Buat apa capek-capek menjadi
santri di pesantren…?
Pernyataan yang sering terucap
oleh beberapa orang di luar sana.
Zaman sudah modern kok hidup
masih dibuat sulit dengan mengaji kitab kuning…? Tinggal buka HP, mau cari dalil
apapun juga sudah tersedia, berikut arti dan tafsirannya. Lantas ngapain juga
harus bercapek-ria menjadi santri dengan mondok di pesantren…?
Hidup di pesantren itu ibarat
hidup di penjara, mau tak mau memang wajib menerima segala peraturan, waspada,
selain untuk selalu belajar. Jadi kalau ada pertanyaan, bagaimana rasanya hidup
di pesantren…? Maka jawaban yang jujur adalah tidak enak dan tidak bebas.
Kalau ada santri yang mengatakan
hidup di pesantren itu enak, itu namanya santri gila, karena tidak ada anak
yang hidup di pesantren itu enak. Kita harus merasakan susahnya beradaptasi
dengan kegiatan pesantren yang penuh, dan hampir 24 jam. Sehingga manakala
santri tidak bisa bersabar hidup di pesantren, maka ia pasti akan pulang dan
tidak mau kembali lagi. Bayangkan saja, anak seusia SMP-SMA bahkan SD harus
melakukan aktifitas yang begitu padat. Apa tidak pusing…?
Daripada menjadi santri dan
terkekang di pondok, juga dengan aktifitas yang super padat, bukankah lebih
baik menjadi ikhwan / akhwat dengan mengikuti Liqo yang hanya diadakan seminggu
sekali, dan intensitas sekitar 2 sampai 5 jam per pertemuan…?
Lebih enak dan simpel kaaaan…?
Lebih praktis dan cepat kaaaan…?
Ohya, kalian belum tahu Liqo…?
Nih saya kasih tahu Liqo itu
sering juga disebut Holaqoh adalah Pengajian kelompok kecil berjumlah 3-12
orang, yang dipimpin oleh seorang guru yang disebut Murobbi / Murobbiah.
Namanya lebih keren dan lebih islami kaaaan…? Hehehe…. Sedangkan istilah nama
Santri, Pondok, dan Kiai itu tidak islami sama sekali.
Jika di Pondok ( Pesantren ) itu
melaksanakan pengajiannya kadangkala bercampur antara laki-laki dan perempuan,
antara anak-anak, remaja, dan dewasa, dalam satu gedung, maka ini sangat
berbeda dengan Liqo, yang mana dalam Liqo itu terdapat pengelompokan
berdasarkan usia, domisili, pemahaman, profesi, dll. Akhwat ( perempuan ) sama
akhwat, ikhwan ( laki-laki ) ya liqo sama ikhwan. Di dalam Liqo tak boleh ada
yang coba-coba minta digabungkan, kalau minta dijodohkan ( tak cuma untuk
jomblo, bahkan laki-laki yang mau poligami ), nah itu baru boleh.
Jika di dalam pesantren itu
jumlah santrinya bisa tak terbatas, ini berbeda dengan Liqo karena jumlah
anggota liqo-an dibatasi, agar penyerapan materi-materi dakwah dan tali
kekeluargaan bisa terbentuk antar anggotanya. Setiap anggota liqo ini dididik
untuk menjadi murobbi / murobbiah generasi di bawahnya. Tak perlu waktu belasan
atau puluhan tahun untuk menjadi Murobbi / Murobbiah. Sedangkan santri yang
mondok dan menghabiskan waktu hampir 24 jam untuk mengaji di pesantren selama
belasan-puluhan tahun itu belum tentu bisa jadi seorang Kiai. Lebih enak mana
antara Mondok dengan Liqo….?
Di dalam Liqo itu super praktis
dan mudah untuk bisa menjadi guru ( murobbi ). Kegiatannya pun tak perlu
menyita banyak waktu. Ini berbanding berbalik dengan mondok di pesantren.
Kalian mau tahu ribetnya kegiatan
di pesantren….? Nih saya kasih tahu ya!
Pukul 03 sudah harus bangun tidur
untuk melaksanakan shalat malam, kemudian adzan shubuh berkumandang, mereka pun
shalat berjamaah, setelah itu wiridan dan dzikir.
Pukul 05 mereka mengaji kitab
kuning ( kitab salaf ), atau kitab Al-Qur'an, setoran hafalan ke kiyai. Setelah
itu bersih-bersih lingkungan pesantren. Sebelum melanjutkan shalat dhuha,
mereka gunakan untuk mandi atau cuci baju. Naaah, kegiatan ini yang paling
menyebalkan karena harus bergantian bahkan antri, apalagi saat kita kebelet
BAB, ternyata harus antri dengan menunggu lama karena WC sudah ada penghuninya.
