TANPA didampingi siapa pun, Gus
Dur dan aku bertemu di warung nasi depan kampusku. Pakaian batik dan sarung
membungkus tubuhnya, peci yang miring serta kacamata tebalnya melengkapi
kediriannya. Dialog yang bagiku aneh pun terjadi. Aneh karena perbincangan kami
kesana kemari, tak jelas arahnya.
Gus Dur :
" Sebenar apa pun tingkahmu,
sebaik apapun prilaku hidupmu, kebencian dari manusia itu pasti ada. Jadi
jangan terlalu diambil pusing. Terus saja jalan….! "
Mughni :
" Iya, Gus. Tapi… "
Gus Dur :
" Bagaimana tidak repot,
hidupmu terlalu banyak “ tapi …! "
Mughni :
" Hehehehe…"
Gus Dur :
" Apa kamu kenal Wa Totoh…?
Maksud saya KH. Totoh Ghozali..."
Mughni :
" Disebut kenal ya tidak,
tapi saya sering mendengar ceramah-ceramahnya di Radio…"
Gus Dur :
" Belajarlah kamu kepadanya,
bagaimana memurnikan tauhid masyarakat. Dia menggunakan bahasa lokal sebagai
senjatanya, memakai humor cerdas tanpa hina dan caci…"
Mughni :
" Baik, Gus, kalau itu
perintah Panjenengan…"
Gus Dur :
" Ini bukan perintah, ini
memang sesuatu yang seharusnya kamu lakukan sebagai Da'i..."
Mughni :
" Laksanakan…"
Gus Dur :
" Kamu suka menulis…? "
Mughni :
" Tidak, Gus, tulisan saya
buruk sekali. Saya coba menulis puisi atau cerita pendek, tapi benar-benar buruk
hasilnya..."
Gus Dur :
" Rupanya kamu belum pernah
dilukai seorang wanita, makanya tulisan kamu tidak bagus…"
Mughni :
" Lha, Panjenengan tau
darimana kalau saya belum pernah dilukai wanita…? "
Gus Dur :
" Ya itu tadi, karya
sastramu buruk sekali..."
Mughni :
" Hmmmmm…."
Gus Dur :
" Kamu pernah pesantren…? "
Mughni :
" Pernah, Gus..."
Gus Dur :
" Dimana….? "
Mughni :
" Di Al-Falah sama di
Al-Musaddadiyah…."
Gus Dur :
" Rupanya kamu Santri Kyai
Syahid sama Kyai Musaddad. "
Mughni :
" Iya…."
Gus Dur :
" Saya juga sering
bersilaturahmi ke beliau-beliau itu. Mereka salah satu penjaga Islam
Ahlussunnah wal Jama'ah..."
Mughni :
" Ketika jadi Santri, saya
nakal sekali. Saya merasa malu kepada beliau-beliau itu, Gus…."
Gus Dur :
" Saya beritahu kamu,
kebaikan seorang Santri tidak dilihat ketika dia berada di Pondok, melainkan setelah dia menjadi alumni. Kamu
tinggal buktikan hari ini, bahwa kamu adalah santri yang baik…."
Mughni :
" Terima kasih, Gus…."
Gus Dur :
" Dunia tanpa pesantren,
bagi saya adalah siksa. Bersyukurlah karena kamu pernah menjadi bagian di
dalamnya…."
Mughni :
" Iya, Gus…."
Gus Dur :
" Kamu mau tau rahasia hidup
saya dalam memandang segala sesuatunya…? "
Mughni :
" Tentu, Gus, saya ingin tau
rahasia panjenengan…."
Gus Dur :
" Dalam memandang segala
sesuatu, gunakanlah “ mata “ Allah…."
Mughni :
" Waduh…. Bagaimana
contohnya….? "
Gus Dur :
" Contohnya begini. Ketika
saya didatangi banyak orang yang meminta perlindungan, apakah orang itu benar
atau salah, saya terima semuanya dengan lapang dada. Karena apa….? Saya selalu
yakin, Allah lah yang menggerakan hati mereka untuk datang kepada saya. Jika
saya tolak karena mereka bersalah, itu sama saja saya menolak kehendak Allah.
Perlindungan saya kepada orang-orang yang disudutkan karena kesalahannya itu,
bukanlah bentuk bahwa saya melindungi kesalahannya, tapi saya melindungi
kemanusiaannya…."
Mughni :
" Duh…."
Gus Dur :
" Lebih jauhnya begini. Jika
kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca al-Qur'an, berarti yang kamu pertuhankan
itu bukan Allah, tapi al-Qur'an. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda Agama
dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Agama. Jika
kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan
Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian
bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena
begitulah Allah…."
Mughni :
" Ya Allah..."
No comments:
Post a Comment