Photo

Photo

Friday, 1 November 2019

Asik & Ribetnya Menjadi Santri


Buat apa capek-capek menjadi santri di pesantren…?

Pernyataan yang sering terucap oleh beberapa orang di luar sana.

Zaman sudah modern kok hidup masih dibuat sulit dengan mengaji kitab kuning…? Tinggal buka HP, mau cari dalil apapun juga sudah tersedia, berikut arti dan tafsirannya. Lantas ngapain juga harus bercapek-ria menjadi santri dengan mondok di pesantren…?

Hidup di pesantren itu ibarat hidup di penjara, mau tak mau memang wajib menerima segala peraturan, waspada, selain untuk selalu belajar. Jadi kalau ada pertanyaan, bagaimana rasanya hidup di pesantren…? Maka jawaban yang jujur adalah tidak enak dan tidak bebas.

Kalau ada santri yang mengatakan hidup di pesantren itu enak, itu namanya santri gila, karena tidak ada anak yang hidup di pesantren itu enak. Kita harus merasakan susahnya beradaptasi dengan kegiatan pesantren yang penuh, dan hampir 24 jam. Sehingga manakala santri tidak bisa bersabar hidup di pesantren, maka ia pasti akan pulang dan tidak mau kembali lagi. Bayangkan saja, anak seusia SMP-SMA bahkan SD harus melakukan aktifitas yang begitu padat. Apa tidak pusing…?

Daripada menjadi santri dan terkekang di pondok, juga dengan aktifitas yang super padat, bukankah lebih baik menjadi ikhwan / akhwat dengan mengikuti Liqo yang hanya diadakan seminggu sekali, dan intensitas sekitar 2 sampai 5 jam per pertemuan…?

Lebih enak dan simpel kaaaan…?
Lebih praktis dan cepat kaaaan…?

Ohya, kalian belum tahu Liqo…?

Nih saya kasih tahu Liqo itu sering juga disebut Holaqoh adalah Pengajian kelompok kecil berjumlah 3-12 orang, yang dipimpin oleh seorang guru yang disebut Murobbi / Murobbiah. Namanya lebih keren dan lebih islami kaaaan…? Hehehe…. Sedangkan istilah nama Santri, Pondok, dan Kiai itu tidak islami sama sekali.

Jika di Pondok ( Pesantren ) itu melaksanakan pengajiannya kadangkala bercampur antara laki-laki dan perempuan, antara anak-anak, remaja, dan dewasa, dalam satu gedung, maka ini sangat berbeda dengan Liqo, yang mana dalam Liqo itu terdapat pengelompokan berdasarkan usia, domisili, pemahaman, profesi, dll. Akhwat ( perempuan ) sama akhwat, ikhwan ( laki-laki ) ya liqo sama ikhwan. Di dalam Liqo tak boleh ada yang coba-coba minta digabungkan, kalau minta dijodohkan ( tak cuma untuk jomblo, bahkan laki-laki yang mau poligami ), nah itu baru boleh.

Jika di dalam pesantren itu jumlah santrinya bisa tak terbatas, ini berbeda dengan Liqo karena jumlah anggota liqo-an dibatasi, agar penyerapan materi-materi dakwah dan tali kekeluargaan bisa terbentuk antar anggotanya. Setiap anggota liqo ini dididik untuk menjadi murobbi / murobbiah generasi di bawahnya. Tak perlu waktu belasan atau puluhan tahun untuk menjadi Murobbi / Murobbiah. Sedangkan santri yang mondok dan menghabiskan waktu hampir 24 jam untuk mengaji di pesantren selama belasan-puluhan tahun itu belum tentu bisa jadi seorang Kiai. Lebih enak mana antara Mondok dengan Liqo….?

Di dalam Liqo itu super praktis dan mudah untuk bisa menjadi guru ( murobbi ). Kegiatannya pun tak perlu menyita banyak waktu. Ini berbanding berbalik dengan mondok di pesantren.

Kalian mau tahu ribetnya kegiatan di pesantren….? Nih saya kasih tahu ya!

Pukul 03 sudah harus bangun tidur untuk melaksanakan shalat malam, kemudian adzan shubuh berkumandang, mereka pun shalat berjamaah, setelah itu wiridan dan dzikir.

Pukul 05 mereka mengaji kitab kuning ( kitab salaf ), atau kitab Al-Qur'an, setoran hafalan ke kiyai. Setelah itu bersih-bersih lingkungan pesantren. Sebelum melanjutkan shalat dhuha, mereka gunakan untuk mandi atau cuci baju. Naaah, kegiatan ini yang paling menyebalkan karena harus bergantian bahkan antri, apalagi saat kita kebelet BAB, ternyata harus antri dengan menunggu lama karena WC sudah ada penghuninya.

