Akhir-akhir ini kita sering mendengar atau melihat seminar
dengan judul yang membuat mata seorang dokter terbelalak. “Imunisasi lumpuhkan
generasi” atau “Wahai para orangtua bekali dirimu dengan pengetahuan tentang
bahaya imunisasi”. Sebagai seorang dokter saya lalu merenung, bila benar apa
yang mereka serukan itu, betapa besar dosa saya sebagai dokter anak yang sering
mengimunisasi bayi dan anak yang datang ke tempat praktek. Betapa jahatnya saya
sebagai manusia karena telah mengimunisasi begitu banyak bayi dan anak selama
ini, bahkan sejak saya masih sebagai dokter umum di puskesmas dahulu. Lalu saya
merenung dan mencoba meneliti kembali permasalahan ini. Siapa sebenarnya yang
salah dan siapa yang benar? Dalam kontroversi yang memuat perbedaan 180 derajat
ini, tidak mungkin kedua-duanya salah atau benar. Pasti salah satu benar dan
yang lain salah. Dan saya khawatir bila selama ini sayalah yang bersalah itu.
Saya sungguh khawatir jangan-jangan saya telah melumpuhkan begitu banyak
generasi muda. Jangan-jangan saya telah melakukan dosa kemanusiaan yang sangat
besar. Galau habis-habisan.
Rasa galau itu membuat saya membuka-buka literatur dan data
yang ada tentang permasalahan imunisasi. Saya mencari tahu apa sebenarnya yang
terjadi dengan seruan yang menentang keras imunisasi. Suatu pernyataan yang
sangat bertolak belakang dengan yang selama ini saya pelajari bahwa imunisasi
itu suatu tindakan preventif yang amat bermanfaat buat kemanusiaan. Di lain
pihak kegalauan saya juga semakin menjadi bila mengingat andai seruan tersebut
kemudian menyebar ke masyarakat luas lalu apa yang akan terjadi dengan
bayi-bayi mungil tak berdosa itu di kemudian hari? Mungkinkah penyakit-penyakit
berat yang dapat dicegah dengan imunisasi akan bangkit kembali dari kuburnya
gara-gara seruan itu? Masalah ini justru menimbulkan kegalauan lebih dalam bagi
saya.
Apakah Sebenarnya Imunisasi Itu ?
Sebelum melangkah lebih jauh mari kita bahas sekilas apakah
yang dimaksud dengan imunisasi. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan
kekebalan seseorang terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak terpajan pada
penyakit tersebut ia tidak menjadi sakit. Kekebalan yang diperoleh dari
imunisasi dapat berupa kekebalan pasif maupun aktif. Imunisasi yang diberikan
untuk memperoleh kekebalan pasif disebut imunisasi pasif, dengan cara
memberikan antibodi atau faktor kekebalan kepada seseorang yang membutuhkan.
Contohnya adalah pemberian imunoglobulin spesifik untuk penyakit tertentu,
misalnya imunoglobulin antitetanus untuk penyakit tetanus. Contoh lain adalah
kekebalan pasif alamiah antibodi yang diperoleh janin dari ibu. Kekebalan jenis
ini tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh.
Kekebalan aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan
pada antigen secara alamiah atau melalui imunisasi. Imunisasi yang diberikan
untuk memperoleh kekebalan aktif disebut imunisasi aktif dengan memberikan zat
bioaktif yang disebut vaksin, dan tindakan itu disebut vaksinasi. Kekebalan
yang diperoleh dari vaksinasi berlangsung lebih lama dari kekebalan pasif
karena adanya memori imunologis, walaupun tidak sebaik kekebalan aktif yang
terjadi karena infeksi alamiah. Untuk memperoleh kekebalan aktif dan memori
imunologis yang efektif maka vaksinasi harus mengikuti cara pemakaian dan
jadwal yang telah ditentukan melalui bukti uji klinis yang telah dilakukan.
