Adik
Anindya apa benar disini adalah tempat transaksi untuk melakukan pembunuhan,
dengan menggunakan jasa pembunuh bayaran. “
" Iya benar sekali... "
" termasuk santet, teluh,
sihir, mengirim energi negatif, dan segala hal yang bertujuan mencelakakan
manusia atau mahluk astral, dapat dilakukan transaksinya dikedai arwah ini. “ ucap
Anindya kalem, seolah bicara pembunuhan merupakan hal yang biasa baginya.
" Berapakah biaya
menggunakan jasa pembunuh bayaran…? "
" Tergantung siapa yang akan
di bunuh dan siapa yang akan dipakai jasanya..."
" Apakah pembayarannya harus
dengan emas dan perak….? "
" Tidak selalu... "
" Baik di kedai Arwah, Kedai
Kanuragan dan Kedai Pesugihan, pihak pengelola lebih menyukai pembayaran dengan
gadai jiwa.”
" Maksutnya bagaimana dik
'Nindya….? "
" Tuan mata tunggal yang
pakai simbol satu mata dibingkai segitiga, memiliki tiga kedai jasa, yaitu :
1. Kedai arwah, menjual jasa
pembunuhan, sihir, santet, teluh dan semacamnya.
2. Kedai kanuragan, menjual jasa
bagi yang ingin punya ilmu kebal, ilmu pelet, ilmu kesaktian dan sejenisnya
3. Kedai pesugihan, menjual jasa
bagi yang ingin kaya raya, berlimpah harta...
Umumnya syarat yang diminta
adalah dengan menggadaikan jiwa dari mereka, membuat kontrak perjanjian dengan
pengelola kedai ( kelompok jin sesat ). Tetapi syarat perjanjian bisa saja
dalam bentuk lainnya, sesuai kesepakatan.
“ Kalau memang tahu mereka
kelompok jin sesat, lalu mengapa dik Anindya justru bersekutu dengan pemilik
kedai Arwah," ujar Kaniya dengan rasa heran.
" Ehmmm... Bagaimana
yaa...."
" Kalaupun ku ceritakan
kakak juga tidak akan mengerti…."
" Oh...iya...."
" Memang Kakak Kaniya ke kedai
Arwah ingin membunuh siapa….? “
" Tadinya aku kesini ingin
menyantet selingkuhan tunanganku, kemudian aku berubah fikiran ingin
membunuhnya, berikutnya aku berkeputusan justru ingin membunuh mereka berdua,
selingkuhannya dan tunanganku " ujarnya dengan sorot mata penuh kebencian.
“ Apa kak Kaniya tidak bisa
mengatasinya sendiri, karena biasanya manusia yang bisa sampai ke negri
Suralaya ini, rata rata orang yang berilmu tinggi. ”
" Aku memang punya indra
keenam, bisa melihat astral dan berkomunikasi dengannya, namun aku tidak
memiliki ilmu bela diri apapun, selebihnya aku hanya perempuan lemah biasa. “
“ Apa kak Kaniya audah mantap
untuk membunuh tunangannya dan selingkuhannya, apalagi kalau pakai cara santet,
sihir, atau jasa mahluk astral, gak ada yang tahu lho.... dan gak akan kena
jerat hukum. “ ucap Anindya meyakinkan.
“ Akupun tadinya berfikir
demikian..... namun.... setelah melihat pemuda bertanduk kambing itu datang
membawa mayat, kemudian melihat dik Anindya juga datang menghantar mayat. Memikirkan
sekalipun tidak akan terjerat hukum, tapi pastinya Tuhan tahu. “
Maka aku kembali berubah fikiran,
" bahwa aku tidak akan membunuhnya, tidak juga menyantetnya ataupun
mencelakainya, Aku akan membiarkannya saja, dan akan pergi meninggalkannya. “ katanya
dengan suara parau.... bergetar....
