Hak suami yang menjadi kewajiban
istri asalnya dijelaskan dalam ayat berikut ini,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ للهَُّ بَعْضَھُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِھِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَیْبِ بِمَا حَفِظَ للهَُّ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَھُنَّ فَعِظُوھُنَّ
وَاھْجُرُوھُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوھُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَیْھِنَّ سَبِیلًا
“ Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
( laki-laki ) atas sebahagian yang lain ( wanita ), dan karena mereka ( laki-laki
) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara ( mereka ). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. ” ( QS. An Nisa’ : 34 )
Hak suami yang menjadi kewajiban
istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ یَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ یَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِھِنَّ لِمَا جَعَلَ للهَُّ لَھُمْ عَلَیْھِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“ Seandainya aku memerintahkan
seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita
untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak
suami yang menjadi kewajiban istri ” ( HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no.
1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih )
Ketaatan seorang istri pada suami
termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَھَا وَصَامَتْ شَھْرَھَا وَحَفِظَتْ فَرْجَھَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَھَا قِیلَ لَھَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“ Jika seorang wanita selalu
menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan ( di bulan Ramadhan ), serta
betul betul menjaga kemaluannya ( dari perbuatan zina ) dan benar-benar taat
pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini,
“Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” ( HR. Ahmad 1:
191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits
ini shahih )
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata,
ولیس على المرأة بعد حق لله ورسولھ أوجب من حق الزوج
“ Tidak ada hak yang lebih wajib
untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami
” ( Majmu’ Al Fatawa, 32: 260 )
Jika kewajiban istri pada suami
adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami
yang harus ia tunaikan. Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi
kewajiban istri :
Pertama : Mentaati perintah suami
Istri yang taat pada suami,
senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik
baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِیلَ لِرَسُولِ للهَِّ صَلَّى للهَُّ عَلَیْھِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَیْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِیعُھُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُھُ فِي نَفْسِھَا وَمَالِھَا بِمَا یَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ Siapakah wanita yang paling baik…?
” Jawab beliau, “ Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya,
mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan
hartanya sehingga membuat suami benci ” ( HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2:
251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih )
Begitu pula tempat seorang wanita
di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat
ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan
menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَیْفَ أَنْتِ لَھُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْھُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أینَ أَنْتِ مِنْھُ، فَإنَّمَا ھُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“ Apakah engkau sudah bersuami…? ”
Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu…?
”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak
pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Lihatlah di mana keberadaanmu
dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu. ” (
HR. Ahmad 4 : 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al
Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933 )
Namun ketaatan istri pada suami
tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan
menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di
saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِیَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“ Tidak ada ketaatan dalam
perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf ( kebaikan ).”
( HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840 )
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga memperingatkan,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِیَةِ للهِ
“ Tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam bermaksiat kepada Allah. ” ( HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits ini
shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth )
Kedua : Berdiam di rumah dan
tidaklah keluar kecuali dengan izin suami Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُیُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاھِلِیَّةِ الْأُولَى
“ Dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah
yang dahulu ” ( QS. Al Ahzab: 33 ).
Seorang istri tidak boleh keluar
dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi
kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan
shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan, “ Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah
kecuali dengan izin suaminya. ” Beliau juga berkata, “ Bila si istri keluar
rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz ( pembangkangan ),
bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa. ”
( Majmu’ Al-Fatawa, 32 : 281 )
Ketiga: Taat pada suami ketika
diajak ke ranjang
Dari Abu Hurairah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَھُ إِلَى فِرَاشِھِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْھَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“ Jika seorang pria mengajak
istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya
hingga waktu Shubuh ” ( HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436 ).
Dalam riwayat Muslim disebutkan
dengan lafazh,
وَالَّذِي نَفْسِي بِیَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ یَدْعُو امْرَأَتَھُ إِلَى فِرَاشِھَا فَتَأْبَى عَلَیْھِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَیْھَا حَتَّى یَرْضَى عَنْھَا
“ Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu
si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit ( penduduk langit ) murka
pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” ( HR. Muslim no. 1436 )
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“ Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur.
Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas
kemaluannya ” ( Syarh Shahih Muslim, 10 : 7 ). Namun jika istri ada halangan,
seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi
hal ini.
Keempat: Tidak mengizinkan orang
lain masuk rumah kecuali dengan izin suami
Pesan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
فَاتَّقُوا للهََّ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوھُنَّ بِأَمَانِ للهَِّ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَھُنَّ بِكَلِمَةِ للهَِّ وَلَكُمْ عَلَیْھِنَّ أَنْ لاَ یُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَھُونَھُ
“ Bertakwalah kalian dalam urusan
para wanita ( istri-istri kalian ), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka
dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat
Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun
yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian ” ( HR. Muslim no.
1218 )
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ یَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُھَا شَاھِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِھِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَیْتِھِ إِلاَّ بِإِذْنِھِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَیْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّھُ یُؤَدَّى إِلَیْھِ شَطْرُه
“ Tidak halal bagi seorang isteri
untuk berpuasa ( sunnah ), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan
ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan
jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat
setengah pahalanya ”. ( HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026 )
Dalam lafazh Ibnu Hibban
disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَیْتِ زَوْجِھَا وَھُوَ شَاھِدُ إِلاَّ بِإِذْنِھِ
“ Tidak boleh seorang wanita
mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan
dengan izin suaminya. ” ( HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al
Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim )
Hadits di atas dipahami jika
tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika
seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka
tidaklah masalah. ( Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3 : 193 )
Kelima: Tidak berpuasa sunnah
ketika suami ada kecuali dengan izin suami
Para fuqoha telah sepakat bahwa
seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan
dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang
muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ یَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُھَا شَاھِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِھِ
“ Tidaklah halal bagi seorang
wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan
izin suaminya. ” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُھَا شَاھِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِھِ غَیْرَ رَمَضَانَ
“ Tidak boleh seorang wanita
berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali
dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392
mengatakan, “ Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”
)
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama
dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah
menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’
dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah,
larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram.” (Syarh
Shahih Muslim, 7: 115)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk
puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib,
dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka
tetap harus dengan izin suami. … Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa
yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (
Fathul Bari, 9 : 295 )
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah
disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa
izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian
pendapat mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama
Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan
tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu
tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan
Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami
melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Jadi, puasa yang mesti dilakukan
dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu
tertentu, seperti puasa senin kamis, (2) puasa wajib yang masih ada waktu
longgar untuk melakukannya.
Contoh dari yang kedua adalah
qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.
Jika Suami Tidak di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil yang
telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta
izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan
seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami
sendiri sedang puasa ( Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah,
28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan
badan).
Keadaan ihrom terlarang untuk
jima’, begitu pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi
suami tidak di tempat.
Hikmah Mengapa Harus dengan Izin
Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani
rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran
bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang
hukumnya sunnah.
Karena menunaikan hak suami
adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan
ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah
menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah
karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen)
bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena
sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa
ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
No comments:
Post a Comment