Oleh: KH. Muhajir Madad Salim bin
Kyai Mas'udi
Satu anak didik saya yang
sekarang saya titipkan kepada seorang ustadz balik ke rumah. Saya tanya,
"Krasan (betah) mondoknya?"
“Tidak," jawabnya.
“Kenapa tidak krasan?"
“Karena ustadznya mengajarnya
tidak pakai 'utawi iki iku', saya jadi kesulitan memahami pelajaran-pelajaran
beliau."
Saya tersentak. Saya merasa
bersalah. Memang ustadz yang saya titipi bisa dikatakan alim, dia mutakharrij
(lulusan) Rubath Tarem. Tetapi jika mengajar tidak pakai rumus 'utawi iki iku'
bagi santri Jawa ya repot. Lalu saya teringat paparan tentang hal ini.
Dituturkan oleh kakak saya saat menjadi wakil keluarga dalam rangka Haul ayah
saya, Kiai Mas’udi. Saya ambil bagian pentingnya saja. Meskipun panjang,
insyaallah paparan beliau menarik. Sebab selain menjelaskan tentang pentingnya
'utawi iki iku', juga menerangkan banyak hal yang berhubungan dengan ranah
keilmuan dunia pesantren Jawa.
Beliau pada bagian terakhir
menerangkan begini, “Mbah Fadhol Senori sesudah menulis kitab Kasyf at-Tabarih
, beliau pernah didatangkan oleh Kiai Mas’udi ke masjid ini dan beliau ajarkan
kitab tersebut di hadapan para masyarakat terutama para kiai. Masjid mutih ini
luar biasa, banyak orang-orang hebat pernah shalat di sini. Setidaknya yang
pernah saya ketahui diantaranya Kiai Fadhol Senori, Mbah Raden Asnawi Kudus,
beliau pernah juga memberikan pengajarannya di masjid ini, dan Mbah Kiai Idris
bin Kamali Kempek, saat pernikahan Kiai Ali Murtadho. Mbah Idris datang ke sini
tiga hari dan ikut shalat Jum’at di sini. Mbah Idris ini adalah menantunya
Hadhratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari.
Kiai Mas’udi pernah mengaji
dengan Mbah Fadhol. Mbah Fadhol muridnya Kiai Makmun Jam’an al-Bogori. Kiai
Makmun Jam’an muridnya Syaikh Nawawi al-Bantani. Jadi Kiai Mas’udi ini punya
jalur sanad dari Kiai Sholeh Darat dan juga punya sanad dari Syaikh Nawawi
al-Bantani.
Kiai Mas’udi muridnya Mbah
Sanusi. Mbah Sanusi muridnya Mbah Maksum Lasem
(selain mengaji kepada Mbah
Kholil Lasem). Mbah Maksum Lasem muridnya Syaikhona Kholil Madura. Berarti Kiai
Mas’udi ini punya sanad keilmuan juga ke Syaikhona Kholil Bangkalan Madura.
Tiga orang ini; Mbah Kholil
Bangkalan, Mbah Sholeh Darat dan Mbah Nawawi Banten adalah Pendobrak Tanah
Jawa. Tiga serangkai yang punya jasa besar dalam dunia Pesanteren Indonesia
terutama tanah Jawa. Dimana sesudah tiga orang kiai besar ini, rata-rata ulama
Jawa adalah murid mereka atau muridnya salah satu dari mereka. Ketiga orang ini
adalah selain alim juga merupakan orang-orang yang dekat dengan Allah Ta’ala,
kita mengenalnya sebagai Waliyullah, kekasih Allah Ta’ala.
Kiai Mas’udi sangat membanggakan
Kiai Sholeh Darat. Beliau sangat suka dengan Kiai Sholeh Darat. Sementra Kiai
Sholeh Darat ini, menurut guru saya Abah Dim Kaliwungu, adalah Mujaddid Tanah
Jawa di masanya. Santri-santri Jawa sekarang ini bisa membaca Kitab Kuning
karena jasa besar beliau.
Saat Mbah Sholeh masih belajar di
Makkah, belum pulang ke Jawa, para anak negeri kalau ingin mengaji kitab
susahnya minta ampun. Tetapi begitu Mbah Sholeh pulang ke Jawa, beliau membuat
rumus:
والمبتداء بلأتوي اكو خبر # افـا لفاعل ايغ لمفعول ظهر
Walmubtada bil-Utawi Iku Khobar #
Afa li-Fa'ilin Ing li-Maf’ulin Dzahar
Pokok jika seorang kiai ngomong
'Utawi', santri akan paham kalau itu adalah Mubtada’. 'Iku' artinya Khobar.
'Apa' adalah Fail. Dan sudah jelas 'Ing' adalah Maf’ul. Ini rumus yang luar
biasa. Metodologi pesantren yang dirumuskan oleh Kiai Sholeh tersebut punya
pengaruh besar, punya manfaat besar dalam memintarkan para santri. Buktinya
metodologi beliau tersebut masih dipakai hingga sekarang.
Kalau mau mengaji ke Jawa tanpa
'utawi iki iku' itu tidak akan berhasil (baik) meskipun sudah S-3 Mesir
sekalipun. Saya punya sahabat sudah S-3; S-1 di al-Azhar, S-2 dan S-3 di
Maroko. Tetapi kelamaan di sana selama 20 tahun, saat pulang ke Jawa 'utawi iki
iku'nya lupa. Dia mengeluh kepada saya, “Aku paham kitab, tetapi di sini tanpa
'utawi iki iku', murid-muridku tidak paham. Aku jadi bingung. Tolong aku
diingatkan lagi...”