Pukul 06.30 mereka sudah sarapan, lalu persiapan ngaji kitab kuning sampai pukul 09.00 bahkan lebih. Kegiatan masih berlanjut yaitu belajar bahasa asing ( bahasa arab, bahkan juga bahasa inggris ) sampai pukul 11.00, baru kemudian mereka para santri bisa istirahat sejenak, karena tak lama kemudian mereka harus mempersiapkan diri untuk shalat dhuhur berjamaah, dilanjut mengaji kitab kuning lagi.

Setelah itu berangkat sekolah diniyyah ( ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah ) yang biasanya beristirahat untuk melaksanakan shalat ashar.

Selesai sekolah, mereka pun makan berlanjut bersih-bersih diri dan lingkungan, kemudian persiapan shalat magrib berjamaah, diteruskan wiridan, ngaji Al-Qur'an disambung shalat isya' berjamaah.

Apakah sudah selesai aktifitasnya…?

Tidaaaak….! Karena masih berlanjut ngaji kitab kuning, hafalan ini itu, lalu masih belajar lagi tentang pelajaran siang tadi dan persiapan untuk pelajaran esok hari, bahkan masih ada kegiatan evaluasi diri seharian tadi oleh pengurus pondok. Ini bisa sampai pada tengah malam atau dini hari.

Mereka para santri dituntut harus mengikuti kegiatan rutin tersebut. Bila tidak mengindahkan kegiatan dan peraturan maka akan dita'zir ( dihukum ). Maka tak heran bila sering menyaksikan santri dihukum atau diberi peringatan.

Sekarang coba bayangkan perasaan gelisahnya santri baru yang masih belum terbiasa menjalankan kegiatan yang padat merayap begitu. Yang mana bila mereka tidak bisa bersabar maka mereka takkan bisa bertahan lama di pesantren dan memilih untuk pulang.

Oh ya…, selain ribetnya aktifitas seperti yang sudah dijelaskan di atas, masih ada lagi ribet bin susahnya menjadi seorang santri, diantaranya ;

~ Santri itu ( dulu ) memasak sendiri makanannya. Apalagi tempo dulu, ketika belum ada kompor, santri masak memakai kayu bakar. Ketika musim hujan tiba, tak jarang banyak hanger atau sandal jepit yang dibakar sebagai ganti kayu bakar .
Namun, sekarang jarang santri yang masak sendiri, seiring dengan perkembangan jaman. Jika mencari santri memasak di dapur, silakan cari pondok yang masih salaf.

~ Santri makan bersama-sama dalam se-baki ( talam / nampan ). Bagi mereka cara inilah yang membuat apapun makanannya menjadi terasa enak. Santri yang memasak, ketika sudah siap saji, makanan ditaruh di talam atau daun pisang. Kemudian dimakan secara bersama-sama oleh 5-10 orang. Meski nasi dan sayur masih panas, para santri tak peduli untuk melahapnya. Soal tangan gosong atau lidah terbakar, itu soal nanti. Karena, kalau tidak berani ambil resiko itu, dijamin tidak kenyang karena kalah dengan yang lain, bahkan tak kebagian makanan.

~ Terkena penyakit kulit atau kudis, ini sangat akrab bagi santri baru. Ini seakan menjadi ujian pertama bagi santri, apakah nantinya ia akan betah tinggal di pesantren atau tidak. Begitu parahnya, santri yang terkena penyakit ini kadang sampai tak bisa duduk atau sulit jalan. Sudah dibawa ke rumah sakit, dokter, tak jua sembuh-sembuh. Hanya waktu yang bisa menyembuhkannya, hingga badan kebal dan penyakit merasa bosan sendiri. Namun, itu dulu. Pesantren sekarang sudah banyak memiliki air bersih dan fasilitas yang memadahi. Sungguh ribet hidup di pesantren kaaaan…?

~ Dalam hal tidur, bisa dikata sangat jarang santri tidur di kasur. Tidurnya cukup merebahkan badan di lantai kamar, depan kamar atau serambi masjid. Untuk bantal, pakaian kotor dikumpulkan lalu dibungkus dengan sarung. Hal itu sudah lebih dari cukup menghilangkan kantuk karena kesibukan mengaji pagi, siang sampai malam.