“ Mendadak.... Aku akan kembali
ke Malayapada saja dik..." katanya seraya bangkit berdiri lalu melangkah
pergi berlalu meninggalkan kedai arwah.
Anindya hanya menatap Kaniya yang
pergi berlalu, dengan pandangan rawan tanpa mengucapkan satu katapun. Hanya
dalam batinnya, ia berkata, bahwa ternyata ada sementara orang memang tidak bisa
berbuat jahat, sekalipun ia ingin berbuat jahat tapi hatinya tidak sanggup
untuk melakukannya.
Beberapa jenak waktu berlalu
dalam keheningan, gadis remaja berusia kisaran 14 tahun dirasakan Anindya
sering menatap dan mencuri lihat kearahnya, tiba tiba dari luar pintu berjalan
masuk dua pria.
Orang pertama adalah seorang pria
jenis siluman, yang tinggi kerempeng, wajahnya panjang dan tirus, sorot matanya
terlihat licik, dengan bibir tebal dan kakinya berkaki kuda, pada pria tinggi
kurus ini terdapat tali pecut yang dililit pada pinggangnya.
Tapi sayang bagaimanapun tampang
dan tampilan pria pertama, tetap kurang terperhatikan. Sebab sinar mata semua
orang sudah tertarik oleh orang kedua.
Orang kedua itu adalah seorang
manusia yang sekujur badannya berwarna hitam, bajunya hitam, celana hitam,
sepatu hitam, tangannya memakai sarung tangan hitam, kepala berikut wajahnya
dibungkus pula oleh sebuah kain berwarna hitam, bahkan diatas kepalanya masih
ditambah caping bambu yang juga berwarna hitam, sehingga menutupi sebahagian
wajahnya, tampak hanya sepasang matanya yang berkilat yang lebih tajam dari
sembilu.
Bagaimanakah tampang mukanya…?
Sebenarnya manusia macam apakah
dia…?
Siapapun tidak melihat, siapapun
tidak tahu, dari atas sampai ke bawah,
pada hakekatnya tak seinci pun tubuhnya yang bisa dilihat orang. Tapi entah
mengapa, ternyata dari sekujur tubuh orang itu, dari tiap inci badannya seakan
akan penuh mengandung hawa pembunuhan yang mengerikan.
Yang paling menarik Anindya sudah
barang tentu benda yang tersoren melintang di punggungnya. Sekilas melihat
orang akan menduga kalau itu sebuah pedang, pedang hitam yang panjangnya empat
jengkal tujuh inci. Namun mata tajam Anindya mengenali kalau itu sebenarnya
bukan pedang melainkan sebuah tongkat hitam, seperti tongkat kalimasada
peninggalan sunan kali jaga, yang terbuat dari kayu Kalimasada yang berasal
dari Pulau Karimunjawa, konon tongkat ini dapat menghalau energi negatif, dan
bila tongkat ini ditancapkan kebumi dapat mengeluarkan air dari dalam tanah dan
tongkat kalimasada ini tidak bisa ditebas putus oleh pusaka atau senjata tajam
apapun.
" Aneh sekali mengapa pusaka
tongkat kalimasada bisa berada pada pria tersebut. " Renung Anindya.
Kedua orang tersebut dengan
bergegas menuju kemeja kasir. " Apakah
pesanan saya sudah ada yang sanggup mengerjakan…? “
" kakek bertubuh kerdil dan
berjari enam menghela nafas, “ lalu katanya… “ banyak yang mau menerima
pekerjaan itu, tapi belum ada yang sanggup."
" Kenapa tidak sanggup…?
" ujar pria serba hitam itu dengan getas
" Kalau targetnya orang
alim, orang baik, orang sholeh, pemimpin yang adil memang lebih sulit untuk
disantet atau dibunuh secara ghaib, karena banyak juga yang melindunginya dari
kalangan mahluk astral termasuk malaikat.”
