Al kisah…
Terjadi suatu peristiwa, seorang pemuda telah bertanya kepada guru tasawufnya
tentang perbedaan antara orang-orang syariat dan orang-orang hakikat dalam
memahami agama Islam dan kenapa ilmu hakikat tidak berkembang luas. Kemudian
sang guru berkata.. “Untuk aku menjawab persoalanmu itu wahai muridku, pergilah
bertanya kepada kedua mereka akan dua persoalan ini yaitu yang pertama, adakah
Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya? Pergilah ke
kampung sebelah karena disana kamu akan menemui ulama syariat dan ulama
hakikat. Bertanyalah kepada orang-orang kampung disana untuk mencari mereka.”
Setuju atas
arahan gurunya itu lantas si pemuda tanpa banyak bicara terus ke rumah ulama
syariat yang terkenal dikampung sebelah dengan bertanya-tanya arah rumahnya
kepada orang kampung. Sesampainya si pemuda itu dirumah ulama syariat tersebut
dengan ramah mesra si pemuda diajak masuk ke dalam rumah yang serba sederhana
itu. Sang ulama syariat kelihatan rapi berjubah putih dan bersorban, ditambah
raut wajahnya yang bersih tanda beliau seorang yang soleh. Si pemuda dilayani
seperti anak sendiri dengan dijamu makan malam sebelum sesi dialog dijalankan.
Usai makan malam terus saja sang ulama syariat memulai pembicaraan.
“Ada urusan
apa sehingga kamu bertandang ke rumah saya ini wahai anak muda?” Tanya sang
ulama syariat dengan nada yang redup.
“Sebenarnya
saya ingin mendapatkan jawaban diatas dua persoalan yang ingin saya ajukan
berkenaan dengan agama Islam kita ini kepada ustadz. Persoalannya ialah adakah
Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya?”
Setelah diam
sejenak lalu sang ulama syariat menarik nafas dalam-dalam dan dengan tenang
memberikan jawabannya.
“Ya, Allah
itu memang berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah wajib.”
Setelah
mendapatkan jawaban daripada ulama syariat itu maka pemuda itu pulang sambil
hatinya bergumam untuk bertemu dengan ulama hakikat besok.
Keesokkan
harinya si pemuda berjalan dikampung itu untuk mencari sang ulama hakikat. Puas
bertanya dengan orang kampung maka tengah hari itu si pemuda bertemu dengan
seorang tua yang akhirnya mau menunjukkan beliau dimana sang ulama hakikat
berada.
Sesampainya
ditempat yang dituju kelihatan seorang lelaki tua sedang membersihkan halaman
rumahnya yang luas dihiasi taman bunga yang cantik. Rumahnya begitu besar dan
mewah. Sang ulama hakikat yang berkulit gelap itu kelihatan memakai pakaian
yang agak lusuh tidak sebanding dengan rumahnya yang begitu mewah.
Sudah
sepuluh menit si pemuda mengobrol ringan dengan sang ulama hakikat namun
kelihatan seolah-olah tiada tanda-tanda sang ulama hakikat mau mengajak beliau
masuk ke dalam rumahnya yang mewah itu.
“Ada apa
urusan anak menjumpai saya ini?” Tanya sang ulama hakikat itu sambil tersenyum.
Kemudian si
pemuda bertanya persoalan yang sama sebagaimana yang ditanyakan kepada sang
ulama syariat.
“Sebenarnya
saya ingin mendapatkan jawaban atas dua persoalan yang ingin saya ajukan
berkenaan dengan agama Islam kita ini kepada pak. Persoalannya ialah adakah
Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya?”
Kelihatan
sang ulama hakikat tersenyum saja mendengar pertanyaan itu lantas dengan tenang
beliau menjawab..
“Wahai anak
muda ketahuilah yang sebenarnya bahwa Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang
itu hukumnya adalah haram.”
Terperanjat
besar si pemuda mendengar jawaban sang ulama hakikat yang bersahaja itu. Sukar
rasanya si pemuda mau menerima jawaban yang baru disampaikan kepadanya itu.
