Kita akan
berbicara tentang ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat sifat dan hadits-hadits
sifat.
Maksudnya
adalah adanya ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits-hadits Nabi Muhammad
SAW yang secara dhohir menunjukkan bahwa Alloh SWT mempunyai anggota badan
seperti mata, tangan wajah dan lain sebagainya. Atau sesuatu hal yang menjadi
kekhususan sifat-sifat makhluk seperti duduk, turun dan lain sebagainya.
Kemudian
lafadz-lafadz tersebut dinisbatkan dalam ayat Al-Qur’an atau hadits Nabi kepada Allah SWT.
Dalam hal
ini ada kelompok-kelompok yang sesat di dalam memahami ayat-ayat dan
hadits-hadits tersebut.
1. Ahli Ta’thil
Kelompok
sesat yang pertama adalah ahli ta’thil yaitu mereka yang serta merta
mengatakan Allah SWT tidak bersifat seperti itu, ini adalah
kelompok pertama yang sesat. Misalnya tentang ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
“Allah SWT beristiwa’ di atas ‘arasy”, ahli ta’thil mengatakan bahwasanya Alloh SWT tidak beristiwa’ atau ada ayat Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa Allah SWT
berfirman:
“yang telah Aku ciptakan dengan tanganku”.
Kemudian
ahli ta’thil mengatakan bahwa Allah SWT tidak mempunyai tangan maka
itu adalah ahli ta’thil yang sesat sebab benar-benar
tersebut di dalam Al-Qur’an tentang masalah tangan dan istiwa’nya Allah SWT akan tetapi mereka mengingkarinya
2. Ahli
Tasybih
Orang
tersesat yang kedua adalah mereka yang mengukuhkan sifat tersebut tetapi dibawa
kepada makna dhohirnya. Makna dhohir yang sudah biasa dipahami oleh manusia.
Jika
disebut tangan semua orang yang berakal akan faham bahwasanya yang dimaksud
tangan adalah tangan yang ada di anggota tubuh.
Bahkan
jika kita menemukan binatang yang pertama kali kita melihatnya sekalipun kita
bisa menunjuk mana tangan dan mana kaki. Jadi kalau disebut tangan maka akan
terbayang di benak seorang hamba adalah tangan yang telah atau pernah
diketahui.
Dalam hal
sifat-sifat Allah SWT ada sekelompok yang langsung mengukuhkan sifat tersebut
dan dibawa kepada makna dhohir lafadz tersebut dan inipun adalah juga kelompok
sesat, ini adalah ahli tasybih yang menyerupakan Allah SWT dengan makhlukNya,
sungguh Alloh SWT sangat berbeda dengan makhluqNya.
Bahkan
kadang-kadang mereka para ahli tasybih masih berhujjah dan berkata “kita bawa lafadz ini kepada makna dhohirnya lalu kita
serahkan makna yang sesungguhnya kepada Allah SWT”.
Ini adalah
suatu pertentangan yang jelas dalam memahami ayat tersebut, sebab kalau
seseorang mendengar kalimat tangan atau wajah disebutkan maka tidak akan
difahami kecuali bentuk jisim dan benda materi yang sudah maklum itu, dan ini
tidak boleh dinisbatkan kepada Allah SWT.
Bentuk
pertentangan kelompok ini adalah saat mengatakan bahwasanya memang betul yang
dimaksud wajah dan tangan itu seperti dhohir lafadznya akan tetapi maknanya
kita serahkan kepada Allah SWT .
Mereka
mengatakan “kita serahkan pada Allah SWT”, dalam waktu yang bersamaan dia
telah mengukuhkan bahwasanya maksudnya seperti yang disebutkan dalam lafadznya.
Ini adalah
pernyataan yang saling bertentangan. Bagaimana menyerahkan maknanya kepada
Allah SWT sementara mereka telah menentukan makna pemahamanya dengan akalnya.
Maka jelas
ini adalah tidak benar, mereka adalah ahli tasybih yang menyerupakan Allah SWT
dengan makhluq.
Kelompok
Yang Selamat (Ahli Tafwidh dan Takwil)
Ini adalah
kelompok yang selamat. Yaitu kelompok yang menjauhkan lafadz tangan, wajah dan
lain sebagainya dari makna dhohirnya.
Kemudian
setelah menjauhkan dari makna dhohirnya, ada dua cara dalam memahami
lafadz-lafadz tersebut :
Kita
serahkan maknanya kepada Allah SWT, inilah yang disebut ahli Tafwidh.
Kita
mencari makna yang sesuai dengan kebesaran Alloh SWT sesuai kaidah-kaidah
bahasa Arab.
