“ Orang yang baik adalah orang yang merasa dirinya belum baik “
Ketika iblis mengatakan ia lebih
baik dari Nabi Adam ‘alaihis salam karena ia diciptakan dari api, sedangkan
Nabi Adam dari tanah dan saat iblis diperintahkan Allah untuk sujud kepada Nabi
Adam, ia pun enggan dan sombong, maka ketahuilah, dua kesesatan inilah yang
sering menghiasi hidup manusia, yakni karena memiliki berbagai kelebihan, lalu
merasa dirinya superior diatas orang lain serta memandang remeh mereka.
Orang yang rendah hati atau
tawadhu’ akan menghindari sifat memandang rendah orang lain, justru ia akan
memuliakan manusia dengan ucapan dan perbuatan yang diridhai Allah. Karena
tawadhu’ merupakan akhlak para Rasul dan para generasi Salafus Sholeh. Allah
akan memuliakan dan mencintai orang yang rendah hati.
“ Tidaklah Allah menambah pada
seorang hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seseorang rendah
hati karena Allah, kecuali Allah akan meninggikan orang tersebut ”. ( H.R. Muslim
).
Efek Dahsyat Rendah Hati
Banyak orang menyangka rendah
hati identik dengan menghinakan diri, padahal sehebat apapun manusia ia pasti
pernah berbuat salah atau dosa. Mereka merasa amalannya banyak lantas memandang
dirinya lebih baik daripada orang lain.
Padahal para anbiya’ dan salaf,
mereka memiliki hati yang lebih bersih dibandingkan orang-orang setelahnya,
tetapi karakter rendah hati tetap mendominasi kepribadian mereka. Padahal dari
sisi ilmu agama, mereka ahli ibadah, dan akhlaknya –masya Allah– sangat santun
dan simpatik. Meski demikian, rasa takut pada Allah dan adzab neraka senantiasa
membayangi hidup mereka dan seakan-akan mereka belum beramal sholih secara
maksimal.
Bakr bin ‘Abdillah berkata :
“Apabila kamu melihat orang yang lebih tua daripada dirimu, maka katakanlah : “
Orang ini telah mendahului dengan iman dan amal shalih, sehingga dia lebih baik
daripada aku ”, apabila kamu melihat orang yang lebih muda daripada dirimu maka
katakanlah, “ Aku telah mendahului menuju perbuatan dosa dan maksiat sehingga
dia lebih baik daripada aku ”. ( Shifatus – Shofwah : 3 / 248 ).
Alangkah bagusnya sikap rendah
hati ini….! Kebalikannya adalah sombong, yang sering membuat manusia
mengingkari kebesaran Allah, menolak kebenaran dan membanggakan dirinya dengan
tujuan ‘ujub. Itulah karakter buruk yang sangat dilarang semua Rasul-Nya dan
akan berakibat fatal yang justru merugikan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Pribadi Yang Rendah Hati
Al’Aini rahimahullah
mengungkapkan bahwa, “ tawadlu’ adalah memperlihat kerendahan martabatnya (
dihadapan orang ) lain ”. ( ‘Umdatul Al-Qori’ 23 / 88, Fathul Al-Bari 11 / 241 ).
Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S.
Asy-Syu’ara`: 215,
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“ Dan rendahkanlah dirimu terhadap
orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman “.
Rasulullah shallallaahu’alaihi
wasallam adalah teladan utama dalam sikap rendah hati. Betapa ketawadlu’an
beliau ketika bergaul, berinteraksi dengan sahabatnya, tanpa pernah menghinanya.
Jaminan surga kepada beliau tak menghalanginya untuk selalu memperbanyak do’a,
sholat, puasa dan amal shalih lainnya. Beliau senantiasa memotivasi umatnya
untuk terus memperbaiki hatinya, memperbanyak ilmu, meningkatkan kualitas iman
dan amal shalih sampai meninggal dunia.
Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali,
dalam At-Tawadhu’ fi Dhauil Qur`anil Karim was Sunnah Ash-Shohihah, hal. 28
mengatakan ungkapan yang sangat menarik bahwa substansi tawadlu’, ialah dengan
menghargai orang lain.
Ketahuilah, wahai saudaraku yang
tawadhu….!
Orang berakal, ketika ia melihat
orang lain yang lebih tua darinya, maka ia bersikap tawadhu’ terhadapnya,
sembari berkata : “ Dia telah mendahului dalam Islam “. Bila ia menjumpai
seorang yang lebih muda usianya darinya, ia pun bersikap tawadhu’ kepadanya
sembari berbisik : “ Aku telah mendahuluinya dalam berbuat dosa ”.
Jika menyaksikan orang yang
seusianya, ia menjadikannya sebagai saudara maka bagaimana mungkin ia sombong
kepada saudaranya sendiri…?
Dia tidak menghina siapapun sebab,
seorang hamba yang tawadhu’ tidak melihat dirinya memiliki nilai lebih jika
dibandingkan dengan orang lain. Diapun melihat orang lain, tidak membutuhkannya
dalam masalah agama atau dunia. Seseorang tidak meninggalkan tawadhu’ , kecuali
saat kesombongan mencengkeram jiwanya, dan ia tidak arogan kepada orang lain
kecuali saat ia takjub dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah
shallallaahu’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sombong adalah menghina orang
lain, sehingga dapatlah disimpulkan, tawadhu’ tercermin pada penghormatan
kepada orang lain.
No comments:
Post a Comment