" Saya tingkatkan bayarannya
dua kali lipat, pokoknya paling lama
sebulan lagi, harus sudah beres, “ katanya tegas dan getas. Sambil memutar
badannya kearah datangnya, yang
langkahnya diikuti temannya siluman kaki kuda.
Setelah pria busana serba hitam
dan kawannya keluar balkon, si kakek kerdil menggapai kearah Anindya, saat
Anindya telah mendekat, kakek kerdil itu bertanya lirih, “ Apakah kamu bisa dan
mau mengerjakan tugas ini,...”
Belum lagi sikakek menyelesaikan
seluruh kalimatnya, Anindya telah menjawab cekak, tidak mau dan tidak bisa.
Lalu malah berkata kepada para
tamu yang hadir, “ siapa yang sanggup
membunuh pria baju hitam berserta temannya yang baru saja berlalu, akan saya
berikan sepuluh batang emas murni dan empat batang perak, sebagai bayarannya. ”
Mendadak pemuda bertanduk kambing
bangkit berdiri sambil mengeluarkan senjata kujangnya dan berjalan keluar
pendopo, deva dan devi yang menjaga peti mati, juga melesat keluar dengan
cepat, saat itu pria berpakaian serba hitam dan siluman kaki kuda telah tiba di
penghujung gapura, saat pria bertanduk domba telah semakin dekat dengan kujang
terhunus dan sikembar deva... devi... juga telah menjulurkan kesepuluh kuku
jarinya yang runcing,
Sekonyong-konyong secara bersamaan
melesat dengan sangat cepat, dua anak panah yang terbuat dari bambu kuning yang
ujungnya telah diruncingkan, tepat mengenai punggung pria baju hitam dan temannya,
dan mengenai jantung serta tembus hingga tubuh bagian depan, yang membuat kedua
pria itu seketika jatuh tersungkur.
Sebenarnya pria berbaju serba
hitam dan siluman kaki kuda bukanlah orang yang berilmu rendah, tapi karena
mereka tidak menyadari akan mendapat serangan, terlebih diserang dari belakang
dengan anak panah bambu kuning, tanpa bisa memberi perlawanan mereka langsung
jatuh tersungkur.
Pria bertanduk domba juga deva
dan devi langsung menghentikan langkahnya, sebaliknya Anaindya melirik sesaat
kearah gadis remaja 14 tahunan yang baru saja melepaskan anak panah, lalu
melemparkan tas berisi emas perak kearah meja gadis remaja tersebut, kemudian
bergegas berlari keluar dengan maksut mengambil pusaka tongkat kalimasada.
Siapa nyana....
Disaat Anindya semakin
mendekat....
Ternyata didepan dua pria yang
tersungkur telah ada dua pria yang berjongkok memeriksa korban.
" Huah... ini orang yang
selama ini aku cari " seru orang yang memakai belangkon dengan terkejut “ Sekalinya
ketemu malah sudah modar. “
Sedang pemuda satunya lagi,
setelah memeriksa kedua mayat, lalu mengambil tongkat yang ada pada pemuda baju
serba hitam, mengamati beberapa saat lalu menyimpannya dipunggungnya
Terlihat manusia bertanduk domba
dan sepasang peri kembar telah kembali kekedai arwah.
Sedang Anindya tetap berjalan
maju hingga berjarak sepuluh meter dan dalam cahaya sinar bulan dapat melihat
dengan jelas kalau pemuda yang memeriksa mayat dan tongkat Kalimasada adalah
Raden Jaka Indi.
Mengetahui Raden Jaka Indi masih
belum menyadari kedatangannya, Anindya segera berbalik badan, berjalan bergegas
kearah Kedai Arwah dan menggunakan ponco pada mantel merahnya untuk menutupi
kepalanya.
-----===o0o===----
Bagaimanakah Jaka Indi bisa
keluar dari hutan labirin dan bagaimanakah Jaka Indi bersama Indrajid bisa
sampai dikedai arwah….?
Penjelasan ada di Eps berikutnya.
No comments:
Post a Comment