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit
tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok
masyarakat (populasi), atau bahkan menghilangkannya dari dunia seperti kita
lihat pada keberhasilan imunisasi cacar variola. Keadaan terakhir ini lebih
mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui
manusia, seperti penyakit difteri dan poliomielitis. Penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi (PD3I) merupakan penyakit berbahaya yang dapat
menyebabkan kematian dan kecacatan seumur hidup dan akan menjadi beban bagi
masyarakat di kemudian hari. Sampai saat ini terdapat 19 jenis vaksin untuk
melindungi 23 PD3I di seluruh dunia dan masih banyak lagi vaksin yang sedang
dalam penelitian.
Adakah Bukti Bahwa Imunisasi Bermanfaat ?
Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah adakah
manfaat imunisasi? Ataukah imunisasi hanya bikin mudharat (keburukan) buat kemanusiaan?
Untuk menjawab pertanyaan ini saya kemudian menelaah berbagai data status
kesehatan masyarakat sebelum dan sesudah ditemukannya imunisasi di berbagai
negara. Namun saya ingin menampilkan data dari negara maju seperti Amerika
Serikat, karena kelompok antiimunisasi selalu menuduh bahwa imunisasi adalah
sebuah proyek konspirasi dari negara ini untuk melumpuhkan generasi muda di
seluruh dunia.
Sebelum adanya vaksin polio, terdapat 13.000 – 20.000
(16.316) kasus lumpuh layuh akut akibat polio dilaporkan setiap tahun di AS
meninggalkan ribuan korban penderita cacat karena polio yang mesti menggunakan
tongkat penyangga atau kursi roda. Saat ini AS dinyatakan bebas kasus polio.
Angka penurunan mencapai 100%.
Sebelum adanya imunisasi campak, 503.282 kasus campak
terjadi setiap tahun dan 20% di antaranya dirawat dengan jumlah kematian
mencapai 450 orang per tahun akibat pneumonia campak. Setelah ada imunisasi
campak kasus menurun hingga 55 kasus per tahun pada tahun 2006. Angka penurunan
99.9%.
Sebelum ditemukan imunisasi difteri terjadi 175.885 kasus
difteri per tahun dengan angka kematian mencapai 15.520 kasus. Setelah
imunisasi ditemukan tahun 2001 jumlahnya menurun menjadi 2 kasus dan tahun 2006
tidak ada lagi laporan kasus difteri. Angka penurunan mencapai 100%
Sebelum tahun 1940an terdapat 150.000-260.000 kasus
pertussis setiap tahun dengan angka kematian mencapai 9000 kasus setahun.
Setelah imunisasi pertussis ditemukan angka kematian menurun menjadi 30 kasus
setahun. Namun dengan seruan antiimunisasi yang marak di AS terjadi lagi
peningkatan kasus secara signifikan di beberapa negara bagian. Pada 8 negara
bagian terjadi peningkatan kasus 10-100 kali lipat pada saat cakupan imunisasi
pertussis menurun drastis.
Sebelum vaksin HiB ditemukan, HiB merupakan penyebab
tersering meningitis bakteri (radang selaput otak) di AS, dengan 20.000 kasus
per tahun. Meningitis HiB menyebabkan kematian 600 anak per tahun dan
meninggalkan kecacatan berupa tuli, kejang, dan retardasi mental pada anak yang
selamat. Pada tahun 2006 kasus meningitis HIB menurun menjadi 29 kasus. Angka
penurunan 99.9%.
Hampir 90% bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi Rubella
saat hamil trimester pertama akan mengalami sindrom Rubella kongenital, berupa
penyakit jantung bawaan, katarak kongenital, dan ketulian. Pada tahun 1964
sekitar 20.000 bayi lahir dengan sindrom Rubella kongenital ini, mengakibatkan
2100 kematian neonatal dan 11.250 abortus. Setelah adanya imunisasi hanya
dilaporkan 6 kasus sindrom Rubella kongenital pada tahun 2000. Kasus Rubella
secara umum menurun dari 47.745 kasus menjadi hanya 11 kasus per tahun pada
tahun 2006. Angka penurunan 99.9%.