Tanpa membuang waktu maka si pemuda itu mohon undur diri kemudian pulang ke
rumahnya dengan seribu persoalan yang berputar-putar dibenak kepalanya. Sebagai
seorang muslim taat yang baru hendak mengawali diri dengan dunia tasawuf, si
pemuda merasa keliru dengan jawaban yang diberikan oleh sang ulama hakikat.
Setahu beliau pelajaran tasawuf itu bersangkutan dengan ilmu hakikat dan
ma’rifat. Mendengar jawaban daripada sang ulama hakikat itu membuat si pemuda
merasa takut untuk meneruskan pelajaran tasawuf dengan gurunya dan mengambil
keputusan untuk tidak lagi berguru dengan guru tasawufnya lantas mengambil
keputusan untuk berguru dengan sang ulama syariat. Beliau mulai meragukan
perjalanan ilmuhakikat dan
dalam hati beliau bergumam..
“Kalau mau
dibandingkan dari segi akhlak pun akhlak sang ulama syariat lebih bagus
daripada akhlak sang ulama hakikat. Walaupun sang ulama syariat hidup dalam
keadaan sederhana namun aku dijemput masuk ke dalam rumahnya lantas dijamu
dengan makanan yang enak , Sedangkan sang ulama hakikat yang kucel.. sudahlah tidak
di ajak masuk ke dalam rumahnya, setitik air pun tidak diberinya malah dengan
dirinya saja pun sudah kucel. Lihat saja pakaiannya yang lusuh itu.”
Keesokkannya,
si pemuda dengan tergesa-gesa menuju ke rumah sang ulama syariat dan
menceritakan kepada beliau hasil dialognya dengan sang ulama hakikat. Mendengar
penjelasan si pemuda, sang ulama syariat merasa marah lantas mengarahkan
anak-anak muridnya untuk menangkap sang ulama hakikat. Maka dengan sekejap saja
penduduk kampung itu digemparkan dengan cerita bahawa sang ulama hakikat itu
telah membawa ilmu sesat dikampung itu.
Sang ulama
hakikat dapat ditangkap dengan bantuan orang-orang kampung. Tangannya diikat
dibelakang lalu dipaksa untuk berjalan. Kelihatan terdapat segelintir dari
orang-orang kampong yang bertindak memukul muka dan badan beliau serta tidak
kurang juga ada yang melempari beliau dengan batu-batu. karena tidak dapat
menahan rasa marah. Walaupun begitu sang ulama hakikat tetap diam namun air
matanya tak henti-henti mengalir. Mungkin beliau menahan sakit.
Tiba
dihalaman rumah sang ulama syariat lalu dengan kasar tubuh sang ulama hakikat
yang sudah tua itu di lempar dengan keras lantas beliau terdorong ke depan lalu
jatuh tersungkur. Si pemuda yang sedari tadi menunggu dirumah sang ulama syariat
terkejut dengan situasi itu. Beliau tidak menyangka sampai begitu malang nasib
yang menimpa sang ulama hakikat sehingga diperlakukan begitu. Namun apalah
dayanya untuk mengekang kemarahan orang-orang kampung yang sedang meluap-luap
itu. Kemudian setelah meredakan suasana, sang ulama syariat menghampiri sang
ulama hakikat lalu bertanya kepada beliau..
“Benarkah
anda menjawab ‘Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah
haram’ sebagaimana menjawab pertanya pemuda ini?” sambil jari telunjuknya
diarahkan tepat pada si pemuda.
Dengan
tenang sang ulama hakikat menjawab “Ya”.
Kemudian
sang ulama syariat bertanya lagi. “Adakah anda masih dengan pendirian anda atau
anda mau bertaubat?” Tanya sang ulama syariat tegas. Lalu dijawab dengan tenang
oleh sang ulama hakikat.. “Untuk kesalahan yang mana lalu saya perlu bertaubat
wahai hakim?”
“Untuk
kesalahan anda yang mengatakan Allah tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya
haram!”