Saya jawab, “Ok, gampang.
Almubtada bil-Utawi Iku Khobar # Afa li-Fa'ilin Ing li-Maf’ulin Dzahar…”
Kiai Sholeh Darat memang seorang
Alim besar sekaligus Waliyullah. Sehingga Kiai Mas’udi sangat menyukainya.
Abah Dim Kaliwungu berkisah
kepada saya, “Pernah Syaikh Nawawi Banten itu, pulang ke Indonesia. O ya, tiga
orang ini, Kiai Nawawi Banten, Kiai Sholeh Darat dan Kiai Kholil Bangkalan
mengajinya sama-sama di Makkah. Sama-sama mengaji kepada as-Sayyid Bakri
Syatha. Sayyid Bakri Syatha mengaji kepada Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan
al-Makki, Mufti Syafi'iyyah Makkah. Ketiganya sangat akrab, dan termasuk satu
angkatannya adalah Syaikh Khathib Minangkabau. Tetapi budayanya beda, akhlaknya
beda.
Kalau akhlaknya kiai Jawa akhlaknya
orang Jawa Mutawadhi’ (tawadhu'). Sedangkan akhlaknya orang Sumatra –soal
perbedaan karakter ini kesimpulan bukan dari Abah Dim, tetapi saya ambil dari
sebuah buku milik orang Belanda dari Universitas Leiden yang mengutip dari
laporan Snouck Hurgronje, seorang oreantalis yang pernah hidup menyamar sebagai
Abdul Ghoffar di Makkah, (tetapi kabar Snouck Hurgronje sampai mengimami di
Masjidil Haram itu Hoax, kalau dia pernah di Makkah memang ya). Snouck
Hurgronje berkata, “Kalau kiai Sumatra memang alim, kritis tetapi akhlaknya
bukan seperti Kiai Jawa. Mereka itu lebih terlihat sebagai orang-orang yang
cerdas, sedangkan kiai-kiai Jawa itu terlihat sisi-sisi ketawadhu’annya."
Kiai Nawawi Banten pulang ke
Indonesia, beliau kangen dengan seorang sahabatnya dari kota Batang, namanya
Kiai Anwar. Kiai Anwar ini juga dulunya di Makkah, seorang yang sangat Alim
ilmu fikih, punya karangan kitab berjudul ‘Aysul Bahri. Kiai Anwar punya murid
namanya Kiai Amir Pekalongan. Kiai Amir Pekalongan punya murid namanya Kiai
Yasin Bareng Kudus. Kiai Yasin punya murid namanya Mbah Muhammadun Pondowan
Pati. Kiai Muhammadun punya murid Kiai Mas’udi.
Dalam kitab ‘Aysul Bahri ada
kalimat seperti ini:
وامـا الكفتيغ والكيوغو فكلاهمـا حلالان
Wa-ammal kepitingu wal kiyongu
fakilahuma halalani. Jadi yang pertama dan satu-satunya ulama Indonesia saat
itu yang menghalalkan kepiting cuma Kiai Anwar saja. Semua ulama Jawa
mengharamkan kepiting.
Di lain tempat Mbah Kiai Sholeh
Darat juga tergerak hatinya untuk silaturrahim ke Kiai Anwar ini. Lebih
menakjubkan lagi, yang di Madura, Mbah Kiai Kholil juga tergerak untuk berjumpa
dengan Kiai Anwar.
Akhirnya kesemua kiai itu, Kiai
Nawawi, Kiai Sholeh Darat dan Kiai Kholil Bangkalan berkumpul di waktu yang
sama di tempatnya Kiai Anwar di Kota Batang. Para sahabat lama ini terlibat
dalam obrolan yang mengasyikkan, terutama antara Kiai Kholil Bangkalan dengan
Kiai Nawawi Banten. Saking Asyiknya mereka nyaris lupa waktu. Beberapa menit
sebelum datang waktu salat Ashar, Kiai Sholeh Darat mengingatkan mereka,
"Wahai Syaikhoni, qad qarubal Ashru. Kiai-kiai, sudah mau Ashar."
Akhirnya tangan kanan Kiai Kholil
dipegang oleh Kiai Nawawi Banten, sambil berkata, “Ayo, kita cari air dan
tempat salat yang tidak bikin kita mengqadha salat Dzuhur."
“Oh, mangga..." jawab Kiai
Kholil.
Mereka berdua pun keluar rumah.
Tetapi begitu keluar pintu, keduanya tidak lagi ada di Kota Batang. Namun
mereka berdua sudah ada di Kota Makkah al-Mukarromah. Jadi kini mereka berdua,
Kiai Kholil dan Kiai Nawawi mendapati waktu tidak lagi mau Ashar, bukan lagi
jam 3 siang tetapi jam 11 siang, mundur empat jam!
Begitulah kiranya orang-orang
yang punya kedekatan dengan Allah Ta’ala, sepertinya waktu dan tempat tidak
lagi mengikat mereka, sebagai bagian dari kemuliaan (karamah) yang diberikan
oleh Allah kepada mereka.”
No comments:
Post a Comment