Hampir 2 milyar orang telah terinfeksi hepatitis B suatu
saat dalam hidupnya. Sejuta di antaranya meninggal setiap tahun karena penyakit
sirosis hati dan kanker hati. Sekitar 25% anak-anak yang terinfeksi hepatitis B
dapat diperkirakan akan meninggal karena penyakit hati pada saat dewasa.
Terjadi penurunan jumlah kasus baru dari 450.000 kasus pada tahun 1980 menjadi
sekitar 80.000 kasus pada tahun 1999. Penurunan terbanyak terjadi pada anak dan
remaja yang mendapat imunisasi rutin.
Di seluruh dunia penyakit tetanus menyebabkan kematian pada
300.000 neonatus dan 30.000 ibu melahirkan setiap tahunnya dan mereka tidak
diimunisasi adekuat. Tetanus sangat infeksius namun tidak menular, sehingga
tidak seperti PD3I yang lain, imunisasi pada anggota suatu komunitas tidak
dapat melindungi orang lain yang tidak diimunisasi. Karena bakteri tetanus
terdapat banyak di lingkungan kita, maka tetanus hanya bisa dicegah dengan
imunisasi. Bila program imunisasi tetanus distop, maka semua orang dari
berbagai usia akan rentan menderita penyakit ini.
Sekitar 212.000 kasus mumps (gondongan) terjadi di AS pada
tahun 1964. Setelah ditemukannya vaksin mumps pada tahun 1967 insidens penyakit
ini menurun menjadi hanya 266 kasus pada tahun 2001. Namun pada tahun 2006
terjadi KLB di kalangan mahasiswa, sebagian besar di antara mereka menerima 2
kali vaksinasi. Terjadi lebih dari 5500 kasus pada 15 negara bagian. Mumps merupakan
penyakit yang sangat menular dan hanya butuh beberapa orang saja yang tidak
diimunisasi untuk memulai transmisi penyakit sebelum menyebar luas.
Sebelum vaksin pneumokokus ditemukan, pneumokokus
menyebabkan 63.000 kasus invassive pneumococcal disease (IPD) dengan 6100
kematian di AS setiap tahun. Banyak anak yang menderita gejala sisa berupa
ketulian dan kejang-kejang.
Dari data di atas para ahli menyimpulkan bahwa imunisasi
adalah salah satu di antara program kesehatan masyarakat yang paling sukses dan
cost-effective. Program imunisasi telah menyebabkan eradikasi penyakit cacar
(variola, smallpox), eliminasi campak dan poliomielitis di berbagai belahan
dunia. Dan penurunan signifikan pada morbiditas dan mortalitas akibat penyakit
difteri, tetanus, dan pertussis. Badan kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2003
memperkirakan 2 juta kematian anak dapat dicegah dengan imunisasi. Katz (1999)
bahkan menyatakan bahwa imunisasi adalah sumbangan ilmu pengetahuan yang
terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini.
Kesalahpahaman Tentang Imunisasi
Meskipun imunisasi telah terbukti banyak manfaatnya dalam
mencegah wabah dan PD3I di berbagai belahan dunia, namun masih terdapat
sebagian orang yang memiliki miskonsepsi terhadap imunisasi. Secara umum
berikut ini adalah beberapa miskonsepsi yang sering terjadi di masyarakat:
Kesalahpahaman 1: Penyakit-penyakit tersebut (PD3I)
sebenarnya sudah mulai menghilang sebelum vaksin ditemukan karena meningkatnya
higiene dan sanitasi.
Pernyataan sejenis ini dan variasinya sangat banyak dijumpai
pada literatur antivaksin. Namun bila melihat insidens aktual PD3I sebelum dan
sesudah ditemukannya vaksin kita tidak lagi meragukan manfaat vaksinasi.
Sebagai contoh kita lihat kasus meningitis HiB di Canada. Higiene dan sanitasi
sudah dalam keadaan baik sejak tahun 1990, namun kejadian meningitis HiB
sebelum program imunisasi dilaksanakan mencapai 2000 kasus per tahun dan
setelah imunisasi rutin dijalankan menurun menjadi 52 kasus saja dan mayoritas
terjadi pada bayi dan anak yang tidak diimunisasi.