“Oh begitu..
beginilah tuan hakim, bagi saya jawaban saya itulah yang teramat benar namun
jika tuan hakim tidak menyetujuinya tidak apa-apa dan terserahlah kepada
kebijaksanaan tuan hakim untuk mengadili saya karena tuan adalah hakim dinegeri
ini.”
Begitu
selesai sang ulama hakikat berkata begitu lantas beliau dilempari dengan
puluhan sepatu oleh penduduk kampung dan ada juga yang berteriak agar beliau
dibunuh.
Sang ulama
syariat terdiam dan merenung dalam seolah-olah memikirkan sesuatu yang berat.
Akhirnya sang ulama syariat membuat keputusan agar sang ulama hakikat diberi tempo
sehingga esok untuk bertaubat dan jika tidak beliau akan dihukum mati. Setelah
itu sang ulama hakikat diikat pada sebatang pokok nangka yang berada dihalaman
rumah sang ulama syariat dalam posisi duduk menghadap kiblat sambil dikawal
oleh beberapa orang-orang kampung.
Kini,
saatnya pun telah tiba namun sang ulama hakikat tetap tidak mau bertaubat dari
pendiriannya. Ramai yang merasa jengkel dengan pendirian sang ulama hakikat dan
yang lebih kusut lagi ialah fikiran si pemuda itu. Tiba-tiba si pemuda merasa
kasihan dan merasa bersalah mengenang keadaan malang yang menimpa sang ulama
hakikat adalah hasil dari pada perbuatannya. Namun nasi sudah menjadi bubur.
Perlahan-lahan
si pemuda mendekati sang ulama hakikat untuk memohon maaf. Aneh.. kelihatan
sang ulama hakikat itu hanya tersenyum dan dengan senang hati mau memaafkan si
pemuda.
Ketika si
pemuda itu mau pergi tiba-tiba ia mendengar sang ulama hakikat membacakan
sepotong ayat Al Quran dengan nada yang riang..
“Wa qul jaa
alhaq wazahaqol baathil innal baathila kana zahuuqo.”
Ucapan
beliau berulang-ulang sambil memandang kearah seseorang lantas mukanya
tiba-tiba kelihatan berseri-seri dalam senyuman yang menggembirakan. Si pemuda
lantas menoleh kearah orang itu dan apa yang beliau lihat ialah kelibat bekas
guru tasawuf beliau diantara kerumunan penduduk kampung yang ingin menyaksikan
hukuman pancung yang bakal dijalankan. Tak lama kemudian hukuman mati pun
dilaksanakan maka tamatlah riwayat sang ulama hakikat dibawah mata pedang sang
algojo.
Seluruh
penduduk kampung bersorak gembira tanda kemenangan dipihak mereka yang berhasil
membunuh seorang pembawa ajaran sesat Selang beberapa hari oleh karena rasa
ingin tahu yang meluap-luap maka si pemuda segera menghadap bekas guru
tasawufnya. Si pemuda merasa heran mengapa sang ulama hakikat membacakan ayat
81 daripada surah al-Isra’ seraya melihat kelibat bekas guru tasawufnya itu?.
“Wahai
muridku, marilah duduk dihadapanku ini.” Ujar guru tasawuf seraya melihat
kedatangan muridnya itu. Si pemuda terkejut.. tidak tahu apa yang hendak
dikatakannya. Fikiran terasa kosong dan segala persoalan yang hendak diajukan
terasa tiba-tiba hilang entah tertinggal dimana.
“Baiklah
muridku, atas persoalanmu yang dahulu itu maka akan aku jawab sekarang ini.”
Lembut saja bicaranya.
“Adapun
persoalanmu tentang perbedaan antara orang-orang syariat dan orang-orang
hakikat dalam memahami agama Islam akan aku jawab seperti berikut. Yang
pertama, orang syariat akan menjawab setiap persoalan melalui ‘bahasa’ ilmu
syariat manakala orang hakikat akan menjawab setiap persoalan melalui ‘bahasa’
ilmu hakikat.
Jawaban sang
ulama syariat adalah benar menurut ‘bahasa’ ilmu syariat dan jawaban sang ulama
hakikat juga benar menurut ‘bahasa’ ilmu hakikat.”
