Saya tidak heran kalau
orang-orang salafi, baik hijazi maupun Ikhwani, itu menolak Islam Nusantara
karena sejak dari sono-nya mereka menolak NU dan menggolangkannya sebagai ahlul
bid’ah. Saya juga tidak heran kalau orang-orang Masyumi dan keturunannya
mencela Islam Nusantara karena sejak dulu kita memilih berada di satu rumah
tetapi beda kamar. Yang saya takjub itu orang NU yang ikut latah menolak Islam
Nusantara gara-gara opini orang yang salah paham atau pahamnya salah.
Islam Nusantara itu ya Islam NU
itu, Islam Ahlussunnah Waljama’ah an-Nahdliyah, Itu kayak isi lama dalam botol
baru. Tidak ada yang berubah. Basis teologinya sama, Asy’ariyah. Madzhab
fikihnya Syafi’i. Pandangan tasawufnya ikut Junaid al-Baghdadi dan al-Ghazali.
Gampangnya, Islam Nusantara itu Islam yang diamalkan dalam wadah budaya
Nusantara, sebagaimana sudah dijalankan NU selama ini.
Nalarnya tidak usah dibikin
rumit. Islam itu agama. Sifatnya universal, lintas ruang dan waktu. Manusia itu
temporal-partikular, terikat ruang waktu dan waktu. Dia makhluk berbudaya.
Begitu agama yang universal itu diamalkan oleh manusia yang partikular,
ekspresinya beragam, sesuai dengan wadah budayanya. Islam yang diamalkan di
Arab tentu punya karakteristik berbeda dengan Islam yang diamalkan di Persia,
Cina, dan Jawa. Perbedaannya di tingkat cabang ( furû’ ), bukan pokok ( ushûl ).
Yang pokok bersifat universal, tidak berubah atau diubah, untuk selamanya.
Syahadat ya syahadatain, tidak
boleh ditambah atau dikurangi. Salat subuh ya dua raka’at, tidak boleh ditambah
atau dikurangi. Soal pakai Qunut, itu persoalan cabang karena kita mengikuti
Syafi’i. Dan perlu diingat, Imam Syafi’i itu orang Arab keturunan Qura’isy yang
lahir di Palestina, karena itu pandangan-pandangannya sangat Arabis. Soal
salat, misalnya, sudah pasti Imam Syafi’i mewajibkan salat dalam bahasa Arab.
Tidak sah shalat selain dalam bahasa Arab karena pedomannya qath’i: صلوا كما رايتموني اصلي. Ini
berbeda dengan Imam Hanafi yang orang Persia. Dalam sebuah qaul, Imam Hanafi
membolehkan salat dalam bahasa Persia, meski yang utama pakai bahasa Arab. Jadi
tidak masuk akal tudingan pencela NU yang bilang Islam Nusantara itu anti-Arab.
Nabi kita orang Arab dan NU
sangat ta’dzim kepada habaib keturunan Nabi. Salat kita pakai bahasa Arab.
Tidak pernah ada bahtsul masâ’il di NU yang membolehkan salat pakai bahasa
Jawa. Bahkan nama-nama keluarga santri NU hampir rata-rata nama Arab, termasuk
saya. Rasanya tidak mantap kalau santri NU tidak pakai nama Arab. Lucunya,
pencela NU yang bilang Islam Nusantara itu anti-Arab, seringkali asal namanya
sendiri justru nama Nusantara yang kemudian “di-Arab-Arabkan,” pakai ganti nama
atau ditambah embel Abu-Abi atau Ummu-Ummi. Masih soal salat, orang Arab pakai
jubah dan umamah ( surban udeng-udeng ), kita pakai batik dan kopyah. Itulah
Islam Nusantara. Sebelum salat puji-pujian, setelah salat dzikir bareng dan
mushafahah. Itulah Islam Nusantara. Nabi tidak mengajarkannya, tetapi juga
tidak melarangnya.
Soal zakat, kita jalankan zakat,
tetapi objeknya tidak sama dengan orang Arab. Orang Arab zakat fitrah pakai
kurma atau gandum, kita pakai beras. Itulah Islam Nusantara.
Soal puasa, kita sama-sama tidak
makan-minum dan jima’ dari subuh sampai maghrib. Tidak ada NU mengajarkan puasa
ngebleng, puasa semalam suntuk karena Nabi tidak mengajarkannya. Tetapi
soal menu buka puasa, orang Arab pakai kurma, kita kolak pisang. Itulah Islam
Nusantara. Lepas bulan puasa, kita halal bihalal, didahului acara mudik
kolosal. Itulah Islam Nusantara.