Contoh lain adalah pada 3 negara maju (Inggris, Swedia, dan
Jepang) yang menghentikan program imunisasi pertussis karena ketakutan terhadap
efek samping vaksin pertussis. Di Inggris tahun 1974 cakupan imunisasi menurun
drastis dan diikuti dengan terjadinya wabah pertussis pada tahun 1978, ada
100.000 kasus pertussis dengan 36 kematian. Di Jepang pada kurun waktu yang
sama cakupan imunisasi pertussis menurun dari 70% menjadi 20-40% hal ini
menyebabkan lonjakan kasus pertussis dari 393 kasus dengan 0 kematian menjadi
13.000 kasus dengan 41 kematian karena pertussis pada tahun 1979. Di Swedia pun
sama, dari 700 kasus pada tahun 1981 meningkat menjadi 3200 kasus pada tahun
1985. Pengalaman tersebut jelas membuktikan bahwa tanpa imunisasi bukan saja
penyakit tidak akan menghilang namun juga akan hadir kembali saat program
imunisasi dihentikan.
Kesalahpahaman 2: Mayoritas anak yang terkena penyakit
justru yang sudah diimunisasi.
Pernyataan ini juga sering dijumpai pada literatur
antivaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa (KLB) jumlah anak yang sakit
dan pernah diimunisasi lebih banyak daripada anak yang sakit dan belum
diimunisasi.
Penjelasan masalah tersebut sebagai berikut: pertama tidak
ada vaksin yang 100% efektif. Efektivitas sebagian besar vaksin pada anak
adalah sebesar 85-95%, tergantung respons individu.
Kedua: proporsi anak yang diimunisasi lebih banyak daripada
anak yang tidak diimunisasi di negara yang menjalankan program imunisasi.
Bagaimana kedua faktor tersebut berinteraksi diilustrasikan dalam contoh
berikut. Suatu sekolah mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah diimunisasi
campak 2 kali kecuali 25 yang tidak pernah sama sekali. Ketika semua murid
terpapar campak, 25 murid yang belum diimunisasi semuanya menderita campak. Dari
kelompok yang telah diimunisasi campak 2 kali, sakit 50 orang. Jumlah seluruh
yang sakit 75 orang dan yang tidak sakit 925 orang. Kelompok antiimunisasi akan
mengatakan bahwa persentase murid yang sakit adalah 67 % (50/75) dari kelompok
yang pernah imunisasi, dan 33% (25/75) dari kelompok yang tidak diimunisasi.
Padahal bila dihitung dari efek proteksi, maka imunisasi memberikan efek
proteksi sebesar (975-25)/975 = 94.8%. Yang tidak diimunisasi efek proteksi
sebesar 0/25= 0%. Dengan kata lain, 100% murid yang tidak mendapat imunisasi
akan sakit campak; dibanding hanya 5,2% dari kelompok yang diimunisasi yang
terkena campak. Jelas bahwa imunisasi berguna untuk melindungi anak.
Kesalahpahaman 3: Vaksin menimbulkan efek samping yang
berbahaya, kesakitan, dan bahkan kematian.
Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua efek
simpang vaksin bersifat ringan dan sementara, seperti nyeri pada bekas suntikan
atau demam ringan. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) secara definitif
mencakup semua kejadian sakit pasca imunisasi. Prevalensi dan jenis sakit yang
tercantum dalam KIPI hampir sama dengan prevalensi dan jenis sakit dalam
keadaan sehari-hari tanpa adanya program imunisasi. Hanya sebagian kecil yang
memang berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar bersifat
koinsidens. Kematian yang disebabkan oleh vaksin sangat sedikit. Sebagai
ilustrasi semua kematian yang dilaporkan di Amerika sebagai KIPI pada tahun
1990-1992, hanya 1 yang mungkin berhubungan dengan vaksin. Institut of Medicine
(IOM) tahun 1994 menyatakan bahwa resiko kematian akibat vaksin adalah amat
rendah (extra-ordinarily low).