Pukul 06.30 mereka sudah sarapan,
lalu persiapan ngaji kitab kuning sampai pukul 09.00 bahkan lebih. Kegiatan
masih berlanjut yaitu belajar bahasa asing ( bahasa arab, bahkan juga bahasa
inggris ) sampai pukul 11.00, baru kemudian mereka para santri bisa istirahat
sejenak, karena tak lama kemudian mereka harus mempersiapkan diri untuk shalat
dhuhur berjamaah, dilanjut mengaji kitab kuning lagi.
Setelah itu berangkat sekolah
diniyyah ( ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah ) yang biasanya beristirahat untuk
melaksanakan shalat ashar.
Selesai sekolah, mereka pun makan
berlanjut bersih-bersih diri dan lingkungan, kemudian persiapan shalat magrib
berjamaah, diteruskan wiridan, ngaji Al-Qur'an disambung shalat isya'
berjamaah.
Apakah sudah selesai aktifitasnya…?
Tidaaaak….! Karena masih
berlanjut ngaji kitab kuning, hafalan ini itu, lalu masih belajar lagi tentang
pelajaran siang tadi dan persiapan untuk pelajaran esok hari, bahkan masih ada
kegiatan evaluasi diri seharian tadi oleh pengurus pondok. Ini bisa sampai pada
tengah malam atau dini hari.
Mereka para santri dituntut harus
mengikuti kegiatan rutin tersebut. Bila tidak mengindahkan kegiatan dan
peraturan maka akan dita'zir ( dihukum ). Maka tak heran bila sering
menyaksikan santri dihukum atau diberi peringatan.
Sekarang coba bayangkan perasaan
gelisahnya santri baru yang masih belum terbiasa menjalankan kegiatan yang
padat merayap begitu. Yang mana bila mereka tidak bisa bersabar maka mereka
takkan bisa bertahan lama di pesantren dan memilih untuk pulang.
Oh ya…, selain ribetnya aktifitas
seperti yang sudah dijelaskan di atas, masih ada lagi ribet bin susahnya
menjadi seorang santri, diantaranya ;
~ Santri itu ( dulu ) memasak
sendiri makanannya. Apalagi tempo dulu, ketika belum ada kompor, santri masak
memakai kayu bakar. Ketika musim hujan tiba, tak jarang banyak hanger atau
sandal jepit yang dibakar sebagai ganti kayu bakar .
Namun, sekarang jarang santri
yang masak sendiri, seiring dengan perkembangan jaman. Jika mencari santri
memasak di dapur, silakan cari pondok yang masih salaf.
~ Santri makan bersama-sama dalam
se-baki ( talam / nampan ). Bagi mereka cara inilah yang membuat apapun
makanannya menjadi terasa enak. Santri yang memasak, ketika sudah siap saji, makanan ditaruh
di talam atau daun pisang. Kemudian dimakan secara bersama-sama oleh 5-10
orang. Meski nasi dan sayur masih panas, para santri tak peduli untuk
melahapnya. Soal tangan gosong atau
lidah terbakar, itu soal nanti. Karena, kalau tidak berani ambil resiko itu,
dijamin tidak kenyang karena kalah dengan yang lain, bahkan tak kebagian
makanan.
~ Terkena penyakit kulit atau
kudis, ini sangat akrab bagi santri baru. Ini seakan menjadi ujian pertama bagi
santri, apakah nantinya ia akan betah tinggal di pesantren atau tidak. Begitu
parahnya, santri yang terkena penyakit ini kadang sampai tak bisa duduk atau
sulit jalan. Sudah dibawa ke rumah sakit, dokter, tak jua sembuh-sembuh. Hanya
waktu yang bisa menyembuhkannya, hingga badan kebal dan penyakit merasa bosan
sendiri. Namun, itu dulu. Pesantren sekarang sudah banyak memiliki air bersih
dan fasilitas yang memadahi. Sungguh ribet hidup di pesantren kaaaan…?
~ Dalam hal tidur, bisa dikata
sangat jarang santri tidur di kasur. Tidurnya cukup merebahkan badan di lantai
kamar, depan kamar atau serambi masjid. Untuk bantal, pakaian kotor dikumpulkan
lalu dibungkus dengan sarung. Hal itu sudah lebih dari cukup menghilangkan
kantuk karena kesibukan mengaji pagi, siang sampai malam.
