Ijtihad bukan tindakan untuk
mengarang agama dan menyerahkan segala urusan agama semata-mata kepada logika
dan akal manusia sambil meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Pemahaman ijtihad
seperti ini tentu keliru besar.
Pada hakikatnya, yang namanya
ijtihad itu justru 100% memegang teguh Al-Quran dan As-Sunnah. Dan tidak lah
sebuah ijtihad itu dilakukan, kecuali landasannya karena justru kita ingin
menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Mungkin orang bertanya lagi,
bukankah Al-Quran dan As-Sunnah itu sudah jelas sekali, mengapa masih perlu ada
ijtihad….?
Jawabnya begini, memang tidak
salah kalau dikatakan bahwa Al-Quran dan As-Sunnah itu sudah jelas, tetapi yang
bisa dengan mudah membaca Al-Quran dan As-Sunnah dengan jelas itu hanya
kalangan tertentu, yaitu hanya sebatas buat Rasulullah SAW dan para shahabat
beliau yang tertentu saja. Sebab memang keduanya turun di masa mereka hidup.
Sementara begitu beliau SAW dan
para shahabat wafat, dan Islam menyebar ke negeri jauh yang berbeda bahasa,
budaya, adat, serta berbagai realitas sosial lainnya, maka mulai muncul
berbagai jarak. Tidak semua pemeluk Islam paham bahasa Arab, bahkan tidak semua
orang yang bermukim di Madinah seratusan tahun sepeninggal Rasulllah SAW
merupakan orang-orang yang paham bahasa Arab.
Tidak usah jauh-jauh, sebagi
contoh sederhana, ketika Rasulullah SAW menakar makanan yang beliau keluarkan
untuk membayar zakat Al-Fithr, beliau menggunakan takaran yang disebut sha'.
Sayangnya, orang-orang di Baghdad tidak mengenal benda yang namanya sha'
tersebut. Maka para ulama di masa itu membuat sebuah penelitian, yang kira-kira
memudahkan orang mengenal berapa sebenarnya ukuran satu sha' itu. Nah inilah
yang disebut dengan ijtihad. Jelas sekali ijtihad itu justru dibutuhkan untuk
memahami Al-Quran dan As-Sunnah, bukan mengarang-ngarang dan main logika
semata.
No comments:
Post a Comment