Begitulah beliau dipanggil. Aku
sempat bertemu dengannya 5 tahun yang lalu saat berlibur di Kasian Bantul
Yogyakarta. Nama desanya saya lupa.
Mbah Jum seorang tuna netra yang
berprofesi sebagai pedagang tempe. Setiap pagi beliau dibonceng cucunya ke
pasar untuk berjualan tempe. Sesampainya dipasar tempe segera digelar. Sambil
menunggu pembeli datang, disaat pedagang lain sibuk menghitung uang dan
ngerumpi dengan sesama pedagang, mbah Jum selalu bersenandung sholawat.
Cucunya meninggalkan mbah Jum
sebentar, karena ia juga bekerja sebagai kuli panggul dipasar itu. Dua jam
kemudian, cucunya datang kembali untuk mengantar simbahnya pulang kerumah.
Tidak sampai 2 jam dagangan tempe mbah Jum sudah habis ludes. Mbah Jum selalu
pulang paling awal dibanding pedagang lainnya. Sebelum pulang mbah Jum selalu
meminta cucunya menghitung uang hasil dagangannya dulu. Bila cucunya menyebut
angka lebih dari 50 ribu rupiah, mbah Jum selalu minta cucunya mampir ke masjid
untuk memasukkan uang lebihnya itu ke kotak amal.
Saat kutanya : “kenapa begitu…? ”
“ Karena kata simbah modal simbah
bikin tempe Cuma 20 ribu. Harusnya simbah paling banyak dapetnya yaa 50 ribu.
Kalau sampai lebih berarti itu punyanya gusti Allah, harus dikembalikan lagi.
Lha rumahnya gusti Allah kan dimasjid mbak, makanya kalau dapet lebih dari 50
ribu, saya diminta simbah masukkin uang lebihnya kemasjid. ”
“ Lho, kalo sampai lebih dari 50
ribu, itukan hak simbah, kan artinya simbah saat itu bawa tempe lebih banyak
to…? ” Tanyaku lagi
“ Nggak mbak. Simbah itu tiap
hari bawa tempenya ga’ berubah-ubah jumlahnya sama. ” Cucunya kembali
menjelaskan padaku.
“ Tapi kenapa hasil penjualan
simbah bisa berbeda-beda…? ” tanyaku lagi
“ Begini mbak, kalau ada yang
beli tempe sama simbah, karena simbah tidak bisa melihat, simbah selalu bilang,
ambil sendiri kembaliannya. Tapi mereka para pembeli itu selalu bilang, uangnya
pas kok mbah, ga’ ada kembalian. Padahal banyak dari mereka yang beli tempe 5
ribu, ngasih uang 20 ribu. Ada yang beli tempe 10 ribu ngasih uang 50 ribu. Dan
mereka semua selalu bilang uangnya pas, ga’ ada kembalian. Pernah suatu hari
simbah dapat uang 350 ribu. Yaaa 300 ribu nya saya taruh dikotak amal masjid. ”
Begitu penjelasan sang cucu.
Aku melongo terdiam mendengar
penjelasan itu. Disaat semua orang ingin semuanya menjadi uang, bahkan kalau
bisa kotorannya sendiripun disulap menjadi uang, tapi ini mbah Jum…? Aahhh….
Logikaku yang hidup di era kemoderenan jahiliyah ini memang belum sampai.
Sampai rumah pukul 10:00 pagi
beliau langsung masak untuk makan siang. Ternyata mbah Jum juga seorang tukang
pijat bayi ( begitulah orang dikampung itu menyebutnya ). Jadi bila ada
anak-anak yang dikeluhkan demam, batuk, pilek, rewel, kejang, diare,
muntah-muntah dan lain-lain, biasanya orang tua mereka akan langsung
mengantarkan ke rumah mbah Jum. Bahkan bukan hanya untuk pijat bayi dan
anak-anak, mbah Jum juga bisa membantu pemulihan kesehatan bagi orang dewasa
yang mengalami keseleo, memar, patah tulang, dan sejenisnya. Mbah Jum tidak
pernah memberikan tarif untuk jasanya itu, padahal beliau bersedia diganggu 24
jam bila ada yang butuh pertolongannya. Bahkan bila ada yang memberikan imbalan
untuk jasanya itu, ia selalu masukan lagi 100% ke kotak amal masjid. Ya ! 100%
! anda kaget…? sama, saya juga kaget.
Ketika aku kembali bertanya : “ kenapa
harus semuanya dimasukkan ke kotak amal…? ”
Mbah Jum memberi penjelasan
sambil tersenyum : “ Kulo niki sakjane mboten pinter mijet. Nek wonten sing
seger waras mergo dipijet kaleh kulo, niku sanes kulo seng ndamel seger waras,
niku kersane gusti Allah. Lha dadose mbayare mboten kaleh kulo, tapi kaleh
gusti Allah.” ( Saya itu sebenarnya ga’ pinter mijit. Kalau ada yang sembuh
karena saya pijit, itu bukan karena saya, tapi karena gusti Allah. Jadi
bayarnya bukan sama saya, tapi sama gusti Allah ).
Lagi-lagi aku terdiam. Lurus
menatap wajah keriputnya yang bersih. Ternyata manusia yang datang dari
peradaban kapitalis akan terkaget-kaget saat dihadapkan oleh peradaban sedekah
tingkat tinggi macam ini. Dimana di era kapitalis orang sekarat saja masih bisa
dijadikan lahan bisnis. Jangankan bicara GRATIS dengan menggunakan kartu BPJS
saja sudah membuat beberapa oknum medis sinis.
Mbah Jum tinggal bersama 5 orang
cucunya. Sebenarnya yang cucu kandung mbah Jum hanya satu, yaitu yang paling
besar usia 20 tahun ( laki-laki ), yang selalu mengantar dan menemani mbah Jum
berjualan tempe dipasar. 4 orang cucunya yang lain itu adalah anak-anak yatim
piatu dari tetangganya yang dulu rumahnya kebakaran. Masing-masing mereka
berumur 12 tahun ( laki-laki ), 10 tahun ( laki-laki ), 8 tahun ( laki-laki )
dan 7 tahun ( perempuan ).
Dikarenakan kondisinya yang tuna
netra sejak lahir, membuat mbah Jum tidak bisa membaca dan menulis, namun
ternyata ia hafal 30 juz Al-Quran. Subhanallah…!!
Cucunya yang paling besar
ternyata guru mengaji untuk anak-anak dikampung mereka. Ke-4 orang cucu-cucu
angkatnya ternyata semuanya sudah qatam Al-Quran, bahkan 2 diantaranya sudah
ada yang hafal 6 juz dan 2 juz.
“ Kulo niki tiang kampong. Mboten
saget ningali nopo-nopo ket bayi. Alhamdulillah kersane gusti Allah kulo
diparingi berkah, saget apal Quran. Gusti Allah niku bener-bener adil kaleh
kulo. ” ( saya ini orang kampong. Tidak bisa melihat apapun dari bayi.
Alhamdulillah kehendak gusti Allah, saya diberi keberkahan, bisa hafal
Al-Quran. Gusti Allah itu benar-benar adil sama saya ).
Itu kata-kata terakhir mbah Jum,
sebelum aku pamit pulang. Kupeluk erat dia, kuamati wajahnya. Kurasa saat itu
bidadari surga iri melihat mbah Jum, karena kelak para bidadari itu akan
menjadi pelayan bagi mbah Jum.
Matur nuwun mbah Jum, atas
pelajaran sedekah tingkat tinggi 5 tahun yang lalu yang sudah simbah ajarkan
pada saya di pelosok desa Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment