Menurut Syafi’iyyah niat
merupakan kunci syarat sah. Ia tidak hanya sebagai penyempurna sebagaimana
dalam madzhab Hanafiyah. Dalam madzhab Syafi’i, niat menentukan sah atau
tidaknya amal.
Secara umum, ada beberapa ibadah
yang bisa digabung dalam satu niat dan masing-masing bisa mendapatkan pahala.
Misal, orang shalat tahiyyatul masjid diniati sekalian shalat sunnah qabliyah
dzuhur. Atau ada orang habis bersetubuh dengan istrinya di pagi hari Jum’at.
Kemudian ia niat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besarnya sekaligus niat
mandi sunnah Jumat. Niat seperti demikian ini sah hukumnya. Dalam ilmu fikih,
ada banyak contohnya.
Dalam hal puasa juga berlaku
demikian. Seperti ada orang mempunyai tanggungan hutang puasa lalu diqadla
bersama puasa sunnah semacam ‘Arafah, Senin-Kamis, Asyura’ dan lain sebagainya,
hukumnya sah.
Lalu bagaimana jika dalam bulan
Ramadhan, terdapat juga niat melakukan puasa lain selain puasa bulan Ramadhan
itu sendiri sehingga masing-masing niatnya bisa digabung….?
Imam Nawawi dalam
kitabnya al-Majmu’, Syarah al-Muhadzab menjelaskan, pada bulan Ramadhan
tidak sah melakukan puasa apa pun kecuali hanya untuk puasa Ramadhan.
قال الشافعي والاصحاب رحمهم الله تعالي يتعين رمضان لصوم رمضان فلا يصح فيه غيره فلو نوى فيه الحاضر أو المسافر أو المريض صوم كفارة أو نذر أو قضاء أو تطوع أو اطلق نية الصوم لم تصح نيته ولا يصح صومه لا عما نواه ولا عن رمضان هكذا نص عليه وقطع به الاصحاب في الطرق الا امام الحرمين فقال لو أصبح في يوم من رمضان غير ناو فنوى التطوع قبل الزوال قال الجماهير لا يصح وقال أبو إسحاق المروزى يصح قال الامام فعلى قياسه يجوز للمسافر التطوع به والمذهب ما سبق
Artinya : “M enurut Asy-Syafi’i
dan murid-muridnya rahimahumullah mengatakan, bulan Ramadhan hanya boleh untuk puasa
Ramadhan. Pada bulan ini tidak diperkenankan puasa selainnya. Baik itu bagi orang yang sedang di rumah atau dalam
bepergian, orang sakit, orang yang mempunyai tanggungan puasa kaffarah, nadzar,
qadla’, puasa sunnah, atau puasa mutlak. Semuanya tidak sah. Baik puasa yang ia
kehendaki maupun puasa Ramadhannya itu sendiri justru juga tidak sah. Demikian
redaksi tekstualnya sebagaimana yang diyakini oleh para murid Imam Syafi’i dari
beberapa riwayat kecuali Imam al-Haramain.
Jika Imam al-Haramain, ia menjelaskan,
apabila ada orang sudah memasuki waktu subuh pada salah satu hari Ramadhan
sedang ia belum niat. Kemudian dia niat melakukan puasa sunnah (di pagi bulan
Ramadhan itu), menurut mayoritas ulama, tidak sah. Sedangkan menurut Abu Ishaq
al-Marwazi, puasa sunnahnya sah. Namun menurut al-Imam, hal ini dianalogikan
adalah bagi orang yang sedang bepergian boleh melakukan puasa sunnah. Meskipun
begitu, yang sesuai dengan kaidah madzhab adalah pendapat yang pertama tadi,
yaitu tidak sah. (Abi Zakriya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’,
Maktabah al-Irsyad, Jeddah, juz 6, halaman 315-316)
Pendapat al-Marwazi di atas
dipatahkan oleh pendapat Al-Mutawalli. Menurutnya, orang yang pada malam
harinya lupa tidak niat, sehingga ia kesiangan baru ingat, ia tetap harus
berpura-pura meniru seperti orang puasa. Nah, pada level pura-pura melakukan
ibadah seperti demikian, orang tidak boleh melakukan ibadah sejenis yang
benar-benar ibadah.
Seperti kasus orang yang hajinya
rusak. Ia tetap harus pura-pura memakai ihram. Dalam kepura-purannya ini, pada
saat yang sama, di musim haji itu, ia tidak boleh melakukan ihram apapun yang
shahih.
Jadi, jika puasa dilakukan pada
bulan selain Ramadhan, orang bisa melakukan puasa qadla, kaffarah, nadzar atau
yang lainnya seraya digabung dengan puasa sunnah, namun khusus untuk bulan
Ramadhan ini tidak boleh niat puasa apapun selain puasa Ramadhan.
Kenapa puasa selain Ramadhan itu
sendiri tidak sah begitu….? Imam Nawawi, masih dalam kitab yang sama mengatakan
:
لان الزمان مستحق لصوم رمضان فلا يصح فيه غيره
Artinya : Karena bulan itu hanya
miliknya Ramadhan, maka tidak sah puasa apapun selain Ramadhan itu sendiri.
No comments:
Post a Comment