Salah satu peninggalan dari nenek moyang kita, yang perlu
diuraikan agar menjadi pedoman hidup menuju masyarakat yang sejahtera adalah
Astabrata.
Asta artinya delapan, brata artinya tindakan. Jadi, Astabrata
dapat diartikan sebagai delapan macam tindakan. Astabrata ini diambil dari inti
sari wasiat Cupu Manik Asta Gina, atau pegangan hokum bagi para dewa. Konon
dengan berpegang pada hokum ini, para dewa dapat memimpin umat manusia menuju
kesejahteraan dan kedamaian. Kalau setiap orang, terutama para pemimpin,
berpegang pada astabrata, maka masyarakat yang sejahtera tidak mustahil
terwujud di bumi ini. Adapun astabrata secara mudah dan jelas digambarkan atau
diwujudkan dalam rupa :
1. Wanita: wanita,
2. Garwa; jodoh
3. Wisma : rumah
4. Turangga : kuda tunggangan
5. Curiga : keris, atau senjata
6. Kukila : burung berkutut
7. Waranggana : ronggeng / penari wanita
8. Pradangga : gamelan / bebunyian berirama
Orang atau pemimpin yang utama harus memiliki (mengalami)
delapan hal tersebut diatas.Banyak orang yang salah paham, berusaha mempunyai
delapan rupa tersebut dalam wujud sebenarnya. Hal demikian ini takkan terwujud.
Sesungguhnya delapan hal tersebut sekadar kiasan, dan bukan berarti setiap
orang harus memiliki barangnya, tetapi memiliki atau mengalami arti dan
wangsitnya.
Wanita, artinya seorang perempuan, yang elok dan
cantik, siapapun yang melihat pasti ingin memilikinya. Maka yang dimaksud
dengan wanita ini adalah suatu keindahan, sebuah citacita yang tinggi. Agar
cita cita itu dapat tercapai, maka orang perlu berusaha sekuat tenaga, belajar,
tirakat dan sebagainnya, sebagaimana seorang pemuda yang ingin menggaet dan
memiliki gadis cantik. Garwa, artinya jodoh, suami istri, yang sehati.
Garwo sering diartikan sigaraning nyawa, belahan
jiwa, jiwa satu dibelah dua atau dua badan satu nyawa. Jadi garwa mengandung
arti bahwa setiap orang harus dapat menyesuaikan diri, bisa bergaul dengan
siapapun, semua orang dianggap sebagai kawan, hidup rukun dan damai, mencintai
sesama, tidak membedabedakan orang. Semuanya dianggap sebagai garwa, teman
sehidup semati.
Wisma, artinya rumah. Rumah adalah tempat
berlindung memiliki ruangan yang luas berpetak petak untuk menyimpan aneka
macam barang. Semuannya dapat dimasukkan kedalam rumah. Demikianlah, setiap
orang hendaknya bersifat rumah, yakni dapat menerima siapapun dan membutuhkan
perlindungan, sanggup menyimpan dan mengatur segala sesuatu, pun dapat
mengeluarkan pikiran dan bertindak bijaksana dan teratur menurut tempat, waktu
dan kedaannya.
Turangga, berarti kuda tunggangan, yang kuat dan
bagus. Kuda tunggangan bisa berlari cepat, bisa berlari pelan, bisa berjalan
sambil menarinari. Sebaliknya kuda tunggangan juga bisa berlari cepat dengan
arah yang tak menentu, bisa terguling kedalam jurang, tergantung orang yang
memegang tali kekang. Demikian halnya diri: badan jasmaniah, panca indra dan
nafsu kita merupakan kuda tunggangan. Sedangkan jiwa adalah pengendaranya. Bila
jiwa dapat menguasai, mengatur dan mengekang diri, maka pergaulan hidup kita
akan teratur dengan baik. Sebaliknya, bila jiwa tak dapat menguasai diri, maka
hidup kita akan seperti kuda tunggangan yang liar, berlari kesana kemari dan
akhirnya tergelincir.
Curiga, artinya keris, senjata tajam yang dipuja
puja. Maka perlulah tiap orang terutama para pemimpin memiliki persenjataan
hidup yang lengkap, kepandaian, keuletan, ketangkasan dan lainlain. Begitu pula
pikiran harus tajam, mampu menebak dengan dengan tepat, agar dapat bertindak
tepat pula untuk kebahagiaan masyarakat.
Kukila, artinya
burung, burung berkutut yang dipelihara di Jawa, untuk didengarkan suaranya,
yang merdu, enak didengar, menentramkan sanubari. Demikianlah, setiap kata yang
keluar dari mulut hendaknya enak didengar, lemah lembut, menentramkan orang
yang mendengarkannya. Setiap kata yang keluar harus tegas dan bersifat
memperbaiki dan membangun, agar siapapun yang mendengar bisa terpikat dan
mengindahkannya.
Waranggana, artinya tandak atau ronggeng, untuk
pandangan waktu menari. Pada zaman dewa dewa, ini disebut Lenggot-bawa.
Peraturannya seperti ini : seorang warangga menari di tengah kerumunan orang,
bersama seorang lelaki yang ikut menari. Diempat penjuru ada penari laki laki
yang menari, seakan akan ikut menggoda si waranggana agar memalingkan mukanya
dari yang lelaki yang tengah menari. maknanya, bila ingin kedamaian dan
ketentraman, harus senantiasa Istiqomah tidak tergoda oleh hal hal yang bisa
merugikan diri sendiri.
Gamelan yang disusun dari beberapa
alat musik yaitu “ Kemong '” Kemong berarti kedah momong (harus bisa mengasuh).
Maknanya, umat Islam yang berilmu harus bisa mengasuh orang lain yang belum
mengerti apa apa supaya menjadi mengerti. Caranya dengan memberikan bimbingan,
arahan, dan dorongan. Dengan cara itu diharapkan, agar mereka bisa menjadi umat
beragama yang patuh. Kening, Kening berarti kedah ningali ( harus melihat ).
Maknanya, bila ada pagelaran wayang kulit seluruh masyarakat harus melihat
sebab pagelaran wayang kulit di zaman wali itu bukan alat hiburan semata. Lebih
penting dari itu adalah sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam. Gong, Gong kalau dipukuli bunyinya, “Gerr …” Bunyi
suaranya berat dan panjang bergelombang. Musik apa pun bila tanpa gong atau bas
tidak enak didengar. Menurut masyarakat Cirebon, bunyi ger tersebut mempunyai
arti Allahu Akbar. Maknanya, kita sebagai umat Islam harus selalu ingat kepada
Allah Yang Maha Pencipta. Cara yang terbaik adalah melalui sholat lima waktu
sebab setiap gerakan salat didahului dengan kata Allahu Akbar. Selain itu, bunyi
ger … tersebut adalah bunyi terakhir setelah bunyi keempat gamelan di atas. Ini
berarti bahwa pada akhirnya nanti semua umat akan kembali kepada Yang Maha Pencipta.
No comments:
Post a Comment