Kita tidak bisa menutup mata
bahwa sebagian belahan dunia Timur Tengah habis dilanda konflik secara
bergantian. Bahkan, di antara tokoh Timur Tengah, ada yang menyerukan jihad
melalui jalur perang. Di Indonesia hanya ada sekelompok kecil saja dari orang
yang suka membahas tema-tema perang, jihad dan lain sebagainya. Rata-rata, yang
suka mengutak-atik dan berfatwa berkaitan jihad melalui jalur keras itu
bersumber dari mereka yang ilmu dasar agama mereka minim. Selebihnya, apalagi
para kiai yang ilmunya mendalam secara akademik berusaha menghindari
fatwa-fatwa konflik.
Di kitab-kitab salaf ( klasik )
yang dikaji di berbagai pesantren Indonesia, dalam urusan membahas hukum, kajian fiqih yang paling
dikedepankan paling utama adalah tata cara beribadah dengan baik ( ubudiyyah ). Setelah ilmu ibadah mapan, baru kemudian melanjutkan
ke jenjang kajian muamalah ( undang-undang transaksi ), lalu bab nikah. Setelah
itu, baru dibahas jihad, dan lain sebagainya. Jihad dalam arti perang dikaji
oleh santri-santri yang ilmunya sudah cukup purna. Bukan malah mendahulukan bab
jihad daripada bab shalat.
Mengapa guru-guru kita ( para
kiai ) di Indonesia menghindari membahas tema-tema ekstrem atau tema-tema keras….?
KH Bahaudin Nur Salim, Narukan,
Kragan, Rembang, memberikan alasan yang bersumber dari sebuah hadits berikut :
يعذب اللسان بعذاب لا يعذب به شىء من الجوارح فيقول يا رب عذبتنى بعذاب لم تعذب به شيئا من الجوارح فيقال له خرجت منك كلمة بلغت مشارق الأرض ومغاربها فسفك بها الدم الحرام وأخذ بها المال الحرام وانتهك بها الفرج الحرام فوعزتى لأعذبنك بعذاب لا أعذب به شيئا من الجوارح
Artinya : “ Mulut akan disiksa
dengan siksaan yang tidak akan dibebankan pada satu anggota tubuh pun. Lalu
mulut bertanya kepada Tuhan, ‘ Ya Tuhan, mengapa Engkau menyiksaku dengan
siksaan yang tidak pernah ditimpakan kepada anggota mana pun selain aku…? ’
Tuhan menjawab, ‘ Ada kata-kata yang menembus jajahan timur dan barat. Dengan
kalimat itu, darah yang terhormat malah menjadi mengalir, harta haram menjadi
terampas, kelamin yang dilindungi malah menjadi terkoyak. Maka, demi
keagungan-Ku, Aku akan menyiksamu dengan siksaan yang tidak pernah dipikul oleh
anggota tubuh mana pun ’. ” ( Jâmiul Ahâdits : 28617 )
Jadi, menurut Gus Baha’,
fatwa-fatwa serius yang nantinya akan membuat orang berubah menjadi ekstremis,
sengaja dihindari para kiai karena berisiko memicu perpecahan, chaos, bahkan
safkud dimâ’ ( pertumpahan darah ).
“ Anda jangan pernah berfatwa
dengan meluncurkan satu kalimat, yang dengan kalimat itu, bisa saja darah-darah
orang yang seharusnya dihormati, malah justru mengalir ( pembunuhan ), ” pesan
Gus Baha’.
Lebih lanjut beliau menjelaskan, sudah menjadi
tradisi, ulama-ulama dari dahulu itu secara turun-temurun selalu menghindari
pembahasan ini. Bukan karena mereka tidak bisa, tapi karena takut jika salah
fatwa bisa menimbulkan pertumpahan darah. Dan itu yang dihindari oleh Sayyidina
Hasan bin Ali saat ‘ konflik ’ dengan Muawiyah.
Waktu itu, Sayyid Hasan bin Ali
lebih memilih mengalah. Alasannya menurut Hasan, bisa jadi kepemimpinan yang
berhak semestinya adalah Muawiyah, maka dengan ikhlas Hasan bin Ali
menyerahkannya. Atau jika terjadi kemungkinan lain, misalnya Hasan bin Ali yang
justru mempunyai hak menduduki jabatan itu, karena dalam rangka beliau ingin
tetap menjaga supaya tidak terjadi pertumpahan darah, Hasan bin Ali berniat
memberikan haknya kepada Muawiyah agar darah semua umat Islam terlindungi.
Sayyid Hasan menutup perkataannya
dengan sebuah ayat :
وَإِنْ أَدْرِي لَعَلَّهُ فِتْنَةٌ لَكُمْ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ
Artinya : “ Dan aku tidak tahu,
boleh jadi hal itu cobaan bagi kamu dan kesenangan sampai waktu yang
ditentukan. ” ( QS Al - Anbiya’ : 111 )
Dari cerita Gus Baha’ tersebut,
dapat kita pahami bahwa konflik di atas menimbulkan dugaan dari pribadi Hasan
bin Ali, jangan-jangan konflik yang terjadi antara orang-orang yang mendukung
beliau dengan kelompok Muawiyah hanya sebuah fitnah atau ujian dari Allah
subhânahû wa ta’âlâ saja. Sehingga beliau lebih memilih jalur menyelamatkan
pertumpahan darah daripada mengutamakan kekuasaan, meskipun beliau berhak
berkuasa. Terlebih lagi, kalau Hasan tidak berhak, maka tidak ada satu alasan
pun untuk mempertahankan kekuasaan itu sendiri dengan cara menumpahkan darah
manusia. Pemikiran tersebut juga sangat kental di telinga kita sebagaimana yang
pernah digelorakan KH Abdurrahman Wahid ( Gus Dur ).
Dalam detik-detik Gus Dur
dilengserkan dari jabatannya sebagai Presiden, sangat banyak orang yang
beriktikad menyerbu Jakarta, ingin membela Gus Dur. Gus Dur menahan mereka.
Menurut Gus Dur, darah manusia lebih berharga ketimbang jabatan apa pun,
termasuk presiden sekalipun. “ Tidak ada jabatan di dunia ini yang harus
dipertahankan mati-matian, ” kata Gus Dur.
No comments:
Post a Comment