~ Sudah menjadi tradisi, ketika
ada santri baru atau sehabis pulang selalu membawa aneka jajanan. Nah ketika si
santri datang diantar orangtua atau wakilnya, maka seluruh anggota kamar akan
bersikap dewasa dan melayani tamu dengan penuh penghormatan. Namun sejurus
kemudian, ketika para tamu orang tua atau wali santri itu pulang, akan segera
terjadi kegaduhan, yaitu berebut jajanan. Ini suatu tradisi yang lazim terjadi
di pesantren-pesantren salaf, meski latar belakang santri adalah seorang yang
mampu. Berebut jajanan ini menjadi suatu hal yang dianggap menarik dan
menyenangkan.
~ Santri juga ribet setoran.
Namun setoran disini bukanlah setoran yang lazim terjadi antara sopir angkot
dengan juragannya, tetapi setoran hafalan nadzam dan syair-syair kitab, juga
hafalan Al-Qur'an. Jika tidak memenuhi target, maka si santri akan dita'zir dan
lebih ekstrem lagi tak bisa naik kelas.
~ Sedikit-sedikit mayoran, walau
istilah mayoran dewasa ini sudah jarang terdengar. Mayoran ini adalah
manifestasi kekompakan atau rasa syukur santri setelah mengkhatamkan kitab.
Biasanya sih pengurus kelas yang menarik iuran lalu dibelikan daging.
Daging, merupakan barang mewah
bagi santri yang dengan kultur pesantren salaf rata-rata menyuruh untuk hidup
senderhana, riyadlah dan tirakat. Namun tradisi mayoran ini sekarang lekang
oleh waktu karena makanan mewah sudah ada dimana-mana.
~ Saat ada santri yang kena
ta'zir, ia akan dihukum sesuai bobot pelanggarannya. Ada yang diceburkan ke
kolam atau sungai, dicukur gundul atau dipajang di depan pesantren dengan
mengalungkan papan bertuliskan kesalahannya. Ketika terjadi ta'ziran ini, biasanya semua
santri menonton dan menyoraki. Ini pelajaran sekaligus tes mental dan melatih
tanggung jawab.
~ Ribetnya menjadi santri juga
selalu berebut untuk mencium tangan Kiai. Karena Pesantren mengajarkan santri
untuk memuliakan ilmu & ahlinya, dan salah satu bentuk memuliakan tersebut
adalah bersalaman dan mencium tangan Kiai. Ini terjadi di semua
pesantren-pesantren sebagai sebuah upaya ngalap berkah agar mendapat ridha dari
sang Kiai.
~ Keribetan santri yang lain
yaitu tirakat. Biasanya sebelum tirakat ini, santri meminta ijazah kepada kiyai
akan amalan-amalan tertentu seperti : puasa mutih, ngrowot ( tidak makan nasi ),
manaqib, mujahadah, dalalil dll.
Amalan tersebut merupakan metode
salafiyyah yang menjadi perekat masuknya ilmu ke hati. Jadi, jangan heran kalau
ada santri yang makannya nasi aking, oyek, ataupun thiwul, karena itu ia sedang
menjalankan misi spiritual.
Namun bagi santri yang sudah
terbiasa melakukan aktifitas pesantren semacam ini akan santai-santai saja.
Mereka tidak ambil pusing ketika kondisi jiwanya tidak stabil, mereka akan
tidur di mana saja berada, lebih-lebih pada saat mengaji.
Maka tak heran jika banyak
lulusan pesantren yang ketika pulang kampung bisa menjadi orang unggulan di
kampungnya tak cuma dalam bidang agama, namun juga dalam bidang sosial
masyarakat. Mereka sudah terbiasa merasakan asam garam kehidupan di pesantren
sebagai bumbu penyedap di kehidupan bermasyarakat. Dan perlu kalian ketahui
bahwa menjadi santri itu memang sakit-sakit sedap. Bahkan untuk keilmuan, seorang yang ikut Liqo
selama tahunan pun belum tentu bisa mengalahkan ilmunya santri ibtida' ( kelas
dasar ), atau seorang Murobbi Liqo pun belum tentu ilmunya lebih tinggi dari
seorang santri tsanawiyah apalagi santri aliyah.
Setelah tahu aktifitas dan
ribetnya di Pesantren, apakah kalian masih akan menjadikan anak-anak kalian
untuk menjadi seorang santri…?
Hati² menyekolahkan anak…!
Jangan sampai anak kita mengharamkan Maulid Nabi, menghina
ziarah wali, menolak tahlil dan anti tabaruk.
No comments:
Post a Comment