Besarnya resiko harus dibandingkan dengan besarnya manfaat
vaksin. Bila satu efek simpang berat terjadi dalam sejuta dosis vaksin namun
tidak ada manfaat vaksin, maka vaksin tersebut tidak berguna. Manfaat imunisasi
akan lebih jelas bila resiko penyakit dibandingkan dengan resiko vaksin.
Contoh vaksin MMR (melindungi campak, mumps (gondongan) dan
rubella (campak jerman)
Pneumonia campak: resiko kematian 1:3000, resiko vaksin MMR
alergi berat 1:1000.000
Ensefalitis mumps: 1 : 300 pasien mumps. Resiko vaksin MMR
ensefalitis 1:1000.000
Sindrom rubella kongenital : 1 : 4 bayi dari ibu hamil kena
rubella
Contoh vaksin DPaT (melindungi difteri, pertussis, dan tetanus)
Difteri: Resiko kematian 1 : 20. Resiko vaksin DPaT menangis
lama sementara 1 : 100
Tetanus: Resiko kematian 1 : 30. Resiko vaksin DPaT kejang
sembuh sempurna 1 : 1750
Pertussis: Resiko ensefalitis pertussis 1 : 20. Resiko
vaksin DPaT ensefalitis 1 : 1000.000
Kesalahpahaman 4: Penyakit penyakit tersebut (PD3I) telah
tidak ada di negara kita sehingga anak tidak perlu diimunisasi
Angka kejadian beberapa penyakit yang termasuk PD3I memang
telah menurun drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi di
negara lain. Siapa pun termasuk wisatawan dapat membawa penyakit tersebut
secara tidak sengaja dan dapat menimbulkan wabah. Hal tersebut serupa dengan
KLB polio di Indonesia pada tahun 2005 lalu. Sejak tahun 1995 tidak ada kasus
polio yang disebabkan oleh virus polio liar. Pada bulan April 2005,
Laboratorium Bioofarma di Bandung mengkonfirmasi adanya virus polio liar tipe 1
pada anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh layuh akut pada bulan Maret
2005. Anak tersebut tidak pernah diimunisasi sebelumnya. Virus polio itu
selanjutnya menyebabkan wabah merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai
bulan April 2006 tercatat 349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDVP (vaccine
derived polio virus) di Madura. Dari analisis genetik virus diketahui bahwa virus
berasal dari Afrika barat.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa virus sampai ke
Indonesia melalui Nigeria dan Sudan sama seperti virus yang diisolasi di Arab
Saudi dan Yaman. Dari pengalaman tersebut terbukti bahwa anak tetap harus
mendapat imunisasi karena dua alasan. Alasan pertama adalah anak harus
dilindungi. Meskipun resiko terkena penyakit adalah kecil, bila penyakit masih
ada, anak yang tidak terproteksi tetap berpeluang terinfeksi. Alasan kedua
imunisasi anak penting untuk melindungi anak lain di sekitarnya. Terdapat
sejumlah anak yang tak dapat diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap
komponen vaksin) dan sebagian kecil anak yang tidak memberi respons terhadap
imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang
diharapkan adalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan tidak
menularkan penyakit kepadanya.
Kesalahpahaman 5: Pemberian vaksin kombinasi (multipel)
meningkatkan resiko efek simpang yang berbahaya dan dapat membebani sistem imun
Anak-anak terpapar pada banyak antigen setiap hari. Makanan
dapat membawa bakteri yang baru ke dalam tubuh. Sistem imun juga akan terpapar
oleh sejumlah bakteri hidup di mulut dan hidung. Infeksi saluran pernapasan
bagian atas akan menambah paparan 4-10 antigen, sedangkan infeksi streptokokus
pada tenggorokan memberi paparan 25-50 antigen. Tahun 1994 IOM menyatakan bahwa
dalam keadaan normal penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak mungkin akan
memberikan beban tambahan pada sistem imun dan tidak bersifat imunosupresif.