“bagaimana
begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.
“Begini…
adalah benar apabila sang ulama hakikat memberitahu kamu bahwa Allah itu tidak
berkuasa sebab melalui peraturan ilmu hakikat, perkataan ‘Allah’ itu adalah
dirujuk semata-mata sebagai isim atau asma bagi zat tuhan kita saja. Ini
bermakna yang berkuasa pada hakikatnya adalah zat tuhan kita dan bukannya yang
berkuasa itu isim atau asmaNya. Perkataan ‘Allah’ itu pada hakikatnya adalah
gelar bagi zat tuhan kita. Adapun gelaran itu hakikatnya adalah khabar maka
khabar tiada ain wujud. Jika sesuatu itu tiada ain wujudnya maka mustahil
dikatakan ia mempunyai kuasa. Adakah kamu faham?”
Si pemuda
mengangguk lemah sambil merenung menundukkan wajah. “Adalah sesuatu yang benar
juga apabila sang ulama hakikat memberitahu kamu bahwa sembahyang itu hukumnya adalah
haram.”
“bagaimana
begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.
“Begini…
sebenarnya tiada ibadat sembah- menyembah dalam agama Islam namun yang ada Cuma
ibadat sholat. Ya, ianya adalah sholat dan bukannya sembahyang. Coba kamu
fahami betul- betul maksud firman Allah dalam surah al-Kafirun ayat 6 yang
bermaksud “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku”. Ini menunjukkan cara
ibadat orang kafir tidak sama langsung dengan cara ibadat orang muslim.
Perkataan sembahyang itu adalah asalnya terbit daripada upacara ibadat
masyarakat hindu-budha untuk menyembah tuhan yang bernama Hyang. Maka upacara
ibadat itu dinamakan upacara sembahHyang. Sholat itu bukan sembah dan tuhan
kita bukannya Hyang tetapi Allah. Jadi kita sebagai orang muslim adalah haram
sembahHyang kerana itu adalah ibadat penganut hindu-budha. Sesungguhnya sholat
itu bukan sembah tetapi sholat itu ialah sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasulullah SAW yang bermaksud, “Apabila seseorang kamu sedang sholat
sesungguhnya dia sedang berbicara dengan Tuhannya…”.
Si pemuda
semakin tertunduk.
“Jadi,
adakah kamu sudah faham mengapa sang ulama hakikat itu berkata bahwa Allah itu
tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram?”
“Ya tuan
guru, sekarang barulah jelas.”
“Yang kedua,
orang-orang syariat mempelajari ilmu-ilmu hukum maka mereka menyelesaikan
sesuatu masalah juga dengan hukum sementara orang-orang hakikat mempelajari
ilmu-ilmu ma’rifatullah maka mereka menyelesaikan sesuatu masalah juga dengan
Allah.”
Ketika ini
lamunan si pemuda menyorot kembali peristiwa yang telah berlaku dimana
kata-kata guru tasawuf itu ada benarnya juga. Memang benar sang ulama syariat
telah menyelesaikan masalah yang berlaku dengan hukuman mati terhadap sang
ulama hakikat sedang sang ulama hakikat menyelesaikan masalah antara dia dan si
pemuda itu dengan kemaafan sesuai dengan sifat tuhan yang Maha Pemaaf dan Maha
Pengampun.
“Adapun
persoalanmu tentang kenapa ilmu hakikat tidak berkembang luas maka akan aku
jawab seperti berikut. Tidak berkembang luasnya ilmu hakikat adalah disebabkan
masih adanya orang-orang yang seperti kamu!”
Bentak sang
guru tasawuf yang membuatkan darah si pemuda berdesir...
“bagaimana
begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.
“Karena
kejahilan kamu dalam memahami hal ihwal hakikat terus saja kamu tanpa usul
periksa menghukum sang ulama hakikat sebagai tidak betul dan berburuk sangka
terhadap beliau lalu kamu memfitnah beliau dihadapan sang ulama syariat
sehingga sang ulama hakikat tertangkap lalu disiksa dan dipancung oleh kalian.
