Memberi tip setelah selesai makan
di restoran atau kepada bell captain dan house keeper hotel merupakan bagian
dari nilai-nilai penghargaan kepada para pekerja keras yang melayani anda.
Ada unsur kemanusiaan di sana,
ada juga unsur pemasaran dan pricing di sana, ada unsur personal finance dan
book keeping dan ada juga unsur fiskalnya.
Bagaimana sebenarnya budaya
tipping berkembang di seluruh dunia, termasuk di amerika serikat dan Indonesia…?
Apa implikasinya bagi roda
ekonomi…?
Secara historis budaya tipping
telah lama eksis dalam peradaban manusia, namun mulai tercatat di dalam
berbagai literatur terhitung sejak zaman pertengahan di mana para aristokrat
memberikan beberapa keping uang logam untuk “membeli jalan.”
Di era Tudor, para aristokrat
memberikan uang ekstra untuk servis-servis ekstra selama mereka menginap di
suatu penginapan.
Konsep “tip” atau “gratuitas”
(gratuity) mempunyai definisi yang longgar, artinya bisa dilanggar karena
pemberian tip bersifat “suka rela” hingga batas-batas tertentu sesuai
norma-norma sosial.
Berbeda dengan biaya-biaya lain
yang biasanya berdasarkan perjanjian dan transaksi “jual beli.”
Bentuk dari akibat sosial ini
mungkin tidak seberapa berarti secara ekonomis, namun dapat mempengaruhi
keputusan memberikan servis berkualitas (bagi penerima tip) dan mengulangi
pembelian (bagi pemberi tip).
Yang menarik, tidak semua negara
mengagung-agungkan tip alias “tirani gratuitas” tersebut, ada alasan filosofis
di belakangnya.
Di singapura yang mengutamakan
“clean living (hidup bersih)” dan “zero tolerance toward corruption,” tipping
sangat tidak dianjurkan.
Filsafat “clean living (hidup
bersih)” dan super disiplin sangat mendarah daging. tradisi tipping mempunyai
“wilayah abu-abu” sehingga sebaiknya dihindari.
Di jepang misalnya, ada norma
keras yang membatasi bahkan melarang pemberian tip, sumbernya adalah filsafat
hidup bahwa “pemberian dari seorang asing merupakan hutang yang harus dibalas.”
ini juga menimbulkan antipati terhadap konsep tipping.
Dalam kultur negara matahari
terbit ini, pemberian tip dari seorang yang tidak dikenal (termasuk konsumen),
men-trigger nosi mental bahwa ini adalah “hutang yang harus dibayar.”
Mental bushido Jepang yang tidak
mau berhutang kepada siapapun apabila tidak dalam keadaan terpaksa. Maka,
mereka menolak konsep “tipping” ini.
Bagi pemilik bisnis, tip dari
konsumen bagi pekerja mempengaruhi skema remunerasi (gaji) yang merupakan
bagian dari budget operasional. selain itu, tipping juga mempengaruhi strategi
bisnis, karena berarti harga jual bisa diturunkan agar lebih menarik pembeli.
Di kota Seattle, negara bagian
Washington, gaji minimum mencapai USD 15 per jam, yang merupakan tertinggi di
seluruh AS.
Ini mengubah struktur pricing di
bisnis-bisnis yang mempunyai tradisi menerima tip, seperti restoran-restoran
dan salon-salon.
Harga-harga “terpaksa” dinaikkan
secara formal, namun tipping disarankan untuk dihentikan. ini dilakukan agar
konsumen tidak merasa membayar terlalu tinggi untuk servis yang sama.
Sebaliknya, di kota-kota bergaji
minimum rendah seperti USD 8,25 per jam, tradisi tipping masih sangat dihargai
bahkan menjadi “konsensus umum.”
Tanpa tip, para pekerja hanya
menerima gaji pas-pasan yang seringkali kurang memadai, baik gaji resmi maupun
tip yang diterima pekerja wajib dilaporkan sebagai penghasilan yang kena pajak.
Di AS, tradisi pemberian tip
berkisar antara 10 hingga 20 persen dari harga final pembayaran, memang cukup
tinggi dibandingkan dengan di Indonesia.
Di Indonesia, budaya tipping
cukup populer dan bisa ditelurusi sejak era kolonial, hingga hari ini, bahkan
untuk membelokkan kendaraan seringkali pengemudi perlu membayar uang receh
kepada “Pak Ogah” sebesar beberapa ratus hingga beberapa ribu Rupiah.
Bisa saja budaya ini berasal dari
era war lord di masa kerajaan-kerajaan Nusantara, ketika setiap orang yang
hendak melewati jalan tertentu perlu membayar “uang jalan.”
Para office boy di kantor-kantor
dan pelayan di restoran seringkali diberikan tip sekedarnya tanpa ada batasan
minimum. sedangkan di restoran-restoran dan hotel-hotel berbintang di
Indonesia, tradisi penambahan 10 persen (atau bahkan lebih) “service charge” di
dalam bon pembayaran telah diterapkan.
Akhir kata, budaya tipping di
mancanegara ini menunjukkan bahwa ada saja “loophole” dalam penerapan harga
(pricing) dan penghematan biaya-biaya operasional (operational costs) dalam
bentuk remunerasi yang dibebankan kepada konsumen.
Sedikit ekstra sebagai tanda
terima kasih kepada mereka yang telah melayani kita dengan baik, mempunyai
ripple effect bagi kesehatan ekonomi lokal dan dunia.
Guruku berpesan kepadaku :
" Saat kamu menjalani
berniat makan untuk traveling (safar) ke beberapa negara maka hendaknya dirimu
membiasakan, apabila dirimu telah selesai setiap makan maka bersedekahlah
(memberi tip), karena dermawan itu dekat kepada Allah, dekat kepada surga,
dekat kepada manusia dan jauh dari neraka."
No comments:
Post a Comment