Data penelitian menunjukkan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin multipel
tidak membebani sistem imun anak normal. Pada tahun 1999 Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP), American Academy of Pediatrics (AAP), dan
American Academy of Family Physicians (AAFP) merekomendasi pemberian vaksin
kombinasi untuk imunisasi anak. Keuntungan vaksin kombinasi adalah mengurangi
jumlah suntikan, mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi
jumlah kunjungan ke dokter, dan memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam
program imunisasi.
Kesalahpahaman: Vaksin MMR menyebabkan autisme
Beberapa orangtua anak dengan autisme percaya bahwa terdapat
hubungan sebab akibat antara vaksin MMR dengan autisme. Gejala khas autisme
biasanya diamati oleh orangtua saat anak mulai tampak gejala keterlambatan
bicara setelah usia lewat satu tahun. Vaksin MMR diberikan pada usia 15 bulan
(di luar negeri 12 bulan). Pada usia sekitar inilah biasanya gejala autisme
menjadi lebih nyata. Meski pun ada juga kejadian autisme mengikuti imunisasi
MMR pada beberapa kasus. Akan tetapi penjelasan yang paling logis dari kasus
ini adalah koinsidens. Kejadian yang bersamaan waktu terjadinya namun tidak
terdapat hubungan sebab akibat.
Kejadian autisme meningkat sejak 1979 yang disebabkan karena
meningkatnya kepedulian dan kemampuan kita mendiagnosis penyakit ini, namun
tidak ada lonjakan secara tidak proporsional sejak dikenalkannya vaksin MMR
pada tahun 1988. Pada tahun 2000 AAP membuat pernyataan : “Meski kemungkinan
hubungan antara vaksin MMR dengan autisme mendapat perhatian luas dari
masyarakat dan secara politis, serta banyak yang meyakini adanya hubungan
tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya, namun bukti-bukti ilmiah yang ada
tidak menyokong hipotesis bahwa vaksin MMR menyebabkan autisme dan kelainan
yang berhubungan dengannya.
Pemberian vaksin measles, mumps, dan rubella secara terpisah
pada anak terbukti tidak lebih baik daripada pemberian gabungan menjadi vaksin
MMR, bahkan akan menyebabkan keterlambatan atau luput tidak terimunisasi.
Dokter anak mesti bekerja sama dengan para orangtua untuk memastikan bahwa anak
mereka terlindungi saat usianya mencapai 2 tahun dari PD3I. Upaya ilmiah mesti
terus dilakukan untuk mengetahui penyebab pasti dari autisme. Lembaga lain
yaitu CDC dan NIH juga membuat pernyataan yang mendukung AAP. Pada tahun 2004
IOM menganalisis semua penelitian yang melaporkan adanya hubungan antara vaksin
MMR dengan autisme. Hasilnya adalah tidak satu pun penelitian itu yang tidak
cacat secara metodologis. Kesimpulan IOM saat itu adalah tidak terbukti ada
hubungan antara vaksin MMR dengan autisme.
Penutup
Setelah mengkaji berbagai literatur sebagaimana disebutkan
di atas, maka secara berangsur kegalauan saya menghilang. Saya semakin yakin
akan kebenaran teori ilmiah berbasis bukti yang sudah ditemukan para ahli.
Bahkan beberapa waktu lalu ada sejawat saya Dr Julian Sunan, seorang dokter
yang masih muda dan amat ganteng (menurut pengakuannya sendiri) telah menelaah
bahwa ternyata tokoh-tokoh antivaksin yang sering dikutip kelompok antivaksin
di Indonesia ternyata banyak yang fiktif. Mereka melakukan pemelintiran data
dan pemutarbalikan fakta. Tak heran kalau yang sangat aman dianggap sangat
berbahaya dan penyakit sangat berbahaya nan mematikan dianggap tidak apa apa
dan mungkin malah diajak bersahabat karib oleh kelompok antiimunisasi.
No comments:
Post a Comment