Jika semua ulama hakikat sewenang-wenangnya dibunuh tanpa usul periksa justeru
karena itulah ilmu hakikat tidak berkembang-luas.”
“Tapi tuan
guru, bagaimana saya tidak terkhilaf sedang akhlak sang ulama hakikat itu tidak
mencerminkan beliau sebagai orang yang beragama! Sang ulama hakikat langsung
tidak mengajakku masuk ke dalam rumahnya yang besar lagi mewah itu dan langsung
tidak memberiku walau setitik air bahkan dengan dirinya saja pun amat kucel
kotor. Lihat saja pakaiannya yang lusuh itu.”
“Awas
lidahmu dalam berkata-kata wahai anak muda! Telahku katakan tadi bahwa kamu
memiliki sifat buruk sangka. Ketahuilah bahwa rumah besar lagi mewah yang kamu
lihat itu
bukanlah
milik sang ulama hakikat tersebut sebaliknya adalah milik majikan beliau dan
beliau hanya mengambil upah sebagai tukang kebun disitu. Adapun pakaiannya yang
lusuh itu maka itu sajalah harta benda yang beliau ada dan beliau hidup hanya
untuk mengabdikan dirinya kepada Allah.”
“Bagaimana
tuan guru bisa tahu segala yang terperinci tentang sang ulama hakikat itu?” Tanya
si pemuda heran.
“Karena
orang yang kalian bunuh itu adalah guru tasawuf ku maka dengan itu sebutir lagi
permata yang indah telah hilang. Telahku jawab semua persoalanmu maka pergilah
kamu kepangkuan guru syariatmu yaitu sang ulama syariat.”
Si pemuda
itu terkejut lantas berkata…
“Tapi wahai
guruku, aku telah insaf dan ingin kembali berguru denganmu wahai guruku..
terimalah aku kembali wahai guruku!!”
“Ketahuilah
wahai anak muda, aku enggan mengambilmu adalah semata-mata karena keselamatanmu
dan bukan karena aku membencimu.”
“Aku tidak
faham akan maksud tuan guru??”
“Pergi
sajalah kembali kepangkuan sang ulama syariat karena kamu akan selamat disana
dan jangan kamu sesekali mengaku aku adalah gurumu kelak kamu akan mengerti
akan maksud tindakanku ini.”
Dengan hati
yang berat dan sayu si pemuda berjalan menuju ke rumah sang ulama syariat untuk
berguru dengannya dan beliau diterima sebagai murid. Selang beberapa hari,
keadaan kampung tiba-tiba heboh kembali. Terdengar kabar seorang lagi pengamal
ilmu sesat telah ditangkap dan kali ini pengamal ajaran sesat itu berasal dari
kampung sebelah. Dari kejauhan kelihatan berbondong-bondong orang ramai sedang
dalam perjalanan menuju ke rumah sang ulama syariat sambil mengusung seorang
lelaki yang telah dikenal pasti sebagai pengamal atau guru ajaran sesat. Dari
jauh si pemuda dapat menyaksikan lelaki itu dipukul dan ditendang malah ada
yang menimpuknya dengan batu-batu sehingga pakaiannya koyak-robek. Rupa-
rupanya lelaki yang pakaiannya telah koyak-robek itu adalah sang guru
tasawufnya.
Maka
mengertilah si pemuda itu akan maksud tindakan sang guru tasawuf yang tidak mau
mengambil beliau sebagai anak murid dan beliau hanya mampu mengalirkan air mata
sambil menahan tangis melihat sang guru tasawuf itu diperlakukan seperti itu.
Esoknya hukuman pancung terhadap sang guru tasawuf itu dilaksanakan maka
sebutir lagi permata yang indah telah hilang sirna dari negeri itu………
Didalam hati
si pemuda merintih..
“Ya Allah..
berapa ramaikah lagi ahli tasawuf yang mesti dikorbankan semata-mata mau
membuatkan aku mengerti mengapa ilmu hakikat tidak dapat berkembang-luas? Cukup
Ya Allah cukup karena sekarang aku sudah mengerti…
No comments:
Post a Comment