Misalnya
kalau kita menyebut istiwa’ Allah SWT atau tangan Allah SWT
maka menurut ahli Tafwidh pertama kali yang harus dilakukkan adalah menyerahkan
maknanya kepada Allah SWT SWT dengan menjauhkan lafadz tersebut dari makna
dhohir yang biasa dipahami oleh akal manusia .
Ahli
Takwil mengatakan bahwa kita jauhkan dari makna dhohirnya kemudian kita carikan
makna yang sesuai lafadh tersebut dengan dalil-dalil yang sudah jelas.
Misalnya
lafadz istawa dalam “Allah SWT di atas ‘arsy” bisa kita artikan di sini “Berkuasa”, karena memang Alloh SWT
“Allah SWT Maha Berkuasa atas segala sesuatu” atau makna yang lainnya yang sesuai dengan kebesaran Alloh
SWT.
Artinya
sifat Alloh SWT Maha Kuasa adalah sesuatu yang sudah jelas dan pasti benar di
dalam syari’at.
Kita
menghadirkan makna ini bukan kita merubah makna lafadz yang ada akan tetapi
untuk menjauhkan dari makna dhohir yang bagi orang yang belum bisa mengerti
tafwidh akan menghantarkan kepada tajsim atau tasybih atau menganggap Allah SWT
itu jisim dan materi atau menyerupakan Allah SWT dengan makhlukNya.
Dan Abul
Hasan Al-Asy’ari dan Asya’iroh menggunakan manhaj Tafwidh dan
manhaj Ta’wil.
Dan ini
semua adalah karena mencontoh Ulama’-Ulama’ terdahulu. Artinya manhaj Tafwidh
dengan Ta’wil itu sudah ada pada zaman para salafuna sholih.
Jadi tidak
benar jika dikatakan bahwa para salaf tidak pernah mentakwil.
Contoh-contoh
Tafwidh :
Disebut
wajah Alloh SWT dalam Alquran:
“semuanya hancur kecuali wajah Alloh SWT” ahli tawidh memahami dengan dua kaidah:
Kita
jauhkan dari makna wajah yang kita pahami.
Kita
serahkan maknanya kepada Allah SWT, tidak usah dibahas begini dan begitu.
Begitu juga ayat
maka yang
harus kita pahami adalah menjauhkan dari pada makna istiwa’ yang sudah kita ketahui seperti bersemayam, duduk, diam dan
lain sebagainya kemudian kita serahkan makna yang sesungguhnya kepada Alloh
SWT.
Contoh-contoh
Takwil :
1. Al-Imam
Bukhori r.a. juga mentakwil ayat Al-Qur’an, dalam ayat :
كُلُّ
شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ
Imam
Bukhori sendiri mengatakan bahwasanya
إِلاَّ
وَجْهَهُ “
kecuali
kerajaan Alloh SWT
” مُلْكُهُ
atau “kekuasaan Alloh SWT”,
2. Imam
Ibnu Hajar Al-’Asqollaniy menyebutkan didalam kitab Fathul Bari riwayat
dari Sayyidina Ibnu Abbas bahwasanya:
يَوْمَ
يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ
disini ساق
bukan artikan betis Alloh SWT.
Sayyidina
Abdullah bin Abbas r.a. beliau memberi makna
ayat
﴿ يَوْمَ
يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ ﴾ عَنْ شِدَّةٍ مِنَ اْلأَمْرِ
maksudnya
adalah “di saat suatu suasana yang sangat dahsyat, sangat mengerikan”.
3. Imam Al
Baihaqi meriwayatkan dari Imam Mujahid di dalam Asmaus Sifat di situ ayat
disebutkan
فَأَيْنَ
تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ الله
“di manapun kamu menghadap di situlah wajah Alloh SWT”
di sini
diartikan oleh Imam Mujahid bahwasanya
﴿ وَجْهُ
الله ﴾
di sini
adalah “قِبْلَةُ الله” (qiblat Allah SWT) bukan wajah
Allah SWT.
Jadi ahli
Takwil berkata wajah Alloh SWT di sini bukanlah wajah seperti yang kita pahami.
Contoh ini
sudah sangat cukup bagi orang yang berfikir untuk jadi panutan dalam memahami
firman Alloh SWT dan hadits Nabi yang secara dhohir maknanya menyerupakan Alloh
SWT dengan makhlukNya.
Ada
sekelompok orang yang mengingkari takwil bahkan menuduh ahli takwil dengan
kesesatan. Itu artinya mereka menganggap sesat ulama-ulama besar dari para
salaf.
Dan atas
izin Alloh SWT kami akan sebutkan lebih luas lagi pada silsilah selanjutnya
Ayat-ayat dan hadits Nabi yang kita harus mentakwilinya.
Wallahu a’lam bishshowab.
No comments:
Post a Comment