Hanzhalah bin Abu Amir adalah
anak pemimpin suku Aus yang terbilang kaya di Yastrib ( Madinah ), pada masa
menjelang hijrahnya Nabi Muhammad ke sana. Ayahnya, Abu Amir bin Shaify, orang
yang sangat benci kepada Islam. Pada zaman jahiliyah, dia mendapat julukan Abu
Amir Sang Pendeta, tetapi julukan itu berbalik menjadi Abu Amir lelaki Fasik
ketika Yastrib sudah dikuasai oleh kaum muslim.
Pernah dengan angkuh Abu Amir
berkata, “Jika aku menyeru kaumku yang sudah masuk Islam, mereka pasti akan
mengikutiku dan bergabung dengan kaum Quraisy.”
Tapi baru saja mulutnya
menyebutkan nama dirinya, “Wahai bani Aus, aku Abu Amir..”, orang-orang Aus
yang muslim menimpali, “Wahai lelaki fasik, Allah tidak akan memberkatimu!”
Mereka mengucapkan kalimat itu sambil melancarkan serangan yang menyebabkan Abu
Amir melarikan diri. Nah, di antara penyerang itu, adalah anaknya sendiri,
Hanzhalah.
Hanzhalah, yang telah masuk
Islam, akhirnya menikah dengan Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul, anak
sahabat bapaknya. Mertuanya itu dikenal sebagai tokoh munafik, menyembunyikan
kekafiran dan menampakkan keimanan. Dia berpura-pura membela Nabi Muhammad
dalam Perang Uhud; namun ketika rombongan pasukan muslim bergerak ke medan
laga, ia menarik diri bersama orang-orangnya, kembali ke Madinah.
Pagi harinya, ketika mendengar
seruan untuk berjihad, Hanzhalah mengambil pedang dan baju perangnya, langsung
bergabung dengan induk pasukan muslim dan pergi berperang. Dalam peperangan
itu, dia berhasil mendekati Abu Sufyan ketika teman-temannya justru melarikan
diri ketakutan. Abu Sufyan, dalam duel satu lawan satu, terjatuh dari kudanya.
Wajahnya pucat, ketakutan.
Pedang Hanzhalah yang berkilauan
siap merobek lehernya. Dalam hitungan detik, nyawanya akan melayang. Tapi,
dalam suasana genting itu, Abu Sufyan berteriak minta tolong, “ Hai orang-orang
Quraisy, tolong aku. ”
Lantas orang-orang Quraisy di
sekitarnya tanpa ampun mengayunkan pedangnya kepada Hanzhalah, dari kiri, kanan,
dan belakang, sehingga Hanzhalah tersungkur. Dalam kondisi yang sudah parah,
darah mengalir begitu deras dari tubuhnya, ia masih dihujani dengan lemparan
tombak dari berbagai penjuru. Dan akhirnya…anak muda ini gugur sebagai syuhada.
Abu Sufyan, si pengecut itu, pun
selamat dari tajamnya pedang Hanzhalah.
Seusai peperangan, Abu Amir dan
Abu Sufyan mengitari medan laga dan mencari data sahabat-sahabat Nabi yang
gugur. Biasanya mereka akan melampiaskan dendamnya dengan mencincang
mayat-mayat musuhnya. Mereka menemukan jasad Kharijah bin Abu Suhair dari suku
Khazraj, pemimpin Bani Kahzraj; Abbas bin Ubadah bin Fadhlah; Dzakwan bin Abu
Qais, bangsawan Yastrib; dan tentu saja Hanzhalah.
“ Anakku, kenapa kamu tidak mau
mengikuti perintahku untuk tidak ikut berperang…? ” keluh Abu Amir dengan nada
kesedihan. “Andaikan menaati perintahku, kamu akan hidup terhormat bersama kaum
Aus.”
Kepada orang-orang Quraisy dia
menyeru agar tidak mencincang jasad anaknya. Tapi dia sendiri mencincang
bangkai orang lain.
Nabi Muhammad, yang diberi tahu
hal itu, kemudian mendoakan, melihat ke langit, dan berkata kepada para
sahabat, “Aku melihat, malaikat-malaikat sedang memandikan Hanzhalah bin Abu
Amir di antara langit dan bumi dengan menggunakan air Muzn ( mendung ) yang
diambil dari bejana perak.”
Kemudian beliau mengutus salah
seorang sahabat untuk mengabarkan hal itu kepada istri Hanzhalah dan menanyakan
apa yang dikerjakan suaminya sebelum pergi ke medan perang.
“Ketika mendengar panggilan
perang, Hanzhalah dalam keadaan junub dan belum sempat mandi…,” kata Jamilah.
Beruntunglah Hanzhalah, syuhada
yang telah dimandikan oleh para malaikat. Dia memperoleh kedudukan yang tinggi
di haribaan Allah SWT. Itulah sebaik-baik tempat yang tidak semua orang mampu
meraihnya.
Nabi Bersabda, “Allah Swt.
berfirman: Tiada balasan bagi hamba-Ku yang berserah diri saat Aku mengambil
sesuatu yang dikasihinya di dunia, melainkan surga.” (HR Bukhari )
No comments:
Post a Comment