Soal haji, kita sama-sama pergi
ke Arab, tidak ke Parung. Tetapi, soal dulu Nabi ke Makkah pakai unta atau kuda
dan kita sekarang terbang pakai pesawat, itu soal teknis dan sama sekali bukan
bid’ah.
Orang Arab tidak punya budaya slametan. Orang Jawa hobi ‘cangkruk’,
slametan yang isinya keplek dan nenggak miras. Walisongo datang, slametannya
dipertahankan, tetapi isinya diganti tahlil dan salawat. Keplek dan mirasnya
diganti berkat. Namanya tahlilan. Itulah Islam Nusantara.
Orang Arab itu egaliter.
Memanggil Nabi yang mulia tidak ada bedanya dengan memanggil penggembala domba,
“ Ya Muhammad. ” Orang Jawa punya budaya unggah-ungguh, stratanya canggih dan
rumit. ‘Njangkar’ alias manggil orang mulia apa adanya itu saru alias tabu. Ada
embel-embel “ Ngarso Ndalem ”, Sinuhun, dst. Karena itu, orang Arab salawatnya
cukup pakai redaki اللهم صل على محمد, orang
NU ditambah kata Sayyidina (سيدنا). Itulah Islam Nusantara.
Jadi Islam Nusantara itu bukan
barang baru, itu soal ganti casing. Kalau ada yang ingin dipertegas dari Islam Nusantara
adalah pandangan politiknya. Islam Nusantara itu pendukung sintesis Islam dan
kebangsaan. NKRI final, titik. Tidak ada Khilafah sebagai sistem politik. NKRI
yang isinya pembangunan inklusif, ekonomi berdikari, dan minim ketimpangan, itu
sudah islami. Itu yang harus didorong. Tidak ada lagi membentuk Negara Islam.
Manifestasi Islam Nusantara itu bukan hanya dalam fikrah dîniyah ( agama ),
tetapi juga siyâsiyah ( politik ) dan iqtishâdiyah ( ekonomi ). Fikrah
diniyah-nya tawassuth, fikrah siyâsiyah-nya NKRI, fikrah iqtishadiyah-nya
ekonomi konstusi.
Jadilah Negara Kesejahteraan
Pancasila.
Inilah tema Kongres II ISNU yang
insyaAllah digelar di Bandung, 24-26 Agustus 2018: PEMBANGUNAN INKLUSIF DAN
ISLAM NUSANTARA MENYONGSONG SE-ABAD INDONESIA SEBAGAI NEGARA KESEJAHTERAAN
PANCASILA.
Inti gagasan ini sederhana, kita
ingin membangun Indonesia berdasarkan agama. Artinya kita tidak ingin membentuk
Indonesia sebagai negara sekuler. Tetapi agama seperti apa yang ingin kita
tegakkan…? Agama yang ramah, toleran, inklusif, yang menunjang Pembangunan
Indonesia, bukan Pembangunan di Indonesia. Tentu ada beda antara PEMBANGUNAN
INDONESIA DAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA. Pembangunan Indonesia merefleksikan
bahwa pelaku dan penerima manfaat pembangunan adalah rakyat Indonesia.
Sementara Pembangunan di Indonesia adalah pembangunan oleh siapa saja di
Indonesia, tidak peduli siapa pelaku dan penerima manfaatnya. Karena Indonesia
mayoritas muslim, agama di sini adalah Islam. Jadi Islam yang ingin kita
tegakkan adalah Islam nasionalis, Islam inklusif yang mendukung pembangunan
inklusif. Itulah Islam Nusantara.
Kalau kalian punya persepsi lain
tentang Islam Nusantara, itu urusan kalian. Kami tidak mengurusi keyakinan
orang lain. Kami hanya mengurusi keyakinan kami sendiri. Kami hanya ingin jadi
umat Kanjeng Nabi Muhammad dengan segala ekspresi kami sebagai orang Jawa,
orang Sunda, orang Melayu, dll. Kalau kalian menganggap ber-Islam harus sama
atau semakin dekat dengan budaya Arab, silakan saja, asal kalian menghormati tempat
bumi berpijak, Indonesia dan tidak berencana merusaknya. Indonesia dengan
segala warna-warninya adalah anugerah bagi kita semua.
No comments:
Post a Comment