~ Sudah menjadi tradisi, ketika ada santri baru atau sehabis pulang selalu membawa aneka jajanan. Nah ketika si santri datang diantar orangtua atau wakilnya, maka seluruh anggota kamar akan bersikap dewasa dan melayani tamu dengan penuh penghormatan. Namun sejurus kemudian, ketika para tamu orang tua atau wali santri itu pulang, akan segera terjadi kegaduhan, yaitu berebut jajanan. Ini suatu tradisi yang lazim terjadi di pesantren-pesantren salaf, meski latar belakang santri adalah seorang yang mampu. Berebut jajanan ini menjadi suatu hal yang dianggap menarik dan menyenangkan.
    
~ Santri juga ribet setoran. Namun setoran disini bukanlah setoran yang lazim terjadi antara sopir angkot dengan juragannya, tetapi setoran hafalan nadzam dan syair-syair kitab, juga hafalan Al-Qur'an. Jika tidak memenuhi target, maka si santri akan dita'zir dan lebih ekstrem lagi tak bisa naik kelas.

~ Sedikit-sedikit mayoran, walau istilah mayoran dewasa ini sudah jarang terdengar. Mayoran ini adalah manifestasi kekompakan atau rasa syukur santri setelah mengkhatamkan kitab. Biasanya sih pengurus kelas yang menarik iuran lalu dibelikan daging.

Daging, merupakan barang mewah bagi santri yang dengan kultur pesantren salaf rata-rata menyuruh untuk hidup senderhana, riyadlah dan tirakat. Namun tradisi mayoran ini sekarang lekang oleh waktu karena makanan mewah sudah ada dimana-mana.

~ Saat ada santri yang kena ta'zir, ia akan dihukum sesuai bobot pelanggarannya. Ada yang diceburkan ke kolam atau sungai, dicukur gundul atau dipajang di depan pesantren dengan mengalungkan papan bertuliskan kesalahannya. Ketika terjadi ta'ziran ini, biasanya semua santri menonton dan menyoraki. Ini pelajaran sekaligus tes mental dan melatih tanggung jawab.

~ Ribetnya menjadi santri juga selalu berebut untuk mencium tangan Kiai. Karena Pesantren mengajarkan santri untuk memuliakan ilmu & ahlinya, dan salah satu bentuk memuliakan tersebut adalah bersalaman dan mencium tangan Kiai. Ini terjadi di semua pesantren-pesantren sebagai sebuah upaya ngalap berkah agar mendapat ridha dari sang Kiai.

~ Keribetan santri yang lain yaitu tirakat. Biasanya sebelum tirakat ini, santri meminta ijazah kepada kiyai akan amalan-amalan tertentu seperti : puasa mutih, ngrowot ( tidak makan nasi ), manaqib, mujahadah, dalalil dll.

Amalan tersebut merupakan metode salafiyyah yang menjadi perekat masuknya ilmu ke hati. Jadi, jangan heran kalau ada santri yang makannya nasi aking, oyek, ataupun thiwul, karena itu ia sedang menjalankan misi spiritual.

Namun bagi santri yang sudah terbiasa melakukan aktifitas pesantren semacam ini akan santai-santai saja. Mereka tidak ambil pusing ketika kondisi jiwanya tidak stabil, mereka akan tidur di mana saja berada, lebih-lebih pada saat mengaji.

Maka tak heran jika banyak lulusan pesantren yang ketika pulang kampung bisa menjadi orang unggulan di kampungnya tak cuma dalam bidang agama, namun juga dalam bidang sosial masyarakat. Mereka sudah terbiasa merasakan asam garam kehidupan di pesantren sebagai bumbu penyedap di kehidupan bermasyarakat. Dan perlu kalian ketahui bahwa menjadi santri itu memang sakit-sakit sedap. Bahkan untuk keilmuan, seorang yang ikut Liqo selama tahunan pun belum tentu bisa mengalahkan ilmunya santri ibtida' ( kelas dasar ), atau seorang Murobbi Liqo pun belum tentu ilmunya lebih tinggi dari seorang santri tsanawiyah apalagi santri aliyah.

Setelah tahu aktifitas dan ribetnya di Pesantren, apakah kalian masih akan menjadikan anak-anak kalian untuk menjadi seorang santri…?

Hati² menyekolahkan anak…!

Jangan sampai anak kita mengharamkan Maulid Nabi, menghina ziarah wali, menolak tahlil dan anti tabaruk.

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4493 - 4495

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4493-4495 “Perdana Menteri Yu, apa yang harus kita lakukan?” McKinney sedikit ragu-ragu saat ini. Jika pertarunga...